CABANG CIPUTAT GENERASI MILENIAL DALAM PERKADERAN HMI
Konsep millennial dalam paradigma politik menjadi salah satu ketertarikan
sendiri bagi seluruh kalangan baik akademisi, aktivis dan politisi sekalipun. Salah satu faktor mendasar adalah generasi tersebut memiliki peran penting untuk menentukan masa depan Indonesia dari berbagai sektor. Generasi millennial merupakan salah satu konsep yang mulai dikembangkan oleh Manheim salah seorang pemikir sosiologi yang melihat perubahan terjadi di setiap generasi dan selalu membentuk kelompoknya sendiri, hal ini didasari bahwa pada gerenasi yang lebih muda tidak dapat bersosialisasi dengan sempurna kepada generasi tua karena adanya perbedaan nilai dan pengalaman sehingga menjadi batasan tersendiri. Maka hal demikian dengan secara tidak langsung dapat diilhami bahwa tidak semua kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memiliki pengalaman yang sama serta tantangan yang sama. Munculnya generasi millennial ditantadi dengan maju dan berkembangnya teknologi informasi yang semakin masif (perilaku baru pada generasi dan menjadi pertanda suatu generasi). Generasi ini juga sering disebut sebagai generasi “Y” yang lahir dikisaran tahun 1980-2000, asumsi tersebut berangkat dari pandangan Manheim dalam esainya yakni The Problem of Generation yang mellihat perubahan generasi. Sebagai kader HMI pastinya memiliki tafsiran tersendiri mengenai konsep generasi millennial dan masa depan organisasi, akan tetapi yang menjadi tolak ukur untuk menentukan analisa adalah berangkat dari acuan yang digunakan dengan landasarn teori yang jelas. Kader dalam arti yang singkat adalah sekelompok orang yang terorganisir dan digodok secara terus menerus dan menjadi tulang punggung organisasi. Dalam tafsiran lain seperti Albert Sidney Hornby seorang ahli tata bahasa Inggris kisaran tahun 1978-1998 yang mendefinisikan cadre atau kader adalah Cadre is small group of people who are specially chosen and tarined a particular purpose. Maka sangat tepat kiranya jika kader merupakan individu yang memiliki peran besar dalam menentukan masa depan organisasi. Sejarah panjang HMI telah menjadi catatan bagi kita, secara tidak langsung yang berangkat dari berbagai macam tantangan HMI dari masa ke masa baik dari fase konsolidasi sampai pada fase pergolakan pemikiran, namun yang menjadi fase paling berat adalah fase pergolakan pemikiran yang sampai saat ini masih belum muncul fase baru secara kesepahaman bersama di dalam tubuh HMI, itu artinya seluruh kader HMI masih berada pada fase ini dan akan terus melahirkan kader dengan kapasitas pemikiran yang menjadi acuan bagi seluruh kader secara kompleksitas dan seluruh masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. Namun untuk menentukan masa depan HMI adalah berangkat dari desain perkaderan yang menjadi prioritas utama seluruh penerus, terutama pengurus Komisariat (sebagai landasan perkaderan HMI yang ideal) maka akan ditopang oleh semua elemen pengurus HMI secara struktural. Barometer yang digunakan untuk menentukan masa depan HMI adalah melihat perilaku kader HMI saat ini. Seperti yang terlahir sebelumnya beberapa tokoh HMI yang mewarnai pergolakan pemikiran akademis maupun politik di Indonesia yakni Ab Wahid, Cak Nur, Akbar Tanjung, Mahfud MD dan beberapa tokoh lainnya yang seringkali dijadikan sebagai ikon HMI dalam masa perkenalan HMI secara kapasitas. Beberapa tokoh di atas berangkat dari aktivitas perkederan HMI seperti yang dijalankan pada saat ini, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan yakni proses menuju pada kematangan pengetahuan. HMI tumbuh sebagai organisasi yang mengedepankan aspek ke-Indonesiaan, Ke-islaman serta ke-ummatan, maka ditopang dengan aktivitas diskursus dan penguatan bacaan- bacaan serta karya yang menggambarkan kapasitas pengetahuan yang dimiliki oleh kader HMI. Menarikanya adalah, HMI memiliki kepekaan pada wilayah keIndonesiaan, dimana hampir seluruh aktivitas Negara (politik), HMI terus ikut ambil bagian di dalamnya seperti halnya HMI kawal demokrasi, HMI dan pemilu cerdas, HMI tidak terima suap dan isu-isu politik lainya. Menjaga tiga komitmen HMI terkesan pinjang atau berjalan satu kaki (ke Indonesiaan) sehingga ini menjadi cikal untuk menentukan masa depan HMI adalah konsen pada wilayah politik, kader HMI secara tidak langsung lebih tertarik ketika membicarakan soal politik tidak memandang basic keilmuan (tidak menyalahkan akan tetapi disiplin ilmu yang ditekuni harus menjadi ikon capaian tujuan HMI). Ditambah lagi dengan alumni HMI yang semakin banyak berkiprah di bidang politik (sekalipun ada yang memiliki profesi lain akan tetapi tidak terlalu nampak seperti alumni yang berkarir di politik, sehingga ini menjadi ketertarikan sendiri di kalangan kader HMI). Maka tidak bisa dipungkiri bahwa akan ada komunikasi yang terbangun, sekalipun bukan pada ranah politik, tetapi kader memiliki ketertarikan sendiri untuk menjadi politisi, minimal sebagai orang yang terlibat dalam politik. Secara wacana yang mulai menguat adalah akan adanya lembaga politik di dalam tubuh HMI, entah dalam bentuk badan atau partai tapi yang jelas sebagai wadah untuk pendistribusian kader yang memiliki minat tentang politik. Maka ini adakan menjadi ketertarikan bagi kader untuk ikut bergabung sebagai anggota badan atau lembaga tersebut (salah satu motivasi adalah bersilaturahmi sebatas senior-junior dan sama-sama berjuang atas terwujudnya tujuan HMI yang berangkat dari instrument politik). Sementara lembaga kajian dan diskusi saat ini memiliki nilai jual yang semakin menurun sehingga kader yang akan lahir secara ideologi dan kuat secara pengetahuan akan terus minim.
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik