Page 1
proses perubahan dan pengembangan masyarakat. Pembanunan yang dilakukan
bukan hanya sekedar terjadinya perubahan-perubahan secara fisik-material semata,
tetapi juga menyangkut perubahan sikap, cara pandang, pola pikr serta sikap
(attitude) dari warga masyarakatnya (Mochtar Kusumaatmadja).
Pada titik inilah maka hukum memiliki tujuan sebagai sarana atau alat memelihara
ketertiban yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana pula ditegaskan bahwa fungsi
hukum sebagai pencipta keteraturan (order), juga harus dapat memberikan
perlindungan bagi rakyat untuk memperoleh keadilan dan bukan untuk
menyengsarakan. Hukum tidak identik dengan ketertiban, karena hukum
merupakan lambang prosedur formal, sedangkan ketertiban adalah lambang
substansi. Menurut Gustav Radbruch, keberadaan hukum dimaksudkan untuk
adanya keadlian, kepastian, dan kegunaan. Dari ketiga nilai tersebut selalu terjadi
pertentangan, sehingga tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai
hukum dan postulat-postulatnya (kebenaran hakiki) hingga dasar-dasar filsafat yang
paling dalam.
Pada akhirnya hakikat hukum adalah penilaian akal budi yang berakar dalam hati
nurani manusia tentang keadilan dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan
manusia (behind the rule is value). Hukum sebagai norma, hukum sebagai sistem,
hukum sebagai lembaga/institusi sosial, dan hukum sebagai pranata, ***
Page 3
sehingga hukum akan terlibat dalam proses tersebut dan hukum memberikan
makna terhadap fakta-fakta sosial yang dihadapinya. Fakta sosial pada hakekatnya
adalah sejumlah realitas yang terwujud sepanjang berlangsungnya interaksi antar
manusia (konstruksi subjektivitas) di dalam kehidupan sosialnya (Soetandyo
Wignjosoebroto, 2000).
Hukum berfungsi sebagai alat pengatur hubungan masyarakat dan petunjuk apa
yang harus dilakukan, mana yang tidak boleh dilakukan dengan harapan segala
sesuatunya dapat berjalan dengan tertib dan teratur (Hukum bersifat Imperatif).
Fungsi lainnya yaitu hukumdiharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat. Hukum juga dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan yaitu
dapat membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Mochtar Kusumatmadja
berpendapat bahwa fungsi hukum itu adalah meryubah sikap tradisional
masyarakat ke arah sikap yang modern. Hukum harus dapat membantu proses
perubahan masyarakat.
Hukum bersifat konservatif, yaitu untuk memelihara dan mempertahankan apa
yang telah dicapai. Lingkungan sosial yang selalu berubah menyebabkan hukum
harus selalu dilihat ptroses bekerjanya di masyarakat guna mewujudkan hukum
yang dapat diidentifikasi yaitu menstabilkan pergaulan hidup, merealisasikan
ketertiban dan perdamaian serta mewujudkan keadilan.
Menurut E.X. Adji Samekto, Hukum bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai (yang
harus dipegang) dalam tataran konkret. Nilai-nilai tersebut tidak bersifat empirik,
tetapi hanya dapat dipahami dalam konstruksi rasio yang bersifat subjektif
sehingga tidak dapat dipandang sebagai objek penelitin ilmu-ilmu empirik (IPA,
Biologi). Ilmu empiric dapat menggunakan metodologi yang ketat, impersonal,
netral, objektif, tidak tergantung pada penilaian pribadi (intersubjektif), dan
bersifat bebas nilai. Sedangkan hukum mangandung nilai-nilai yang tidak bisa
dipandang sebagai objek studi empirik, sehingga kajiannya menggunakan studi
normatif. Walau demikian, ketika hukum diangkat sebagai objek studi ilmu-ilmu
empirik, maka hukum harus didekati dari sudut optic instrumental, artinya
hukum ditinjau sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut
Radbruch tujuan hukum yang utama ada tiga yaitu: keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan (Sudharta, 2006).
Isu civil society atau masyarakat sipil, masyarakat madani, masyarakat beradab
atau masyarakat berbudaya adalah kehidupan yang lebih demokratis, adanya
penghargaan serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia. Ciri lain dari
masyarakat ini yaitu adanya kebebasan individu yang merupakan suatu kekuatan
institusi non pemerintah (yang otonom) untuk mengimbangi negara tanpa
mengabaikan peran negara untuk mewujudkan perdamaian dan sebagai penengah
dalam mengatasi berbagai konflik kepentingan yang terjadi). Dalam tatanan ini
hukum tidak hanya berfungsi sebagai saana sosial kontrol, tetapi juga sebagai
sarana untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Dalam konteks ini
hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat (Social Engineering)
termasuk pembaharuan pola tindak (perilaku), serta pola pikir yang didasari atas
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum.
Pada akhirnya, bekerjanya hukum menyangkut tataran yang paling dalam, meliputi
piranti nurani yang memiliki moral kemanusiaan dengan cara berpikir
menggunakan spiritual quotient (mencari makna), atau spiritual intelegence yang
bersifat creative, insightful, rule-making, rule-breaking. Cara berpikir ini tidak ada
keterikatan (rule bound) mutlak pada peraturan dan logika (rule and logic), maka ia
tidak bersifat deterministic (keharusan) dan masinal (mesin) (Esmi Warassih,
2007).
Page 4
Menurut Sunaryati, fungsi hukum dalam pembangunan memiliki empat fungsi,
yaitu:
1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan;
2. Hukum sebagai sarana pemabngunan;
3. Hukum sebagai sarana penegak keadlian;
4. Sarana Pendidikan masyarakat.
Fungsi hukum yang lain menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah sebagai sarana
untuk melakukan pembaharuan masyarakat (Social Engineering) atau perekayasa
sosial yang dikehendaki dan direncanakan. Menurut Yehezkel Dror, hubungan
anatara hukum dan perubahan sosial berkaitan dengandua sifat hukum, yaitu:
1. Hukum di dalam suatu masyarakat itu secara keseluruhan sebagai suatu ssstem
yang kedalam menyangkut bagian-bagian yang saling berserasi dan keluar
berada didalam keadaan yang berserasi dengan keseluruhan jaringan hubungan
intern yang ada. Hukum merupakan suatu subsistem didalam kerangka
keseluruhan budaya masyarakat, dan erat kaitannya dengan proses-proses dan
pranata-pranata pembuatannya, penerapannya, dan pelaksanaanya.
2. Hukum merupakan suatu unsur yang masuk kesetiap pranata (norma/aturan)
sosial yang ada dan selanjutnya selalu memainkan peranan yang penting
didalam setiap pranata tersebut.
Sedangkan menurut Lawrence Friedman dalam perspektif lain, fungsi dari hukum
adalah:
1. sebagai sistem kontrol (system control);
2. sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement);
3. sebagai redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial (Social
Engineering);
4. sebagai pemelihara sosial (social maintenance);
5. sebagai pengawas penguasa itu sendiri.
Pemberdayaan hukum bertitik tolak pada proses pembentukan hukum dan proses
penegakan hukum dengan menitik beratkan pada penguatan peran masyarakat
sipil (civil society). Karl Renner mengatakan “tanpa direncanakan sekalipun,
hukum akan tetap dinamis bergerak dan berubah (gradually works out) untuk
membangun dirinya sendiri.
Page 5
Hubungan antara hukum dan masyarakat dideskripsikan sebagai konstruksi
bangunan tubuh manusia, dimana “hukum” diibaratkan sebagai tulang kerangka
(skeleton), sedangkan “masyarakat” diibaratkan sebagai dagingnya. Unsur-unsur
bangunan hukum itu diperoleh sebagai berikut:
1. sistem peraturan itu sendiri;
2. segi ideologisnya;
3. segi manusianya;
4. segi struktur kemasyarakatannya;
5. segi fasilitas-fasilitas fisiknya.
Page 6
pola perikelakuan hukum. Menurut B. Kutschincky (1973), kesadaran hukum
bersifat relatif tergantung dari indikator:
1. pengetahuan tentang peraturan hukum (law awareness);
2. pengetahuan tentang isi peraturan hukum (law acquaintance);
3. sikap terhadap peraturan hukum (legal attitude):
4. pola perikelakuan hukum (legal behavior).
Aspek pengetahuan hukum dan pemahaman tatanan hukum dapat melahirkan
kesadaran dan kepatuhan hukum. Faktor pengetahuan menitikberatkan pada
aspek pemberdayaan masyarakat yang mandiri, tangguh, tidak bergantung pada
sebab-sebab lain, memiliki posisi tawar, sehingga masyarakat memiliki nilai-nilai
keadilan hukum, ekonomi dan kesejahteraan.
Secara epistemologis pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju
berdaya atau proses untuk memperoleh daya kekuatan/kemampuan, dan/atau
proses pemberian daya kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya
kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Onny). Selanjutnya Prijono &
Pranarka menyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua arti, yaitu:
1. to give power or authority (memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau
mendelegasikan otoritas kepada pihak yang kurang/belum berdaya);
2. to give ability to or enable (memberikan kemampuan atau keberdayaan serta
memberikan peluang kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu).
Konsep pemberdayaan mengandung konteks pemihakan kepada masyarakat yang
berada dibawah garis kemiskinan (Gunawan Sumodiningrat, 2007), sehingga
yang perlu diperhatikan yaitu: 1) pemberdayaan harus bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 2) pemberdayaan harus berakar dari
masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam setiap proses
pengelolaan lingkungan; dan 3) keterpaduan pelaksanaan pemberdayaan antara
pemerintah, pihak swasta, lembaga-lembaga penelitian, dan LSM.
Menurut Randy R. Wirihatnolo-Riant Nugroho Dwidjowijoto, 2005, pada
hakekatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).
Mengkaji pemberdayaan hukum pada dasarnya beranjak pada persoalan proses
pembentukan hukum (yang aspiratif, proaktif, dan kredibel) dan proses penegakan
hukum (yang baik, benar, dan bertanggung jawab). Didalam penegakan hukum,
pasangan nilai-nilai harus diselaraskan. Contohnya adalah nilai ketertiban dan
ketentraman. Ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan Ketentraman
titik tolaknya adalah kebebasan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan yang bertujuan untuk mencapai
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial (Gustav Radbruch).
4. Perilaku Hukum: Sebuah Tawaran Konsep
Satjipto Rahardjo, 2009; Masyarakat sebagai kebersamaan itu dibangun diatas
basis kepercayaan dan saling mebutuhkan. Kepercayaan adalah sikap saling
mempercayai yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dan
memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial (social capital). Modal
sosial merupakan suatu komponen utama dalam menggerakkan perilaku
kebersamaan, mobilitas ide, sikap saling percaya serta saling menguntungkan
sebagai upaya mencapai kemajuan bersama yang lebih baik. Lawrence M.
Page 7
Friedman menyatakan bahwa Perilaku merupakan unsur pokok sistem hukum
seslain melihat “perilaku hukum” (legal behavior).
Istilah perilaku hukum adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan
perintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang
hukum. Bila hal ini digunakan sebagai penjelasan dalam pemikiran Satjipto
Rahardjo, maka berhukum berdasarkan teks, berhukum melalui perilaku boleh
disebut sebagai berhukum secara buta. Cara berhukum demikian didasarkan pada
logika teks. Tetapi cara berhukum melalui perilaku in optima forma, yaitu cara
berhukum yang didasarkan pada logika moral dengan mengkaji perilaku
berdasarkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di
masyarakat.
Pada akhirnya, manakala kemudian hukum itu mengalami proses bekerjanya
hukum tidaklah mungkin dilepaskan dari filsafat moral, sehingga harus mampu
menangkap makna hukum sebagai fenomena sosial yang terus berkembang di
masyarakat. Hhukum pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari konteks
manusia, karena hukum ada diperuntukan bagi kehidupan manusia itu sendiri
sehingga norma hukum selalu mengandung kultur hukum masyarakat yang
membentuknya. Membentuk hukum harus secara humanis-partisipatoris, dan
bermoral, karena pada hakekatnya hukum bukan untuk hukum melainkan untuk
manusia dan masyarakat (Satjipto Rahrdjo, 2000). ***
Page 8
BAB II
APLIKASI BUDAYA HUKUM DALAM TATARAN MASYARAKAT NELAYAN
Page 9
B. Kesejahteraan Masyarakat Nelayan: Sebuah Pendekatan Gagasan
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan tidak bersifat independent, tetapi
disebabkan oleh banyak faktor. Program-program yang ditawarkan pemerintah belum
mampu menciptakan nelayan yang tangguh dan sejahtera. Untuk itu perlu pendekatan
tersendiri manakala persoalan nelayan dijadikan fokus bahasan guna membangun
kesejahteraan nelayan dengan pertimbangan secara sosiologis karakteristik masyarakat
pesisir nelayan berbeda dengan kelompok masyarakat perdesaan (petani).
Negara memikul tugas utama untuk memberi rasa aman dari segala ancaman dalam bentuk
apapun bagi semua warganya, dan negara juga harus mendorong dan menciptakan
kesejahteraan ekonomi bagi semua warga. Konsep negara kesejahteraan (welfare state)
berangkat dari upaya negara untuk mengelola semua sumberdaya yang ada demi
kesejahteraan rakyatnya. Konsekuensi logis norma Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
mempertegas komitmen Negara Kesejahteraan (welfare state) bagi Indonesia.
Fungsi hukum tidak hanya bersandar pada upaya-upaya mewujudkan keadilan, kepastian
hukum dan kebermanfaatan saja, tetapi mencakup pula membangun kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakatnya, sehingga dalam menggunakan hukum sebagai sarana perlu
diperhatikan secara sunguh-sungguh pendapat masyarakat tentang hukum. Hukum
bukanlah satu-satunya pengendalian sosial dan yang perlu diperhatikan adalah sampai
sejauhmana hukum telah melembaga bahkan mandarah daging (proses internalisasi) dalam
keseharian masyarakat.
Persoalan kesejahteraan (sosial) yang wajib diemban dan harus diwujudkan oleh konsep
Negara Kesejahteraan (welfare state) meliputi keseluruhan pemenuhan kebutuhan untuk
dapat bertahan hidup. Semakin banyak kebutuhan itu terpenuhi semakin sejahtera pula
kehidupannya.
Indikator terpenting keberhasilan program pemberdayaan masyarakat adalah perubahan
struktur secara alamiah. Perubahan ini bisa terjadi bila kemampuan lokal meningkat
signifikan dan kesejahteraan meningkat secara memadai dan lestari yang ditandai dengan
meningkatnnya akumulasi modal di tingkat lokal. Untuk itu, baik pemerintah maupun
pemerintah daerah berkewajiban memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraannnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 63 ayat (10 UU No. 27/2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU
No. 1/2014.
Kebijakan pemerintah merupakan instrumen untuk membentuk norma-norma
bersusmberkan nilai-nilai yang lebih bermoral. Hal ini dengan menyadari bahwa
pembangunan pada hakekatnya sebagai usaha guna menciptakan kemakmuran serta
kesejahteraan rakyat, sehingga hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh
rakyat tanpa terkecuali, dengan cara meningkatkan kesejahteraan lahir-bathin secara adil
dan merata.
Page
10
Selanjutnya kebijakan publik yang bertugas menterjemahkan ketentuan-ketentuan hukum
memiliki banyak makna, seperti yang disebutkan oleh Thomas R. Dye bahwa bila
pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (objektifnya) dan
kebijakan negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah (bukan semata-mata
merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja).
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara (pemerintah) sebagai
strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. William Dunn
menjelaskan kebijakan publik ditafsirkan sebagai arahan otoritatif bagi
penyelenggaraan tindakan pemerintahan dalam wilayah negara, provinsi,
kabupaten dan kota yang dikukuhkan oleh ketetapan legislative, aturan adminstrasi,
dan dukungan publik yang mempunyai pengaruh terhadap warga masyarakat dalam
suatu wilayah pemerintahan, sehingga problem kebijakan bergantung pada pola
keterlibatan dari tiap pelaku kebijakan, yaitu individu-individu atau kelompok-
kelompok yang mempengartuhi atau dipengaruhi oleh keputusan-keputusan
pemerintah. Jadi dalam pengertian ini kebijakan publik dapat disebut sebagai
budaya atau kebudayaan. Kebijakan publik tidaklah berada dalam tingkatan yang
abstrak, tetapi justru berada dalam ranah riil yang bergerak dalam hubungan untuk
mencapai tujuan bersama sehingga kebijakan publik merupakan respon atas apa
yang sedang terjadi dalam masyarakatnya.
Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat nelayan menjadi masalah publik yang harus
ditangani melalui kebijakan publik yang tepat sasaran, sehingga tujuan yang diemban
benar-benar mampu diwujudkan. Melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir (PEMP) harapannya mampu memberdayakan nelayan. Kondisi serba kekurangan,
kerentanan sosial, kerapuhan fisik dan ketidakberdayaan yang ditandai dengan kondisi
lingkungan yang buruk dalam masyarakat nelayan dalam situasi sosial-ekonomi yang tidak
memihak menimbulkan berbagai macam keterbatasan. Kondisi ini terkadang memunculkan
hal yang positif, yaitu semangat pantang menyerah dalam bekerja, sehingga melahirkan etos
kerja yang tinggi.
Melalui pendekatan fenomenologi bahwa fenomena realitas ini beranjak dari adanya
kemiskinan sebagai sebuah kebenaran fenomena seperti yang tampak apa adanya. Dengan
menggunakan pendekatan Husserl yang dikatakan reduksi fenomenologi transcendental,
yaitu persoalan kemiskinan melalui kesadaran murni (transcendental) sehingga dibutuhkan
pendekatan verstchen (penghayatan, pemahaman, interpretatif) untuk mendapatkan makna
yang sesungguhnya dari kemiskinan nelayan.
Fenomena kemiskinan nelayan dapat mempengaruhi interaksi sosial yang terjadi sehingga
pemaknaan melalui verstchen terhadap simbol-simbol hukum yaitu undang-undang No.
27/2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1/2014 telah memungkinkan terjadinya
pengingkaran dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan serta pemaknaan yang
keliru tentang PEMP dimana program ini dimaknai sebagai hibah atau bantuan yang begitu
terasa dalam proses interaksi sosial.
Akar maslah lahirnya tindakan pengingkaran nelayan dan pemaknaan hibah terhadap
program tersebut berangkat dari persoalan kemiskinan yang serba terbatas secara sosial-
ekonomi dengan pandangan, gagasan, ide-ide yang cenderung apatis, pesimis, sebagai
konstruksi budaya hukum yang telah terbangun selama ini dalam komunitas masyarakat
nelayan tradisional sehingga kondisi lingkungan yang problematis ini mengakibatkan warga
nelayan sebsagai subjek yang mengalami dirinya sendiri dan kebenaran yang dicapai adalah
kesesuaian antara apa yang dilihat, dipikir dan dialami dengan makna yang ditemukan.
Pandangan yang keliru tersebut jadi kendala besar bagi kelangsungan program sehingga
program PEMP menjadi terhambat, bahkan program menjadi bubar dan tidak jelas arahnya.
Program tersebut dapat diibaratkan Seperti Melempar Batu Ketengah Lautan Tidak Akan
Muncul Kembali Kepermukaan. ***