Anda di halaman 1dari 12

BAB I

TEORI BUDAYA HUKUM DALAM REFLEKSI FUNGSI HUKUM

A. Pemaknaan Hukum dalam Realitas Pembangunan


Pembangunan disejajarkan dengan kata “perubahan sosial”; “pertumbuhan”,
“progress”, dan “modernisasi”. Masyarakat yang mengalami proses pembangunan
adalah masyarakat yang berkembang dari kesederhanaan menjadi terdiferensiasi dan
kompleks dalam segala aspek kehdupan. Oeh karenanya, pembangunan disejajarkan
dengan kata “perubahan sosial” (pertumbuhan, progress, dan modernisasi).
Manusia adalah mahluk tatanan, sehingga kehidupan dalam masyarakat berjalan
dengan tertib dan teratur. Tatanan adalah norma hukum yang lebih utuh yang
dijadikan sebagai pedoman dalam proses pembangunan yang mengarah pada
perubahan menuju pola-pola kehidupan masyarakat dengan peningkatan nilai-nilai
kemanusiaan dan kontrol masyarakat terhadap lingkungannya.
Tatanan ini dibagi kedalam tiga, yaitu: (1) tatanan transendental (transcendental
order)/hakiki; (2) tatanan sosial (sosial order), dan (3) tatanan politik (political order);
ex: hukum negara. Menurut Satjipto Rahardjo (mengajarkan keteraturan
menemukan ketidak teraturan), bahwa suatu tatanan dalam suatu masyarakat terdiri
dari sub-sub tatanan (kebiasaan, hukum, dan kesusilaan) yang saling berhubungan
sehingga tercipta ketertiban.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan sebagaimana dirumuskan dalam
UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum maka dibutuhkan eksistensi hukum sebagai jaminan dan
perlindungan terhadap keteraturan, kelancaran dan keseluruhan proses dan hasil-
hasil pembangunan.
Secara umum pembangunan hukum nasional pada dasarnya merupakan suatu upaya
untuk membangun suatu tata hukum nasional yang berlandaskan kepada jiwa dan
kepribadian bangsa. Menurut Sunaryati Hartono, makna pembangunan hukum akan
meliputi : a) menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik); b) mengubah agar
menjadi lebih baik dan modern; c) mengadakan sesuatu yang belum ada, atau d)
meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan atau
tidak cocok dengan sistem baru.
Abdul Hakim G. Nusantara meyebutkan bahwa ada dua strategi dalam
pembangunan hukum, yaitu : (1) Pembangunan Hukum Ortodoks, dan (2)
Pembangunan Hukum Responsif. Pembangunan hukum dirumuskan sebagai segala
usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat yang
berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan
dilembagakan dalam suatu proses politik. Dimana Pembangunan Hukum Ortodoks
bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama
pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif, sedangkan Hukum Responsif
mendasarkan kepada peranan besar lembaga peradilan dan partisipasi luas
kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
Pembangunan memiliki keterkaitan dengan terjadinya proses perubahan sosial yang
terjadi di tengah masyarakat. Pada satu sisi, hukum diharpan menjadi sarana untuk
menciptakan ketertiban dan kemantapan tata hidup masyarakat, sedangkan dilain
pihak pembangunan dengan sendirinya menciptakan gejala sosial baru yang
berpengaruh pada sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Era pembangunan seperti sekarang ini telah mendorong agar hukum mampu
menampakkan sosoknya sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dan juga sebagai

Page 1
proses perubahan dan pengembangan masyarakat. Pembanunan yang dilakukan
bukan hanya sekedar terjadinya perubahan-perubahan secara fisik-material semata,
tetapi juga menyangkut perubahan sikap, cara pandang, pola pikr serta sikap
(attitude) dari warga masyarakatnya (Mochtar Kusumaatmadja).
Pada titik inilah maka hukum memiliki tujuan sebagai sarana atau alat memelihara
ketertiban yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana pula ditegaskan bahwa fungsi
hukum sebagai pencipta keteraturan (order), juga harus dapat memberikan
perlindungan bagi rakyat untuk memperoleh keadilan dan bukan untuk
menyengsarakan. Hukum tidak identik dengan ketertiban, karena hukum
merupakan lambang prosedur formal, sedangkan ketertiban adalah lambang
substansi. Menurut Gustav Radbruch, keberadaan hukum dimaksudkan untuk
adanya keadlian, kepastian, dan kegunaan. Dari ketiga nilai tersebut selalu terjadi
pertentangan, sehingga tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai
hukum dan postulat-postulatnya (kebenaran hakiki) hingga dasar-dasar filsafat yang
paling dalam.
Pada akhirnya hakikat hukum adalah penilaian akal budi yang berakar dalam hati
nurani manusia tentang keadilan dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan
manusia (behind the rule is value). Hukum sebagai norma, hukum sebagai sistem,
hukum sebagai lembaga/institusi sosial, dan hukum sebagai pranata, ***

B. Deskripsi tentang Budaya Hukum dalam Tataran Teoritik


Edward Burnett Tylor dalam bukunya Primitive culture, kebudayaan adalah
kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat
dan setiap kemampuan lain dan kbiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota
suatu masyarakat (dikutip Mahfud MD).
Cliffort Geertz menyebutkan bawa kebudayaan atau culture dalam bidang
antropologi didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari
manusia dengan belajar. Kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: (1) wujud kompleks
dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma,-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) wujud benda-benda
hasil karya manusia.
Kuntowijoyo mendefinisikan budaya sebagai sebuah sistem yang mempunyai
koherensi, bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra,
lukisan, nyayian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep
epistemology dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan
epistemology tidak terpisahkan dari sistem sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh
perilaku sosial.
Oleh karena itu konsep budaya hukum berkaitan dengan hukum dan proses hukum,
dimana budaya hukum mempengaruhi proses bekerjanya hukum di masyarakat yang
berpangkal pada masalah kesadaran dan kepatuhan hukum. Budaya hukum itu
berupa nilai-nilai, tradisi dan lain-lain kekuatan spiritual yang menentukan
bagaimana hukum itu dijalankan dalam masyarakat.
Menurut Lawrence M. Friedman, hukum merupakan suatu sistem yang terdiri dari
tiga komponen, yaitu: (1) legal substance (aturan dan norma), (2) legal structure
(institusi penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan advokat), dan (3) legal
culture atau budaya hukum (ide-ide, sikap, kepercayaan, harapan dan pandangan
tentang hukum). Dimana menurutnya, Budaya Hukum ini diibaratkan sebagai
“bensinnya motor keadilan” the lagal culture provides fuel for the motor of justice.
Budaya hukum mencakup juga cita hukum dan kesadaran hukum. Budaya hukum
akan menentukan kapan, kenapa, dan dimana masyarakat menggunakan hukum,
institusi hukum dan proses hukumnya.
Page 2
Pada hakekatnya budaya hukum mencakup opini, kebiasaan, cara berpikir dan
bertindak, baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakatnya (Achmad
Ali, 2002).
Dalam pengembangan model masyarakat, Persons membagi wilayah penerapan
sistem budaya menjadi tiga, yaitu: (1) ranah simbol-simbol kognitif yang bersifat
instrumental (matematika, laporan keuangan) yang berurusan dengan ide dan
keyakinan tentang dunia; (2) simbol-simbol ekspresif yang bersifat kreatif dan hal
ihwal kenikmatan/pleasure (seni dan musik) yang menkomunikasikan emosi; (3)
standar dan norma moral yang berurusan dengan benar salah.
Pembangunan hukum bertujuan untuk meningkatkan akselerasi reformasi hukum
yang mencakup empat aspek, yakni: legislasi, sumber daya manusia, kelembagaan dan
infrastruktur, dan budaya hukum. Keempat fakor ini merupakan standar nilai dalam
memecahkan persoalan mendasar dalam bidang hukum yang mencakup, perencanaan
hukum, proses pembuatan hukum, penegakan hukum dan pembinaan kesadaran
hukum.
Transplantasi hukum tanpa mempertimbangkan budaya hukum domestik tidak dapat
diterapkan dengan baik seperti yang berlaku di negara asalnya, karena gagasan, sikap,
dan opini masyarakat dari setiap negara adalah berbeda (Benny Simons).
Hubungan antara hukum dan pembangunan: 1) budaya hukum adalah elemen sentral
unutk suksesnya pembaharuan hukum, 2) budaya hukum pada akhirnya dapat
mengubah dan memberi pengaruh pada pembangunan kesadaran hukum, 3)
perubahan kesadaran hukum mempengaruhi faktor eksternal (ekonomi, politik,
sosial), dan 4) terciptanya sistem hukum yang lebih rasional dan realistis/apa adanya.
Budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari
masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku (Roger Cotterrell).
Peranan penting yang terdapat dalam budaya hukum ialah sebagai penggerak
bekerjanya hukum (Satjipto Rahardjo, 2004), karena perubahan sosial dapat
menuntun pada fase perubahan dalam budaya hukum masyarakat, sosial change leads
to changes in legal culture (Gunther Teubner).
Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) harus mampu diwujudkan dalam budaya
hukum masyarakat., sebab cita hukum ini berada dalam cita bangsa Indonesia yang
berupa gagasan, rasa, cita, dan pikiran yang diinginkan masyarakat (Esmi Warasih,
2005). Tanpa cita hukum maka produk hukum yang dihasilkan akan kehilangan
maknanya. Tiadanya kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai yang terkandung
dalam cita hukum Pancasila sebagai norma fundamental negara) akan menimbulkan
kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang dibuat. Norma hukum dapat
memberikan pedoman tingkah laku yang dilarang, yang dibutuhkan, dan yang
diizinkan dalam kehidupan sosial. Dengan demikian hukum harus mampu
menterjemahkan kebijaksanaan, sebab hukum mengandung arti sebagai instrumen
kebijaksanaan dengan kandungan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapainya.
Menurut Shidarta, Pancasila menjadi “bintang pemandu” atau leitstern dimana
lapisan-lapisan materinya berisi substansi hukum, dan tiang kerangkanya adalah
struktur hukum, serta lingkungan kehidupannya adalah budaya hukum (Anton F.
Ssusanto). Faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum adalah: 1) substansi
hukum (berorientasi kepada masyarakat dan berkeadilan sosial, dan 2) aparat
penegak hukum yang professional (non diskriminatif).

C. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial


1. Konsep Fungsi Hukum dalam Pembangunan
Apa itu tujuan hukum?,…Eksistensi hukum tidak lepas dari proses sosial yaitu
bagaimana perilaku manusia berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya

Page 3
sehingga hukum akan terlibat dalam proses tersebut dan hukum memberikan
makna terhadap fakta-fakta sosial yang dihadapinya. Fakta sosial pada hakekatnya
adalah sejumlah realitas yang terwujud sepanjang berlangsungnya interaksi antar
manusia (konstruksi subjektivitas) di dalam kehidupan sosialnya (Soetandyo
Wignjosoebroto, 2000).
Hukum berfungsi sebagai alat pengatur hubungan masyarakat dan petunjuk apa
yang harus dilakukan, mana yang tidak boleh dilakukan dengan harapan segala
sesuatunya dapat berjalan dengan tertib dan teratur (Hukum bersifat Imperatif).
Fungsi lainnya yaitu hukumdiharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat. Hukum juga dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan yaitu
dapat membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Mochtar Kusumatmadja
berpendapat bahwa fungsi hukum itu adalah meryubah sikap tradisional
masyarakat ke arah sikap yang modern. Hukum harus dapat membantu proses
perubahan masyarakat.
Hukum bersifat konservatif, yaitu untuk memelihara dan mempertahankan apa
yang telah dicapai. Lingkungan sosial yang selalu berubah menyebabkan hukum
harus selalu dilihat ptroses bekerjanya di masyarakat guna mewujudkan hukum
yang dapat diidentifikasi yaitu menstabilkan pergaulan hidup, merealisasikan
ketertiban dan perdamaian serta mewujudkan keadilan.
Menurut E.X. Adji Samekto, Hukum bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai (yang
harus dipegang) dalam tataran konkret. Nilai-nilai tersebut tidak bersifat empirik,
tetapi hanya dapat dipahami dalam konstruksi rasio yang bersifat subjektif
sehingga tidak dapat dipandang sebagai objek penelitin ilmu-ilmu empirik (IPA,
Biologi). Ilmu empiric dapat menggunakan metodologi yang ketat, impersonal,
netral, objektif, tidak tergantung pada penilaian pribadi (intersubjektif), dan
bersifat bebas nilai. Sedangkan hukum mangandung nilai-nilai yang tidak bisa
dipandang sebagai objek studi empirik, sehingga kajiannya menggunakan studi
normatif. Walau demikian, ketika hukum diangkat sebagai objek studi ilmu-ilmu
empirik, maka hukum harus didekati dari sudut optic instrumental, artinya
hukum ditinjau sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut
Radbruch tujuan hukum yang utama ada tiga yaitu: keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan (Sudharta, 2006).
Isu civil society atau masyarakat sipil, masyarakat madani, masyarakat beradab
atau masyarakat berbudaya adalah kehidupan yang lebih demokratis, adanya
penghargaan serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia. Ciri lain dari
masyarakat ini yaitu adanya kebebasan individu yang merupakan suatu kekuatan
institusi non pemerintah (yang otonom) untuk mengimbangi negara tanpa
mengabaikan peran negara untuk mewujudkan perdamaian dan sebagai penengah
dalam mengatasi berbagai konflik kepentingan yang terjadi). Dalam tatanan ini
hukum tidak hanya berfungsi sebagai saana sosial kontrol, tetapi juga sebagai
sarana untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Dalam konteks ini
hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat (Social Engineering)
termasuk pembaharuan pola tindak (perilaku), serta pola pikir yang didasari atas
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum.
Pada akhirnya, bekerjanya hukum menyangkut tataran yang paling dalam, meliputi
piranti nurani yang memiliki moral kemanusiaan dengan cara berpikir
menggunakan spiritual quotient (mencari makna), atau spiritual intelegence yang
bersifat creative, insightful, rule-making, rule-breaking. Cara berpikir ini tidak ada
keterikatan (rule bound) mutlak pada peraturan dan logika (rule and logic), maka ia
tidak bersifat deterministic (keharusan) dan masinal (mesin) (Esmi Warassih,
2007).

Page 4
Menurut Sunaryati, fungsi hukum dalam pembangunan memiliki empat fungsi,
yaitu:
1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan;
2. Hukum sebagai sarana pemabngunan;
3. Hukum sebagai sarana penegak keadlian;
4. Sarana Pendidikan masyarakat.
Fungsi hukum yang lain menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah sebagai sarana
untuk melakukan pembaharuan masyarakat (Social Engineering) atau perekayasa
sosial yang dikehendaki dan direncanakan. Menurut Yehezkel Dror, hubungan
anatara hukum dan perubahan sosial berkaitan dengandua sifat hukum, yaitu:
1. Hukum di dalam suatu masyarakat itu secara keseluruhan sebagai suatu ssstem
yang kedalam menyangkut bagian-bagian yang saling berserasi dan keluar
berada didalam keadaan yang berserasi dengan keseluruhan jaringan hubungan
intern yang ada. Hukum merupakan suatu subsistem didalam kerangka
keseluruhan budaya masyarakat, dan erat kaitannya dengan proses-proses dan
pranata-pranata pembuatannya, penerapannya, dan pelaksanaanya.
2. Hukum merupakan suatu unsur yang masuk kesetiap pranata (norma/aturan)
sosial yang ada dan selanjutnya selalu memainkan peranan yang penting
didalam setiap pranata tersebut.
Sedangkan menurut Lawrence Friedman dalam perspektif lain, fungsi dari hukum
adalah:
1. sebagai sistem kontrol (system control);
2. sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement);
3. sebagai redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial (Social
Engineering);
4. sebagai pemelihara sosial (social maintenance);
5. sebagai pengawas penguasa itu sendiri.
Pemberdayaan hukum bertitik tolak pada proses pembentukan hukum dan proses
penegakan hukum dengan menitik beratkan pada penguatan peran masyarakat
sipil (civil society). Karl Renner mengatakan “tanpa direncanakan sekalipun,
hukum akan tetap dinamis bergerak dan berubah (gradually works out) untuk
membangun dirinya sendiri.

2. Kajian Hukum dalam Perspektif Siologis


Apakah hukkum itu mempengaruhi masyarakat, ataukah justru sebaliknya
masyarakat yang mempengaruhi hukum?. Harz menyatakan bahwa definisi hukum
belum ada yang tepat dengan alasan bahwa hukum harus melayani dan bekerja
dalam masyarakat yang selalu mengalami proses perubahan, artinya hukum dan
masyarakat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hukum berpijak
pada jiwa masyarakat yang merupakan basis sosialnya, tempat hukum itu tumbuh
dan berkembang. Artinya kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat untuk
melayani kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, seperti mempertahankan
ketentraman, menyelesaikan sengketa, menindak pembangkangan, dll Kondisi
tersebut telah memungkinkanlahirnya pendapat lain yang mengatakan “hukum itu
lebih daripada alat praktis semata-mata. Hukum itu sarat dengan nilai-nilai. Ia
terpanggil untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu didalam kehidupan sosial. Ia
tidak hanya dokumen yang dapat digarap dengan menggunakan logika tetapi aksi,
perbuatan, proses, interaksi, ketundukan (obey) dan penolakan, pengabaian,
pembiaran dan lain-lain temuan nyata dalam masyarakat dimana hukum bekerja
(Satjipto Rahrdjo, 2005).

Page 5
Hubungan antara hukum dan masyarakat dideskripsikan sebagai konstruksi
bangunan tubuh manusia, dimana “hukum” diibaratkan sebagai tulang kerangka
(skeleton), sedangkan “masyarakat” diibaratkan sebagai dagingnya. Unsur-unsur
bangunan hukum itu diperoleh sebagai berikut:
1. sistem peraturan itu sendiri;
2. segi ideologisnya;
3. segi manusianya;
4. segi struktur kemasyarakatannya;
5. segi fasilitas-fasilitas fisiknya.

3. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum: Sebagai Komponen dalam Perwujudan


Pemberdayaan Hukum
Kebebasan manusia memainkan peranan dalam pembahasan tentang Batasan
hukum memicu Tindakan manusia untuk melakukan sesuatu dalam konteks
interaksi sosial. Karena hukum mengarahkan perbuatan manusia maka semua
aturan hukum berhubungan dengan perbuatan manusia. Ada tiga jenis perbuatan
manusia, yaitu:
1. Tindakan kebajikan;
2. Tindakan kejahatan;
3. Tindakan yang memiliki karakteristik khusus (misalnya memberi izin).
Ada tiga alasan manusia mantaati hukum, yaitu:
1. hukum memerintahkan sesuatu yang berguna bagi manusia;
2. ada ancaman sanksi hukuman jika manusia melanggar atau melawan hukum
yang berlaku, dan
3. orang mentaati hukum karena ia merasa wajib secara moral.
Jika seseorang hanya akan taat pada hukum karena diperintahkan atau diancam
oleh adanya sanksi hukuman, maka ketaatan itu tidak akan sampai pada
kesadarannya. Kesadaran hukum yang hendak dibangun harus mampu mencapai
tidak hanya tataran aspek kognisi (pengetahuan), tetapi juga aspek afeksi
(sikap/perasaan) yang dapat membangkitkan rasa taat (to obey) yang ikhlas
kepada hukum, sehingga hukumdapat bekerja dengan baik tanpa menerapkan
sanksi dan memboroskan waktu, tenaga, biaya dan pikiran (Soetandyo
Wignjosoebroto).
Hukum terikat kepada dunia ideal dan kenyataan (diametral). Untuk memenuhi
kebutuhan filosofis, maka hukum harus memasukan konsep ideal dalam karyanya,
sedangkan untuk memenuhi tuntutan sosiologis, hukum harus mempertimbangkan
unsur kenyataan (Satjipto Rahrdjo). Hal yang mempengaruhui bekerjanya hukum
dipengaruhui oleh budaya hukum dalam masyarakat yang mampu mengakomodir
penerimaan secara ideal terhadap kepentingan masyarakat menyangkut keadilan.
Dipandang dari sudut gejala pelanggaran hukum dapat ditafsirkan sebagai indikasi
bahwa sampai saat ini (dalam proses pembangunan) belum sepenuhnya
masyarakat memiliki kesadarn hukum, sehingga menuntut adanya pembinaan
serta peningkatan dan pengembangan kesadaran hukum (to obey).
Kesadaran hukum merupakan konstruksi abstrak didalam diri manusia yang
mencakup unsur-unsur pengetahuan tentang hukum, isi hukum, sikap hukum dan

Page 6
pola perikelakuan hukum. Menurut B. Kutschincky (1973), kesadaran hukum
bersifat relatif tergantung dari indikator:
1. pengetahuan tentang peraturan hukum (law awareness);
2. pengetahuan tentang isi peraturan hukum (law acquaintance);
3. sikap terhadap peraturan hukum (legal attitude):
4. pola perikelakuan hukum (legal behavior).
Aspek pengetahuan hukum dan pemahaman tatanan hukum dapat melahirkan
kesadaran dan kepatuhan hukum. Faktor pengetahuan menitikberatkan pada
aspek pemberdayaan masyarakat yang mandiri, tangguh, tidak bergantung pada
sebab-sebab lain, memiliki posisi tawar, sehingga masyarakat memiliki nilai-nilai
keadilan hukum, ekonomi dan kesejahteraan.
Secara epistemologis pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju
berdaya atau proses untuk memperoleh daya kekuatan/kemampuan, dan/atau
proses pemberian daya kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya
kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Onny). Selanjutnya Prijono &
Pranarka menyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua arti, yaitu:
1. to give power or authority (memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau
mendelegasikan otoritas kepada pihak yang kurang/belum berdaya);
2. to give ability to or enable (memberikan kemampuan atau keberdayaan serta
memberikan peluang kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu).
Konsep pemberdayaan mengandung konteks pemihakan kepada masyarakat yang
berada dibawah garis kemiskinan (Gunawan Sumodiningrat, 2007), sehingga
yang perlu diperhatikan yaitu: 1) pemberdayaan harus bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 2) pemberdayaan harus berakar dari
masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam setiap proses
pengelolaan lingkungan; dan 3) keterpaduan pelaksanaan pemberdayaan antara
pemerintah, pihak swasta, lembaga-lembaga penelitian, dan LSM.
Menurut Randy R. Wirihatnolo-Riant Nugroho Dwidjowijoto, 2005, pada
hakekatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).
Mengkaji pemberdayaan hukum pada dasarnya beranjak pada persoalan proses
pembentukan hukum (yang aspiratif, proaktif, dan kredibel) dan proses penegakan
hukum (yang baik, benar, dan bertanggung jawab). Didalam penegakan hukum,
pasangan nilai-nilai harus diselaraskan. Contohnya adalah nilai ketertiban dan
ketentraman. Ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan Ketentraman
titik tolaknya adalah kebebasan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan yang bertujuan untuk mencapai
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial (Gustav Radbruch).
4. Perilaku Hukum: Sebuah Tawaran Konsep
Satjipto Rahardjo, 2009; Masyarakat sebagai kebersamaan itu dibangun diatas
basis kepercayaan dan saling mebutuhkan. Kepercayaan adalah sikap saling
mempercayai yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dan
memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial (social capital). Modal
sosial merupakan suatu komponen utama dalam menggerakkan perilaku
kebersamaan, mobilitas ide, sikap saling percaya serta saling menguntungkan
sebagai upaya mencapai kemajuan bersama yang lebih baik. Lawrence M.
Page 7
Friedman menyatakan bahwa Perilaku merupakan unsur pokok sistem hukum
seslain melihat “perilaku hukum” (legal behavior).
Istilah perilaku hukum adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan
perintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang
hukum. Bila hal ini digunakan sebagai penjelasan dalam pemikiran Satjipto
Rahardjo, maka berhukum berdasarkan teks, berhukum melalui perilaku boleh
disebut sebagai berhukum secara buta. Cara berhukum demikian didasarkan pada
logika teks. Tetapi cara berhukum melalui perilaku in optima forma, yaitu cara
berhukum yang didasarkan pada logika moral dengan mengkaji perilaku
berdasarkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di
masyarakat.
Pada akhirnya, manakala kemudian hukum itu mengalami proses bekerjanya
hukum tidaklah mungkin dilepaskan dari filsafat moral, sehingga harus mampu
menangkap makna hukum sebagai fenomena sosial yang terus berkembang di
masyarakat. Hhukum pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari konteks
manusia, karena hukum ada diperuntukan bagi kehidupan manusia itu sendiri
sehingga norma hukum selalu mengandung kultur hukum masyarakat yang
membentuknya. Membentuk hukum harus secara humanis-partisipatoris, dan
bermoral, karena pada hakekatnya hukum bukan untuk hukum melainkan untuk
manusia dan masyarakat (Satjipto Rahrdjo, 2000). ***

Page 8
BAB II
APLIKASI BUDAYA HUKUM DALAM TATARAN MASYARAKAT NELAYAN

A. Konstruksi Budaya Hukum Masyarakat: Alternatif Menggagas Pencapaian


Tujuan Pembangunan Nasional
Pembangunan pada masyarakat nelayan memiliki dinamika yang khas, mengingat pada
dasarnya secara sosiologis karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan masyarakat
petani. Secara umum kondisi masyarakat nelayan ditandai dengan adanya ciri khas, yaitu:
kemiskinan, keterbelakanagan sosial budaya, rendahnya kualitas SDM, dan lemahnya fungsi
dari Kelompok Usaha Bersama (KUBe). Akibatnya nelayan masih belum berdaya secara
ekonomi dan politik, organisasi ekonomi nelayan belum solid dan masih terkungkung pada
ikatan tradisional dengan para bakul (tengkulak) yang bersifat patron-klien. Pada dasarnya
hubungan patron-klien berkenaan dengan:
1. Hubungan antar pelaku dengan yang menguasai sumberdaya tidak setara;
2. Hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan pribadi dan mengandung
kemesraan (affectivity); dan
3. Hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan, serta saling memberi dan
menerima (take and give).
Laut dalam pandangan nelayan dalam tataran kearifan lokal masih diakui sebagai anugerah
Allah SWT. yang diberikan untuk menjadi lahan mata pencaharian mempertahankan hidup
keluarga secara turun menurun. Kesulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa
pesisir telah menjadikan penduduk di Kawasan ini harus menanggung beban kehidupan
yang tidak dapat dipastikan kapan masa berakhirnya.
Kerawanan dibidang sosial-ekonomi dapat menjadi lahan subur bagi kerawanan dibidang
kehidupan lainnya. Kemiskinan yang bersifat kompleks sebagai akbiat dari
ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (phsycal
weakness), dan keterasingan (isolation). Kondisi marginal nelayan sebenarnya sama dengan
istilah deprivation trap atau perangkap kemiskinan (Robert Chambers).
Kultur hukum di atas dapat menjadi penghambat dalam upaya perwujudan pembangunan
nasional. Kultur lain yang mempengaruhui kultur hukum masyarakat adalah kultur
patrimonial dan paternalistic. Proses interaksi yang terjadi adalah antara sub budaya
hukum pemimpin dengan budaya hukum itu sendiri, dalam arti bahwa penerimaan
penghayatan serta perilaku para pemimpin yang sesuai dengan harapan hukum akan
mendorong dijalankan dengan baik oleh masyarakat.
Upaya yang dapat dilakukan bagi pembinaan budaya hukum diharapkan mampu
mendukung bekerjanya hukum, sehingga memungkinkan dilakukannya penanaman dan
penyebaran pengetahuan mengenai hukum. Untuk itu harus dikaitkan dengan
penghormatan pada nilai-nilai sosial-budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Pelibatan masyarakat melalui proses partisipasi publik dengan dukungan pembentukan
hukum, proaktif, kredibel serta aspiratif memudahkan untuk membangun proses
pemberdayaan hukum dengan mendasarkan pada pemikiran awal bahwa hukum hidup
dengan habitatnya masyarakat.
Dukungan budaya hukum masyarakat nelayan yang positif sebagai langkah nyata
mewujudkan masyarakat yang tertib, disiplin dan peduli terhadap tatanan lingkungan
pesisir yang lestari sehingga mampu membangun masyarakat nelayan yang sejahtera.
Pembangunan dan pengembangan budaya hukum ditujukan untuk terciptanya
ketentraman, serta ketertiban dan tegaknya hukum yang berintikan kejujuran, kebenaran
dan keadilan untuk mewujudkan kepastian hukum dalam rangka menumbuhkan dan
mengembangkan disiplin nasional (Sartjipto Rahardjo).

Page 9
B. Kesejahteraan Masyarakat Nelayan: Sebuah Pendekatan Gagasan
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan tidak bersifat independent, tetapi
disebabkan oleh banyak faktor. Program-program yang ditawarkan pemerintah belum
mampu menciptakan nelayan yang tangguh dan sejahtera. Untuk itu perlu pendekatan
tersendiri manakala persoalan nelayan dijadikan fokus bahasan guna membangun
kesejahteraan nelayan dengan pertimbangan secara sosiologis karakteristik masyarakat
pesisir nelayan berbeda dengan kelompok masyarakat perdesaan (petani).
Negara memikul tugas utama untuk memberi rasa aman dari segala ancaman dalam bentuk
apapun bagi semua warganya, dan negara juga harus mendorong dan menciptakan
kesejahteraan ekonomi bagi semua warga. Konsep negara kesejahteraan (welfare state)
berangkat dari upaya negara untuk mengelola semua sumberdaya yang ada demi
kesejahteraan rakyatnya. Konsekuensi logis norma Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
mempertegas komitmen Negara Kesejahteraan (welfare state) bagi Indonesia.
Fungsi hukum tidak hanya bersandar pada upaya-upaya mewujudkan keadilan, kepastian
hukum dan kebermanfaatan saja, tetapi mencakup pula membangun kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakatnya, sehingga dalam menggunakan hukum sebagai sarana perlu
diperhatikan secara sunguh-sungguh pendapat masyarakat tentang hukum. Hukum
bukanlah satu-satunya pengendalian sosial dan yang perlu diperhatikan adalah sampai
sejauhmana hukum telah melembaga bahkan mandarah daging (proses internalisasi) dalam
keseharian masyarakat.
Persoalan kesejahteraan (sosial) yang wajib diemban dan harus diwujudkan oleh konsep
Negara Kesejahteraan (welfare state) meliputi keseluruhan pemenuhan kebutuhan untuk
dapat bertahan hidup. Semakin banyak kebutuhan itu terpenuhi semakin sejahtera pula
kehidupannya.
Indikator terpenting keberhasilan program pemberdayaan masyarakat adalah perubahan
struktur secara alamiah. Perubahan ini bisa terjadi bila kemampuan lokal meningkat
signifikan dan kesejahteraan meningkat secara memadai dan lestari yang ditandai dengan
meningkatnnya akumulasi modal di tingkat lokal. Untuk itu, baik pemerintah maupun
pemerintah daerah berkewajiban memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraannnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 63 ayat (10 UU No. 27/2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU
No. 1/2014.
Kebijakan pemerintah merupakan instrumen untuk membentuk norma-norma
bersusmberkan nilai-nilai yang lebih bermoral. Hal ini dengan menyadari bahwa
pembangunan pada hakekatnya sebagai usaha guna menciptakan kemakmuran serta
kesejahteraan rakyat, sehingga hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh
rakyat tanpa terkecuali, dengan cara meningkatkan kesejahteraan lahir-bathin secara adil
dan merata.

C. Dampak Budaya Hukum Negatif terhadap Pemaknaan Kebijakan Pemerintah


Pemberlakuan hukum sebagai sarana karena secara teknis hukum dapat memberikan atau
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan
prediktabilitas didalam kehidupan masyarakat;
2. Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi;
3. Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi dan melawan
kritik;
4. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya.
Perkembangan hukum sebagai instrumental ini merupakan salah satu karakteristik
masyarakat modern sehingga hukum lebih fokus sebagai instrument perubahan sosial yang
mampu menggali visi kedepan guna mengatasi problem-problem yang dihadapinya.
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial dipahami pada ranah dua sifat hukum
dengan mendasarkan pada argumentasi Dror sebelumnya tentang komponen utama dalam
sistem hukum, yaitu: Substantive law, Procedural law, Personnel, Organizations. Resources,
Decision rules and decision habits).

Page
10
Selanjutnya kebijakan publik yang bertugas menterjemahkan ketentuan-ketentuan hukum
memiliki banyak makna, seperti yang disebutkan oleh Thomas R. Dye bahwa bila
pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (objektifnya) dan
kebijakan negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah (bukan semata-mata
merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja).
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara (pemerintah) sebagai
strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. William Dunn
menjelaskan kebijakan publik ditafsirkan sebagai arahan otoritatif bagi
penyelenggaraan tindakan pemerintahan dalam wilayah negara, provinsi,
kabupaten dan kota yang dikukuhkan oleh ketetapan legislative, aturan adminstrasi,
dan dukungan publik yang mempunyai pengaruh terhadap warga masyarakat dalam
suatu wilayah pemerintahan, sehingga problem kebijakan bergantung pada pola
keterlibatan dari tiap pelaku kebijakan, yaitu individu-individu atau kelompok-
kelompok yang mempengartuhi atau dipengaruhi oleh keputusan-keputusan
pemerintah. Jadi dalam pengertian ini kebijakan publik dapat disebut sebagai
budaya atau kebudayaan. Kebijakan publik tidaklah berada dalam tingkatan yang
abstrak, tetapi justru berada dalam ranah riil yang bergerak dalam hubungan untuk
mencapai tujuan bersama sehingga kebijakan publik merupakan respon atas apa
yang sedang terjadi dalam masyarakatnya.
Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat nelayan menjadi masalah publik yang harus
ditangani melalui kebijakan publik yang tepat sasaran, sehingga tujuan yang diemban
benar-benar mampu diwujudkan. Melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir (PEMP) harapannya mampu memberdayakan nelayan. Kondisi serba kekurangan,
kerentanan sosial, kerapuhan fisik dan ketidakberdayaan yang ditandai dengan kondisi
lingkungan yang buruk dalam masyarakat nelayan dalam situasi sosial-ekonomi yang tidak
memihak menimbulkan berbagai macam keterbatasan. Kondisi ini terkadang memunculkan
hal yang positif, yaitu semangat pantang menyerah dalam bekerja, sehingga melahirkan etos
kerja yang tinggi.
Melalui pendekatan fenomenologi bahwa fenomena realitas ini beranjak dari adanya
kemiskinan sebagai sebuah kebenaran fenomena seperti yang tampak apa adanya. Dengan
menggunakan pendekatan Husserl yang dikatakan reduksi fenomenologi transcendental,
yaitu persoalan kemiskinan melalui kesadaran murni (transcendental) sehingga dibutuhkan
pendekatan verstchen (penghayatan, pemahaman, interpretatif) untuk mendapatkan makna
yang sesungguhnya dari kemiskinan nelayan.
Fenomena kemiskinan nelayan dapat mempengaruhi interaksi sosial yang terjadi sehingga
pemaknaan melalui verstchen terhadap simbol-simbol hukum yaitu undang-undang No.
27/2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1/2014 telah memungkinkan terjadinya
pengingkaran dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan serta pemaknaan yang
keliru tentang PEMP dimana program ini dimaknai sebagai hibah atau bantuan yang begitu
terasa dalam proses interaksi sosial.
Akar maslah lahirnya tindakan pengingkaran nelayan dan pemaknaan hibah terhadap
program tersebut berangkat dari persoalan kemiskinan yang serba terbatas secara sosial-
ekonomi dengan pandangan, gagasan, ide-ide yang cenderung apatis, pesimis, sebagai
konstruksi budaya hukum yang telah terbangun selama ini dalam komunitas masyarakat
nelayan tradisional sehingga kondisi lingkungan yang problematis ini mengakibatkan warga
nelayan sebsagai subjek yang mengalami dirinya sendiri dan kebenaran yang dicapai adalah
kesesuaian antara apa yang dilihat, dipikir dan dialami dengan makna yang ditemukan.
Pandangan yang keliru tersebut jadi kendala besar bagi kelangsungan program sehingga
program PEMP menjadi terhambat, bahkan program menjadi bubar dan tidak jelas arahnya.
Program tersebut dapat diibaratkan Seperti Melempar Batu Ketengah Lautan Tidak Akan
Muncul Kembali Kepermukaan. ***

Dirangkum dari Buku:


Sutrisno, Endang, 2019, Pemaknaan Budaya Hukum: Menggagas Kesejahteraan
Masyarakat, In Media, Bogor.
Page
11
Page
12

Anda mungkin juga menyukai