Anda di halaman 1dari 5

HUKUM KELUARGA

Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (Belanda) atau law of
familie (Inggris). Berikut beberapa pengertian hukum keluarga

1. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J van Apeldoorn; Hukum keluarga (familierecht) adalah
peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.
2. Menurut Prof Soediman Kartohadiprodjo, SH., Hukum keluarga adalah kesemuanya
kaidah-kaidah hukum yang menentukan syarat-syarat dan caranya mengadakan hubungan
abadi serta seluruh akibatnya.
3. Menurut Prof. Ali Afandi, SH., Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan
yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tidak hadir
4. Dalam Ensiklopedi Indonesia, Algra, dkk, menuliskan bahwa Hukum keluarga adalah
mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga. Yang termasuk dalam
hukum keluraga ialah peraturan perkawinan, pengaturan kekuasaan orang tua dan
peraturan perwalian

Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa hukum keluarga mengatur hubungan hukum atau
peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak yang berkaitan dengan keluarga yang sedarah dan
keluarga karena perkawinan. Hal ini meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam
perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, perwalian, dan lainnya yang berhubungan
dengan keluarga.

Hukum keluarga dapat diartikan sebagai keseluruhan ketentuan atau aturan-aturan yang
mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah
dan kekeluargaan karena perkawinan

Hukum Keluarga adalah Hukum yang mengatur tentang perkawinan dan segala akibat
hukumnya.Hukum perkawinan termasuk hukum keluarga.Keluarga adalah Unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami,istri, dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan
anaknya,atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajad ketiga
(Pasal 1 butir 3 UU No 23 Tahun 2002).

Hubungan keluarga dapat terjadi karena adanya hubungan perkawinan dan hubungan darah.
Hubungan keluarga yang terjadi karena adanya hubungan perkawinan disebut dengan hubungan
semenda.Misalnya : Hubungan antara ipar,mertua,anak tiri,menantu.sedangkan hubungan yang
terjadi karena pertalian darah misalnya : Hubungan dengan bapak,ibu,nenek,kakek,puyang (garis
lurus ke atas/garis leluhur),hubungan dengan anak,cucu,cicit (garis lurus ke bawah/garis
keturunan), Hubungan dengan saudara kandung dan anak-anak saudara kandung (garis ke
samping).

Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang
mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga
yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).

Pengertian Hukum Keluarga itu ada bermacam-macam diantaranya :

1. Keluarga ialah kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami istri dan anak yang
berdiam dalam suatu rumah tangga.
2. Hukum keluarga ialah mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dngan
kekeluargaan sedarah dan perkawinan.
3. Jauh dekat hubungan darah mempunyai arti penting dalam perkawinan, pewarisan dan
perwakilan dalam keluarga.

Kekeluargaan disini terdapat dua macam, yang pertama di tinjau dari hubungan darah dan yang
kedua ditinjau dari hubungan perkawinan.

1. Kekeluargaan ditinjau dari hubungan darah atau bisa disebut dengan kekeluargaan
sedarah ialah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai
keluhuran yang sama.
2. Kekeluargaan karena perkawinan ialah pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seseorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).

Secara luas hukum keluarga meliputi ;

1. Keturunan
2. Kekuasaan orang tua
3. Perwalian (voogdij)
4. Pengampuan (curatele)
5. Perkawinan

Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku adalah:

1. Buku 1 KUH Perdata yaitu Bab IV sampai dengan Bab XI


2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1974 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
4. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang No 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama
5. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan penambahan PP No. 10
Tahun 1983 tentan Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
6. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal
1-170 KHI)

Hubungan Hukum Keluaga dan Hukum Waris

Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang
telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat
yang lebih berhak.

Hukum kewarisan merupakan hukum harta kekayaan dalam sebuah keluarga, yang
karena wafatnya seseorang maka terjadi pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan.
Dalam hukum kewarisan mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi
peninggalan harta kekayaan/warisan, kedudukan ahli waris, dan perolehan masing-
masing ahli waris secara adil.

Orang yang menjadi ahli waris harus memiliki hubungan keluarga atau garis keturunan .
Hukum waris perdata yang paling umum di Indonesia, warisan dapat diberikan kepada
ahli waris yang terdapat dalam surat wasiat atau keluarga yang memiliki hubungan
keturunan atau kekerabatan seperti anak, orangtua, saudara, kakek, nenek hingga saudara
dari keturunannya.

Dengan demikian pewarisan akan terjadi jika terdapat hubungan keluarga atau karena
hubungan perkawinan.

HK. PERKAWINAN

Hukum Perkawinan terdiri dari :


- Hukum Perkawinan
- Hukum Kekayaan dalam perkawinan
Hukum Perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang
berhubungan dengan suatu perkawinan.
Hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan
yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.
Mengenai hukum perkawinan di Indonesia untuk seluruh warga negara
Indonesia sekarang ini berlaku UU. No. 1 th 1974 tentang perkawinan,
tepatnya pada tanggal 2 januari 1974.
Dengan keluarnya Undang-Undang tentang perkawinan ini berarti telah ada
unifikasi dalam hukum keluarga.
Dalam Pasal 66 UU.No. 1 / 1974 disebutkan bahwa :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungandengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka yang berlakunya
Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUH Pdt
(BW), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen ( HOCI Stb 1933 no. 74
), Peaturan Perkawinan Campuran ( GHR Stb 1898 no. 158 ) dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh ini
diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku “

Sebagai pelaksanaan dari UU.No. 1/1974 ini, keluar PP No. 9 th 1975 tentang
pelaksanaan UU.No. 1 / 1974, yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1
Oktober 1975.
Pasal 47 PP No. 9 th 1975 : Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka
ketentuan-ketentuan peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur di dalam PP ini dinyatakan tidak berlaku.

Hal-hal yang diatur dalam UU.No. 1 /1974 :


Bab I : Dasar Perkawinan ( Pasal 1 s/d 5 )
Bab II : Syarat-syarat Perkawinan ( Pasal 6 s/d 12 )
Bab III : Pencegahan Perkawinan ( Pasal 13 s/d 21 )
Bab IV : Batalnya Perkawinan ( Pasal 22 s/d 28 )
Bab V : Perjanjian Perkawinan ( Pasal 29 )
Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri ( Pasal 30 s/d 34 )
Bab VII : Harta Beda dalam Perkawinan ( Pasal 35 s/d 37 )
Bab VIII : Putusnya Perkawinan serta akibatnya ( Pasal 38 s/d 41 )
Bab IX : Kedudukan Anak ( Pasal 42 s/d 44 )
Bab X : Hak dan Kewajiban antara orang tua dan anak ( Pasal 45 s/d 49 )
Bab XI : Perwalian ( Pasal 50 s/d 54 )
Bab XII : Ketentuan-ketentuan lain
Bagian 1 : Pembuktian asal usul anak ( Pasal 55 )
Bagian 2 : Perkawinan diluar Indonesia ( Pasal 56 )
Bagian 3 : Perkawinan campuran ( Pasal 57 s/d 62 )
Bagian 4 : Pengadilan ( Pasal 63 )
Bab XIII : Ketentuan Peralihan ( Pasal 64 s/d 65 )
Bab XIV : Ketentuan Penutup ( Pasal 66 s/d 67 )

Hal-hal yang diatur dalam PP No. 9 th 1975 :


1. Pencatatan Perkawinan ( Pasal 2 s/d 9 )
2. Tata cara Perkawinan ( Pasal 10 s/d 11 )
3. Akta Perkawinan ( Pasal 12 s/d 13 )
4. Tata cara Perceraian ( Pasal 14 s/d 36 )
5. Pembatalan Perkawinan ( Pasal 37 s/d 38 )
6. Waktu tunggu ( Pasal 39 )
7. Beristeri lebih dari seorang ( Pasal 40 s/d 44 )
8. Ketentuan Pidana ( Pasal 45 )
9. Penutup ( Pasal 46 s/d 49 )

Anda mungkin juga menyukai