Anda di halaman 1dari 31

Meninjau Ulang Sejarah HMI Sebagai Upaya Harmonisasi

Gerak HMI

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa karena senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita masih dapat
merasakan nikmat iman, menjalani aktivitas sehari-hari, dan beribadah untuk
mencapai ridho-Nya. Shalawat serta salam tidak lupa juga kita haturkan kepada
Baginda kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita semua dari zaman
kegelapan menuju zaman terang benderang.
Sebuah kebanggaan dan rasa syukur tersendiri bagi penulis yang telah
menyelesaikan makalah ini guna menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai
persyaratan untuk mengikuti Intermediate Training (LK II) tingkat nasional yang
dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Cianjur. Adapun pada
makalah ini penulis memberikan judul Meninjau Ulang Sejarah HMI Sebagai Upaya
Harmonisasi Gerak HMI.
Rasanya tidak akan mungkin penyusunan makalah ini berjalan sampai selesai
jika tidak ada orang-orang yang memberikan semangat kepada penulis. Maka, penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para kader HMI Komisariat
Fakultas Sains dan Teknologi Cabang Ciputat yang selalu memberikan dukungan
moril, materil, maupun kritik-kritik yang membangun. Penulis juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada kanda-yunda Alumni HMI (KAHMI) yang telah
membimbing penulis tanpa mengeluh.
Makalah ini, walau bagaimanapun adalah hasil kerja penulis yang seorang
manusia biasa karena penulis merasa masih banyak terdapat kekurangan dalam isi
makalah ini. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya saran dan kritik untuk
menjadi koreksi penulis. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan
cakrawala baru bagi para pembaca. Akhir kata, semoga semua doa dan harapan kita

dapat dikabulkan oleh Allah SWT dan menjadi pelecut semangat kita untuk menjadi
manusia yang lebih baik ke depannya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Billahi taufiq wal hidayah

Ciputat, Rajab 1437 H


April 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Perjalanan panjang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi organisasi
mahasiswa Islam terbesar tidak serta-merta dicapai dengan mudah. Pergolakan
demi pergolakan dan pertarungan demi pertarungan harus dilewati HMI untuk
menjaga eksistensi dan martabatnya. Pengorbanan yang bersifat fisik pada masa
Perang Kemerdekaan bahkan harus dilakukan demi dua tujuan awal berdirinya
HMI saat itu. Namun demikian, kader-kader HMI tidak mengeluh dan berputus
asa karena justru dengan itulah mereka ditempa untuk menjadi lebih kuat lagi.
Perjalanan panjang itu kini sudah memasuki usia yang ke-69 tahun. Jika
HMI adalah seorang manusia, maka secara fisik ia tidak bisa lagi dikatakan
muda. Namun, seseorang yang sudah tidak muda belum tentu tidak berjiwa
muda. Berjiwa muda yang dimaksudkan di sini adalah masih memiliki
semangat juang tinggi dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai
persoalan kehidupan. Begitupun dengan HMI saat ini.
Dengan melihat sejarah HMI yang besar dan berliku-liku, maka sudah
sepatutnya para kader sebagai tulang punggung organisasi merefleksikan
sejarah tersebut dan mengambil hikmah atasnya. Hal ini bukan berarti harus
terlena dengan romantisme sejarah, walaupun memang benar HMI adalah salah
satu pionir gerakan mahasiswa saat itu. Namun, itu tidak akan berarti apa-apa
jika tidak ada aksi-aksi lebih lanjut yang meneruskan perjuangan itu. Dengan
mengambil hikmah atas pengalaman masa lalu dan adanya sikap saling koreksi,
maka HMI akan selalu berada pada jalur yang jelas dan terarah. Hanya dengan

itulah HMI akan menapaki tingkat demi tingkat dalam mencapai kebenaran
yang lebih tinggi.
Persoalan-persoalan yang dihadapi HMI tentu berbeda, tergantung pada
zamannya. Jika dahulu HMI harus menghadapi serangan Belanda dan PKI
sekaligus, maka hari ini serangan itu tidak berbentuk fisik. Hari ini HMI
dihadapkan pada persoalan yang cukup kompleks. HMI di samping harus
konsisten dengan tujuannya dalam pasal 4 Anggaran Dasar juga harus
beradaptasi dengan arus globalisasi. Para kader dituntut untuk menjadi
profesional dalam bidangnya masing-masing tanpa meninggalkan identitasnya.
Ketika kita berbicara HMI dulu dan masa datang, maka kita tidak akan
terlepas dengan sejarah berdirinya HMI. Seorang mahasiswa, Lafran Pane,
mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1947 bersama
rekan-rekan perjuangannya. Mereka mendirikan HMI, antara lain karena ingin
belajar tentang keislaman. Keberadaannya terus tumbuh dan berkembang di
basis-basis perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga menghasilkan kader-kader yang berkualitas seperti, Nurcholis Madjid,
Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader
terbaik lainnya. Oleh karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya
menawarkan pengajaran Islam secara khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin
memberikan pencerahan intelektual politik serta pemberdayaan potensi kader
secara menyeluruh.
Harapan Organisasi HMI dideklarasikan (antara lain) sebagai organisasi
mahasiswa yang independen, kader Umat dan Bangsa, dan tidak menjadi
underbouw sebuah partai politik, termasuk partai politik Islam. Wajar jika
Jenderal (Besar) Sudirman saat itu menyambut HMI sebagai Harapan
Masyarakat Indonesia karena dalam HMI berkumpul orang terpelajar, yang
tentunya diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada

warna ke-Islaman dan ke-Bangsaan sejak kelahirannya. Tidak mengherankan,


ketika RI menghadapi perang kemerdekaan melawan Belanda, mereka juga
mendirikan pasukan bersenjata yang dikenal sebagai Corp Mahasiswa. Dengan
cita-cita pendirian HMI seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang
khittah HMI di tengah lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini.
Pluralism yang mewarnai umat dan bangsa tentu menyulitkan formula HMI
sebagai kader umat dan bangsa.

B. Rumusan Masalah
Dinamika gerakan mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memang
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perannya sebagai gerakan pembaharuan. Sifat,
bentuk dan problematika yang dihadapinya sangat bercorak. Tentunya dengan ciri
khas tersendiri HMI menanggapi problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam
menjawab tantangan zaman serta sebagai pionir harmonisasi secara keseluruhan.
Oleh karena itu permasalahan rumusan masalah yang ingin penulis kaji adalah
berkaitan dengan:
1. Peran HMI di Indonesia
2. Perjuangan HMI di Indonesia
3. HMI Solusi Kesej
Seperti telah disinggung di atas, bahwasanya HMI tidak bisa pisah dari dari
perannya begitu saja, dengan kekuatan retorika yang dimainkan dan menjawab
problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam menjawab tantangan zaman yang
maju. Oleh karena itu, kajian ini untuk melihat dinamika seajarah gerakan dan peran
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sangat perlu di kaji.

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisa dan mengungkap serta mininjau
ulang sejarah HMI sebagai upaya harmonisasi gerak HMI, penulisan ingin mencoba
merealisasikan peran HMI dalam Kemajuan Islam di Indonesia dan mengungkap
dinamika dalam beragama dan berbangsa sehingga dapat direspon untuk mahasiswa
atau masyarakat dan mempraktekkannya serta menjaga perdamaian Indonesia dalam
garis Ke-Islaman.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran HMI Di Indonesia
Karakteristik khas pola gerakan HMI sejak awal berdirinya adalah tidak
memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI adalah
suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI haruslah
dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI Lafran Pane, bahwa
bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu merupakan watak
asli HMI semenjak lahir.1[1] Namun hal itu bukan berarti HMI menjadi organisasi
politik, sebab HMI lahir sebagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, yang
menjadikan nila-nilai Islam sebagai landasan teologisnya, kampus sebagai wahana
aktivitasnya, mahasiswa Islam sebagai anggotanya. Background kampus dan
idealisme mahasiswa merupakan faktor penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif
dalam merespon problematika yang dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI
tetap memainkan peran politiknya dalam kancah bangsa ini. Selain itu, argumentasi
lain dikemukakan oleh Rusli karim2[2] dalam tulisannya;
1
2

Walaupun HMI bukan organisasi politik, tetapi ia peka dengan permasalahan


politik. Bahkan kadang-kadang karena keterlibatannya yang sangat tinggi dalam
aktivitas politik ia dituduh sebagai kelompok penekan (pressure group).
Watak khas pola gerakan politik HMI ini yang terinternalisasi sejak
kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap lebih berhati-hati dalam
melakukan aktivitas organisasinya, sehingga kehati-hatian inilah yang melahirkan
sikap moderat dalam aktivitas politik HMI. Lahirnya sikap moderat ini sebagai
konsekuensi logis dari kebijakan HMI memposisikan dirinya harus senantiasa berada
diantara berbagai kekuatan kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan
respon serta kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang
terjadi disekitarnya. Namun sebagai konsekuensi logis pula bagi HMI, dengan sikap
moderat

dalam

aktivitas

politiknya

ini,

munculnya

kecenderungan

sikap

akomodatif3[3] dan kompromis dengan kekuatan kepentingan tertentu, dalam hal ini
penguasa. Sikap politik HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika
yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap politik
HMI dengan konsisi sosial politik yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua
faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu;
Faktor internal, faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang
dipahami HMI dan kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya
Faktor eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam
dengan ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa
dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak
kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan
ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur
yang diridhai Allah SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu,
pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh kondisi sosio-aspiratif umat
Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan
3

jaman, maka pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan
kondisi sosio - aspiratif umat Islam
1. Partisipasi Politik HMI periode 1947 - 1960
Rumusan pemikiran politik HMI sudah ditegaskan secara jelas sejak kelahiran
HMI pada 05 Februari 1947 di Yogyakarta, yaitu dalam rumusan tujuan awal
berdirinya HMI. Dalam tujuan awal pembentukan HMI disebutkan;
Mempertahankan Kemerdekaan Negara Republlik Indonesia dan mempertinggi
derajat rakyat Indonesia
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam4[4]
Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua
fungsi dan perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan, yang
dimanifestasikan dalam bentuk gerakan politik. Perjuangan penegakan ajaran Islam
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia mustahil terwujud bila HMI tidak
berpolitik. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan oleh
Eggi Sudjana5[5] dalam tulisannya; Kedua anak kalimat tersebut mengandung dua
makna tentang peranan HMI sejak kehadirannya di Indonesia. Makna strategis, yaitu
bahwa Islam adalah agama dakwah yang harus disampaikan pada seluruh umat
manusia. Merujuk pada makna ini, tentu dakwah tidak akan berjalan lancar tanpa
adanya stabilitas politik serta keteraturan wilayah. Untuk itu langkah yang amat
strategis bagi realisasi dakwah islamiah adalah melalui perjuangan pertahanan
Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dan bebas dari penjajahan. sedangkan
makna sosiologis adalah bahwa mahasiswa muslim yang mencintai, memiliki dan
memihak serta memaknai keberlangsungan eksistensi negara Indonesia dengan spirit

4
5

atau ruhul Islam, pada gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat muslim
yang tipikal keIndonesiaan.6[6]
Walaupun pola gerakannya tidak bisa dipisahkan dari politik, bukan berarti
HMI terlibat secara aktif dalam politik praktis atau bahkan berafiliasi dengan partai
politik. Kesalahan memahami pola gerakan HMI ini terjadi pada masa ini (Orla),
dimana HMI dianggap anak kandung (underbow) partai Masyumi, padahal HMI
dengan independensinya tidak terikat secara formal (organisatoris) dengan partai
politik manapun. Kedekatan dengan partai politik atau ormas hanyalah karena HMI
memiliki persamaan aspirasi keIslaman dan semangat modernis dengan organisasi
tersebut. Inilah yang dimaknai oleh HMI sebagai independensi etis.7[7]
2. Perjuangan HMI Masa Orde Lama Dan Orde Baru
HMI Masa Orde Lama
HMI pada Orde Lama berasaskan Islam, namun tidak berencana mendirikan
negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh HMI, Dahlan Ranuwihardjo (ketua umum PB
HMI 1951-1953) pernah berdebat dan mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk
menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau NKRI. Sikap intelektual
HMI ini bersifat independen.
Menjelang pemilu 1955 gerakan mahasiswa terbagi menjadi kiri (isu utama
anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme) dan kanan (isu anti-komunis & anti
kediktatoran). Gerakan kiri misalnya GMNI dan CGMI yang berafiliasi dengan PNI
dan PKI, sedangkan gerakan kanan misalnya HMI yang diindikasikan berafiliasi
dengan Masyumi. Menjelang demokrasi terpimpin, bandul kekuasaan di bawah
Soekarno semakin di sebelah kiri sehingga kelompok mahasiswa kanan mengalami
kekalahan. Padahal, sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa
mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan.
6
7

Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan


organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau
bahkan dicap (kontrarevolusi). Presiden Soekarno sempat akan membubarkan HMI
karena menilai HMI melakukan tindakan anti revolusi, reaksioner, aneh, menjadi
tukang kritik, liberal dan terpengaruh oleh cara berpikir Barat.
Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan
Satu Oktober) 1965, di mana kekuasaan Soekarno mulai goyah. HMI terlibat bersama
kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer mulai
mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat
dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut gerakan mahasiswa dan partai
politik yang mendukung ideologi Bung Karno.8[8]
Peran HMI di Era Orde Baru
HMI DIPO Pada masa Orba, ada kecenderungan yang amat kuat dari alumni
HMI DIPO yang berpengaruh untuk masuk dalam lingkup kekuasaan. Jabatan
menteri menjadi mudah diraih bagi orang yang pernah menakodai HMI. HMI yang
menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber
rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi;
HMI sebagai sumber insani pembangunan. Banyak ditemui tokoh HMI yang
mengisi birokrasi kekuasaan sehingga HMI ini tidak lagi menampilkan sosok herois
yang terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para
pendahulunya. Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa,
termasuk alumni HMI, berdampak besar terhadap peran HMI yang hampir-hampir
absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa.
Gerakan HMI-DIPO pun senada dan seirama dengan penguasa. Jadi, sulit
untuk menemukan hal-hal yang menonjol dari HMI DIPO. Kritik terhadap

pemerintahan nyaris tidak ada. Dan kegiatan yang dilaksanakan DIPO cenderung
normatif, seakan menjauh dari idealisme seperti pada 20 tahun awal berdirinya.
HMI-MPO adalah sempalan HMI yang dianggap ilegal oleh pemerintah. Di
masa Orba, organisasi ini ditekan dan dianggap sebagai "organisasi terlarang".
Sekretariatnya terus dipantau oleh intelejen, kegiatannya direpresi, pendapatnya
dipendam secara paksa. Dalam kasus ini, cukup sulit untuk mengatakan sejauh mana
peranan HMI-MPO pada masa Orba. Kegiatan mereka berkisar di masalah dakwah
secara sembunyi-sembunyi di mushala-mushala kampus dan kampung yang menjadi
konsentrasi pondokan mahasiswa. Yang mereka lakukan selama itu adalah
membangun opini internal turun temurun mengenai kebobrokan orde baru. Selain itu
juga ada fungsi regenerasi dengan menanamkan semangat dan cita-cita HMI pada
saat awal didirikan, garis perjuangan organisasi, dan lain sebagainya. Bisa
disimpulkan, dari kegiatan HMI-MPO di masa orde baru terdapat usaha untuk
mempertahankan idealisme dan semangat organisasi ditengah paksaan untuk
mengakui asas tunggal Pancasila dan represifitas sebagai akibat pembangkangan
mereka. Mereka tidak melakukan kegiatan yang menonjol bukan karena mereka tidak
mau, tetapi karena mereka tidak memiliki sumber daya dan kesempatan untuk
melakukan hal itu. Bergerak sedikit saja, bisa-bisa salah satu aktivis mereka hilang
tak jelas keberadaannya. Ini yang diwaspadai untuk menghindari pembubaran secara
paksa oleh pemerintah.
B. Perjuangan HMI di Indonesia
1. Kondisi Islam Di Negara Indonesia Sebelum Terbentuknya HMI
Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan suatu organisasi yang
bernafaskan Islam dan bersifat independen atau bebas dan merdeka tidak tergantung
dan memihak dengan kelompok atau golongan tertentu. HMI telah berdiri sejak 5
februari 1947 dan sampai sekarang organisasi ini masih berkiprah dan terus
berkembang ke berbagai Universitas yang dimana suatu Universitas tersebut terdapat
mahasiswa Islam maka di Universitas tersebut terdapat organisasi HMI ini, organisasi

ini sangatlah luas seiring dengan banyaknya Perguruan Tinggi baik negeri maupun
swasta yang ada di Indonesia. Organisasi ini merupakan suatu organisasi pengkaderan
dimana bertujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan
Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah SWT.
Secara garis besar sebelum terbentukya organisasi ini, terjadinya kemunduran
umat Islam pada waktu itu baik dari segi pemikiran dll, di Indonesia, dan hal itulah
yang membuat organisasi HMI ini terbentuk yang diprakarsai oleh Lafran Pane, ia
seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam
Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun dan
untuk melakukan suatu gerakan pembaharuan ketika itu. Seiring dengan berjalannya
waktu dimulai sebelum terbentuknya HMI sampai era reformasi sekarang, HMI telah
melewati banyak fase atau tahap dalam perkembangannya seperti di jelaskan di atas
sehingga kini HMI tetap dan terus menjalankan syariat organisasinya yang nasionalis
dan tetap bernuansa Islam, sehingga kader-kader HMI sekarang menjadi seorang
muslim yang nasionalis, berintelektual yang sekaligus menjunjung tinggi asas-asas
keIslaman di Indonesia agar membuat Negara ini bangkit dan terus maju dalam
pembangunan baik dalam segala aspek manapun, dan untuk menunjukkan kepada
Negara luar khususnya Negara non-muslim bahwa Indonesia sebagai Negara dengan
umat muslim terbanyak di dunia bisa membuat rakyat dan negaranya maju dalam
segala bidang dan tetap menjunjung tinggi asas-asas keislaman.
Sebagai Mahasiswa atau kaum intelektual di masa sekarang, dengan sifat
keindependen dari HMI ini kita harus selalu dituntut untuk mengambil sikap berani,
kritis, adil, jujur dan selalu berpikir obyektif dan rasional. Dengan sifat independen
inilah Mahasiswa harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar
keyakinan dan kebenaran, maka kader-kader HMI haruslah berkualitas karena itu
merupakan suatu modal untuk meningkatkan mutu dari kader HMI sehingga mampu
berperan aktif pada masa sekarang dan mendatang. Dengan mengetahui sejarah

terbentuknya organisasi ini pada masa lalu, kita dapat mengetahui semangat juang
HMI. Merupakan sebuah tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan pencipta
dan para pendahulu di HMI agar selalu terciptanya hari esok yang lebih baik. Tidak
jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia saat itu, umat Islam berada dalam
cengkaraman nekolim barat. Penjajah memperlakukan umat Islam sebagai
masyarakat kelas bawah dan diperlakukan tidak adil, serta hanya menguntungkan
kelompok mereka sendiri atau rakyat yang sudah seideologi dengan mereka.
Umat Islam Indonesia hanya mementingkan kehidupan akhirat, dengan
penonjolan simbolisasi Islam dalam ubudiyah, sebagai upaya kompensasi atas
ketidakberdayaan untuk melawan nekolim, sehingga pemahaman umat tidak secara
benar dan kaffah. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pintu ijtihad
telah ditutup, hal ini menyebabkan umat hidup dalam suasana taqlid dan jumud.
Selain itu umat Islam Indonesia berada dalam perpecahan berbagai macam
aliran/firqah dan masing-masing golongan melakukan truth claim, hal ini
menyebabkan umat Islam Indonesia tidak kuat akibat kurang persatuan di kalangan
umat Islam di Indonesia.
2. Kondisi Perguruan Tinggi Dan Mahasiswa Islam
Perguruan tinggi adalah tempat untuk menuntut ilmu yang akan menghasilkan
para pemimpin untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Selain itu
perguruan tinggi adalah motor penggerak perubahan, dan perubahan tersebut
diharapkan menuju sesuatu yang lebih baik. Begitu pentingnya perguruan tinggi,
maka banyak golongan yang ingin menguasainya demi untuk kepentingan golongan
tersebut.
Sejalan dengan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
tersebut, ada beberapa faktor dominan yang menguasai dan mewarnai perguruan
tinggi dan dunia kemahasiswaan, antara lain sistem yang diterapkan khususnya di
perguruan tinggi adalah sistem pendidikan barat yang mengarah pada sekularisme
dan dapat menyebabkan dangkalnya agama atau aqidah dalam kehidupan. Selain itu

adanya organisasi kemahasiswaan yang berhaluan komunis dan ini menyebabkan


aspirasi Islam dan umat Islam kurang terakomodir.
Faktor-faktor di atas adalah ancaman yang serius, karena menyebabkan
masalah dalam hidup dan kehidupan serta keberadaan Islam dan umat Islam.
Mahasiswa Islam kurang memiliki ruang gerak karena berada dalam sistem yang
sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan harus menghadapi tantangan dari
mahasiswa komunis yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia dan
bertentangan pula dengan ajaran Islam. Jelas sudah bahwa mahasiswa Islam sangat
sulit untuk bergerak memperjuangkan aspirasi umat Islam.

3. Saat Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)


HMI lahir pada saat umat Islam Indonesia berada dalam kondisi yang
memprihatinkan, yaitu terjadinya kesenjangan dan kejumudan pengetahuan,
pemahaman, penghayatan ajaran Islam sehingga tidak tercermin dalam kehidupan
nyata. Pada saat HMI berdiri, sudah ada organisasi kemahasiswaan, yaitu
Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), namun PMY didominasi oleh partai
sosialis yang berpaham komunis. Akibat didominasi oleh partai sosialis maka PMY
tidak independen untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa, maka banyak
mahasiswa yang tidak sepakat dan tidak bisa membiarkan mahasiswa terlibat dalam
polarisasi politik. Sebagai realisasi dari keinginan tersebut maka di Yogyakarta pada
tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 sebuah
organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai
organisasi independen dan sebagai anak umat dan anak bangsa.
4. Gagasan Pembaharuan Pemikiran KeIslaman
Untuk

melakukan

pembaharuan

dalam

Islam,

maka

pengetahuan,

pemahaman, penghayatan dan pengamalan umat Islam akan agamanya harus


ditingkatkan, sehingga dapat mengetahui dan memahami ajaran Islam secara benar

dan utuh. Kebenaran Islam memiliki jaminan kesempurnaannya sebagai peraturan


untuk kehidupan yang dapat menghantarkan manusia kepada kebahagian dunia dan
akhirat.
Tugas suci umat Islam dalah mengajak umat manusia kepada kebenaran Illahi
dan kewajiban umat Islam adalah menciptakan masyarakat adil makmur material dan
spiritual. Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan
kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan
ajaran Islam dalpat dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam.
Kebekuan pemikiran umat Islam telah membawa pada arti agama yang kaku dan
sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan peribadatan. Al-Quran hanya
dijadikan sebatas bahan bacaan, Islam tidak ditempatkan sebagai agama universal.
Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat
Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan masa lalu.

5. Gagasan Dan Visi Perjuangan Sosial Budaya


Ciri utama masyarakat Indonesia adalah kemajemukan sosial budaya,
kemajemukan tersebut merupakan sumber kekayaan bangsa yang tidak ternilai, tetapi
keberagaman yang tidak terorganisir akan mengakibatkan perpecahan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan awal saat HMI berdiri juga tidak terlepas pada
gagasan dan visi perjuangan sosial budaya, yaitu:
Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam
Dari tujuan tersebut jelaslah bahwa HMI ingin agar kehidupan sosial budaya
yang ada menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia guna
mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Untuk menegakkan dan

mengembangkan ajaran Islam pun harus dipelajari kondisi sosial budaya agar tidak
terjadi benturan kultur.
Masyarakat muslim Indonesia yang hanya memahami ajaran Islam sebatas
ritual harus diubah pemahamannya dan keadaan sosial budaya yang telah mengakar
ini tidak dapat diubah serta merta, tetapi melalui proses panjang dan bertahap.
6. Komitmen Ke-Islaman Dan Ke-Bangsaan Sebagai Dasar Perjuangan HMI
Dari awal terbentuknya HMI telah ada komitmen keumatan dan kebangsaan
yang bersatu secara integral sebagai dasar perjuangan HMI yang dirumuskan dalam
tujuan HMI yaitu:
Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia yang didalamnya terkandung wawasan atau pemikiran kebangsaan atau keIndonesiaan
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam yang didalamnya terkandung
pemikiran ke-Islaman
Komitmen tersebut menjadi dasar perjuangan HMI didalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata perjuangan HMI
dalam komitmen keumatan dan kebangsaan adalah melakukan proses perkaderan
yang ingin menciptakan kader berkualitas insan cita yang mampu menjadi pemimpin
yang amanah untuk membawa bangsa Indonesia mencapai asanya. Komitmen
keislaman dan kebangsaan sebagai dasar perjuangan masih melekat dalam gerakan
HMI. Kedua komitmen ini secara jelas tersurat dalam rumusan tujuan HMI (hasil
Kongres IX HMI di Malang tahun 1969) sampai sekarang,
Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah
SWT.
Namun kedua komitmen itu tidak dilakukan secara institusional, melainkan
dampak dari proses pembentukan kader yang dilakukan oleh HMI.

C. HMI Solusi Kesejahteraan Umat


1. HMI Menjawab Tantangan Umat Di Zaman Modern
Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang
tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neomodernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar
tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan
telah cukup mapan di Indonesia. Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas
dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide
Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas
ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Melalui
konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk
menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relative dan terbatas. Hal ini
menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama
menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang
terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh
manusia. Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti
ketajaman teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang
kebebasan berpikir sebagai wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan
inilah yang menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam Islam. Sikap
keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan perbedaan dari orang lain.
HMI telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama
bagi pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan
ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.
Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan
teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada
umumnya. Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal
jamaah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat Islam Indonesia pada
umumnya. Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia

yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun akhirakhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan
struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja.
PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja
tersebut.
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan
kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari
kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan
konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru. Mereka
juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena orientasi hidup mereka
dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh
dipegangi dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki
pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah
keagamaan dan kehidupan social. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah
sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.
Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada,
telah membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial,
termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama
saat ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena
ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran
agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan tafsir
ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai keakar-akarnya yaitu
dimensi teologis.
Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan
bermuara pada satu titik yang sama yakni Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang
berbeda merupakan suatu bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung
makna kebenarannya sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang

dikehendaki Tuhan. Yang terpenting bagi agama saat ini adalah harus membawa
kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.
Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan
mengenai kritik wacana agama. Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem
kultur dan ideologi. Titik perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau cara-cara
berpikir yang secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara sadar
maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi pembaharuan
dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish Madjid, Dawam
Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid.

Makna ISLAM

LIBERAL dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat


wacana. Gagasan tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan
umat di lapisan bawah.
KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus
memiliki corak pergerakan yang khas. Jaringan mereka sangat luas dan telah ada
hampir diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia
yang masih muda KAMMI di puji banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam
tersolid saat ini. Kehadiran massa dalam jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat
daya tekan KAMMI dalam mendukung gerakan reformasi.
Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat
bahwa Islam sebagai suatu sistem yang kaffah merupakan solusi terbaik dalam
menjawab tantangan kemanusian. Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara
mengenai pribadi individu, tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial.
Karena itu kemenangan Islam dalam keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan.
Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya
pencarian keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci. Hampir di setiap kali
muncul wacana pemikiran KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya dari
teks Al Quran dan Hadits. Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah
memberikan semangat juang (ghirah) tersendiri bagi KAMMI. Pada akhirnya,

kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI berkiprah


lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi umat.
2.

Islam Tidak Ketinggalan Zaman Dan Menjawab Tantangan Zaman


Tantangan zaman, dapat diartikan munculnya fakta, keadaan, atau problem
baru seiring dengan perkembangan waktu. Misalnya, Dulu tidak terbayang ada sarana
komunikasi dan informasi yang canggih seperti internet saat ini. Dengan adanya
internet, berarti ada tantangan zaman. pergaulan bebas yang liar di kalangan mudamudi, sekarang makin menggila. Ini tantangan zaman. Kita umat Islam dulu memiliki
sistem Khilafah sebagai institusi yang memungkinkan adanya kehidupan Islam, tetapi
pada tahun 1924 Khilafah diluluhlantakkan oleh Mustafa Kamal yang murtad.
Tiadanya Khilafah, adalah tantangan zaman. Sekarang penguasa negeri-negeri Islam
telah mencampakkan ideologi Islam,

menganut dan

menerapkan ideologi

Kapitalisme, serta menjadi agen-agen yang setia bagi negara-negara penjajah yang
kafir. Ini semua tantangan zaman
Setiap tantangan, pasti butuh jawaban dan penyelesaian. Dalam hal ini, Islam
sebagai ideologi sempurna secara potensial menyediakan jawaban-jawaban bagi
segala masalah atau persoalan yang timbul di tengah manusia. 9[9] menguraikan
secara ringkas metode (thariqah) Islam untuk memecahkan masalah, yaitu memahami
fakta persoalan sebagaimana adanya, lalu memberikan solusi padanya. Solusi ini bisa
berupa Syariat Islam bila persoalannya berkaitan dengan hukum-hukum syara, dan
bisa pula berupa cara (uslub) dan sarana (wasilah) tertentu jika persoalan yang
dihadapi tidak secara langsung berhubungan dengan hukum syara, misalnya teknik
dalam pertanian, kedokteran, kesehatan, dan sebagainya. 10[10] Taqiyyuddin An
Nabhani menjelaskan metode Islam yang harus ditempuh para mujtahidin untuk
memecahkan persoalan. Pertama, mempelajari dan memahami problem yang ada
(fahmul musykilah). Kedua, mengkaji nash-nash syara yang bertalian dengan
9
10

problem tersebut (dirasatun nushush). Ketiga, mengistinbath hukum syara dari dalildalil syara untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Metode itulah yang dapat kita gunakan untuk menjawab setiap tantangan
zaman. Secara ringkas, Islam menjawab tantangan zaman dengan cara memberikan
pemecahan terhadap problem-problem baru yang muncul. Inilah pengertian yang
benar mengenai bagaimana Islam menjawab tantangan zaman yang terjadi. Dengan
demikian, jelas tidak betul pendapat yang mengatakan bahwa dalam menjawab
tantangan zaman. Islam menempuhnya dengan cara beradaptasi, menyesuaikan diri,
atau mengubah hukum-hukumnya agar selaras dengan tuntutan keadaan. Dalihnya,
Islam itu luwes, fleksibel, tidak kaku, tidak ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu
bersikap kompromistis dengan realitas. Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan
kaidah ushul fiqih yang fatal kekeliruannya:
Laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman wal makan.
(Tidak boleh diingkari, adanya perubahan hukum karena perubahan waktu dan
tempat)11[11]
Berdasarkan argumen-argumen sesat itu akhirnya mereka membuang hukumhukum Islam yang dianggapnya biadab atau tidak sesuai dengan semangat orang
zaman modern saat ini. Hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi
pezina, haramnya riba, hukuman mati untuk orang murtad, harus dienyahkan dari
muka bumi karena dianggap tidak berperikemanusaan, sudah usang, kuno, dan
ketinggalan zaman. Begitu pula kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban adanya
Khilafah Islamiyah harus ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari
pengertiannya yang hakiki, karena dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis,
fundamentalis, serta tidak cocok dengan selera orang yang telah maju pikirannya.
Pendapat seperti ini, serta pola pikir yang melahirkan pendapat ini, sangat
bertentangan dengan Islam. Karena pola pikir yang dipakai oleh mereka yang
berpendapat seperti itu, adalah pola pikir khas Barat tatkala mereka berbicara tentang
11

persoalan hukum dan kaitannya dengan kenyataan masyarakat yang ada. Hukum,
menurut Barat, haruslah lahir dari masyarakat. Hukum adalah anak kandung, dan
ibunya adalah masyarakat. Dengan kata lain, yang sumber hukum, adalah keadaan
masyarakat itu sendiri. Karenanya, jika keadaan masyarakat berubah, berubah pulalah
segala nilai, norma, dan pranata kehidupan12[12]
Pandangan ini adalah pandangan kufur, yang bertentangan dengan Islam.
Sebab dalam Islam sumber hukum adalah wahyu semata, bukan yang lain. Bukan
kenyataan masyarakat, bukan tuntutan keadaan, bukan semangat kemodernan, bukan
pula hal-hal lain yang sebenarnya merupakan alasan-alasan yang terlalu dicari-cari.
Jika zina dan riba telah haram menurut wahyu, maka sampai Hari Kiamat tetap
haram. Jika hudud wajib dilaksanakan menurut wahyu, maka statusnya tetap wajib
sampai Hari Kiamat. Begitu pula jihad dan Khilafah yang diwajibkan Allah dan
Rasul-Nya, hukumnya tetap wajib dan tidak boleh dianulir atau dibatalkan oleh siapa
pun sampai Hari Kiamat.
Seorang muslim yang meyakini pola pikir itu secara jazim (membenarkannya
dengan pasti), sungguh dia telah murtad dan keluar dari agama Islam. Sebab,
pandangan tersebut berarti menolak nash-nash yang qathi tsubut (pasti sumbernya
dari Rasulullah) dan qathi dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kita untuk
terikat dengan hukum-hukum syara dan menyumberkan hukum-hukum syara itu
dari al wahyu semata, bukan yang lainnya. 13[13] Sumber hukum dalam Islam adalah
wahyu, bukan kenyataan masyarakat. Allah SWT berfirman :
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (daripadanya). (QS Al Araaf :3)
PERAN HMI DALAM MENYIKAPI KEBIJAKAN NASIONAL

12
13

Usman Hamid (2012) menyebut Indonesia saat ini sudah selayaknya diberi nama
Indonesia pasca-Reformasi. Impian impian Reformasi 1998 sudah berakhir. Periode
perubahan rezim sudah berlalu dan menghasilkan banyak perubahan: kebebasan sipilpolitik yang meluas, luruhnya supremasi militer, dan bangkitnya politik sipil melalui
sistem multipartai. Perubahan rezim kekuasaan dilaksanakan melalui jalan damai
yang terencana dan dilaksanakan secara berkala. Indonesia telah berada di jalur
konsolidasi demokrasipun sering dipuji sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia dan negara muslim demokratis terbesar di dunia. Namun posisi itu bukan
jaminan bahwa bangsa Indonesia akan sampai pada cita-cita bersama. Menurut
Robert Dahl (1998) tantangan terbesar menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah
masalah pembagian sumber daya politik yang tidak merata.
Kader-kader

HMI

dituntut

untuk

memiliki

pendidikan

setinggi-tingginya,

berwawasan luas, berpikir rasional, kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab
atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI
tidak hanya sekedar "tidur" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI
bersama rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus
senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam dalam
segenap praktek berorganisasinya
Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa
dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa,
komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi
Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan
kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan
yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan
gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan
sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya.
Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang
demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader
dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas,

kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang


tanggguh.
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia
tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang
terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak
pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan
kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun
HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan
eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan
kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakanperjuangan di HMI.
Salah satu upaya HMI dalam pemberdayaan umat Islam khususnya dan bangsa pada
umumnya dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial ekonomi dan politik
dilakukan HMI pada waktu pembukaan kongres ke-20 di istana Negara Jakarta, 21
Januari 1995. Pada acara pembukaan Kongres tersebut M.Zahya Zaini Ketua Umum
PB HMI menyampaikan pidatonya di hadapan tamu undangan termasuk Presiden
Soeharto, pada intinya Yahya Zaini mengatakan:
1.

Harus adanya keseimbangan antaran pembangunan dan politik, perkembangan

mengesankan dibidang ekonomi kurang di ikuti oleh bidang politik. Bukan kita ingin
menyatakn bahwa kehidupan politik itu tidak berubah. Bidang politik selama orde
baru justru memperlihatkan kemampuannya untuk secara nyata berhasil menciptakan
stabilitas sehingga memungkinkan kita untuk hidup secara damai dan terus dapat
membangun.
2.

Dalam persepektif pembangunan politik kita, institusi-institusi politik atau

badan-badan demokrasi belum maksimal memainkan fungsi dan perannya. Akibatnya


aspirasi masyrakat masih sering tersumbat. Kondisi inilah yang menuntut pemerintah
dan masyarakat untuk terus menggelindingkan proses demokratisasi dengan bingkaibingkai pancasila. Karena demokrasi bukan untuk demokrasi, demokrasi adalah untuk
melapangkan jalan bagi terwujudnya tujuan nasional.

3.

Dalam menghadapi permasalan yang ada seperti, gejala penyalah gunaan

kekuasaan, kesewenang-wenangan, praktik kolusi dan korupsi adalah cerminan tidak


berfungsinya system nilai yang menjadi control dalam landasan etik dari bekerjanya
satu system. Itulah sebabnya mengapa kita wajib untuk melakukan refleksi Kritis.
Bagi HMI hal tersebut muncul lantaran meminggirnya etika dalam proses
bermasyrakat dan berbangsa kita. etik harus dikembalikan peran sentralnya sebagai
dasar kesadaran gerak dalam dinamika ekonomi, sosial, politik maupun budaya.
Donny Sofyan dalan artikelnya yang berjudul Perkembangan Gerakan-Organisasi
Mahasiswa, Agenda ke Depan dan Parameter Ukuran Keberhasilan memberikan
sebuah brainstorming, dan mencoba menyumbangkan sedikit gagasannya.
Pertama, sebagai faktor perekat bangsa guna mencegah kecenderungan disintegrasi
dengan bekal moral force yang dimilikinya. Sebagai anasir fundamental dalam
meneguhkan integritas bangsa. Dengan mengadopsi gagasan Dr. Marwah Daud
Ibrahim, upaya ini dapat ditempuh dengan konsep SAKTI: Sinerji, bahwa tiap-tiap
penggerak perubahan mesti merasa bahwa apa yang dilakukannya akan berlipat
ganda hasilnya karena adanya integrasi dengan pihak lain; Akumulasi, bahwa
betapapun kecilnya gerakan harus dihargai sebagai proses penyempurnaan perubahan
itu sendiri; Konvergensi, bahwa meskipun berangkat pada muara yang berbeda tapi
tetap bergerak menuju tujuan yang sama yaitu perubahan; Totalitas, bahwa sasaran
gerakan hendaklah multidimensional; dan Inklusivitas, yakni adanya keinginan untuk
melihat bahwa inisiator gerakan sebagai bagian dari kita, terlepas dari manapun
oasisnya.
Kedua, membangun basis dan tradisi intektualitas. Perubahan dan rekayasa sosial
(social engineering) mustahil tegak tanpa kokohnya basis dan tradisi intelektualitas.
Ketika mahasiswa mengembangkan pemikirannya mereka tidak lantas merebut
kavling dosen mereka. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah bahwa dosen
semakin tidak berani menembus frontier (tapal batas) cara berpikirnya sendiri ketika
otak semakin dijejali oleh banyak pengetahuan dan teori serta banyaknya
kepentingan-kepentingan pribadi yang harus diamankan. Dosen cenderung menjadi

peragu. Ditambah lagi kebiasaan berpikir disipliner yang dengan ketat membatasi
bidang persoalan dan perhatiannya. Kecuali jika ia adalah sejatinya intelektual dan
atau pernah menjadi mahasiswa aktivis. Ada baiknya kita kaji lebih dalam uraian Jalal
menyangkut definisi intelektual:
Bila kita tarik benang merah definisi-definisi di atas maka seorang ilmuan yang tidak
pernah menarik perhatian kepada perkembangan masyarakatnya; hanya sibuk dengan
tugasnya di kampus sebagai pengajar, peneliti dan petugas administratif; tidak
terpanggil untuk menyebarkan dan menenangkan nilai-nilai luhur dalam setiap napas
kampus; tidak tergerak mengadakan perubahan dalam kemandegan dalam tradisi
intelektual masyarakat kampusnya; mereka yang hanya menjejali mahasiswanya
dengan teori-teori yang positivistik, bebas nilai (free values) dan tak pernah
memberikan catatan-catatan kaki terhadap pengetahuan yang tidak manusiawi dan
jahat semisal kapitalisme dan developmentalisme; tidak pantas disebut sebagai
intelektual. Karena itulah dosen tidak pernah menjadi kekuatan pendobrak (revolver)
bila dibandingkan dengan mahasiswa yang seringkali mereka lecehkan di ruang
kuliah.
Ketiga, memperluas wawasan makro menyangkut pelbagai persolan inti kenegaraan.
Ini dapat dilakukan dengan memperluas pengetahuan teoritis kalangan gerakan
mahasiswa dalam bidang ekonomi, bisnis, politik, dan keamanan. Tapi, pengetahuan
teoritis ini harus disempurnakan dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang
tersebut, baik melalui sumber primer, seperti pelaku langsung, atau sumber sekunder,
semisal media massa. Ini mengharuskan kalangan gerakan mahasiswa memiliki
jaringan informasi dan komunikasi yang luas, mengharuskan mereka membaca lebih
banyak, dan bergaul lebih luas.
Keempat, meningkatkan lebih lanjut keterlibatan bukan hanya dalam dunia politikkeamanan, tapi juga keagamaan, ekonomi, atau pendidikan. Keterlibatan ini dapat
dilakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah untuk pengambil
keputusan atau perumus kebijakan publik lewat lembaga think tank, maupun sebagai
pelaku langsung. Jadi tidak sekadar monolitik, yang selama ini kerap menjadi mascot

gerakan mahasiswa, termasuk gerakan mahasiswa sendiri. Kita tidak mendengar,


misalnya, mahasiswa berdemonstrasi karena perpustakaan-perpustakaan kampus
mereka yang kekurangan buku, atau karena kualitas para pengajarnya yang buruk.
Calon-calon intelektual itu tidak pernah merasa gundah dengan peringkat pendidikan
kita yang dari tahun ke tahunmenurut beberapa survei internasionalterus
terperosok ke bawah.
Kelima, meningkatkan kemampuan gerakan mahasiswa dalam mempengaruhi pihak
lain. Dunia politik praktis adalah dunia jaringan, kerja sama, aliansi, dan koalisi.
Jangan pernah membayangkan bahwa gerakan mahasiswa bakal mengelola dan
melakukan apapun sendiri. gerakan mahasiswa hanya menjadi bagian dari sebuah
koalisi besar dalam melakukan mega proyek perubahan. Jadi, yang perlu dilakukan ke
depan adalah mengembangkan kemampuan mempengaruhi pihak lain, memperkuat
jaringan lobi ke kalangan politisi, pengusaha, media massa, dan militer, serta
membangun akses yang kuat ke para pengambil keputusan dan penentu kebijakan.
Keenam, memperbanyak figur publik ke dalam berbagai bidang. Para peminat,
pengamat, atau aktor dalam berbagai bidang harus dimunculkan. Artinya, harus ada
spesialisasi di kalangan gerakan mahasiswa. Sejumlah orang yang mempunyai
kelebihan intelektual yang lebih besar dapat diplot menjadi generalis yang bisa
terlibat secara ilmiah dalam banyak bidang. Tapi, sebagian besar anggota gerakan
mahasiswa punya satu spesialisasi yang dengan itu mereka dikenal masyarakat.
Dalam pasal 9 AD ART HMI tentang peran HMI secara jelas disebutkan bahwa HMI
bereperan sebagai organisasi perjuangan. Dalam konteks ini, HMI sekarang harus
berupaya keras merebut kembali tradisi intelektual yang pernah dimilikinya pada era
1960-an hingga awal 1970-an. Prinsip kembali ke kampus (back to campus) harus
dipupuk melalui berbagai format aktivitas kemahasiswaan. Dalam hal ini orientasi
kualitas harus dikedepankan daripada kuantitas.
Ciri gerakan intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilainilai kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas
perbedaan pendapat. Sehingga atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di tanah air

tercinta ini, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan


keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual
community). Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual ini setidaknya juga tertuang
dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan
kader (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.
Secara ideal mestinya setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk
menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negara. Celakanya, sumber
daya politik yang tersumbat di kalangan elit membuat demokrasi tak bisa memenuhi
janji sebagai sistem sosial di mana rakyat (demos) adalah pemegang daulat (kratos)
yang sebenarnya. Demokrasi kita belakangan malah ditengarai kental bercorak elitis,
memisahkan para pelaku dan pegiat demokrasi berdasar peran fungsional, bukan
substansial.
Keganjilan praktek demokrasi kita ditandai dengan munculnya oligarki yang melulu
melayani kepentingan segelintir elite di atas prioritas kebutuhan rakyat. Kinerja
lembaga-lembaga demokrasi yang semakin rendah sejalan dan sebangun dengan
merosotnya harapan rakyat terhadap prosedur demokrasi, menjurus ketidakpercayaan
seperti terlihat pada peningkatan jumlah golput dalam banyak pilkada.
Jika tak ada kesungguhan melakukan introspeksi dan beranjak menuju penguatan
kelembagaan demokrasi, bukan tidak mungkin cita-cita konsolidasi demokrasi
menuju kesejahteraan rakyat ke depan hanya hidup di angan-angan. Salah satu simpul
kritis dalam tahapan konsolidasi demokrasi adalah tampilnya kelas pembaharu yang
berperan sebagai pendorong dan pengawal demokratisasi. Demokrasi harus diukur
secara substantif dan tak sebatas aspek prosedural seperti pemilihan umum.
Tanpa kehadiran kelas pembaharu, proses demokratisasi hanya akan menghasilkan
demokrasi yang berjalan tanpa sukma keadilan. Konsolidasi demokrasi melalui
penguatan kelembagaan demokratis dan pembagian sumber daya politik rakyat
melalui kerja-kerja emansipasi adalah medan perjuangan HMI yang mendesak untuk

dilaksanakan. Karena itu inilah saatnya mobilitas HMI dikembalikan ke tengahtengah rakyat.
Kehendak untuk mendorong keluarga besar HMI ke tampuk kekuasaan, harus
diimbangi dengan rasionalisasi mengapa kekuasaan itu perlu diperjuangkan, yaitu
keberpihakan pada perbaikan nasib rakyat kebanyakan. Dalam hal ini HMI dapat
bekerja memperkuat masyarakat madani (civil society) sebagai pengimbang
kekuasaan negara dan pasar. Turunannya adalah upaya meningkatkan kapasitas
warga, sehingga mampu berdaya dalam mobilitas ekonomi-politik. Dengan mengisi
ruang kosong dalam sistem demokrasi, tentunya peran HMI semakin menemukan
relevansinya dengan keinginan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Selaras dengan
ini, HMI akan tetap hidup dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika
secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada aktivitas perkaderan yang
ditujukan kepada lahirnya kelas pembaharu yang mempunyai kedalaman akademikintelektual, kemahiran komunikasi sosial, keterampilan teknokratis, serta komitmen
sosial-politik yang memadai.

BAB III
PENUTUP
A.

KESIMPULAN

HMI merupakan sebuah organisasi perjuangan yang telah lama hadir di Indonesia
dalam menciptakan kader-kader sebagai leader di bangsa ini, HMI telah ikut berperan
aktiv dalam kancah perpolitikan dan dimensi ruang social di bangsa yang telah
merdeka 66 tahun silam.
Tidak dapat dipungkiri setelah berdirinya HMI di tahun 1947, HMI langsung
memberi kontribusinya untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa ini,
yang saat itu sedang mengalami degradasi moral setelah dijajah ratusan tahun oleh

bangsa luar. Ini juga dikarenakan alasan atau penyebab Lefran Pane menagmabil
inisiatif untuk mendekalrasikan HMI.
Tidak mudah bagi HMI saat itu untuk mengambil peran dalam mempertahan NKRI
dikarenakan tekanan-tekanan yang datang dari luar, bahkan banyak kader-kader HMI
disaat itu dibunuh dan dimarginalkan oleh oknum-oknum yang bertentangan dengan
HMI, terutama disebabkan oleh perbedaan ideologi. Namun semangat kader-kader
HMI di saat itu tidak mudah luntur oleh ancaman dan tekanan, mereka terus mampu
menunjukan eksistensinya dalam mengisi kemerdekaan dan member andil dalam
membangun sebuah peradaban yang islami dan mampu membendung arus komunis
yang saat sedang berkembang pesat di tanah air ini.

Anda mungkin juga menyukai