Anda di halaman 1dari 3

Term of Reference

ikhitiar kader hmi di era post moderen


sub tema
Menelaah sistem Pendidikan ekonomi politik dan lingkungan di maluku

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah hal yang urgen bukan saja untuk mahasiswa namun untuk seluruh
umat manusia yang terpenting dari Pendidikan adalah pengetahuan sebagaiman yang di tulis oleh
Ayatullah Murtadha Mutahhari dalam bukunya pengantar epistemologi yang berkaitan dengan’’
pentinganya pengetahuan’’. Ini selaras dengan organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam yang mengakui pentingnya pengetahuan Membaca, berdiskusi, dan kajian tentang
apapun itu, baik tentang Pendidikan, ekonomi, politik, lingkungan, bahkan tentang sesuatu yang in
materi yakni tentang ketuhanan.

Sehingga dari rutinitas belajar itu tidak sedikit melahirkan cendikiawan muslim
sekaliber, Nurcholish Majid (tokoh Bangsa), yudilatif (tokoh Intelektual), Taufik ismail (Budayawan),
ridwan saidi (budayawan) dan masih banyak lagi. Tentu gelar yang mereka sandang memakan waktu, tenaga,
dan pikiran yang tidak sedikit. Butuh kerja keras, dan proses belajar yang Panjang. Seperti slogan yang sering
di gaungkan TETAP IKHTIAR.

Namun belakangan ini jika kita amati seksama HMI sekarang telah mengalami kondisi
disorientasi. Hal ini di sebabkan menurunya daya kritis kader HMI. HMI cabang Ambon misalkan,
dulu seringkali kita dapatkan kajian-kajian, lapak baca, bedah buku di tambak UNPATTI
namun sekarang yang saya dapatkan pemain tik-tok, kekasih yang bersandau gurau. Dulu
masih ada Gerakan kemahasiswaan turun kejalan mengawal kepentingan umat, namun
sekarang saya temukan mereka di warung-warung kopi entah mengawal kepentingan siapa?.

Perubahan yang cukup berimplikasi yang merombak secara totalitas sendi sendi
khittah perjuangan HMI, yang secara tidak sadar telah menguluti dan mencoreng marwah
HMI. Realitas kondisi hari ini, HMI ternyata dipandang sebagai organisasi yang mampu
menciptakan dan melahirkan kader-kader opurtunis yang hanya memikirkan ego
individualistik dan kelompok, dengan mengedepankan persoalan kultur, gerbong bahkan
persoalan primordialisme. Selain itu juga keterlibatan HMI di tengah hiruk pikuk persoalan
bangsa mengalami distorsi terhadap khittah dan platform HMI sebagai organisasi perjuangan.

Ketika kita menjejaki pergulatan identitas nasional dalam menakar format realisasi
kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya HMI adalah tonggak sejarah revolusi mentalitas
bangsa Indonesia. Hal ini pada prinsipnya merupakan khittah perjuangan setiap kader.
Dimana realitas keberadaan HMI tentu diyakini sebagai wadah atau laboratorium intelektual
dalam mengembangkan dan membuka ruang sosial terhadap pengembangan cita cita negara
sebagai mana platform perjuangannya, yakni melihat persoalan kebangsaan dan keumatan.
Dalam konteks sejarah nasional HMI mencoba memanggungkan Indonesia dengan berbagai
tradisi serta aktualisasi perwujudannya, di hadapan publik Indonesia yang dalam gerakan
perjuangannya mengakumulasikan semua komponen bangsa.

HMI sebagai organisasi perjuangan pada prinsipnya menjadi hal yang paling mendasar
terhadap kerangka pemenuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan semakin
menguatnya persoalan transidentitas dan transkultural dalam beberapa kurun terakhir
menjadi polemik di negeri ini.

Menyelusuri ruang kehidupan HMI dalam beberapa tahun terakhir mengalami situasi
paradoks. Hal ini menggambarkan adanya kondisi dilematis. Sehingga, menjadi tantangan kian
membesar dewasa ini dalam mereaktualisasikan marwah organisasi sebagai mana termaktub
dalam konstitusi. Yakni, konstruk independensi organisatoris dan independensi etis dalam
setiap pergerakan kader HMI.

Sebagai organisasi ke-Islam-an dan kebangsaan HMI perlu mengembangkan nilai-nilai


kebenaran universal dalam menghadapi krisis moral, ketika wawasan keumatan mulai
menghilang dari setiap jejak langkah perjuangan kader. Dalam ingatan kolektif bangsa kita
tahu bahwa ketika seorang Lafran Pane mendirikan HMI, ada harapan besar yang terpatri
dalam wajahnya. Sebab pada saat HMI dideklarasikkan adanya bentuk pengakuan bahwa
sebagai kader umat dan kader bangsa, HMI tidak menjadi underbouw sebuah partai politik
maupun nonpraksis politik kekuasaan.

Ketika kita kembali membuka lembaran sejarah keberadaan HMI, wajar jika Jenderal Besar
Sudirman saat itu mengatakan HMI sebagai “Harapan Masyarakat Indonesia”. Sebab, dalam
internal keberadaan HMI itu sendiri berhimpunnya pemikir pemikir revolusioner dengan
berbagai variasi keilmuan. dalam tafsirannya Cak Nur bahwa di usia yang sudah matang ini,
HMI sudah saatnya memantapkan langkah dalam memobilisasi kader dalam
mengejewantahkan Mission HMI, bukan sibuk dengan godaan politik kekuasaan.

Dalam manifestasi jalan lurus HMI sejatinya sudah boncengi oleh kepentingan politik praksis,
kita tahu bahwa kejayaan HMI di dasarkan pada kulturnya yakni mengembangkan budaya
membaca dan kajian yang menjadi telaah kritis dan pola konsumtif kader HMI namun melihat
gerakan HMI kekinian terlalu euforia dengan bergaining struktural mungkin kerena hampir
sebagian besar pejabat negara ini alumni HMI sehingga kebanggaan ini membuat HMI terlalu
dekat kepentingan politik kekuasaan.

Himpunan sudah tidak lagi sebagai wadah/ruang transaksi dan transformasi gagasan
melainkan merupakan produk transaksi kekuasaan. Sehingga, mengnihilasi ruangan
independensi HMI. Kita tahu bahwa prinsip non praktis politis bukan berarti menggambarkan
bahwa HMI buta akan politik. Melainkan, adanya bentuk pengakuan bahwa sikap
independensi menjadi kekuatan moral dalam melihat dan menggugat persoalan keumatan dan
kebangsaan. Sehingga HMI tidak melindungi kepentingan elit kekuasaan secara sepihak.

Dalam situasi seperti ini mengindikasikan bahwa budaya konsumtif struktur politik kader
semakin marak maraknya di pelihara dan menggurita. Sehingga memberikan ruang terhadap
pola komando yang kaku. Misalnya dalam beberapa temuan kasus arahan kanda, perintah
kanda, merapat ke kantor/instansi A, B, dan berbagai prototipe lainnya yang memberikan
kecenderungan terhadap pola ketergantungan kader kepada institusi politik maupun para
birokrat dalam menjadikan HMI sebagai instrumen politik’’. Pasca RAK (RAPAT ANGGOTA )
terbentuklah kubu-kubu baru dalam satu rumah tua masing-masing kubu menanamkan
ideologi kebencian terhadap kubu yang lain. Jikalau proses ini terus-menerus di rawat maka
tujuan dari HMI tidak akan tercapai yang tercapai hanyalah perpecahan dan ketidakadilan
lawan kata dari pada tujuan Himpunan Mahasiswa Islam itu sendiri.

Maka dari pada itu kami HMI komisariat pertanian memiliki tujuan dan harapan dalam diskusi
ini antara lain:

B. tujuan

1.Mengembalikan Kembali semangat pengkaderan ( Membaca, diskusi, kajian).

2. mengembalikan Kembali ARAH tujuan HMI Yang sejati

3. memberikan pencerahan seperti apakah sikap politik HMI

4. memberikan pencerahan tentang linkungan yang harmonis kepada kader HMI

C. Harapan

1. Semoga pahaman kita terkait dengan Pendidikan, politik, ekonomi, dan linkungan tidak tidak
berakhir pada pahaman saja tapi yang terpenting pahaman itu sampai pada Tindakan

Hari :Senin

Tanggal:26/06/2023

Jam: 20.00 WIT-selesai

Tempat : via zoom

Pelaksana Kegiatan

Kegiatan ini dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam KOMISARIAT PERTANIAN UNPATTI

Pembicara:

1. YUNDA NUR IBRAHIM (sistem Pendidikan ekonomi politik)

2. KANDA ARDIMAN KELIHU (Paradigma Ekonomi politik dan Model sistem kerjanya)

3. KANDA ZULFIRMAN RAHYANTEL (Paradigma Lingkungan dan Model Penanganannya)

MODERATOR

1.WAHYUDIN

Anda mungkin juga menyukai