Pengaturan dan batasan/definisi suap dan gratifikasi beserta ancaman sanksi bagi masing-masing tindak pidana
tersebut kami sajikan dalam tabel di bawah ini:
KUHP:
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah (Pasal 149)
UU Pemberantasan Tipikor:
Jadi, selain pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda. Dari definisi tersebut
di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan
bukan janji. Jika melihat pada ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada unsur mengetahui atau patut dapat
menduga sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun
keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat
dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya.
Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu jelas pemisahan antara
perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap
jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.
Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi yang dilarang
dibedakan. Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi memiliki maksud
bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap
pemberi memiliki maksud (sedikit banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi (sumber: Defining
Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the
United Kingdom, Greg Scally: 2009). Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada
tempus (waktu) dan intensinya (maksudnya).
Mengenai faktor apa yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, kami merujuk pada salah
satu penjelasan yang diamuat dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam buku tersebut (hal. 1) dijelaskan sebagai berikut:
Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat
mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana
korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara
Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat
diminimalkan atau bahkan dihilangkan.
Di dalam buku tersebut juga dijelaskan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi
yang sering terjadi, yaitu (hal. 19):
1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap;
3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang
Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.