Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan adalah suatu
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga keluarga dalam
arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suamii istri merupakan suatu
keluarga.
Selain itu definisi hukum keluarga secara garis besar adalah hukum yang bersumber
pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena pertalian darah,
ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hukum keluarga merupakan aturan-aturan
atau peraturan hukum yang timbul dan mengatur pergaulan hidup orang atau perorangan
dalam keluarga.
Dalam hukum keluarga mencakup hubungan hukum antar orang (perorang) dalam
keluarga. Dalam hukum keluarga antara orang (perorang) mengatur hak dan kewajibannya di
dalam hukum keluarga mulai dari orang itu dilahirkan sampai meninggal dunia.
Adapun hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tidak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang
mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya). Hubungan keluarga
ini sangat penting karena ada sangkut pautnya dengan hubungan anak dengan orang tua,
hukum waris, perwalian, dan pengampuan. Satu bagaian yang amat penting di dalam hukum
kekeluargaan adalah hukum perkawinan.

B.     RUMUSAN MASALAH
Makalah ini akan membahas tentang:
1.      Pengertian Hukum Keluarga
2.      Keluarga Sedarah dan Keluarga Semenda
3.      Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.    HUKUM KELUARGA
Istilah hokum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht ( Belanda ) atau law of  f
amilie  (Inggris). Dalam konsep Ali Afandi, hukum keluarga diartikan sebagaikeseluruhan ket
entuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, da
n kekeluargan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, 
keadaan tak hadir).
Ada dua hal penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatu
r hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawina
n. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang 
mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertali
an keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dengan 
istri (suaminya).
Tahir Mahmud, mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang dit
erangkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakin
i memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan 
dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, d
an lain-lain.
Definisi Tahir Mahmud tersebut, pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang prinsip huku
m dan ruang lingkup hukum. Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi perat
uran keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, da
n lain-lain. Apabila diperhatikan, definisi ini terlalu luas, karena menyangkut warisan, yang d
alam hukum perdata BW merupakan bagian dari hukum benda.
Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan substansi (rua
ng lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tida
k tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang bersumber daru undang
-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah 
hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misaln
ya, mamari dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup yang menjadi kajian hukum kelu
arga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, p
engampuan, dan perwalian.

2
Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada da
sarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengat
ur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi:
a)    Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan
b)    Peraturan perceraian
c)    Peraturan kekuasaan orang tua
d)   Peraturan kedudukan anak
e)    Peraturan pengampuan (curatele) dan
f)     Peraturan perwlian (voogdij).
Hukum perdata barat mengandung prinsip bahwa hukum keluarga pada berbagai ketentuanny
a pada hakikatnya erat hubungannya dengan tata tertib umum. Dengan demikian maka segala 
tindakan yang bertentangan dengan ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan pernyataan bahwa Hukum Perdata B
arat (BW) tidak lagi dianggap sebagai undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pe
rtimbangan yang melandasi ketentuan tersebut antara lain:
1)      Ada tendensi bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu ditinggalkan d
an menuju alam sosialisme Indonesia.
2)      Maklumat Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya sementara ketentuan karena tida
k sesuai lagi dengan perubahan zaman dan bersifat diskriminatif.
3)      Menjadikan jati diri bangsa Indonesia yang pliralitis, sehingga berbeda jauh dengan kon
disi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan hukum adat.
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hu
kum keluarga tertulis dan sumber hukum perdata tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak 
tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh seba
gian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber 
hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, d
an perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia meliputi:
(1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); 
(2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdebuwelijk), Stb. 1898 – 158; 
(3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke  Ordon
nnantie  Christen  Indonesiers), Stb. 1933 -74; 
(4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,dan Rujuk (bera
gama Islam)

3
(5) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 
(6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 
(7) Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 19
90 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan 
(8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yan
g berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.

B.     KELUARGA SEDARAH DAN KELUARGA SEMENDA


1.      Keluarga Sedarah
Pasal 290 KUHPer menyatakan bahwa :
Kekeluargaan sedarah adalah suatu pertalian keluarga antara mereka, yang mana yang satu
adalah keturunan yang lain atau semua yang mempunyai nenek moyang yang sama.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa kekeluargaan sedarah terjadi karena
adanya hubungan kekeluargaan yang didasarkan atas adanya hubungan darah. Dengan
demikian, jika merujuk kepada pasal 290 KUHPer di atas, hubungan darah dapat diartikan
sebagai hubungan antara 2 (dua) orang, dimana yang satu adalah keturunan yang lain, atau
dimana keduanya berasal dari moyang yang sama. Jadi, hubungan darah semata-mata
didasarkan atas keturunan.
Adanya hubungan darah didasarkan atas pikiran bahwa kalau 2 (dua) orang dari jenis kelamin
yang berbeda mengadakan hubungan badan di dalam perkawinan yang sah dan dari hubungan
itu dilahirkan seorang anak, maka ada sebagian darah dari si laki-laki dan si perempuan yang
tercampur dalam diri anak yang bersangkutan. Dengan demikian, anak tersebut merupakan
keturunan yang sah dan disebut dengan anak yang sah serta memiliki hubungan darah dengan
si laki-laki dan si perempuan tersebut di atas.
Sementara terhadap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, maka ia merupakan
keturunan yang tidak sah dan dan disebut dengan anak luar kawin serta hanya memiliki
hubungan darah menurut hukum dengan si perempuan atau ibunya.128 Akan tetapi, jika si
laki-laki atau bapaknya mengakui anak yang dibuahinya, maka anak luar kawin tersebut
secara hukum dianggap memiliki hubungan darah dengan si laki-laki dan si perempuan yang
sekaligus merupakan ayah biologis dan ibu biologis dari anak tersebut.
Dengan demikian, kalau KUHPer berbicara tentang hubungan ”kekeluargaan sedarah”
sebagaimana diatur pada pasal 290 KUHPer, maka yang dimaksud bukan semua hubungan
darah, melainkan hanya hubungan darah dalam arti yuridis atau yang diakui oleh hukum saja.

4
Berdasarkan Pasal 290 KUHPer dapat dikatakan bahwa pembuat undang-undang
memberikan 2 (dua) rumus untuk menentukan apakah orang yang satu merupakan keluarga
sedarah dari yang lain, yaitu :
-   Yang satu adalah keturunan yang lain.
-   Kedua-duanya mempunyai moyang yang sama.

2.      Keluarga Semenda
Kata semanda /se·men·da/ adalah pertalian keluarga karena perkawinan dengan
anggota suatu kaum. Adat semenda, aturan adat bermamak kemenakan menurut garis
ibu. Perkawinan semanda pada hukumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat
matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Perkawinan ini
merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda, calon mempelai
pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, malahan
sebagaimana berlaku di minangkabau berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada pihak
pria.
Setelah perkawinan terjadi, maka suami berada di bawah kekuasaan istri dan kedudukan
hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku. Adapun bentuk
perkawinan semenda yakni:
1. Semanda raja-raja, suami dan istri berkedudukan sama
2. Semanda lepas, suami mengikuti tempat kediaman istri (matrilokal)
3. Semanda bebas, suami tetap pada kerabat orang tuanya
4. Semanda nunggu, suami dan istri berkediaman di pihak kerabat istri selama
menunggu adik ipar sampai dapat mandiri
5. Semanda ngangkit, suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak
ibu suami dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak wanita
6. Semanda anak daging, suami tidak menetap di tempat si istri melainkan datang
sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti burung yang hinggap sementara, maka
disebut juga semanda burung.
Di daerah Bengkulu, perkawinan semanda dibedakan semanda beradat dan semanda tidak
beradat. Semanda beradat ialah bentuk perkawinan semanda di mana pihak pria membayar
uang adat kepada kerabat wanita. Sedangkan semanda tidak beradat ialah pihak pria tidak
membayar uang adat, karena semua biaya perkawinan ditanggung pihak wanita. Di daerah
Lampung beradat pesisir terdapat istilah semanda mati tunggu mati manuk, di mana suami
mengabdi di tempat istri.

5
Bentuk perkawinan semanda ini tidak berlaku lagi di Indonesia sejak berlakunya UU No.
1 tahun 1974. Yang masih berlaku adalah bentuk perkawinan semanda raja-raja, semanda
nunggu, semanda bebas, semanda ngangkit karena tidak ada penerus keturunan wanita atau
dalam masyarakat patrilinial semanda ngiken untuk meneruskan keturunan laki-laki bagi
keluarga yang tidak mempunyai anak lelaki sebagai penerus keturunan. Pada umumnya
dalam bentuk perkawinan semanda kekuasaan pihak istri yang lebih berperanan, sedangkan
suami tidak ubahnya sebagai istilah nginjam jago (meminjam jantan) hanya sebagai pemberi
bibit saja dan kurang tanggung jawab dalam keluarga.

Ciri-ciri Perkawinan Semanda 


Ciri-cirinya: Eksogami klan, larangan kawin 1 klan. Matrilokal, isteri tidak wajib
mengikuti tempat tinggal suami. Dijumpai pada setiap masyarakat adat (terutama
minangkabau). Dalam masyarakat patrilineal beralih-alih seperti halnya di Lubai, apabila
terdapat keadaan memaksa misalnya anak-anaknya perempuan semua dalam kaitannya
dengan masalah warisan-seharusnya yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki tertua,
maka diperbolehkan kawin semenda dalam bahasa Lubai disebut ngambek anak. Karena
adanya masalah kewarisan ini maka anak perempuan yang ada tidak boleh kawin jujur
melainkan harus kawin semenda. Dengan demikian si anak perempuan akan tetap di
keluarganya dan tidak akan pindah ke keluarga laki-laki seperti apabila dilakukan kawin
jujur. Kemudian anak-anak yang lahir akan mengikuti garis keturunan dari ibunya. 

Aplikasi Perkawinan Semanda


 Kakek penulis Haji Hasan bin Puyang Aliakim dari desa Kurungan Jiwa menikah
dengan nenek Sedunah binti Puyang Abdurrahman dari desa Baru Lubai. Kakek
melangsungkan perkawinan semanda dalam bahasa Lubai disebut kambek anak. Oleh
kareba kakek Haji Hasan melaksanakan pernikahan adat suku Lubai dengan kambek
anak, maka kakek Haji Hasan harus mengikuti nenek kami Sedunah binti Puyang
Abdurrahman bertempat tinggal dirumah nenek didesa Baru Lubai. Rumah tempat
tinggal kakek dan nenek tersebut adalah warisan Puyang Abdurrahman.
 Puyang Abdurrahman dari desa Gunung Raja menikah dengan puyang Mesisa binti
Puyang Renadi, menikah kembali dengan puyang Mehayah binti puyang Renadi dari
desa Baru Lubai. Puyang Abdurrahman melangsungkan pernikahan dengan kambek
anak, maka Puyang Abdurrahman harus mengiktui puyang Mehaya binti Puyang

6
Renadi bermukim dirumah Puyang Renadi yang bertempat tinggal di desa Baru
Lubai. 

Pengaturan mengenai kekeluargaan semenda terdapat di dalam pasal 295 KUHPer. Pasal
295 ayat (1) KUHPer menyatakan bahwa :
Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian keluarga yang diakibatkan karena
perkawinan, ialah sesuatu antara seorang di antara suami-isteri dan para keluarga sedarah
dari yang lain.
Untuk melihat dasar atau faktor yang menentukan ada tidaknya hubungan
kekeluargaan semenda, maka kita harus memperhatikan pasal tersebut melalui kata-kata
”...yang diakibatkan karena perkawinan...”. Dari kata-kata tersebut kita dapat melihat bahwa
yang menjadi dasar hubungan kekeluargaan semenda adalah perkawinan. Secara sederhana,
dapat dikatakan bahwa seseorang menjadi keluarga semenda kita karena ia menikah dengan
keluarga sedarah kita.
Akan tetapi, dengan memperhatikan lebih lanjut anak kalimat dari pasal tersebut,
maka yang menjadi patokan adalah suami- isteri, kemudian dihubungkan dengan keluarga si
suami/isteri, misalnya adik atau kakak isteri atau suami kita adalah keluarga semenda kita;
demikian pula suami atau isteri dari bibi atau paman kita adalah keluarga semenda kita.
Untuk memudahkan di dalam memahami keluarga semenda, maka kita dapat merumuskan
keluarga semenda ke dalam 2 (dua) pengertian dimana keluarga semenda adalah :
-        Suami atau isteri dari keluarga sedarah, atau
-        Ia adalah keluarga sedarah suami atau isteri.
Pada dasarnya, mereka yang menjadi keluarga semenda adalah mereka yang sudah ada atau
lahir pada saat perkawinan dilangsungkan maupun mereka yang lahir sesudah itu.
Selanjutnya, pasal 295 ayat (2) KUHPer menegaskan bahwa :
Tiada kekeluargaan semenda antara para keluarga sedarah si suami dan keluarga si isteri
dan sebaliknya.
Keberadaan pasal ini semakin menegaskan bahwa yang menjadi patokan keluarga semenda
adalah antara orang tertentu dengan keluarga sedarah suami atau isterinya. Jadi, hubungan
kekeluargaan semenda terjadi antara keluarga
sedarah suami atau isteri terhadap orang tertentu, bukan terjadi antara keluarga sedarah
suami atau isteri terhadap keluarga sedarahnya orang tertentu.

C. DAMPAK AKIBAT PERKAWINAN SEMENDA

7
Istilah Hubungan Keluarga Semenda Dalam Garis Keturunan Lurus Satu Derajat
digunakan dalam perhitungan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sebagai pengurang
Penghasilan yang akan dikenakan pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam perhitungan
PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21.
Yang dapat diperhitungkan dalam perhitungan PTKP adalah :
 Diri Wajib Pajak Sendiri.
 Status Kawin.
 Tambahan Isteri apabila penghasilan isteri digabung dengan penghasilan Suami.
 Tambahan setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. 
Sehingga anggota keluarga yang mempunyai Hubungan Keluarga Semenda Dalam Garis
Keturunan Lurus Satu Derajat dapat menjadi tanggungan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam perhitungan PTKP.

Larangan Menurut UU Perkawinan


Larangan perkawinan sedarah ini dipertegas kembali dalam Pasal 8 UU Perkawinan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.     berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.     berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.     berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.     berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e.     berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.      mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
  Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan-
perkawinan di atas dan Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan
atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari pasal
di atas.
Konsekuensi dari perkawinan yang tidak dicatat ini, maka keabsahannya tidak
diakui. Staf Ahli Menteri Agama, Tulus, dalam artikel Pencatatan Perkawinan Justru

8
Lindungi Warga Negara menuturkan suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya
jika tidak dicatatkan. Pencatatan itu untuk tertib administrasi, memberikan kepastian hukum
bagi status hukum suami, istri, anaknya, dan jaminan perlindungan terhadap hak yang timbul
seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran. Pencatatan ini harus memenuhi
syarat dan prosedur dalam UU Perkawinan.
 
Larangan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah
ibadah. Perkawinan batal apabila perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah semeda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut Pasal 8 UU Perkawinan.
Masih soal larangan perkawinan sedarah menurut hukum Islam, Al Quran Surat An
Nisa ayat 23 dengan tegas menyatakan larangan perkawinan sedarah, yang artinya:
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui
kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak perempuan
dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu (menikahinya); (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.”
 
Larangan perkawinan juga terdapat dalam Pasal 39 butir (1) huruf a KHI, yang menyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
disebabkan :
 
1.    Karena pertalian nasab:
a.    dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya
b.    dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c.    dengan seorang wanita saudara yang melahirkan

9
2.    Karena pertalian kerabat semenda:
a.    dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya
b.    dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
c.    dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul
d.    dengan seorang wanita bekas istri keturunannya
3.    Karena pertalian sesusuan:
a.    dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b.    dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah
c.    dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah
d.    dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas
e.    dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya

D.    KEKUASAAN ORANG TUA DAN PERWALIAN


1.      Kekuasaan Orang Tua
Seorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa dewasa atau kawin, berada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan
perkawinan. Dengan demikian kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak
atau [dalam halnya anak luar kawin yang disahkan]. Oleh karena itu kekuasaan orang tua
adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam
perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Demikian isi dari pasal 299.
Menurut pasal 300 kekuasaan orang tua itu biasanya dilakukan oleh si ayah. Jika bapak
berada di laur kemungkinan melakukan kekuasaan itu yang melakukan kekuasaan adalah si
ibu.
Selanjutnya pasal 240 memuat ketentuan bahwa setelah adanya keputusan perpisahan meja
dan ranjang. Hakim harus memutuskan siapa diantara orang tua harus melekukan kekuasaan
orang tua terhadap anak.
Dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu. Mengenai pengertian Jadi
belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun
dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan ia masih belum mencapai umur 21 tahun
ia tidak kembali dalam kedudukannya sebagai orang belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas adalah :

10
a.    Belum mencapai umur 21 tahun
b.    Belum kawin.
Kembali berbica tentang kekuasaan orang tua, dari kekuasaan itu diatur dalam pasal 298-310.
Isi dari kekuasaan orang tua itu dibagi menjadi 2 bagian.
a.    Kekusaan terhadap pribadi seorang anak,
b.    Kekuasaan terhadap kekayaan anak
Tentang kekuasaan tentang peribadi seorang anak terdapat ketentuan sebagai berikut:
Pasal 298 dan 301: Tiap anak berapa pun umurnya, wajib menghormat dan menyegani
orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik srmua anak yang belum dewasa.
Dan kekuasaan terhadap harta kekayaan anak terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 307-318, yang perlu diperhatikan ialah pada pasal 307: Orang yang memegang
kekuasaan orang tua harus mengurus harta kekayaan si anak.

2.    Perwalian
Anak yang belum mencapai umur 18 [delapan belas] tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah kekuasaan wali. Pewalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya [pasal 30 UU perkawinan].
Yang dimaksud perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta
kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tanah kekuasaan
orang tua.Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai ataun jika salah satu
dari mereka atau semua meninggal dunia, berada dibawah perwalian. Terhadap anak di luar
kawin, maka kaerena tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.
Anak yang berada di bawah perwalian disebut pupil, dan disini ada 3 jenis perwalian :
a.    Perwalian menurut undang-undang; yaitu yang disebut dalam pasal 345. Jika salah satu
orang tua meninggal maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua yang masih
hidup terhadap anak kawin yang belum dewasa.
Pasal 351. Jika yang jadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi maka suaminya menjadi kawan
wali.
b.    Perwalian dengan wasiat; Menurut pasal 355 ditentukan bahwa tiap orang tua yang
melakukan kekuasaan orang tua, atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi
anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan
penetapan hakim. Perwalian seperti ini dapat dilakukan dengan surat wasiat atau dengan akta
notaris.

11
c.    Perwalian datif; yaitu apabila tiada ada wali menurut undang-undang atau wali dengan
wasiat, oleh hakim ditetapkan seorang wali [pasal 359].
Jika seandainya telah diputuskan suatu perceraian, maka dengan demikian tiada ada lagi
kekuasaan orang tua, dan salah seorang dari orang tua harus di tetapkan sebagai wali.
Jika kedua orang tua semuanya dipecat dari kekuasaan orang tua, maka Hakim juga harus
menetapkan seorang wali. Menurut ketentuan dalam pasal 365 maka jika Hakim harus
menetapkan seorang wali, maka ia dapat juga menetapkan sebagai wali, suatu perkumpulan
yang berbadan hukum, suatu yayasan atau lembaga yang bertujuan memelihara anak-anak
belum dewasa.
Menurut pasal 306 harus ada wali pengawas dan ini dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan.
Selain dari Balai Harta Peninggalan masih ada juga suatu badan, yang disebut Dewan
Perwakilan, yang anggotanya sebagian besar terdiri dari anggota Balai Harta Peninggalan,
yang tudasnya mengurusi anak yang di percayakan kepadanya [416a].
Ketentuan-ketentuan itu sudah diatur dalam stbld no. 166. Tentang siapa yang dapat
ditetapkan sebagai wali ada ketentuan –ketentuan sebagai berikut :
Pasal 332 : Tiap orang wajib menerima penetapan sebagai wali, kecuali beberapa orang
yang boleh mengajukan keberatan yaitu :
Pasal 332 a : seorang yang diangkat sebagai wali oleh salah satu dari kedua orang tua;
seorang perempuan yang bersuami. Keberatan ini harus dinyatakan di kepaniteraan
pegadilan negeri.
Pasal 347 : orang-orang yang berada di luar negeri dengan tugas pemerintah, anggota-
anggota ketentaraan dan angkatan laut; Orang-arang yang bertugas Pemerintah di luar
Karesidenan mereka.
Pasal 379 : Ini mengenai orang yang sama sekali tidak boleh menjadi wali,
diantaranya: Pejabat-pejabat pengadilan, Orang yang sakit ingatan, Orang yang belum
dewasa,  Orang yang di bawah pengampuan, Orang yang di pecat yang kekuasaan orang tua
atau perwalian,  Para anggota pimpinan Balai Harta Peninggalan.
Isi dari suatu perwalian ialah : sebagaimana juga di dalam hal kekuasaan orang tua, ada 2
rupa:
-          Tugas yang mengenai pribadi anak yang di bawah perwalian, dan pengurusan harta
kekayaan si anak.
-          Tentang tugas mengenai pribadi seorang anak menurut pasal 383, maka itu terdiri dari
perawatan dan pendidikan anak itu dan juga perwalian di muka Pengadilan.
Pengurusan harta kekayaan si anak, terdapat ketentuan-ketentuan seperti berikut :

12
Pasal 335 : Tiap wali sebagai jaminan atas pengurusan, harta kekayaan si anak, di dalam
waktu 1 bulan setelah perwaliannya mulai barjalan, harus mengadakan tanggungan yang
berupa ikatan tanggungan (borg), hipotik atau gadai.
Pasal 386 : Wali harus mengadakan daftar perincian dari barang kekayaan si anak, di
dalam waktu 10 hari setelah mulai perwaliannya berjalan yang harus dihadiri oleh wali
pengawas (Balai Harta Peninggalan). Hal-hal tersebut di atas adalah merupakan jaminan,
bahwa harta kekayaan si anak dapat pengurusan yang baik.
Selanjutnya hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan adalah seperti berikut :
Pasal 389 : Wali harus menjual semua perabotan rumah tangga, dan barang bergerak
lainnya yang tidak memberikan hasil, yang jatuh kepada si anak.
Pasal 390 : keharusan menjual tadi tidak berlaku jika perwalian itu dilakukan si ayah atau
si ibu yang berhak atas hak petik hasil harta kekayaan si anak, untuk kemudian memberikan
barang itu kepada si anak.
Pasal 396 : wali untuk kepentingan si anak tidak boleh meminjam uang, menjual atau
menggadaikan barang tak bergerak dari si anak, dan tidak boleh juga ia menjual surat
berharga dan piutang, kalau tidak dengan izin Pengadilan.
Pasal 395 : Di dalam hal penjualan barang tak bergerak itu di izinkan oleh pengadilan
maka penjual itu harus dilakukan di muka umum.
Pasal 400 : Wali tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha (pacht) barang-
barang si anak untuk kepentingan diri sendiri tanpa izin Pengadilan.
Pasal 401 : Wali tidak boleh menerima wrisan yang jatuh pada si anak, kecuali dengan hak
istimewa akan pendaftaran harta peninggalan
Dalam berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1)   Dalam hubungan terhadap dengan keadaan anak.
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena:
- Si anak yang di bawah perwalian telah dewasa (meenderjarig)
-  Si anak (meenderjarig) meninggal dunia
- Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya (ouderlijkkemacth) dan
- pengesahan seorang anak luar kawin.
2)   Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena:
- Wali meninggal dunia
- Dibebaskan atau dipecat dari perwalian (ontzettng of ontheffing) dan
- Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 B.W).

13
Sedangkan syarat utama untuk dipecat (otzet) sebagai wali, ialah karena disandarkan pada
kepentingan minderjarige itu sendiri.
Pada setiap perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggumg jawab
penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal:
- Perwalian yang sama sekali dihentikan yaitu kepada minderjarige atau kepada ahli
warisnya.
- Perwalian yang dihentikan karena diri (persoon) wali, yaitu kepada yang menggantinya dan,
- Minderjarige  yang sudah berada di bawah perwalian, kembali lagi berada di bawah
kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu (Pasal 409 B.W).

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Hukum Keluarga merupakan hukum yang bersumber pada pertalian keluarga, jadi hubungan
keluarga ini sangat penting karena ada sangkutpautnya dengan hubungan anak dengan orang
tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan. Dan keluarga dari arti sempit adalah orang
seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota
kerabat dekat.
Pertalian keluarga terjadi karena dua hal : Pertama karena keturunan sedarah dan kedua
karena terjadi pertalian semenda atau perkawinan. Mengenai hubungan keluarga karena

14
keturunan sedarah terdapat ketentuan-ketentuan seperti dalam pasal 290-294. Hubungan
keluarga karena semenda diatur dalam pasal 295-297. Tentang keturunan yang sah diatur
dalam pasal 250-260. Kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan
ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa.
Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan
seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orang tua.
Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka
atau semuanya meninggal dunia, berada di bawah perwalian. Terhadap anak diluar kawin,
maka karena tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.

B.          PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Danhanyya Allah Swt. Yang memiliki kesempurnaan dan kekurangan itu milik kami. Kami
mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari semua pihak untuk per baikan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt564172f511f3e/hukum-
perkawinan-sedarah-di-indonesia/
 https://www.wibowopajak.com/2012/03/pengertian-keluarga-semenda-dalam-
garis.html
 http://amlubai-pernikahan.blogspot.com/2015/09/perkawinan-semenda.html
 https://www.orangddi.com/2019/08/makalah-hukum-keluarga-keluarga-sedarah.html?
m=1

15

Anda mungkin juga menyukai