Anda di halaman 1dari 3

Kritik Yes Sopan Santun No!

Kritik agar punya kemurnian. Tetap dilakukan dan mesti tanpa dipengaruhi dimensi sopan-
santun
Kalimat provokatif di atas didasari atas pertimbangan- pertimbangan rasionalitas yang telah
beta renungi beberapa waktu belakangan ini. Agar dapat mudah dipahami, sebaiknya kita
kembali pada sesuatu yang paling mengakar dari kritik dan sopan santun.
Kritik di dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI), berarti kecaman atau tanggapan yang
disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan
sebagainya.
Sedangkan, kritik menurut Martin Suryajaya adalah paradigma orang modern. Dalam kritik
kita menemukan suatu laku destruksi kreatif – menghancurkan objek kritik sekaligus
mengubahnya menjadi baru. Dengan demikian , kritik meniscayakan adanya kebaruan, dan
dalam kebaruan itu kita hendak menemukan pembebasan. Itulah dimensi progresif dari
kritik. (Indoprogres, 2011).
Seharusnya kritik dilihat sebagai sesuatu yang positif , karena pertimbangannya merupakan
upaya meminimalisir kontraprodutif dan membuka jalan selebar-lebarnya bagi produktifitas.
Sementara sopan santun merupakan domain etik. Secara etimologi, ia terbagi menjadi dua
suku kata, yakni, sopan dan santun. Sopan berarti sikap hormat, tertib dan beradab
mengenai kelakuan, tindakan dan perbuatan. Santun adalah tata krama, halus, baik hati,
saling menghormati, saling sayang menyayangi, belas kasih dan suka menolong.
Secara terminologi, sopan santun artinya sikap atau perilaku yang tertib sesuai dengan adat
istiadat atau norma-norma yang berlaku dalam pergaulan antarmanusia setiap hari. Di
antaranya, sikap saling menghormati, bertutur kata baik, bersikap rendah hati, serta suka
menolong (kajian Pustaka, 2022).
Kalau kita coba menganalisis lebih radikal tentang defenisi dari sopan santun, yang kita
temui adalah domain-domain etik tentang pantas atau tidaknya dilakukan oleh manusia. Ini
merupakan rana privat yang hanya bisa disentuh oleh nasehat-nasehat. Pada sopan santun
kita temukan interaksi saling memahami antara subjek dan objek. Berbeda dengan domain
kritik, di sana kita akan menjumpai interaksi yang saling mengoreksi antara subjek-objek.
Term kritik dan sopan santun pada prinsipnya tidak saling mempengaruhi satu sama lain
pada objek kritik. Dalam filsafat, keduanya memiliki klasifikasi masing-masing. Kritik
berinduk pada logika benar-salah, sementara sopan santun berinduk etika tentang baik-
buruk. Meski demikian, di dalam realitas kita menemukan kritik dan sopan santun
disematkan secara serampangan terhadap objek. Alhasil, timbulnya kekaburan yang
menghilangkan makna masing-masing.
Kita semestinya disiplin pada domain ini, sebab kita nyaris selalu terjebak pada sesuatu yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip akademik. Terjebak pada kesadaran palsu yang
membatalkan rasionalitas kita demi mengedepankan prinsip yang irasional.
Kasus ketua komisi IV DPRD Provinsi Maluku, Samson Attapary yang menduga ada
penyalahgunaan anggaran Kwarda Pramuka mencapai Rp 2.5 Miliar. Dugaan itu menyusul
informasi dari pengurus Kwarda Pramuka bahwa tidak ada kegiatan yang menggunakan
anggaran tersebut. Laporan pertanggungjawaban anggaran yang bersumber dari hibah
pemerintah provinsi. Sehingga patut dicurigai, laporan pertanggungjawaban anggaran
kemungkinannya fiktif (tribunambon.com,).
Dugaan di atas harusnya didorong agar lembaga yang memiliki kewenangan segera
mengidentifikasi kebenarannya.
Dari kecurigaan tersebut, respons yang mencuat ke permukaan justru pelaporan kepada
samson oleh sebuah kelompok atas nama pencemaran nama baik. Laporan itu mengandung
dimensi irasionalitas karena pertimbangan- pertimbangan yang feodalistik.
Dia adalah lambang kebesaran kita, ibu kita, ustazah kita, sehingga tidak boleh dijamah
oleh kritik dan kecaman.
Telah kita ketahui bersama, penyalahgunaan anggaran tentunya sangat merugikan negara,
tapi sebagian besar dari kita pun tidak bisa mendukung secara jujur, sebab ada penyematan
unsur sopan-santun di dalamnya. Akhirnya, kita jatuh pada fatalisme yang kontraproduktif.
Kompromi- kompromi sopan santun membuat kita malah mempertontonkan penyimpangan
kekuasaan.
Mengapa kita tidak berdaya dalam menyampaikan kritik tentang suatu kebenaran?
Secara hati-hati beta mempelajari problem yang gagap diurai ini dan menemukan suatu
fakta; bertumpuknya pada problem kultural dan problem filosofis.
Problem kultural misalnya, sebagaimana kultur kita yang masih belum moveon dengan
praktek-praktek feodalistik. Kita masih menganggap bahwa pejabat publik sebagai yang
primus di antara yang pares. Yang primus masih kita percaya bahwa dalam dirinya
bersemayam gen kebesaran yang memiliki unsur-unsur transendental. Artinya kita masih
menganggap bahwa pejabat publik sebagai yang diutus oleh tuhan atau penjelmaan roh
leluhur sebagai perwakilannya di muka bumi sehingga bebas dari kesalahan. Padahal karena
dia sebagai yang primus (pertama) di antara yang pares (setara). Keistimewaan sebagai
primus mesti mendapat porsi kritik yang juga istimewa. Tangan pejabat publik yang darinya
kebijakan lahir memiliki efek besar terhadap baik- buruknya suatu masyarakat.
Persoalan efek ini lah kritik terhadap kealpaan kekuasaan mesti juga sepadan.
Sementara problem filosofis menunjukkan ketidakmampuan kita dalam mengidentifikasi
objek yang dikritik.
Menurut filsuf politik, Hanna Arendt, pejabat publik (manusia) memiliki dua identitas. Res
privata (sosial), dan yang res publika (politik). Peleburan dua identitas akan menemukan
bentuk tergantung objek kritik memposisikan diri. Objek kritik sebagai res privata hanya bisa
terjamah oleh nasehat- nasehat yang relasi subjek-objeknya saling memahami.
Berbeda dengan tubuh res publika, ia memiliki relevansi logis dengan kritik. Di ruang publik,
dalam kaitannya dengan kebijakan, identitas pejabat publik adalah yang res publika atau
yang institusi atau yang benda. Sehingga menjadi satu konsekuensi logis kritik memainkan
peran sepenuhnya.
Pada kasus Rocky Gerung yang mengatakan presiden Jokowi bajingan tolol merupakan
sebuah kewajaran. Kritik yang dilontarkan salah satu pendiri setara institute dan fellow itu
menyasar tubuh presiden yang res publika karena berkaitan dengan kebijakan. Apa yang
dikatakan Rocky menemukan sensasinya demi sebuah kebijakan yang lebih baik. Konsistensi
Rocky masih relevan dengan apa yang sudah familiar dikatakan "sopan santun itu bahasa
tubuh, pikiran tidak butuh sopan santun. Pikiran yang disopan santunkan dalam politik
berarti kemunafikan"

Anda mungkin juga menyukai