Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021

TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN DITINJAU DARI KAJIAN


POLITIK HUKUM INDONESIA

TUGAS
MATA KULIAH : POLITIK HUKUM
(Dosen: Dr. Hj. AYIH SUTARIH, SH., M.Hum)

Oleh:
Nama : YUDI PERMADI, ST., SH
NPM : 121160038
Kelas : B
Semester : I

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON
TAHUN 2021

[i]
Mata Kuliah Politik Hukum

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
II. REFORMASI PERPAJAKAN INDONESIA ................................................. 2
a. Periode Reformasi Perpajakan di Indonesia .......................................................... 2
b. Latar Belakang Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang HPP .......................... 4
III. SUBSTANSI DAN TUJUAN UU HPP .................................................................. 4
a. Substansi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan .................................................. 4
b. Tujuan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan ..................................................... 6
IV. UU HPP DITINJAU DARI ASPEK POLITIK HUKUM ....................................... 6
a. UU HPP Menciptakan Kesetaraan Antara Hak dan Kewajiban Wajib Pajak............. 7
b. UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Merupakan
Perwujudan Demokratisasi Pajak di Indonesia ...................................................... 7

DAFTAR REFERENSI
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

[ii]
ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021
TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN DITINJAU DARI KAJIAN
POLITIK HUKUM INDONESIA

Oleh: Yudi Permadi, ST., SH


(Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon)

I. PENDAHULUAN
Dilansir dari Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dalam Huruf I Umum, disebutkan bahwa;
Untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan guna mewujudkan
masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan berbagai upaya dari pemerintah untuk
mengambil berbagai langkah kebijakan fiskal yang konsolidatif.
Kebijakan fiskal yang konsolidatif tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan langkah
strategis yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak (tax
ratio) yang antara lain melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan
pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sitem
perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta
peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pada tataran global, negara-negara di dunia
juga menerapkan berbagai kebijakan perpajakan yang diharapkan mampu untuk
meningkatkan penerimaan dengan memperluas basis pajak dan melakukan penyesuaian
tarif pajak.
Dalam rangka peningkatan rasio pajak (tax ratio), Pemerintah telah melakukan berbagai
upayaa ntara lain melalui reformasi perpajakan yang berfokus pada organisasi, sumber
daya manusia, teknologi informasi berbasis data, proses bisnis, dan regulasi perpajakan.
Hal ini dilaksanakan diantaranya dengan peningkatan fungsi pelayanan, implementasi
program Pengampunan Pajak, pelaksanaan skema Automatic Exchange of Financial
Account Information, penguatan efektifitas fungsi ekstensifikasi, dan penegakan hukum.
Namun, hal tersebut belum cukup untuk mengimbangi perubahan pola bisnis dan
dinamika globalisasi yang sangat dinamis serta mengatasi praktik aggressiue tax planning
yang ada.
Oleh karena itu, sejalan dengan reformasi perpajakan secara berkesinambungan
khususnya pada aspek regulasi dan proses bisnis, diperlukan penyesuaian pengaturan
kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis, sehingga
perlu membentuk Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Penyesuaian pengaturan kebijakan ini bertujuan untuk: (1) meningkatkan pertumbuhan
perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian;
(2) mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara
mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) mewujudkan
sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; (4) melaksanakan
reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis
perpajakan; (5) dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis dilakukan
melalui pengaturan meliputi: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Program
Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pajak Karbon, dan Cukai, serta dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Page 1
Pertama, Materi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; Memuat beberapa
ketentuan yang diubah dan/atau ditambah antara lain mengenai: (1) kerjasama bantuan
penagihan pajak antar negara, (2) kuasa Wajib Pajak, (3) pemberian data dalam rangka
penegakan hukum dan kerjasama untuk kepentingan negara, dan (3) daluwarsa penuntutan
pidana pajak.
Kedua, Materi Pajak Penghasilan; Terdapat beberapa ketentuan yang diubah dan/atau
ditambah antara lain mengenai: (1) perubahan pengenaan pajak atas natura dan/atau
kenikmatan, (2) tarif Pajak Penghasilan orang pribadi dan badan, (3) penyusutan dan
amortisasi, serta (4) kesepakatan/perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Ketiga; Materi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Materi ini meliputi (1) pengurangan pengecualian objek PPN, (2) pengaturan kembali
fasilitas PPN, (3) perubahan tarif PPN, dan (4) pengenaan tarif PPN final.
Keempat, Materi Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak; Materi ini memberikan
kesempatan kepada wajib Pajak untuk mengungkapkan hartanya yang belum
diungkapkan.
Kelima, Pengaturan baru mengenai Pajak Karbon dan Cukai; Untuk mendorong
kepatuhan Wajib Pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak
negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan
peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon. Adapun perubahan ketentuan
pada materi Cukai antara lain (1) penambahan Barang Kena cukai, (2) kewenangan
Pejabat Bea dan cukai, (3) penyidikan, serta (4) pembayaran sanksi administratif.

II. REFORMASI PERPAJAKAN DI INDONESIA


Dilansir dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas; Reformasi perpajakan
adalah perubahan sistem perpajakan secara signifikan dan komprehensif yang mencakup
pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan
basis pajak. Bentuk pelaksanaannya dapat bervariasi tergantung pada kondisi yang
dihadapi, termasuk menambah atau mengurangi tarif pajak, mengubah lapisan
penghasilan kena pajak, mengubah ambang batas Penghasilan Kena Pajak (PKP),
mengubah dasar pengenaan pajak, memberlakukan pajak-pajak baru dan menghapus
pajak-pajak lama, mengubah komposisi penerimaan pajak maupun melakukan perubahan
mendasar terhadap praktik-praktik dan prosedur administratif perpajakan.
Pada dekade 1980-an, di seluruh dunia terjadi reformasi pajak yang hampir universal.
Pada periode tersebut, hampir semua negara di Eropa Barat melakukan reformasi pajak.
Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan Akta Reformasi Pajak (Tax Reform Act) pada
tahun 1986. Di Kanada diberlakukan pajak pertambahan nilai (goods and services tax).
New Zealand merevisi struktur pajaknya secara mendasar. Australia melakukan
perubahan substansial undang-undang pajaknya. Jepang juga melakukan reformasi pajak.
Salah satu alasan terpenting dilakukannya reformasi pajak di banyak negara-negara
berkembang adalah untuk mengubah sistem perpajakan agar memenuhi persyaratan
ekonomi pasar dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan bersaing secara
internasional.
a. Periode Reformasi Perpajakan di Indonesia
Indonesia telah melewati reformasi perpajakan seiring berbagai perkembangan zaman
yang disesuaikan dengan peluang dan tantangan. Reformasi merupakan sebuah
keniscayaan yang terjadi dari waktu ke waktu ketika suatu negara dihadapkan pada
tantangan perubahan zaman, ini disesuaikan dengan kebutuhan peluang dan tantangan
yang ada. Secara garis besar, Indonesia telah melakukan reformasi perpajakan dalam
lima periode, yaitu:
Periode Pertama, Reformasi Perpajakan dimulai tahun 1983 yakni sitem perpajakan
berubah dari official assessment menjadi self assessment. Ini memberikan kesempatan
kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan kewajiban
Page 2
perpajakanannya sendiri, sementara otoritas perpajakan mengemban fungsi pembinaan,
pengawasan dan penegakan hukum. Reformasi perpajakan ini ditandai dengan
keluarnya lima undang-undang perpajakan baru. Hal itu dilakukan karena undang-
undang yang berlaku sebelumnya dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda dan
dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Kelima undang-undang itu
adalah: (1) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
(2) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); (3) UU No. 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM); (4) UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB); dan (5) UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Pada tahun 1997 dikeluarkan beberapa UU baru untuk melengkapi UU yang telah ada,
yaitu UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, UU No. 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU No. 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, UU No. 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Periode Kedua, Reformasi Perpajakan Jilid I Tahun 2002 – 2008 yang difokuskan
pada perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM), Organisasi, dan Proses Bisnis, dimana
dilakukan modernisasi kantor pajak dengan pembentukan Kantor Wilayah dan Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar, KPP Madya dan Pratama dengan
melakukan segmentasi Wajib Pajak dalam memberikan pelayanan dan pengawasan
agar lebih efektif dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan kepercayaan
masyarakat. Dalam rangka meningkatkan produktivitas aparat pajak, dilakukan
penguatan SDM, pengawasan internal dan memperkenalkan kode etik pegawai DJP.
Periode Ketiga, Reformasi Perpajakan Jilid II yang berlangsung pada tahun 2009 –
2016 dengan fokus pada kemudahan berusaha (business friendly) sebagai respon atas
perlambatan ekonomi dunia pasca global finansial krisis. Pada periode tersebut,
pemerintah memberikan berbagai kebijakan insentif/fasilitas dan kemudahan di bidang
perpajakan. “Upaya ini diterbitkan untuk mendukung daya beli masyarakat yang waktu
itu terhantam saat global finansial krisis dan untuk meningkatkan minat investasi dan
aktivitas dunia usaha, dan menarik investor dari luar negeri”.
Periode Keempat, Reformasi Perpajakan Tahun 2016. Dalam reformasi ini mencakup
lima pilar penting dalam administrasi perpajakan yaitu penguatan organisasi,
peningkatan kualitas SDM, perbaikan proses bisnis, pembaruan sitem informasi dan
basis data, dan penyempurnaan regulasi. Reformasi perpajakan dimaksudkan untuk
menciptakan administrasi perpajakan yang kuat dan efisien melalui peningkatan
kualitas layanan kepada Wajib Pajak, kemudian pengawasan yang efektif dan efisien
untuk mencegah aggressive tax planning, yang semakin sopecited dan memberikan
kepastian dalam penegakan hukum, dan memperluas basis pajak. Sehingga diharapkan
dapat meningkatkan tax compliance dan tax ratio Indonesia.
Periode Kelima, Reformasi Perpajakan Tahun 2021. Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mewakili pemerintah
menegaskan bahwa substansi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan (UU HPP) yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021 ini merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang reformasi perpajakan yang
telah dan sedang dilakukan selama ini, baik reformasi administrasi maupun reformasi
kebijakan, dan akan menjadi batu pijakan yang penting bagi proses reformasi
selanjutnya.
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia adalah penerimaan negara yang
masih sangat tergantung dari sektor migas. Selain itu kecilnya tingkat penerimaan
pajak dan rasio pajak dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan G20 lainnya.

Page 3
Oleh karena itu pemerintah berupaya untuk meningkatkan penerimaan negara dari
sektor pajak.
b. Latar Belakang Lahirnya UU No. 7 Tahun 2021 Tentang HPP
UU HPP hadir disaat yang tepat, setidaknya membuktikan Indonesia mampu
menggunakan sebuah krisis menjadi momentum reformasi struktural. Pandemi Covid-
19 menjadi fenomena extra ordinary menimbulkan tekanan yang luar biasa bagi
masyarakat luas. Dampaknya, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) harus
hadir dalam mengurangi tekanan ekonomi terhadap masyarakat. Pandemi Covid-19
menjadi momentum mempercepat proses reformasi perpajakan dan menata ulang
sistem perpajakan Indonesian agar mampu mengadopsi praktik terbaik serta
mengantisipasi dinamika sosial ekonomi di masa yang akan datang.
Reformasi perpajakan dilakukan dalam aspek administrasi dan kebijakan. UU HPP
menjadi bagian penting dari reformasi perpajakan dalam membangun pondasi
perpajakan yang adil, sehat, efektif dan akuntabel dalam jangka menengah/panjang.
Tujuannya, antara lain meningkatkan pertumbuhan dan percepatan pemulihan
perekonomian. Kemudian mengoptimalkan penerimaan Negara; mewujudkan sistem
perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi
administrasi; kebijakan perpajakan yang konsolidatif dan perluasan basis pajak; serta
meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
UU HPP diyakini sebagai tonggak sejarah sistem perpajakan nasional dan merupakan
bagian dari rangkaian reformasi perpajakan yang menjadi salah satu ikhtiar bersama
bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Maju. Negara yang maju
adalah negara yang didukung dengan sitem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan
akuntabel. “Reformasi perpajakan ini selaras dengan upaya negara dalam mempercepat
pemulihan ekonomi serta mendukung pembangunan nasional dalam jangka panjang”.
Selain itu, reformasi pajak juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah dan pelaku UMKM. Reformasi perpajakan perlu
dilakukan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju. Reformasi ini
merupakan bagian tak terpisahkan dari agenda Reformasi Struktural (SektorRiil),
Reformasi Sistem Keuangan, Reformasi Fiskal, serta Reformasi Tata Kelola Negara.
Tujuan reformasi pajak dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Sektor Struktural, UU HPP bertujuan meningkatkan kemudahan berusaha
dan iklim investasi, memperluas lapangan pekerjaan, hingga percepatan pertumbuhan
ekonomi. Kedua, Sektor Sistem Keuangan, reformasi pajak diharapkan dapat
menjadikan sistem keuangan yang inklusif, sehat, dan mampu melayani dinamika
aktivitas ekonomi sosial secara efisien. Ketiga, Sektor Fiskal, reformasi ini diharapkan
dapat meningkatkan kualitas belanja negara untuk perlindungan masyarakat rentan,
mampu menyediakan fasilitas publik yang berkualitas, hingga meningkatkan
efektivitas pertumbuhan ekonomi. Keempat, Sektor Tata Kelola Negara, reformasi
pajak diharapkan dapat menciptakan sitem demokrasi yang matang, birokrasi yang
efisien dan efektif, serta membangun hubungan pemerintah dan daerah yang
konstruktif. Hal tersebut tidak lepas dari peranan DPR RI yang telah bekerja keras
bersama pemerintah dalam membahas secara detail, konstruktif, dan penuh perhatian
terhadap kepentingan masyarakat.

III. SUBSTANSI DAN TUJUAN UU HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN


a. Substansi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Ada 7 (tujuh) poin penting yang termuat dalam UU HPP, yaitu: Pertama, Alasan
diubahnya judul UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi UU
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) disebabkan adanya perubahan substansi
materi muatan terkait UU dimaksud. Teknis penyusunan UU HPP menggunakan
metode omnibus law sebagaimana digunakan dalam pembuatan UU No.11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja. Karena itu, dalam UU HPP setidaknya mengubah atau menghapus
Page 4
sejumlah pasal di beberapa UU terkait, yakni: (1) UU No.6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; (2) UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; (3) UU
No.11 Tahun 1995 tentang Cukai; (4) UU No.39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai; (4) UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); (5) UU No.42
Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah; dan (6)
UU No.2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-
19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undangpundang.
Kedua, ketentuan umum dan tata cara perpajakan yakni mengatur tentang penggunaan
Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang
pribadi. Menurutnya, dengan terintegrasinya penggunaan NIK bakal mempermudah
memantau administrasi Wajib Pajak Indonesia (WPI), khususnya Wajib Pajak Orang
Pribadi (WPOP). “Hal ini akan mempermudah aktivitas pendataan masyarakat sebagai
wajib pajak. Selain itu, terkait asistensi penagihan pajak global kerjasama bantuan
penagihan pajak antar negara dilakukan melalui kerjasama negara mitra secara
resiprokal. Langkah tersebut dilakukan sebagai wujud peran aktif Indonesia dalam
kerjasama internasional”.
Ketiga, ketentuan pajak penghasilan, antara lain adanya perbaikan pengaturan lampiran
tarif PPh orang pribadi yang berpihak pada lapisan penghasilan terendah yang saat ini
sebesar Rp.60 juta. Kemudian adanya penambahan lapisan tarif PPh (WPOP) sebesar
35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp. 5 miliar. Kemudian penambahan
threshold peredaran bruto tidak kena pajak bagi Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM). Selanjutnya, pengaturan ulang tarif PPh Badan sebesar 22% dalam
mendukung penguatan basis pajak. Serta pengaturan tentang penyusutan dan
amortisasi. “Kebijakan-kebijakan yang diambil ini merupakan bentuk perlindungan
terhadap UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah, selain itu kebijakan tersebut
juga lebih mencerminkan keadilan bagi wajib pajak”.
Keempat, ketentuan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). “Ada komitmen
keberpihakan pada masyarakat bawah tetap terjaga melalui pemberian fasilitas
pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa
keuangan, dan jasa pelayanan sosial sebagai kebutuhan dasar masyarakat banyak.
Selain itu, diperkenalkan skema PPN final bagi sektor tertentu agar lebih memberikan
kemudahan bagi pelaku UMKM serta penyesuaian tarif PPN secara bertahap sampai
dengan 2025”.
Kelima, ketentuan terkait Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP).
Dalam mendorong peningkatan kepatuhan sukarela, Panja RUU menyusun PPSWP
yang memfasilitasi para wajib pajak yang memiiliki itikad baik untuk patuh dan
terintegrasi dalam sistem perpajakan dengan memperhatikan pemenuhan rasa keadilan
bagi seluruh wajib pajak. “Program ini diharapkan dapat mendorong wajib pajak secara
sukarela mematuhi kewajiban pajaknya”.
Keenam, ketentuan pajak karbon. Ada penyusunan peta jalan pajak karbon dan pasar
karbon, penetapan subjek, objek, dan tarif pajak karbon, serta insentif bagi wajib pajak
yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon. “Hal ini merupakan bentuk
komitmen terhadap lingkungan, perubahan iklim, dan penurunan emisi gas rumah
kaca, agar kita tetap dapat mewariskan negara ini kepada generasi penerus bangsa”.
Ketujuh, ketentuan terkait cukai. Ada penegasan ranah pelanggaran administrasi dan
prinsip ultimum remedium terhadap tindak pidana cukai bagi kepentingan penerimaan
negara dan kepastian hukum. “Adanya aturan tersebut diharapkan prinsip ultimum

Page 5
remedium menjadi pendorong restorative justice di bidang cukai. Ultimum remedium
merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang
mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal
penegakan hukum.
b. Tujuan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), secara umum UU HPP
bertujuan untuk:
1. Meningkatkan pertumbuhan perekonomian berkelanjutan, inklusif, dan mendukung
percepatan pemulihan perekonomian serta mengoptimalkan penerimaan negara
dalam membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat
Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
2. Mewujudkan sitem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum,
dapat melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif,
dan perluasan basis perpajakan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepatuhan
sukarela Wajib Pajak. Tujuan dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tujuan Bidang Hukum; Mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan
dan berkepastian hukum yakni setelah disepakatinya beberapa rancangan aturan.
Seperti pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas
putusan Mutual Agreement Procedure (MAP). Kemudian pengaturan kembali
besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta
penyempurnaan beberapa ketentuan di bidang penegakan hukum perpajakan.
b. Tujuan Reformasi Administrasi; Memperkuat reformasi administrasi perpajakan
yang berjalan melalui implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak orang pribadi. Kemudian
memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama internasional, dan
memperkenalkan ketentuan mengenai tarif PPN final.
c. Tujuan Perluasan Basis Pajak; Perluasan basis pajak menjadi faktor penentu
mengoptimalisasi penerimaan pajak. Bahkan bakal diwujudkan melalui
pengaturan kembali tarif PPh orang pribadi dan badan, penunjukan pihak lain
untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan
pajak. Selanjutnya, pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN,
implementasi pajak karbon dan perubahan mekanisme penambahan atau
pengurangan jenis Barang Kena Cukai.
Sedangkan dari segi implementasi, UU HPP bertujuan untuk: (1) Meningkatkan
kepatuhan wajib pajak yang masih rendah; (2) Menutup celah praktik-praktik erosi
perpajakan, instrumen untuk mewujudkan keadilan, serta memberikan kepastian
hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan; dan (3) Memperbaiki sistem
perpajakan Indonesia. Implementasi berbagai ketentuan yang termuat dalam UU
tersebut diharapkan dapat mendongkrak pendapatan negara melalui sektor perpajakan
dan berperan dalam mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional yang
berkelanjutan.

IV. UU HPP DITINJAU DARI ASPEK POLITIK HUKUM


Baik buruknya hukum tidak lepas dari kemauan politik (political will) pemerintah sebab
hukum adalah merupakan produk politik pemerintah yang berkuasa, walaupun
kenyataannya tidak seluruhnya hukum sebagai produk politik namun sebagian merupakan
produk sosial, budaya, ekonomi dan hukum.
Pramudya mengatakan bahwa “hukum itu kepentingan dan tidak pernah netral”.
Kepentingan memiliki hubungan yang sangat erat dengan kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah, terlepas apakah kebijakan tersebut pro terhadap rakyat atau sebaliknya.
Pemerintah yang otoriter akan menciptakan hukum dan kebijakan-kebijakan yang
menindas hak-hak warganya, sementara pemerintah yang demokratis hukumnya
responsive dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat serta menjamin tegaknya hukum.

Page 6
a. UU HPP Menciptakan Kesetaraan Antara Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
UU HPP hadir disaat yang tepat, setidaknya membuktikan Indonesia mampu
menggunakan sebuah krisis menjadi momentum reformasi struktural. Pandemi Covid-
19 menjadi fenomena extra ordinary menimbulkan tekanan yang luar biasa bagi
masyarakat luas. Pandemi Covid-19 menjadi momentum mempercepat proses
reformasi perpajakan dan menata ulang sitem perpajakan Indonesian agar mampu
mengadopsi praktik terbaik serta mengantisipasi dinamika sosial ekonomi di masa
yang akan datang.
Ada tiga perubahan besar aturan di bidang perpajakan. Pertama, Undang-undang (UU)
No 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan; Kedua, UU Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketiga, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Melalui UU HPP pemerintah telah menciptakan kesetaraan antara rakyat pembayar
pajak dan pemerintah selaku penyedia sarana dan prasarana untuk pelayanan publik
sehingga tidak terjadi penolakan untuk membayar pajak oleh rakyat selaku pembayar
pajak dikemudian hari.
Dengan adanya kesetaraan antara hak dan kewajiban wajib pajak seperti hak
asessibilitas perpajakan, hak berpartsipasi dalam penentuan kebijakan perpajakan, hak
untuk mendapatkan informasi terkait dengan masalah perpajakan dengan minimnya
sarana dan prasarana serta transparansi, akuntabilitas pemerintah selaku pemungut
pajak, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah saat ini telah menciptakan sistem
hukum perpajakan yang demokratis di Indonesia.
b. UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Merupakan
Perwujudan Demokratisasi Pajak di Indonesia
Demokratis tidaknya sistem perpajakan menurut Sorensen tidak terlepas dari beberapa
kriteria yaitu: (1) adanya mekanisme yang mampu mengatasi konflik kepentingan
antara wajib pajak dengan fiskus, (2) tersedianya wadah bagi wajib pajak untuk
berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan fiskal, (3) adanya kesetaraan hukum antara
wajib pajak dengan fiskus serta tersedianya akses pengawasan penggunaan pajak
kepada wajib pajak.
Perlu diketahui bersama bahwa saat ini pemerintah sedang menyusun sebanyak 43
aturan pelaksana UU HPP, dimana perangkat aturan itu diharapkan menjadi motor
pendorong reformasi perpajakan. Aturan-aturan pelaksana dari UU HPP tersebut terdiri
dari 8 dalam bentuk Peraturan Pemerintah [PP], dan 35 dalam bentuk Peraturan
Menteri Keuangan [PMK] dan rencananya akan dilakukan tahap sosialisasi dan
konsultasi publik sebelum disahkan.
Rangkaian kegiatan sosialisasi aturan pelaksana UU HPP direncanakan akan dimulai
pada tanggal l1 Januari s.d 30 Juni 2022 (selama enam bulan). Sosialisasi tersebut
ditujukan terutama bagi kalangan akademisi (ahli hukum pajak), Lembaga Swadaya
Masyarakat yang bergerak di bidang perpajakan, para pengusaha, asosiasi, serta pihak-
pihak yang memiliki kompetensi dalam kebijakan perpajakan dengan tujuan untuk
menyerap aspirasi yang dapat digunakan untuk melengkapi proses penyusunan aturan
pelaksanaan dari UU HPP dimaksud.
Partisipasi publik sangat dibutuhkan mulai dari pembuatan regulasi perpajakan,
partisipasi dalam pengawasan dana yang bersumber dari pajak serta pengawasan atas
penerimaan dan alokasi dana pajak. Pemerintah sangat berharap dengan adanya
partisipasi publik ini dapat meningkatkan kinerja perpajakan sekaligus tetap menjaga
pertumbuhan dunia usaha. Masukan dari berbagai pemangku kepentingan tersebut akan

Page 7
diakomodir dalam aturan pelaksanaan UU HPP, seperti perubahan pada ketentuan
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ketentuan cukai, pajak
karbon, dan perubahan Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak menjadi Program
Pengungkapan Sukarela (PPS).
Partisipasi publik dalam setiap proses administrasi perpajakan, kebijakan fiskal
termasuk dalam proses pembentukan legislasinya adalah merupakan tolak ukur
demokratis tidaknya sebuah politik perpajakan. Dapat dipahami bahwa untuk menilai
eksistensi partisipasi publik dalam pembayaran pajak tentu tidak cukup untuk menilai
demokratisnya sebuah perpajakan. Untuk itu diperlukan parameter-parameter lain yang
dibutuhkan untuk menilai bahwa produk hukum yang dikeluarkan tersebut telah
memenuhui prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh negara kita.
***

DAFTAR REFERENSI
Amaranggana; Ayo, Simak Perubahan UU KUP dalam UU HPP; Jakarta, 7 Oktober 2021;
Benny Gunawan Ardiansyah; Memahami Perubahan Undang-Undang PPN; Jakarta, 24 Juni
2021;
Dian Kurniati; UU HPP Jamin Peserta PPS Tak Bakal Diperiksa, Kecuali Kondisi Ini; Jakarta,
19 November 2021;
Fitri Novia Heriani, Hukum Online; UU HPP Diyakini Tingkatkan Kinerja Perpajakan;
Jakarta, 11 Oktober 2021;
Francisca Christy Rosana, Ali Akhmad Noor Hidayat; UU HPP: Kewenangan Pejabat Bea dan
Cukai Diperluas Soal Pelanggaran Cukai; Jakarta, 8 Oktober 2021:
Hasil Rapat Paripurna DPR RI; UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan Bagian Penting dari
Reformasi Pajak; Jakarta, 7 Oktober 2021;
Mochamad Soebakir Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia; Reformasi Pajak telah
Selamatkan Indonesia; Jakarta, 11 Juni 2021;
Otto Budihardjo, Risandy Meda Nurjanah; Reformasi Pajak dalamUndang-Undang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan; Jakarta, 11 Oktober 2021;
Rofiq Hidayat; Pembentuk UU Sepakat Bakal Mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan
Perpajakan; Jakarta, 4 Oktober 2021;
Rofiq Hidayat; Ada 7 Poin Penting yang Termuat Dalam UU Harmonisasi Peraturan
Perpajakan (Penyusunan UU HPP Menggunakan Metode Omnibus Law); Jakarta, 7
Oktober 2021;
Venti Eka Satya, Galuh Prila Dewi; Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
Perannya dalam Memperkuat Fungsi Budgetair Perpajakan; Jakarta, 7 Oktober 2021;
Wibi Pangestu Pratama, Bisnis.com; Pemerintah SiapTerbitkan 43 Aturan Pelaksana UU HPP;
Jakarta, 21 November 2021;
Yusuf Imam Santoso; 4 Periode Reformasi Perpajakan di Indonesia Menurut Sri Mulyani;
Jakarta, 14 September 2021;
Zikra Mulia Irawati, Latar Belakang dan Tujuan UU Perpajakan yang Jadi Tonggak Sejarah;
Jakarta, 8 Oktober 2021;
Kemenkeu; Ini Aturan Baru PPh dan PPN dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
Jakarta, 7 Oktober 2021;
Kemenkeu; UU HPP Perkuat Sistem Perpajakan agar Mampu Hadapi TantanganEkonomi di
Masa Depan; Jakarta, 11 Oktober 2021;
Kemenkeu; UU HPP Mendekatkan Kinerja Perpajakan ke Level Potensialnya; Jakarta, 18
Oktober 2021;
Kemenkeu; UU HPP Diundangkan menjadi UU 7/2021, Perhatikan Waktu Pemberlakuannya,
Jakarta, 5 November 2021;
Pendapat Akhir Pemerintah Terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan; Pada Rapat Paripurna DPR RI Dalam Rangka Pembicaraan

Page 8
Tingkat II/Pengambilan Keputusan Terhadap RancanganUndang-Undang Tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan; Jakarta, 7 Oktober 2021;
CNBC Indonesia TV, CNBC Indonesia; Ini Perubahan Aturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
di UU HPP; Jakarta, 7 Oktober 2021;
Liputan6.com; UU HPP Disusun Demi Keadilan, Ini Buktinya; Jakarta, 12 Oktober 2021;
https://setkab.go.id/; Pajak Karbon dalam UU HPP Bentuk Komitmen Indonesia Atasi
Perubahan Iklim; Jakarta, 19 November 2021.

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai;
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 1995
tentang Cukai;
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
6. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang
Mewah;
7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU;
8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Page 9

Anda mungkin juga menyukai