Gerak HMI
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa karena senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita masih dapat
merasakan nikmat iman, menjalani aktivitas sehari-hari, dan beribadah untuk
mencapai ridho-Nya. Shalawat serta salam tidak lupa juga kita haturkan kepada
Baginda kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita semua dari zaman
kegelapan menuju zaman terang benderang.
Sebuah kebanggaan dan rasa syukur tersendiri bagi penulis yang telah
menyelesaikan makalah ini guna menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai
persyaratan untuk mengikuti Intermediate Training (LK II) tingkat nasional yang
dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Cianjur. Adapun pada
makalah ini penulis memberikan judul Meninjau Ulang Sejarah HMI Sebagai Upaya
Harmonisasi Gerak HMI.
Rasanya tidak akan mungkin penyusunan makalah ini berjalan sampai selesai
jika tidak ada orang-orang yang memberikan semangat kepada penulis. Maka, penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para kader HMI Komisariat
Fakultas Sains dan Teknologi Cabang Ciputat yang selalu memberikan dukungan
moril, materil, maupun kritik-kritik yang membangun. Penulis juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada kanda-yunda Alumni HMI (KAHMI) yang telah
membimbing penulis tanpa mengeluh.
Makalah ini, walau bagaimanapun adalah hasil kerja penulis yang seorang
manusia biasa karena penulis merasa masih banyak terdapat kekurangan dalam isi
makalah ini. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya saran dan kritik untuk
menjadi koreksi penulis. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan
cakrawala baru bagi para pembaca. Akhir kata, semoga semua doa dan harapan kita
dapat dikabulkan oleh Allah SWT dan menjadi pelecut semangat kita untuk menjadi
manusia yang lebih baik ke depannya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Billahi taufiq wal hidayah
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perjalanan panjang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi organisasi
mahasiswa Islam terbesar tidak serta-merta dicapai dengan mudah. Pergolakan
demi pergolakan dan pertarungan demi pertarungan harus dilewati HMI untuk
menjaga eksistensi dan martabatnya. Pengorbanan yang bersifat fisik pada masa
Perang Kemerdekaan bahkan harus dilakukan demi dua tujuan awal berdirinya
HMI saat itu. Namun demikian, kader-kader HMI tidak mengeluh dan berputus
asa karena justru dengan itulah mereka ditempa untuk menjadi lebih kuat lagi.
Perjalanan panjang itu kini sudah memasuki usia yang ke-69 tahun. Jika
HMI adalah seorang manusia, maka secara fisik ia tidak bisa lagi dikatakan
muda. Namun, seseorang yang sudah tidak muda belum tentu tidak berjiwa
muda. Berjiwa muda yang dimaksudkan di sini adalah masih memiliki
semangat juang tinggi dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai
persoalan kehidupan. Begitupun dengan HMI saat ini.
Dengan melihat sejarah HMI yang besar dan berliku-liku, maka sudah
sepatutnya para kader sebagai tulang punggung organisasi merefleksikan
sejarah tersebut dan mengambil hikmah atasnya. Hal ini bukan berarti harus
terlena dengan romantisme sejarah, walaupun memang benar HMI adalah salah
satu pionir gerakan mahasiswa saat itu. Namun, itu tidak akan berarti apa-apa
jika tidak ada aksi-aksi lebih lanjut yang meneruskan perjuangan itu. Dengan
mengambil hikmah atas pengalaman masa lalu dan adanya sikap saling koreksi,
maka HMI akan selalu berada pada jalur yang jelas dan terarah. Hanya dengan
itulah HMI akan menapaki tingkat demi tingkat dalam mencapai kebenaran
yang lebih tinggi.
Persoalan-persoalan yang dihadapi HMI tentu berbeda, tergantung pada
zamannya. Jika dahulu HMI harus menghadapi serangan Belanda dan PKI
sekaligus, maka hari ini serangan itu tidak berbentuk fisik. Hari ini HMI
dihadapkan pada persoalan yang cukup kompleks. HMI di samping harus
konsisten dengan tujuannya dalam pasal 4 Anggaran Dasar juga harus
beradaptasi dengan arus globalisasi. Para kader dituntut untuk menjadi
profesional dalam bidangnya masing-masing tanpa meninggalkan identitasnya.
Ketika kita berbicara HMI dulu dan masa datang, maka kita tidak akan
terlepas dengan sejarah berdirinya HMI. Seorang mahasiswa, Lafran Pane,
mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1947 bersama
rekan-rekan perjuangannya. Mereka mendirikan HMI, antara lain karena ingin
belajar tentang keislaman. Keberadaannya terus tumbuh dan berkembang di
basis-basis perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga menghasilkan kader-kader yang berkualitas seperti, Nurcholis Madjid,
Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader
terbaik lainnya. Oleh karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya
menawarkan pengajaran Islam secara khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin
memberikan pencerahan intelektual politik serta pemberdayaan potensi kader
secara menyeluruh.
Harapan Organisasi HMI dideklarasikan (antara lain) sebagai organisasi
mahasiswa yang independen, kader Umat dan Bangsa, dan tidak menjadi
underbouw sebuah partai politik, termasuk partai politik Islam. Wajar jika
Jenderal (Besar) Sudirman saat itu menyambut HMI sebagai Harapan
Masyarakat Indonesia karena dalam HMI berkumpul orang terpelajar, yang
tentunya diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada
B. Rumusan Masalah
Dinamika gerakan mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memang
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perannya sebagai gerakan pembaharuan. Sifat,
bentuk dan problematika yang dihadapinya sangat bercorak. Tentunya dengan ciri
khas tersendiri HMI menanggapi problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam
menjawab tantangan zaman serta sebagai pionir harmonisasi secara keseluruhan.
Oleh karena itu permasalahan rumusan masalah yang ingin penulis kaji adalah
berkaitan dengan:
1. Peran HMI di Indonesia
2. Perjuangan HMI di Indonesia
3. HMI Solusi Kesej
Seperti telah disinggung di atas, bahwasanya HMI tidak bisa pisah dari dari
perannya begitu saja, dengan kekuatan retorika yang dimainkan dan menjawab
problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam menjawab tantangan zaman yang
maju. Oleh karena itu, kajian ini untuk melihat dinamika seajarah gerakan dan peran
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sangat perlu di kaji.
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisa dan mengungkap serta mininjau
ulang sejarah HMI sebagai upaya harmonisasi gerak HMI, penulisan ingin mencoba
merealisasikan peran HMI dalam Kemajuan Islam di Indonesia dan mengungkap
dinamika dalam beragama dan berbangsa sehingga dapat direspon untuk mahasiswa
atau masyarakat dan mempraktekkannya serta menjaga perdamaian Indonesia dalam
garis Ke-Islaman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran HMI Di Indonesia
Karakteristik khas pola gerakan HMI sejak awal berdirinya adalah tidak
memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI adalah
suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI haruslah
dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI Lafran Pane, bahwa
bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu merupakan watak
asli HMI semenjak lahir.1[1] Namun hal itu bukan berarti HMI menjadi organisasi
politik, sebab HMI lahir sebagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, yang
menjadikan nila-nilai Islam sebagai landasan teologisnya, kampus sebagai wahana
aktivitasnya, mahasiswa Islam sebagai anggotanya. Background kampus dan
idealisme mahasiswa merupakan faktor penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif
dalam merespon problematika yang dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI
tetap memainkan peran politiknya dalam kancah bangsa ini. Selain itu, argumentasi
lain dikemukakan oleh Rusli karim2[2] dalam tulisannya;
1
2
dalam
aktivitas
politiknya
ini,
munculnya
kecenderungan
sikap
akomodatif3[3] dan kompromis dengan kekuatan kepentingan tertentu, dalam hal ini
penguasa. Sikap politik HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika
yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap politik
HMI dengan konsisi sosial politik yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua
faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu;
Faktor internal, faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang
dipahami HMI dan kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya
Faktor eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam
dengan ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa
dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak
kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan
ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur
yang diridhai Allah SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu,
pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh kondisi sosio-aspiratif umat
Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan
3
jaman, maka pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan
kondisi sosio - aspiratif umat Islam
1. Partisipasi Politik HMI periode 1947 - 1960
Rumusan pemikiran politik HMI sudah ditegaskan secara jelas sejak kelahiran
HMI pada 05 Februari 1947 di Yogyakarta, yaitu dalam rumusan tujuan awal
berdirinya HMI. Dalam tujuan awal pembentukan HMI disebutkan;
Mempertahankan Kemerdekaan Negara Republlik Indonesia dan mempertinggi
derajat rakyat Indonesia
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam4[4]
Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua
fungsi dan perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan, yang
dimanifestasikan dalam bentuk gerakan politik. Perjuangan penegakan ajaran Islam
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia mustahil terwujud bila HMI tidak
berpolitik. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan oleh
Eggi Sudjana5[5] dalam tulisannya; Kedua anak kalimat tersebut mengandung dua
makna tentang peranan HMI sejak kehadirannya di Indonesia. Makna strategis, yaitu
bahwa Islam adalah agama dakwah yang harus disampaikan pada seluruh umat
manusia. Merujuk pada makna ini, tentu dakwah tidak akan berjalan lancar tanpa
adanya stabilitas politik serta keteraturan wilayah. Untuk itu langkah yang amat
strategis bagi realisasi dakwah islamiah adalah melalui perjuangan pertahanan
Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dan bebas dari penjajahan. sedangkan
makna sosiologis adalah bahwa mahasiswa muslim yang mencintai, memiliki dan
memihak serta memaknai keberlangsungan eksistensi negara Indonesia dengan spirit
4
5
atau ruhul Islam, pada gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat muslim
yang tipikal keIndonesiaan.6[6]
Walaupun pola gerakannya tidak bisa dipisahkan dari politik, bukan berarti
HMI terlibat secara aktif dalam politik praktis atau bahkan berafiliasi dengan partai
politik. Kesalahan memahami pola gerakan HMI ini terjadi pada masa ini (Orla),
dimana HMI dianggap anak kandung (underbow) partai Masyumi, padahal HMI
dengan independensinya tidak terikat secara formal (organisatoris) dengan partai
politik manapun. Kedekatan dengan partai politik atau ormas hanyalah karena HMI
memiliki persamaan aspirasi keIslaman dan semangat modernis dengan organisasi
tersebut. Inilah yang dimaknai oleh HMI sebagai independensi etis.7[7]
2. Perjuangan HMI Masa Orde Lama Dan Orde Baru
HMI Masa Orde Lama
HMI pada Orde Lama berasaskan Islam, namun tidak berencana mendirikan
negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh HMI, Dahlan Ranuwihardjo (ketua umum PB
HMI 1951-1953) pernah berdebat dan mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk
menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau NKRI. Sikap intelektual
HMI ini bersifat independen.
Menjelang pemilu 1955 gerakan mahasiswa terbagi menjadi kiri (isu utama
anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme) dan kanan (isu anti-komunis & anti
kediktatoran). Gerakan kiri misalnya GMNI dan CGMI yang berafiliasi dengan PNI
dan PKI, sedangkan gerakan kanan misalnya HMI yang diindikasikan berafiliasi
dengan Masyumi. Menjelang demokrasi terpimpin, bandul kekuasaan di bawah
Soekarno semakin di sebelah kiri sehingga kelompok mahasiswa kanan mengalami
kekalahan. Padahal, sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa
mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan.
6
7
pemerintahan nyaris tidak ada. Dan kegiatan yang dilaksanakan DIPO cenderung
normatif, seakan menjauh dari idealisme seperti pada 20 tahun awal berdirinya.
HMI-MPO adalah sempalan HMI yang dianggap ilegal oleh pemerintah. Di
masa Orba, organisasi ini ditekan dan dianggap sebagai "organisasi terlarang".
Sekretariatnya terus dipantau oleh intelejen, kegiatannya direpresi, pendapatnya
dipendam secara paksa. Dalam kasus ini, cukup sulit untuk mengatakan sejauh mana
peranan HMI-MPO pada masa Orba. Kegiatan mereka berkisar di masalah dakwah
secara sembunyi-sembunyi di mushala-mushala kampus dan kampung yang menjadi
konsentrasi pondokan mahasiswa. Yang mereka lakukan selama itu adalah
membangun opini internal turun temurun mengenai kebobrokan orde baru. Selain itu
juga ada fungsi regenerasi dengan menanamkan semangat dan cita-cita HMI pada
saat awal didirikan, garis perjuangan organisasi, dan lain sebagainya. Bisa
disimpulkan, dari kegiatan HMI-MPO di masa orde baru terdapat usaha untuk
mempertahankan idealisme dan semangat organisasi ditengah paksaan untuk
mengakui asas tunggal Pancasila dan represifitas sebagai akibat pembangkangan
mereka. Mereka tidak melakukan kegiatan yang menonjol bukan karena mereka tidak
mau, tetapi karena mereka tidak memiliki sumber daya dan kesempatan untuk
melakukan hal itu. Bergerak sedikit saja, bisa-bisa salah satu aktivis mereka hilang
tak jelas keberadaannya. Ini yang diwaspadai untuk menghindari pembubaran secara
paksa oleh pemerintah.
B. Perjuangan HMI di Indonesia
1. Kondisi Islam Di Negara Indonesia Sebelum Terbentuknya HMI
Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan suatu organisasi yang
bernafaskan Islam dan bersifat independen atau bebas dan merdeka tidak tergantung
dan memihak dengan kelompok atau golongan tertentu. HMI telah berdiri sejak 5
februari 1947 dan sampai sekarang organisasi ini masih berkiprah dan terus
berkembang ke berbagai Universitas yang dimana suatu Universitas tersebut terdapat
mahasiswa Islam maka di Universitas tersebut terdapat organisasi HMI ini, organisasi
ini sangatlah luas seiring dengan banyaknya Perguruan Tinggi baik negeri maupun
swasta yang ada di Indonesia. Organisasi ini merupakan suatu organisasi pengkaderan
dimana bertujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan
Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah SWT.
Secara garis besar sebelum terbentukya organisasi ini, terjadinya kemunduran
umat Islam pada waktu itu baik dari segi pemikiran dll, di Indonesia, dan hal itulah
yang membuat organisasi HMI ini terbentuk yang diprakarsai oleh Lafran Pane, ia
seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam
Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun dan
untuk melakukan suatu gerakan pembaharuan ketika itu. Seiring dengan berjalannya
waktu dimulai sebelum terbentuknya HMI sampai era reformasi sekarang, HMI telah
melewati banyak fase atau tahap dalam perkembangannya seperti di jelaskan di atas
sehingga kini HMI tetap dan terus menjalankan syariat organisasinya yang nasionalis
dan tetap bernuansa Islam, sehingga kader-kader HMI sekarang menjadi seorang
muslim yang nasionalis, berintelektual yang sekaligus menjunjung tinggi asas-asas
keIslaman di Indonesia agar membuat Negara ini bangkit dan terus maju dalam
pembangunan baik dalam segala aspek manapun, dan untuk menunjukkan kepada
Negara luar khususnya Negara non-muslim bahwa Indonesia sebagai Negara dengan
umat muslim terbanyak di dunia bisa membuat rakyat dan negaranya maju dalam
segala bidang dan tetap menjunjung tinggi asas-asas keislaman.
Sebagai Mahasiswa atau kaum intelektual di masa sekarang, dengan sifat
keindependen dari HMI ini kita harus selalu dituntut untuk mengambil sikap berani,
kritis, adil, jujur dan selalu berpikir obyektif dan rasional. Dengan sifat independen
inilah Mahasiswa harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar
keyakinan dan kebenaran, maka kader-kader HMI haruslah berkualitas karena itu
merupakan suatu modal untuk meningkatkan mutu dari kader HMI sehingga mampu
berperan aktif pada masa sekarang dan mendatang. Dengan mengetahui sejarah
terbentuknya organisasi ini pada masa lalu, kita dapat mengetahui semangat juang
HMI. Merupakan sebuah tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan pencipta
dan para pendahulu di HMI agar selalu terciptanya hari esok yang lebih baik. Tidak
jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia saat itu, umat Islam berada dalam
cengkaraman nekolim barat. Penjajah memperlakukan umat Islam sebagai
masyarakat kelas bawah dan diperlakukan tidak adil, serta hanya menguntungkan
kelompok mereka sendiri atau rakyat yang sudah seideologi dengan mereka.
Umat Islam Indonesia hanya mementingkan kehidupan akhirat, dengan
penonjolan simbolisasi Islam dalam ubudiyah, sebagai upaya kompensasi atas
ketidakberdayaan untuk melawan nekolim, sehingga pemahaman umat tidak secara
benar dan kaffah. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pintu ijtihad
telah ditutup, hal ini menyebabkan umat hidup dalam suasana taqlid dan jumud.
Selain itu umat Islam Indonesia berada dalam perpecahan berbagai macam
aliran/firqah dan masing-masing golongan melakukan truth claim, hal ini
menyebabkan umat Islam Indonesia tidak kuat akibat kurang persatuan di kalangan
umat Islam di Indonesia.
2. Kondisi Perguruan Tinggi Dan Mahasiswa Islam
Perguruan tinggi adalah tempat untuk menuntut ilmu yang akan menghasilkan
para pemimpin untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Selain itu
perguruan tinggi adalah motor penggerak perubahan, dan perubahan tersebut
diharapkan menuju sesuatu yang lebih baik. Begitu pentingnya perguruan tinggi,
maka banyak golongan yang ingin menguasainya demi untuk kepentingan golongan
tersebut.
Sejalan dengan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
tersebut, ada beberapa faktor dominan yang menguasai dan mewarnai perguruan
tinggi dan dunia kemahasiswaan, antara lain sistem yang diterapkan khususnya di
perguruan tinggi adalah sistem pendidikan barat yang mengarah pada sekularisme
dan dapat menyebabkan dangkalnya agama atau aqidah dalam kehidupan. Selain itu
melakukan
pembaharuan
dalam
Islam,
maka
pengetahuan,
mengembangkan ajaran Islam pun harus dipelajari kondisi sosial budaya agar tidak
terjadi benturan kultur.
Masyarakat muslim Indonesia yang hanya memahami ajaran Islam sebatas
ritual harus diubah pemahamannya dan keadaan sosial budaya yang telah mengakar
ini tidak dapat diubah serta merta, tetapi melalui proses panjang dan bertahap.
6. Komitmen Ke-Islaman Dan Ke-Bangsaan Sebagai Dasar Perjuangan HMI
Dari awal terbentuknya HMI telah ada komitmen keumatan dan kebangsaan
yang bersatu secara integral sebagai dasar perjuangan HMI yang dirumuskan dalam
tujuan HMI yaitu:
Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia yang didalamnya terkandung wawasan atau pemikiran kebangsaan atau keIndonesiaan
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam yang didalamnya terkandung
pemikiran ke-Islaman
Komitmen tersebut menjadi dasar perjuangan HMI didalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata perjuangan HMI
dalam komitmen keumatan dan kebangsaan adalah melakukan proses perkaderan
yang ingin menciptakan kader berkualitas insan cita yang mampu menjadi pemimpin
yang amanah untuk membawa bangsa Indonesia mencapai asanya. Komitmen
keislaman dan kebangsaan sebagai dasar perjuangan masih melekat dalam gerakan
HMI. Kedua komitmen ini secara jelas tersurat dalam rumusan tujuan HMI (hasil
Kongres IX HMI di Malang tahun 1969) sampai sekarang,
Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah
SWT.
Namun kedua komitmen itu tidak dilakukan secara institusional, melainkan
dampak dari proses pembentukan kader yang dilakukan oleh HMI.
yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun akhirakhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan
struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja.
PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja
tersebut.
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan
kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari
kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan
konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru. Mereka
juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena orientasi hidup mereka
dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh
dipegangi dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki
pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah
keagamaan dan kehidupan social. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah
sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.
Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada,
telah membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial,
termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama
saat ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena
ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran
agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan tafsir
ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai keakar-akarnya yaitu
dimensi teologis.
Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan
bermuara pada satu titik yang sama yakni Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang
berbeda merupakan suatu bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung
makna kebenarannya sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang
dikehendaki Tuhan. Yang terpenting bagi agama saat ini adalah harus membawa
kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.
Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan
mengenai kritik wacana agama. Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem
kultur dan ideologi. Titik perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau cara-cara
berpikir yang secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara sadar
maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi pembaharuan
dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish Madjid, Dawam
Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid.
Makna ISLAM
menganut dan
menerapkan ideologi
Kapitalisme, serta menjadi agen-agen yang setia bagi negara-negara penjajah yang
kafir. Ini semua tantangan zaman
Setiap tantangan, pasti butuh jawaban dan penyelesaian. Dalam hal ini, Islam
sebagai ideologi sempurna secara potensial menyediakan jawaban-jawaban bagi
segala masalah atau persoalan yang timbul di tengah manusia. 9[9] menguraikan
secara ringkas metode (thariqah) Islam untuk memecahkan masalah, yaitu memahami
fakta persoalan sebagaimana adanya, lalu memberikan solusi padanya. Solusi ini bisa
berupa Syariat Islam bila persoalannya berkaitan dengan hukum-hukum syara, dan
bisa pula berupa cara (uslub) dan sarana (wasilah) tertentu jika persoalan yang
dihadapi tidak secara langsung berhubungan dengan hukum syara, misalnya teknik
dalam pertanian, kedokteran, kesehatan, dan sebagainya. 10[10] Taqiyyuddin An
Nabhani menjelaskan metode Islam yang harus ditempuh para mujtahidin untuk
memecahkan persoalan. Pertama, mempelajari dan memahami problem yang ada
(fahmul musykilah). Kedua, mengkaji nash-nash syara yang bertalian dengan
9
10
problem tersebut (dirasatun nushush). Ketiga, mengistinbath hukum syara dari dalildalil syara untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Metode itulah yang dapat kita gunakan untuk menjawab setiap tantangan
zaman. Secara ringkas, Islam menjawab tantangan zaman dengan cara memberikan
pemecahan terhadap problem-problem baru yang muncul. Inilah pengertian yang
benar mengenai bagaimana Islam menjawab tantangan zaman yang terjadi. Dengan
demikian, jelas tidak betul pendapat yang mengatakan bahwa dalam menjawab
tantangan zaman. Islam menempuhnya dengan cara beradaptasi, menyesuaikan diri,
atau mengubah hukum-hukumnya agar selaras dengan tuntutan keadaan. Dalihnya,
Islam itu luwes, fleksibel, tidak kaku, tidak ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu
bersikap kompromistis dengan realitas. Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan
kaidah ushul fiqih yang fatal kekeliruannya:
Laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman wal makan.
(Tidak boleh diingkari, adanya perubahan hukum karena perubahan waktu dan
tempat)11[11]
Berdasarkan argumen-argumen sesat itu akhirnya mereka membuang hukumhukum Islam yang dianggapnya biadab atau tidak sesuai dengan semangat orang
zaman modern saat ini. Hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi
pezina, haramnya riba, hukuman mati untuk orang murtad, harus dienyahkan dari
muka bumi karena dianggap tidak berperikemanusaan, sudah usang, kuno, dan
ketinggalan zaman. Begitu pula kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban adanya
Khilafah Islamiyah harus ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari
pengertiannya yang hakiki, karena dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis,
fundamentalis, serta tidak cocok dengan selera orang yang telah maju pikirannya.
Pendapat seperti ini, serta pola pikir yang melahirkan pendapat ini, sangat
bertentangan dengan Islam. Karena pola pikir yang dipakai oleh mereka yang
berpendapat seperti itu, adalah pola pikir khas Barat tatkala mereka berbicara tentang
11
persoalan hukum dan kaitannya dengan kenyataan masyarakat yang ada. Hukum,
menurut Barat, haruslah lahir dari masyarakat. Hukum adalah anak kandung, dan
ibunya adalah masyarakat. Dengan kata lain, yang sumber hukum, adalah keadaan
masyarakat itu sendiri. Karenanya, jika keadaan masyarakat berubah, berubah pulalah
segala nilai, norma, dan pranata kehidupan12[12]
Pandangan ini adalah pandangan kufur, yang bertentangan dengan Islam.
Sebab dalam Islam sumber hukum adalah wahyu semata, bukan yang lain. Bukan
kenyataan masyarakat, bukan tuntutan keadaan, bukan semangat kemodernan, bukan
pula hal-hal lain yang sebenarnya merupakan alasan-alasan yang terlalu dicari-cari.
Jika zina dan riba telah haram menurut wahyu, maka sampai Hari Kiamat tetap
haram. Jika hudud wajib dilaksanakan menurut wahyu, maka statusnya tetap wajib
sampai Hari Kiamat. Begitu pula jihad dan Khilafah yang diwajibkan Allah dan
Rasul-Nya, hukumnya tetap wajib dan tidak boleh dianulir atau dibatalkan oleh siapa
pun sampai Hari Kiamat.
Seorang muslim yang meyakini pola pikir itu secara jazim (membenarkannya
dengan pasti), sungguh dia telah murtad dan keluar dari agama Islam. Sebab,
pandangan tersebut berarti menolak nash-nash yang qathi tsubut (pasti sumbernya
dari Rasulullah) dan qathi dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kita untuk
terikat dengan hukum-hukum syara dan menyumberkan hukum-hukum syara itu
dari al wahyu semata, bukan yang lainnya. 13[13] Sumber hukum dalam Islam adalah
wahyu, bukan kenyataan masyarakat. Allah SWT berfirman :
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (daripadanya). (QS Al Araaf :3)
PERAN HMI DALAM MENYIKAPI KEBIJAKAN NASIONAL
12
13
Usman Hamid (2012) menyebut Indonesia saat ini sudah selayaknya diberi nama
Indonesia pasca-Reformasi. Impian impian Reformasi 1998 sudah berakhir. Periode
perubahan rezim sudah berlalu dan menghasilkan banyak perubahan: kebebasan sipilpolitik yang meluas, luruhnya supremasi militer, dan bangkitnya politik sipil melalui
sistem multipartai. Perubahan rezim kekuasaan dilaksanakan melalui jalan damai
yang terencana dan dilaksanakan secara berkala. Indonesia telah berada di jalur
konsolidasi demokrasipun sering dipuji sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia dan negara muslim demokratis terbesar di dunia. Namun posisi itu bukan
jaminan bahwa bangsa Indonesia akan sampai pada cita-cita bersama. Menurut
Robert Dahl (1998) tantangan terbesar menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah
masalah pembagian sumber daya politik yang tidak merata.
Kader-kader
HMI
dituntut
untuk
memiliki
pendidikan
setinggi-tingginya,
berwawasan luas, berpikir rasional, kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab
atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI
tidak hanya sekedar "tidur" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI
bersama rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus
senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam dalam
segenap praktek berorganisasinya
Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa
dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa,
komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi
Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan
kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan
yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan
gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan
sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya.
Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang
demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader
dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas,
mengesankan dibidang ekonomi kurang di ikuti oleh bidang politik. Bukan kita ingin
menyatakn bahwa kehidupan politik itu tidak berubah. Bidang politik selama orde
baru justru memperlihatkan kemampuannya untuk secara nyata berhasil menciptakan
stabilitas sehingga memungkinkan kita untuk hidup secara damai dan terus dapat
membangun.
2.
3.
peragu. Ditambah lagi kebiasaan berpikir disipliner yang dengan ketat membatasi
bidang persoalan dan perhatiannya. Kecuali jika ia adalah sejatinya intelektual dan
atau pernah menjadi mahasiswa aktivis. Ada baiknya kita kaji lebih dalam uraian Jalal
menyangkut definisi intelektual:
Bila kita tarik benang merah definisi-definisi di atas maka seorang ilmuan yang tidak
pernah menarik perhatian kepada perkembangan masyarakatnya; hanya sibuk dengan
tugasnya di kampus sebagai pengajar, peneliti dan petugas administratif; tidak
terpanggil untuk menyebarkan dan menenangkan nilai-nilai luhur dalam setiap napas
kampus; tidak tergerak mengadakan perubahan dalam kemandegan dalam tradisi
intelektual masyarakat kampusnya; mereka yang hanya menjejali mahasiswanya
dengan teori-teori yang positivistik, bebas nilai (free values) dan tak pernah
memberikan catatan-catatan kaki terhadap pengetahuan yang tidak manusiawi dan
jahat semisal kapitalisme dan developmentalisme; tidak pantas disebut sebagai
intelektual. Karena itulah dosen tidak pernah menjadi kekuatan pendobrak (revolver)
bila dibandingkan dengan mahasiswa yang seringkali mereka lecehkan di ruang
kuliah.
Ketiga, memperluas wawasan makro menyangkut pelbagai persolan inti kenegaraan.
Ini dapat dilakukan dengan memperluas pengetahuan teoritis kalangan gerakan
mahasiswa dalam bidang ekonomi, bisnis, politik, dan keamanan. Tapi, pengetahuan
teoritis ini harus disempurnakan dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang
tersebut, baik melalui sumber primer, seperti pelaku langsung, atau sumber sekunder,
semisal media massa. Ini mengharuskan kalangan gerakan mahasiswa memiliki
jaringan informasi dan komunikasi yang luas, mengharuskan mereka membaca lebih
banyak, dan bergaul lebih luas.
Keempat, meningkatkan lebih lanjut keterlibatan bukan hanya dalam dunia politikkeamanan, tapi juga keagamaan, ekonomi, atau pendidikan. Keterlibatan ini dapat
dilakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah untuk pengambil
keputusan atau perumus kebijakan publik lewat lembaga think tank, maupun sebagai
pelaku langsung. Jadi tidak sekadar monolitik, yang selama ini kerap menjadi mascot
dilaksanakan. Karena itu inilah saatnya mobilitas HMI dikembalikan ke tengahtengah rakyat.
Kehendak untuk mendorong keluarga besar HMI ke tampuk kekuasaan, harus
diimbangi dengan rasionalisasi mengapa kekuasaan itu perlu diperjuangkan, yaitu
keberpihakan pada perbaikan nasib rakyat kebanyakan. Dalam hal ini HMI dapat
bekerja memperkuat masyarakat madani (civil society) sebagai pengimbang
kekuasaan negara dan pasar. Turunannya adalah upaya meningkatkan kapasitas
warga, sehingga mampu berdaya dalam mobilitas ekonomi-politik. Dengan mengisi
ruang kosong dalam sistem demokrasi, tentunya peran HMI semakin menemukan
relevansinya dengan keinginan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Selaras dengan
ini, HMI akan tetap hidup dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika
secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada aktivitas perkaderan yang
ditujukan kepada lahirnya kelas pembaharu yang mempunyai kedalaman akademikintelektual, kemahiran komunikasi sosial, keterampilan teknokratis, serta komitmen
sosial-politik yang memadai.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
HMI merupakan sebuah organisasi perjuangan yang telah lama hadir di Indonesia
dalam menciptakan kader-kader sebagai leader di bangsa ini, HMI telah ikut berperan
aktiv dalam kancah perpolitikan dan dimensi ruang social di bangsa yang telah
merdeka 66 tahun silam.
Tidak dapat dipungkiri setelah berdirinya HMI di tahun 1947, HMI langsung
memberi kontribusinya untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa ini,
yang saat itu sedang mengalami degradasi moral setelah dijajah ratusan tahun oleh
bangsa luar. Ini juga dikarenakan alasan atau penyebab Lefran Pane menagmabil
inisiatif untuk mendekalrasikan HMI.
Tidak mudah bagi HMI saat itu untuk mengambil peran dalam mempertahan NKRI
dikarenakan tekanan-tekanan yang datang dari luar, bahkan banyak kader-kader HMI
disaat itu dibunuh dan dimarginalkan oleh oknum-oknum yang bertentangan dengan
HMI, terutama disebabkan oleh perbedaan ideologi. Namun semangat kader-kader
HMI di saat itu tidak mudah luntur oleh ancaman dan tekanan, mereka terus mampu
menunjukan eksistensinya dalam mengisi kemerdekaan dan member andil dalam
membangun sebuah peradaban yang islami dan mampu membendung arus komunis
yang saat sedang berkembang pesat di tanah air ini.