Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

A. KRONOLOGI KASUS.
Rabu malam 8 Februari 2012, Achmad Rifai, pengacara terpidana kasus
korupsi Wisma Atlet Mindo Rosalina Manulang terkait kunjungannya ke sel
Muhammad Nazaruddin, tersangka kasus yang sama dan Hambalang, yang diduga
bertemu secara diam-diam di Rutan Cipinang, Jakarta. Mindo Rosalina adalah mantan
anak buah Nazaruddin yang banyak tahu terkait kasus wisma atlet yang kasusnya
sedang berjalan. Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana
mengungkap bukti pertemuan antara Achmad Rifai dan Nazaruddin di dalam Rutan
Cipinang pada 2 Februari lalu. Hal ini terungkap dari catatan buku tamu yang hadir,
Rifai menemui Nazaruddin pada sore hari. Kunjungan Rifai terjadi pada Kamis, 2
Februari 2012, sekitar pukul 15.00 WIB.

B. LETAK PELANGGARAN KODE ETIK.
Pada kasus diatas, letak pelanggaran kode etiknya terdapat dimana Achmad
Rifai yang merupakan pengacara Mindo Rosalina Manulang alias Rosa mengunjungi
Nazaruddin di dalam selnya di cipinang. Hal tersebut melanggar kode etik profesi
advokat dan tabu untuk dilakukan karena Rosa dan Nazaruddin sedang berada dalam
sebuah perkara. Itu tidak boleh dilakukan oleh seorang pengacara apalagi dengan
mengunjungi lawan perkaranya di sel. Tabu bagi seorang pengacara melakukan satu
pertemuan diantara pihak-pihak yang sedang berperkara dan dalam posisi kesaksian
yang saling memberatkan. Pelanggaran etika terjadi ketika pertemuan dilaksanakan
demi persekongkolan mengatur kesaksian di persidangan. Kesaksian palsu tersebut
bisa mempengaruhi fakta pengadilan dan dakwaan jaksa.




BAB 2

A. TEORI ARISTOTELES
Aristoteles melihat kebaikan moral di mana beliau menyatakan bahwa
kebaikan moral mempunyai hubungan yang sedikit dengan intelektual tetapi lebih
kepada sifat (character) atau personaliti. Plato dan Socrates pula mengatakan beretika
itu mempunyai hubungan yang rapat antara kebaikan moral dan personaliti yang
sehat. Bagaimanapun ahli filsafat ini berpendapat bahawa kebajikan seseorang itu
bergantung sepenuhnya dan berada dalam tangan seseorang itu.
Sekiranya etika dahulu menekankan kebaikan moral dan rasionalnya, etika moden
banyak menfokuskan kepada menentukan sifat-sifat beretika menerusi tindakan. Etika
moden telah membentuk dua persaingan yaitu :
1. Tindakan yang mempunyai sifat etika dalaman dan memerlukan status
moral daripada akibat (consequences) yang dibuat
2. Tindakan itu sama ada betul atau salah. Dahulunya ia dikenali sebagai
Teologikal dan sekarang dikenali dengan Deontologikal iaitu pendekatan
kepada etika.
Penilaian dalam etika
Penilaian terhadap perbuatan yang baik adalah melalui peningkatan terhadap
kesedaran dan pembangunan rohani individu hasil daripada Perbuatannya Etika
mengambilkira penilaian ke atas suatu tindakan itu berbanding hanya dengan :
1. Melabelkan perbuatan yang baik jika memenuhi kehendak dan keperluan
masyarakat.
2. Melabelkan perbuatan yang baik jika meningkatkan kehidupan dan
melabelkan sebaliknya jika perbuatan itu memusnahkan kehidupan.
Beberapa prinsip etika dapat dijabarkan seperti berikut:
1. Etika kemanfaatan umum (utilitarianism ethics), yaitu setiap
langkah/tindakan yang menghasilkan kemanfaatan terbesar bagi kepentingan umum
haruslah dipilih dan dijadikan motivasi utama;
2. Etika kewajiban (duty ethics), yaitu setiap sistem harus mengakomodasikan
hal-hal yang wajib untuk diindahkan tanpa harus mempertimbangkan konsekuensi
yang mungkin bisa timbul, berupa nilai moral umum yang harus ditaati seperti jangan
berbohong, jangan mencuri, harus jujur, dan sebagainya. Semua nilai moral ini jelas
akan selalu benar dan wajib untuk dilaksanakan, sekalipun akhirnya tidak akan
menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri;
3. Etika kebenaran (right ethics), yaitu suatu pandangan yang tetap
menganggap salah terhadap segala macam tindakan yang melanggar nilai-nilai dasar
moralitas. Sebagai contoh tindakan plagiat ataupun pembajakan hak cipta/karya orang
lain, apapun alasannya akan tetap dianggap salah karena melanggar nilai dan etika
akademis;
4. Etika keunggulan/kebaikan (virtue ethics), yaitu suatu cara pandang untuk
membedakan tindakan yang baik dan salah dengan melihat dari karakteristik
(perilaku) dasar orang yang melakukannya. Suatu tindakan yang baik/benar umumnya
akan keluar dari orang yang memiliki karakter yang baik pula. Penekanan disini
diletakkan pada moral perilaku individu, bukannya pada kebenaran tindakan yang
dilakukannya; dan
5. Etika sadar lingkungan (environmental ethics), yaitu suatu etika yang
berkembang di pertengahan abad 20 ini yang mengajak masyarakat untuk berpikir dan
bertindak dengan konsep masyarakat modern yang sensitif dengan kondisi
lingkungannya. Pengertian etika lingkungan disini tidak lagi dibatasi ruang lingkup
penerapannya merujuk pada nilai-nilai moral untuk kemanusiaan saja, tetapi diperluas
dengan melibatkan natural resources lain yang juga perlu dilindungi, dijaga dan
dirawat seperti flora, fauna maupun obyek tidak bernyawa (in-animate) sekalipun.
B. Common Morality
Menurut DR. Haryatmoko, dalam Kompas, 10 Juli 2001 mengatakan, ada lima
pola hubungan moral-hukum yang bisa dibagi dalam dua kerangka pemahaman.
Kerangka pemahaman pertama, moral sebagai bentuk yang mempengaruhi hukum.
Moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri
universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi. Sebagai gagasan masih
menantikan pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum positif.
Pola hubungan moral-hukum itu yaitu:
Pertama, moral dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal
kehidupan sosial-politik, keadilan sosial. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk
mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apa pun usaha itu tidak akan pernah bisa
menyamai ideal itu. Bagi penganut paham hukum kodrat, ini merupakan pola
hubungan hukum kodrat dan hukum positif.
Kedua, hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang
berlaku, sanggup memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita
moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi
(kecuali dalam bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak hanya
melalui tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan
kekuatan dan kekuasaan, tempat di mana dibangun realitas moral (partai politik,
birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-sumber ekonomi).
Pola ketiga adalah voluntarisme moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan
nyata moral bisa memiliki makna; di lain pihak, moral dimengerti juga sebagai
sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik.
Satu-satunya cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau
kehidupan konkret adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak
murni. Implikasinya akan ditatapkan pada dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak,
pilihan reformasi yang terus-menerus. Pilihan ini merupakan keprihatinan agar moral
bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sangsi akan keberhasilannya.
Maka yang bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus-menerus. Di lain pihak,
pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, misalnya Taliban di
Afganistan, ada kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu bisa
dilakukan dengan memaksakannya kepada semua anggota masyarakat.
Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter. Kerangka pemahaman kedua
menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan tidak dapat direduksi
menjadi politik. Moral dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan yang tidak dapat
dihubungkan langsung dengan sejarah atau politik kecuali dengan melihat
perbedaannya. Dalam kelompok ini ada dua pola hubungan antara moral dan hukum.
Dalam pola keempat, moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral
menjadi semacam penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari suatu
kewibawaan tertentu. Tetapi, kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan yang
efektif, karena tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan hukum.
Pola hubungan ini mirip dengan posisi kenabian. Nabi dimengerti sebagai orang yang
mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang sedang berlangsung, tetapi tidak bisa
berbuat apa-apa karena ada di luar permainan politik. Tetapi, nabi memiliki
kewibawaan tertentu. Dalam perspektif ini, hubungan antara moral dan hukum atau
politik biasanya bersifat konfliktual. Dalam rezim ini ada pemisahan antara masalah
agama dan masalah politik.
Dalam pola kelima, politik dikaitkan dengan campur tangan suatu kekuatan
dalam sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang berhasil melandaskan diri
pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai
etika konkret bukan hanya bentuk dari tindakan. Dengan demikian moral berbagi
lahan dengan politik. Di satu pihak, moral hanya bisa dipahami melalui praktik
politik. Melalui politik itu moral menjadi efektif: melalui hukum, lembaga-lembaga
negara, upaya-upaya dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi, moral tetap tidak
bisa direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik mengakali moral. Sampai pada
titik tertentu, politik (dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya
mempermainkan moral karena politik hanya menggunakan moral untuk mendapatkan
legitimasi dari masyarakat.
C. Etika Institusional
Bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan
dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota
masyarakat yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama,
berdasarkan pengertian terdapatnya kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai
berikut:
1. Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan;
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu
pada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi
sikap dan tindakan;
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai
keseluruhan;
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat
menjamin mutu dan peningkatan pengembanan profesi tersebut.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam
menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi yang
bersangkutan yang dapat atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya
dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak. Karena
tidak memiliki kompetensi teknikal, maka awam tidak dapat menilai hal itu. Ini
berarti, kepatuhan terhadap etika profesi akan sangat tergantung pada akhlak dan
moral pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu pengemban profesi
sering dihadapkan pada situasi yang menimbulkan masalah pelik untuk menentukan
perilaku apa yang memenuhi tuntutan etika profesi. Sedangkan perilaku dalam
pengembanan profesi dapat membawa akibat negatif yang jauh terhadap klien,
dimana kenyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa kalangan pengemban profesi
itu sendiri membutuhkan adanya pedoman obyektif yang lebih konkret bagi perilaku
profesionalnya. Karena itu, dari dalam lingkungan para pengemban profesi itu sendiri
dimunculkan seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi
dalam mengemban profesi tersebut. Perangkat kaidah itulah yang disebut sebagai
kode etik profesi (biasa disingkat: kode etik), yang dapat tertulis maupun yang tidak
tertulis. Pada masa sekarang, kode etik itu pada umumnya berbentuk tertulis yang
ditetapkan secara formal oleh tiap-tiap organisasi profesi yang bersangkutan. Pada
dasarnya, kode etik itu bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan,
dan di lain pihak untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan
keahlian dan atau otoritas profesional. Yang dalam perkembangan selanjutnya kode
etik tersebut termasuk kelompok kaidah moral positif.
Kondisi ini, baik dimasa pemerintahan orde baru maupun pemerintahan pasca
reformasi, termasuk pemerintahan sekarang dalam kontek teknisnya, eksistensi kode
etik tersebut dalam melayani hajat hidup orang banyak, belum total mencitrakan diri
dan jatidirinya sebagai pelayanan publik. Dengan kata lain, masih memperlihatkan
penyelewengan-penyelewengan etika profesi yang dilakukan oleh pengemban profesi.
Apalagi dikaitkan dengan tuntutan aspirasi rakyat yang menginginkan reformasi total
terhadap seluruh tatanan pelayanan publik, dan kita masih berharap-harap cemas
untuk mendapat buktinya, apakah dalam kenyataannya proses pengemban profesi ini
masih berdasarkan akal sehat dan moral yang baik atau sekedar pengabdian profesi
yang tanpa pamrih?

Realitasnya, klien (warga masyarakat) masih harus menanggung beban dalam luka
liku setiap permasalahan yang dihadapinya ketika dikerjakan oleh seorang pengemban
profesi walaupun ia sanggup membayar, tapi ia akan terus dihantui bayang-bayang
kegelisahan ketika permasalahan yang dihadapinya tidak dapat diselesaikan secara
tuntas. Malah, dalam kenyataannya proses tersebut harus dibayar dengan mahal, baik
secara moril maupun material.
Kendati begitu, dalam prosesnya harus dihitung berbagai kelemahan, baik yang
bersifat yuridis formal maupun psikologis, tanpa itu kita bakal terjebak kembali oleh
perilaku budaya yang arogan dan kesewenang-wenangan dalam menyelesaikan setiap
proses dalam pengembanan profesi tersebut. Persoalan mendasar yang masih kita
hadapi saat ini, tidak terlepas dari rangkaian perilaku moral dari para pengemban
profesi yang erat dengan budaya feodal kolonialistik. Dan reaksinya, muncul ke
permukaan setelah klien (warga masyarakat) di berbagai daerah memiliki kembali
keberaniannya untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya dalam pola masyarakat
hukum.
Paling tidak, mereka itu dapat melakukan kontrol dan penataan publik, terhadap
perilaku profesi yang menyimpang yang dilakukan oleh setiap pengemban profesi
dalam menjalankan fungsinya dalam tatanan kemasyarakatan, yang memerlukan jasa
pelayanan profesinya secara proporsional dan profesional dalam menyelesaikan
permasalahan yang timbul dalam peri kehidupan masyarakat secara benar dan tuntas.
Profesi hukum berkaitan dengan masalah mewujudkan dan memelihara ketertiban
yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketertiban yang berkeadilan itu
adalah kebutuhab dasar manusia, karena hanya dalam situasi demikian manusia dapat
menjalani kehidupannya secara wajar, yakni sesuai dengan martabat kemanusiannya.
Keadilan adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur dan merupakan unsur esensial
dari martabat manusia.
Hukum, kaidah-kaidah hukum positif, kesadaran hukum, kesadaran etis dan keadilan
bersumber pada penghormatan terhadap martabat manusia. Penghormatan terhadap
martabat manusia adalah titik tolak atau landasan bertumpunya serta tujuan akhir dari
hukum. Sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum
diwujudkan dalam pelbagai kaidah perilaku kemasyarakatan yang disebut kaidah
hukum. Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat
tersusun dalam suatu sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata
hukum dengan kaidah kaidah hukumnya serta penegakannya adalah produk dari
perjuangan manusia dalam upaya mengatasi pelbagai masalah kehidupan dalam
masyarakat, termasuk menanggulangi dan mengarahkan kecenderungan-
kecenderungan yang negatif agar menjadi positif dan mengaktualisasikan atau
memproduktifkan kecenderungan-kecenderungan positif yang ada dalam diri
manusia.
Dalam setiap perjuangan, manusia berusaha memahami, mengolah dan
mengakomodasikan secara kreatif pelbagai kenyataan kemasyarakatan pada nilai-nilai
yang dianut dan mengekspresikan ke dalam sistem penataan perilaku dan kehidupan
bersama dalam wujud kaidah-kaidah hukum, sehingga bermanfaat bagi perlindungan
martabat manusia sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban yang sudah
tercapai. Dapat dikatakan bahwa dalam dinamika kehidupan umat manusia, hukum
dan tata hukumnya termasuk salah satu faktor yang sangat penting dalam proses
penghalusan budi pekerti umat manusia. Kualitas kehidupan hukum dan tata hukum
suatu masyarakat mencerminkan tingkat akhlak atau situasi kultural masyarakat yang
bersangkutan.
Penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan dalam kehidupan
bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia agar kehidupan manusia tetap
bermartabat adalah suatu fungsi kemasyarakatan. Pada tingkat peradaban yang sudah
majemuk, fungsi kemasyarakatan penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang
berkeadilan itu dalam kehidupan sehari-harinya diwujudkan oleh profesi hukum.
Pada masa sekarang, yang termasuk dalam bagian profesi hukum yang secara khas
mewujudkan bidang karya hukumnya adalah jabatan-jabatan hakim, advokat dan
notaris. Jabatan manapun yang diembannya, seorang pengemban profesi hukum
dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu pada tujuan hukum untuk
memberikan pengayoman kepada setiap manusia dengan mewujudkan ketertiban yang
berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi konflik kepentingan antar
warga masyarakat, seringkali konflik kepentingan itu tidak dapat diselesaikan dengan
baik oleh para pihak yang bersangkutan, karena tiap pihak tentu saja akan cenderung
berusaha untuk dengan segala cara membela kepentingan-kepentingannya. Cara yang
demikian akan menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan dapat menjurus pada
terciptanya suasana bellum omnium contra omnes dengan hukum rimbanya : siapa
yang kuat dialah yang menang. Untuk dapat secara teratur menyelesaikan konflik
kepentingan dengan baik demi terpeliharanya ketertiban di dalam masyarakat, maka
diperlukan adanya institusi (kelembagaan) khusus yang mampu memberikan
penyelesaian secara tidak memihak (imparsial) dan berlandaskan patokan yang
berlaku secara obyektif. Untuk menyelesaikan konflik-konflik kepentingan secara
formal dengan kepastian yang berkeadilan, maka terbentuklah institusi peradilan
lengkap dengan aturan-aturan prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yakni
hakim, advokat dan jaksa.
D. Cita-cita
Etika profesi pada awalnya terbentuk guna kepentingan kelompok profesi itu
sendiri karena bermula dari pemasalahan-permasalahan yang imbul, dalam
perkembangannya sesuai dengan situasi dan kondisi ilmu pengetahuan filsafat yang
terkait dengan etika maka berkembang menjadi lebih maju sesuai dengan hasil
penelitian empiris yang didukung oleh norma yang ada diperoleh suatu hipotesa dan
sampailah pada hasil akhir profesi guna kepentingan masyarakat dengan konsekuensi
logis etika profesi merefleksikan kinerjanya secara etis atas kebutuhan masyarakat.
Etika profesi merupakan bagian dari kebutuhan profesi dalam sistem pergulatan
profesi baik diantara profesi itu sendiri maupun terhadap masyarakat.
Perkembangan masyarakat yang makin majemuk , mengglobal, berkembang maju
baik bidang ekonomi, teknologi, serta bidang yang lain. Komunikasi antar daerah
maupun negara makin cepat membuktikan mobilitas masyarakat makin meninggi dan
tidak terkendali. Seiring dengan hal tersebut maka peran profesi makin dibutuhkan
baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kualitas dari profesi harus makin meningkat
guna mengimbangi kemajuan jaman serta kuantitas dari bertambahnya jenis
kebutuhan penanganan oleh profesi akibat kemajuan dari berbagai bidang merupakan
tantangan profesi yang harus didukung perangkat etika profesi yang memadai sebagai
suatu tanggung jawab profesi. Tanggung jawab etika profesi tidak dapat lepas dari
manfaat etika profesi. Adapun manfaat etika profesi dalam perkembangan terdiri dari:
a. manfaat terhadap diri sendiri. Penyandang profesi memiliki kesempatan luas
untuk mengabdikan diri demi kepentingan publik.
b. manfaat terhadap masyarakat. Masyarakat dapat memperoleh pelayanan
sesuai dengan kebutuhannya mengingat profesi memiliki keahlian khusus
yang tidak dimiliki pihak lain.

c. Manfaat terhadap negara. Penyandang profesi dapat berperan serta
memajukan negara dengan keahlian bidang tertentu yang dimilikinya. Segala
bidang dalam aktifitas negara saling terkait, apabila segala bidang kehidupan
dapat berjalan dengan maksimal maka mekanisme pembangunan dalam segala
bidang menjadi maju yang berdampak pada kemajuan negara.

d. Manfaat terhadap hukum. Negara kita adalah negara hukum dan hukum
sebagai panglima yang tertinggi. Profesi pada bidangnya masing-masing tetap
hukum menjadi panutan bagi profesi sesuai pandangan segala segi kehidupan
harus berpatokan pada hukum yang berlaku. Profesi hukum merupakan profesi
yang terdepan dalam berupaya menegakkan hukum berfungsi sebagai panutan
bagi profesi selain hukum dan masyarakat.
E. Sanksi
Sanksi Pelanggaran Etika:
1. Sanksi Sosial : Sanksi ini diberikan oleh masyarakat sendiri, tanpa
melibatkan pihak berwenang. Pelanggaran yang terkena sanksi sosial biasanya
merupakan kejahatan kecil, ataupun pelanggaran yang dapat dimaafkan. Dengan
demikian hukuman yang diterima akan ditentukan leh masyarakat, misalnya
membayar ganti rugi dsb, pedoman yang digunakan adalah etika setempat
berdasarkan keputusan bersama.
2. Sanksi Hukum : Sanksi ini diberikan oleh pihak berwengan, dalam hal ini
pihak PERADI. Sanksi yang diberikan misalnya, dicabut izin advokatnya.




BAB 3

A. KESIMPULAN.
Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu
baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian
hukum. Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran,
keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia.
Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua
orang. Uraian diatas mengambarkan kode etik profesi hukum dalam bentuk ideal,
walaupun dalam kenyataanya dapat kita temukan penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dalam hal konteks ini. Hal ini biasa, artinya dalam kenyataan konkret
hampir tidak ada sesuatu yang adil dalam bentuk idealnya. Namun, jika
penyimpangan-penyimpangan ini cukup jauh dan mencakup banyak aspek serta
meluas sekali, maka mungkin kita dapat berbicara tentang krisis atau perubahan
fundamental dengan segala akibat dan konsekuensi logisnya dalam kehidupan
bermasyarakat. Uraian ini justru dimulai dengan menunjukkan gejala-gejala yang
memperlihatkan kemungkinan adanya krisis dalam dunia profesi kita yang mungkin
mencakup semua profesi yang ada sekarang ini.
Tujuan pokok (essensial goals) para pengemban profesi dalam mengemban
profesinya adalah mewujudkan hasil karya obyektif (objective achievement) dan
pengakuan. Dalam kenyataan terdapat beberapa hal yang sangat penting tidak hanya
sebagai lambang pengakuan saja, melainkan dalam konteks lain. Misalnya, berlaku
untuk uang. Karena uang adalah penting sehubungan dengan apa yang dapat
dibelinya, tetapi juga penting dalam perannya sebagai lambang pengakuan nyata atas
kualitas karya profesionalnya.Gambaran ideal tentang profesi hanya berlaku pada
situasi yang di dalamnya terdapat aspek hasil karya obyektif dan terintegrasikan
dengan baik. Jika kenyataan aktual menyimpang dari kondisi ideal, maka hasil karya
obyektif yang memiliki nilai secara institusional dan perolehan pelbagai lambang
pengakuan akan tidak terartikulasikan atau terolah dengan baik. Kualitas profesi
hukum akan merosot jika penguasa politik menguasai profesi dalam rangka
menetralkan sumber kritik potensialnya, para pengemban profesi hukum
terperangkap oleh kepentingan klien, karena takut kehilangan klien, pengemban
profesi secara subyektif terlibat terlalu jauh dalam kepentigan klien, dan ujung-
ujungnya kualitas lembaga peradilan sangat rendah dan mengkhawatirkan
kondisinya.
Dari apa yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa profesi adalah suatu
kerangka institusional yang di dalamnya terdapat sejumlah fungsi kemasyarakatan
yang paling penting dijalankan, terutama pengembangan serta pengajaran ilmu dan
humaniora dan penerapan praktikalnya dalam bidang-bidang ilmu lainnya terutana
dalam bidang hukum. Untuk itu perlu diusahakan agar profesi-profesi ini mampu
mempertahanlkan otonominya, misalnya lewat organisasi profesi
yangkemandiriannya diakui dan dihormati oleh penguasa publik dan masyarakat,
serta didukung oleh proses dan metode yang juga memuat usaha untuk secara
sistematis menumbuhkan sikap etis yang sesuai dengan dinamisasi kehidupan
masyarakat sekarang ini.
Sebab, membangun wacana ini dalam masyarakat yang masih bersikap reaktif
emosional, peran pengemban profesi hukum yang profesional dan proporsional akan
sangat menentukan. Jika tidak mampu mencitrakan diri dan jati dirinya, masyarakat
akan terpengaruh untuk tidak patuh dan taat akan hukum. Karena yang kita perlukan
adalah para pengemban profesi hukum yang bisa memerankan unsur idealisme dan
realistisnya dalam mengaplikasikan setiap kinerjanya, sehingga segala bentuk
harapan dan kenyataan akan antara moral dan pengabdian dalam kode etik profesi
hukum akan terwujud dengan sendirinya











DAFTAR PUSTAKA.

- Abdulkadir Muhammad. 1997. Etika Profesi Hukum. Bandung; Citra Aditya
Bakti.
- Supriadi. 2006. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta;
Sinar Grafika.
- http://www.lodaya.web.id/?p=522
- http://www.beritasatu.com/hukum/33125-buyung-organisasi-advokat-harus-
hukum-achmad-rifai.html
- http://forumkuliah.wordpress.com/2009/02/05/memaknai-etika/
- http://nasional.kompas.com/read/2012/02/23/06010510/Pengacara.Rosa.Langgar.
Etika.Profesi.Advokat
- http://id.berita.yahoo.com/buyung-rivai-bisa-dikenai-sanksi-pelanggaran-etika-
060615636.html




















ANALISA KASUS
ETIKA PROFESI


DIBUAT OLEH:
MULKI H. ADITYA PUTRA
2008.050.106

FAKUKLTAS HUKUM
UNIKA ATMAJAYA
2011/2012

Anda mungkin juga menyukai