Anda di halaman 1dari 14

Nama : M.

Fathurrohman

Nim : 1223030066

Kelas. : HTN 2/B

Matkul : Fiqih Munakahat

Dosen Pengampu : Dr.KH. Mustofa,M.Ag.

BAB 1

A .Pengertian Hukum Keluarga


Jawaban atas pertanyaan itu satu, yakni hukum keluarga berasal dari hukum perkawinan.
Perkawinan merupakan bagian dari hukum perdata yang mengatur dan melindungi hak-hak
pribadi. Hal tersebut bertitik tolak dari prinsip bahwa kedudukan manusia dilindungi oleh
hukum, yang secara keperdataan artinya dilindungi hak-hak pribadinya, sehingga kebebasan
hidup manusia untuk memiliki dan menggantikan kepemilikannya tidak merugikan orang lain
atau secara pribadi dirinya tidak mengalami kerugian. Karena manusia dikodratkan untuk
selalu hidup bersama demi kelangsungan hidupnya, timbul satu jenis hukum yang
ketentuannya mengatur kehidupan itu yang dinamakan dengan “Hukum perdata” .
Hukum waris , yaitu ketentuan hukum yang mengatur cara pemindahan hak milik seseorang
yang meninggal dunia kepada yang berhak memiliki selanjutnya . “Kaitannya dengan hukum
keluarga, Ali Afandi mengatakan bahwa “ketentuan dalam hukum keluarga diartikan sebagai
keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Satu bagian yang amat penting dalam hukum
kekeluargaan adalah hukum perkawinan, yang kemudian dibagi dua, yaitu hukum
perkawinan dan hukum kekayaan dalam perkawinan. Menurut Ali Affandi “Hukum
Perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan,
sedangkan hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang
berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan”.
Dalam hukum perdata, perkawinan dilakukan dengan menganut beberapa asas berikut.
Perkawinan didasarkan pada asas monogami maka poligami terlarang sebagaimana menurut
hukum . Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan di dalam bidang hukum keluarga. Ada perbedaan prinsipiil dalam kaitannya
dengan asas monogami dalam perkawinan, bahwa karena hukum perdata dilahirkan di dunia
Barat yang sebagian besar penduduknya menganut agama Kristen, dalam hal perkawinan,
agama Kristen berpegang pada prinsip bahwa seorang laki-laki hanya dapat menikah dengan
seorang perempuan dan seorang perempuan hanya dapat menikah dengan seorang laki-laki.
Dengan demikian, hukum keluarga memiliki sejarah hukum tersendiri, artinya hukum
keluarga terkait dengan perkembangan peradaban manusia dalam kehidupan interaksi
sosialnya. Sejarah hukum keluarga dapat dipandang sebagai evolusi hukum yang secara
perlahan-lahan tetapi pasti mengalami perubahan ke arah dan bentuk hukum yang lebih
manusiawi. Salah satu pengertian hukum keluarga telah dikemukakan oleh Ali Affandi,
hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum
yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan
B. Sumber hukum keluarga
Dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1 sumber hukum tidak tertulis.
2.Sumber hukum keluarga yang tertulis
Adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai macam peraturan perundangan,
yurisprudensi, dan traktat, sedangkan sumber hukum keluarga tidak tertulis adalah sumber
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; 6. PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan
pelaksanaan UU No. 1 tahun Kompilasi Hukum Islam.
C. Asas-asas hukum keluarga
Yang paling fundamental sebagaimana hasil analisis terhadap KUH perdata dan UU No. 1
tahun 1974 adalah sebagai berikut.
Asas persatuan bulat, suatu asas yang menegaskan bahwa antara suami-istri terjadi
persatuan harta benda a yang dimilikinya. Asas proporsional, suatu asas tentang hak dan
kedudukan istri yang seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan dalam pergaulan masyarakat;
Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu suatu asas bahwa tiap-tiap perwalian hanya dapat satu
wali . Pengecualian dari asas ini adalah jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang
tua yang hidup paling lama maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta/wali
peserta dan jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari
anak di bawah umur di luar Indonesia .dimuat dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, asas selektivitas. Dengan asas monogami, lahirlah beberapa
persyaratan yang ketat untuk seorang laki-laki jika bermaksud menikah dengan lebih dari
seorang perempuan. Alasan-alasan yang diajukan oleh seorang suami harus merupakan
alasan yuridis dan harus memperoleh persetujuan dari istri pertama.
Asas konsensual adalah asas yang menegaskan bahwa perkawinan harus bertitik tolak dari
hak mendasar kedua mempelai. Hak mendasar adalah hak menentukan pilihan dan
pasangan hidup. Demikian pula, dalam perwaliannya, seorang mempelai perempuan berhak
secara otomatis memperoleh perwalian dari ayahnya atau dari kakak kandungnya yang laki-
laki, dari pamannya, dan dari keluarga terdekat lainnya.
Setiap perkawinan secara otomatis membentuk hubungan sah antara suami istri yang
mengakibatkan adanya persatuan harta kekayaan, persatuan hubungan darah kepada
keturunan, adanya hak-hak perwalian, adanya hak kewarisan, dan hak-hak yang berkaitan
dengan hukum keluarga lainnya.
D. Ruang lingkup kajian hukum keluarga
Tiga kajian tersebut secara langsung terkait dengan pengkajian tentang kekuasaan orangtua,
pengampuan, dan perwalian. Ruang lingkup perkawinan membahas hal-hal sebagai berikut
Hak dan kewajiban antara suami istri adalah hak dan kewajiban yang timbul adanya
perkawinan antara mereka. Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami, istri dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan. Adapun hak dan kewajiban orangtua dengan anak
dikemukakan sebagai berikut. Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik- baiknya, kewajiban orangtua berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri
sendiri.
Kewajiban ketiga disebut dengan alimentasi, yaitu kewajiban dari seorang anak untuk
memberikan nafkah terhadap orangtuanya manakala sudah tua. Bahwa ruang lingkup kajian
hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan
pemberian maskawin, perwalian, dan lain-lain.
Bab 2
Hukum Perkawinan Perspektif Hukum Keluarga
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan karena ikatan suami istri, dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Allah SWT. Berfirman dalam surat An-
Nisa’ ayat 3:

‫َو ِإْن ِخ ْفُتْم َأال ُتْقِس ُطوا ِفي اْلَيْتَم ى َفاْنِك ُحوا َم ا َطاَب َلُك ْم ِّم َن الِّنَس اِء َم ْثَنى َو ُثلَث َو ُر َبَع َفِإْن ِخ ْفُتْم َأال َتْع ِد ُلْو ا َفَو ا ِح َد ًة َأْو َم ا َم َلَك ْت‬
‫َأْيَم اُنُك ْم َذ ِلَك َأْد َنى َأال َتُعوُلوان‬

Artinya:
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu
lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
(Q.S. An-Nisa’: 3)
Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka seorang saja, atau hamba
sahaya perempuan yang kamu miliki. “Anwar Harjono mengatakan bahwa kata perkawinan
sama dengan kata nikah atau zawaj dalam istilah fiqh. “ Kata nikah telah dibakukan menjadi
bahasa Indonesia. Kata nikah berarti al-dhammu wattadaakhul .
Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan al-dhammu wa al-jam’u . Menurut istilah ilmu
fiqh, nikah berarti suatu akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual
dengan memakai lafazh nikah atau tazwij. Nikah atau jima, atau al-wath’, artinya bersetubuh
atau bersenggama. Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan untuk berhubungan
seks.
Dengan demikian, menikahi perempuan makna hakikatnya menggauli istri atau munakahat,
artinya saling menggauli. Para fuqaha dan Mazhab Empat sepakat bahwa makna nikah atau
zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengandung arti sahnya hubungan
kelamin. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 serta Kompilasi Hukum Islam, tidak menggunakan kata “nikah atau pernikahan”, tetapi
menggunakan kata “perkawinan”. Hal tersebut berarti bahwa makna nikah atau kawin
berlaku untuk semua yang merupakan aktivitas persetubuhan.
Karena kata “nikah” adalah bahasa Arab, sedangkan kata “kawin” adalah bahasa Indonesia.
Pada hakikatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua
keluarga. “Hai pemuda-pemuda, barang siapa di antara kamu yang mampu serta
berkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu
dapat menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan
memeliharanya dari godaan syahwat.
“Dari Amr Ibnu Ash, ‘Dunia itu harta benda, dan sebaik-baik harta benda dunia adalah
perempuan yang saleh’.
Abu Zahrah mengemukakan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang menghalalkan
hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita, masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi menurut ketentuan syariat. Dan bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain. Dan mereka telah
mengambil perjanjian yang kuat dari kamu. Kebolehan hubungan seksual menyiratkan
bahwa perkawinan mengandung aspek hukum dan aspek ta’awun.
Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa, perkawinan adala suatu perjanjian suci antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Definisi itu
memperjelas pengertian bahwa perkawinan adalah perjanjian. Sebagai perjanjian ia
mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak .yang saling berjanji,
berdasarkan prinsip suka sama suka. Dengan demikian, jauh sekali dari segala yang dapat
diartikan mengandung suatu paksaan. Karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita
yang mengikat janji dalam perkawinan mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan,
apakah mereka bersedia atau tidak melangsungkan perkawinan?
Kalau tidak demikian, misalnya dalam keadaan tidak waras atau masih berada di bawah
umur, untuk mereka harus ada wali yang sah.
Substansi yang terkandung dalam syariat perkawinan adalah menaati perintah Allah serta
sunnah Rasul-Nya, yaitu menciptakan kehidupan rumah tangga yang mendatangkan
kemaslahatan, baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri, anak turunan, kerabat maupun
masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya bersifat kebutuhan internal yang
bersangkutan, tetapi mempunyai kaitan eksternal yang melibatkan banyak pihak. Sebagai
suatu perikatan yang kukuh , perkawinan dituntut untuk menghasilkan suatu kemaslahatan
yang kompleks, bukan sekadar penyaluran kebutuhan biologis. Oleh karena itu, setelah
terikat oleh perjanjian perkawinan, hukum-hukum yang wajib dilakukan berkaitan dengan
hak dan kewajiban antara suami istri, hak dan kewajiban antaranak dan orangtua maupun
antara orangtua dan anak, dan seterusnya. Islam menganjurkan hidup berumah tangga dan
menghindari hidup membujang.
Akad nikah dalam Islam tidak untuk jangka waktu tertentu, tetapi untuk selama hayat
dikandung badan. Oleh karena itu, baik suami maupun istri mesti berusaha memelihara
rumah tangga yang tenang dan penuh kedamaian lahir batin, sebagai taman yang asri
tempat tumbuh generasi yang berbudi, penerus bagi orangtuanya
Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai suatu akad yang
berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa
perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafazh nikah atau zauj, yang
menyimpan arti memiliki. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu
akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan
adanya harga. Dalam pengertian ini, terdapat kata-kata milik yang mengandung pengertian
hak untuk memiliki melalui akad nikah. Oleh karena itu, suami istri dapat saling mengambil
manfaat untuk mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan membentuk
keluarga sakinah mawaddah warahmah di dunia . Dari pengertian-pengertian tersebut,
terdapat lima hal mendasar yang secara substansial berkaitan erat dengan perkawinan yang
dilakukan oleh manusia, yaitu sebagai berikut. Dalam pernikahan terdapat harapan dan cita-
cita untuk menciptakan regenerasi yang abadi sehingga anak keturunan akan melanjutkan
hubungan silaturahmi tanpa batas waktu yang ditentukan.
B Tujuan perkawinan
Agama dan budi pekertinya yang baik. Tujuan pertama, karena harta. Kehendak ini datang
baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Misalnya, ingin menikah dengan
hartawan, sekalipun dia tahu bahwa pernikahan itu tidak sesuai dengan keadaan dirinya.
Pandangan ini bukanlah pandangan yang sehat, lebih-lebih kalau hal ini terjadi dari pihak
laki-laki, sebab hal itu akan menjatuhkan dirinya di bawah pengaruh perempuan dengan
hartanya. Hal demikian berlawanan dengan hukum alam dan titah Allah yang menjadikan
manusia sebagai makhluk yang merdeka. Allah telah menerangkan dalam Al-Quran cara
yang sebaik-baiknya bagi aturan kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut:
Laki-laki itu pelindung bagi perempuan , karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
atas sebagian yang lain , dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat dan menjaga diri ketika tidak
ada, karena Allah telah menjaga . Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur ,
dan pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.
Sabda Rasulullah SAW. Barang siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya niscaya
Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya. Dan barang siapa yang menikahi karena
agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.
hadis
‫من تزوج امرأة لمالها لم يزده االفقرا‬.
Barang siapa menikahi seorang perempuan karena kekayaannya, niscaya tidak akan
bertambah kekayaannya, bahkan sebaliknya kemiskinan yang akan didapatinya.
Kedua, adalah hak jaminan kesejahteraan bukan saja selama proses vital reproduksi
berlangsung melainkan juga di luar masa-masa itu dalam statusnya sebagai istri dan ibu dari
anak-anak, seperti disebutkan dalam Al-Quran surat Al- Baqarah ayat 233... ‫َو َع َلى اْلَم ْو ُلوِد َلُه‬
‫ ِر ْز ُقُهَّن َوِك ْس َو ُتُهَّن ِباْلَم ْعُروِف‬..
Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan carg yang patut
Nafkah yang harus diberikan kepada istri bergantung pada kebutuhan dan kemampuan
suami. Anggota keluarga jangan ditelantarkan. Jika hal itu terjadi dan istri tidak rela, agama
membukakan pintu baginya untuk menuntut keadilan, termasuk menuntut pisah atau
diceraikan, jika keadaan benar-benar memaksanya .
Ketiga, menyangkut kepentingan perempuan berkaitan dengan proses reproduksi
hubungannya dengan pengambilan keputusan. Hak kategori ketiga ini dapat dipahami dari
penegasan umum ayat Al-Quran tentang keputusan musyawarah dalam keluarga. Allah SWT.
Berfirman dalam surat Asy-Syura ayat 38: ‫وأمرهم شورى َبْيَنُهم‬.
Peningkatan kepercayaan diri kaum perempuan sehingga tidak bergantung pada laki-laki
agar hak dan kewajibannya berjalan seimbang dan adil.
Perkawinan adalah satu-satunya syariat Allah yang menyiratkan banyak aspek di dalamnya.
Di antara aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut.
Aspek Personal
Sebagai suatu sunatullah, manusia selalu hidup berpasangan akibat adanya daya tarik,
nafsu syahwat antara dua jenis kelamin yang berlainan. Hidup bersama dan berpasangan ini
tidak harus selalu dihubungkan dengan masalah seks walaupun faktor ini merupakan faktor
yang dominan. Seks adalah faktor utama lahirnya keturunan, tetapi menikah tidak selalu
mutlak karena disebabkan faktor seks dalam arti hubungan badan, seks dapat diartikan
hubungan kasih sayang, sebagaimana seorang kakek tua renta menikah dengan nenek yang
sudah tidak mungkin digauli sebagai istri dalam arti seks tersebut.
Dalam hal ini, undang-undang membolehkan perkawinan antara dua orang, yang salah
seorang di antaranya atau keduanya sangat lanjut usia. Dalam usia seperti ini, kemungkinan
untuk melakukan hubungan seks sangatlah kecil. Peraturan juga membolehkan suatu
perkawinan yang salah satunya berada dalam keadaan yang sangat kritis atau dalam
keadaan sekarat.
Tidak diperolehnya keturunan karena ketidakmampuan salah satu pihak, bukan
merupakan sebab resmi untuk bercerai. Apabila terjadi, itu hanyalah hak untuk memilih,
yang dapat dipergunakan atau tidak. Akan tetapi, pada umumnya dapat dikatakan bahwa
persetubuhan merupakan faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, dengan
maksud mendapatkan anak turunan ataupun hanya untuk hawa nafsu. Jadi, jelaslah bahwa
faktor yang satu ini sangat memengaruhi manusia, di samping faktor-faktor lain untuk
melakukan perkawinan.
Kebutuhan manusia dalam bentuk nafsu syahwat ini memang telah menjadi fitrah
manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karera itu, perlu disalurkan pada proporsi yang
tepat dan sah sesuai derat kemanusiaan. Pada saat-saat tertentu, kebutuhan batin ini dapat
menagih, seperti halnya kebutuhan manusia akan makan dan minum, yaitu dengan perasaan
kelaparan yang hebat. Untuk masalah yang terakhir ini, Islam memberikan kelonggaran -
untuk menyelamatkan jiwa- memakan barang yang haram atau memakan harta orang lain,
karena darurat dan tidak berlebihan.
Kalaupun tujuan perkawinan untuk memperoleh keturunan, perkawinan tidak selalu
harus dilakukan. Sebab, dengan cara menyewa rahim perempuan untuk membuahi
spermatozoa, atau sekadar melakukan perkawinan di luar nikah atau berzina pun, dapat
melahirkan keturunan. Syariat Islam tentang perkawinan bukan hanya menjelaskan soal
tujuan agar membuahkan keturunan, melainkan menjaga keturunan yang merupakan
amanah dari sang Pencipta. Perkawinan adalah bagian dari tujuan syariat Islam, yakni
memelihara keturunan , dengan cara memelihara agama, akal, jiwa, dan harta kekayaan.
Oleh karena itu, meskipun persetubuhan yang ilegal itu membuahkan keturunan, hal itu
dianggap tidak ada. Keturunan yang dimaksud adalah keturunan yang sah melalui
perkawinan.
Artinya
«Dan di antara tanda-tanda -Nya ialah Dia menciptakan pasangan- pasangan untukmu dari
jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir».
Keluarga sebagai bagian dari struktur suatu bangsa mempunyai kontribusi yang sangat
besar terhadap bangsa itu sendiri. Jadi, kalau suatu bangsa terdiri atas kumpulan keluarga
yang kukuh, kukuh pulalah bangsa tersebut. Sebaliknya, apabila keluarga sebagai fondası
yang lemah, lemahlah bangsa tersebut.
Perkawinan juga mengajarkan kepada manusia agar bertanggung jawab terhadap segala
akibat yang ditimbulkannya. Dari rasa tanggung jawab dan perasaan kasih sayang terhadap
keluarga inilah timbul keinginan untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik dengan
berbagai cara. Orang yang telah berkeluarga selalu berusaha untuk membahagiakan
keluarganya. Hal ini mendorongnya untuk lebih kreatif dan produktif, tidak seperti masa
lajang.
Aspek Ritual
Pernikahan, yang dipahami dari tujuan, hikmah, dan prinsip- prinsipnya tidak
menitikberatkan kebutuhan biologis semata dan bukan sekadar tertib administrasi.
Pernikahan adalah bagian syariat Islam. Pernikahan adalah suatu ibadah dan berarti
pelaksanaan perintah Syari, sebagai refleksi ketaatan makhluk kepada Khalik-nya. Dalam
ajaran Islam diterapkan aturan yang terperinci dalam perkawinan, akibat yang mungkin
terjadi selama dan setelah terputusnya perkawinan .
Aspek Moral
Perkawinan di samping membedakan manusia dengan hewan, juga membedakan antara
manusia yang beradab dan manusia yang biadab, antara manusia primitif dan manusia
modern. Walaupun pada dunia primitif terdapat aturan perkawinan, dipastikan aturan-
aturan Islam jauh lebih baik daripada aturan-aturan mereka. Hal itu menunjukkan bahwa
Islam membangun kultur yang lebih baik daripada manusia primitif.
Macam-macam Pernikahan
Pernikahan dilihat dari sifatnya terdiri atas beberapa macam, yait sebagai berikut.
1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-la terhadap perempuan dengan
memakai lafazh tamattu, istimta’ ata sejenisnya.
2. Muhallil
Muhallil disebut pula dengan istilah kawin cinta buta, yaitu seorang laki-laki mengawini
perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya, kemudian menalaknya
dengan maksud agar mantan suaminya yang pertama dapat menikah dengan dia kembali.
3. Nikah Gadai
Nikah gadai atau nikah pinjam merupakan kebiasaan orang Arab sebelum Islam, yaitu
seorang suami menyuruh atau mengizinkan istrinya untuk bergaul dengan orang-orang yang
terpandang (bangsawan).
4. Nikah Syighar
Nikah syighar adalah nikah pertukaran, yaitu apabila seorang lelaki menikahkan seorang
perempuan di bawah kekuasaannya dengan lelaki lain, dengan syarat lelaki ini menikahkan
dia dengan anaknya tanpa membayar mahar.
5. Pernikahan Sebelum Memeluk Islam
Menurut hukum Islam, pernikahan sepasang suami istri yang dilakukan menurut agamanya
sebelum mereka memeluk agama Islam, lalu kedua suami istri tersebut memeluk agama
Islam, pernikahan mereka itu sah dan tidak perlu diulang lagi, kecuali jika pernikahan
tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariat Islam, seperti pernikahan seorang laki-laki
dengan bibinya atau dengan adik perempuannya.
D. Rukun-rukun Perkawinan
Perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah menurut
Mahmud Yunus, merupakan bagian dari segala hal yang terdapat dalam perkawinan yang
wajib dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi, perkawinan tersebut dianggap batal. Dalam Kompilasi
Hukum Islam (Pasal 14) rukun nikah terdiri atas lima macam, yaitu adanya:
1. Calon suami;
2. Calon istri;
3. Wali nikah;
4. Dua orang saksi;
5. Ijab dan kabul.
E. Syarat-syarat Pernikahan
Syarat-syarat pernikahan berkaitan dengan rukun-rukun nikah yang telah dikemukakan di
atas.
1. Ayah;
2. Kakek (bapak dari bapak mempelai perempuan);
3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya;
4. Saudara laki-laki sebapak dengannya;
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengan- nya;
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengdengan-Nya
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya;
9. hakim.
F. Hikmah Perkawinan
Perkawinan merupakan bentuk silaturahim yang signifikan dalam membentuk struktur
masyarakat. Setelah terjadinya perkawinan, ada sepuluh hal implikasi mendasar, yaitu:
1. terbentuknya hubungan darah antara suami dan istri;
2. terbentuknya hubungan darah orangtua dan anak;
3. terbentuknya hubungan kekeluargaan dari pihak suami istri;
4. terbentuknya hubungan kerabat dari anak-anak terhadap orangtua suami istri
(mertua);
5. terbentuknya hubungan waris-mewarisi;
6. Terbangunnya rasa saling membantu dengan sesama saudara dan kerabat;
7. terbentuknya keluarga yang luas;
8. terbentuknya rasa solidaritas sosial di antara sesama keturunan;
9. terbentuknya persaudaraan yang panjang hingga akhir hayat;
10. terbentuknya masyarakat yang berprinsip pada sikap yang satu, yaitu satu ciptaan,
satu darah, dan satu umat di mata Allah sang Pencipta.
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada
seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang
dipercayai. Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan dalam agama Islam terhadap
gadis atau janda yang telah habis iddahnya; kecuali perempuan yang masih dalam iddah
ba’in, sebaiknya dengan jalan sindiran saja.
Menurut Rahmat Hakim , meminang atau khitbah mengandung arti permintaan, yang
menurut adat merupakan bentuk pernyataan dari satu pihak kepada pihak lain dengan
maksud untuk mengadakan ikatan perkawinan. Khitbah ini pada umumnya dilakukan
pihak laki-laki terhadap perempuan dan ada pula yang dilakukan oleh pihak
perempuan, tetapi hal ini tidak lazim dilakukan. Oleh karena itu, jarang terjadi, kecuali
pada sistem kekeluargaan dari pihak ibu, seperti di Minangkabau yang berlaku adat
meminang dari pihak wanita kepada pihak laki-laki.
Jumbur ulama mengatakan bahwa khitbah itu tidak wajib, sedangkan Daud Ar-Zhahiri
mengatakan bahwa pinangan itu wajib sebab meminang adalah suatu tindakan menuju
kebaikan. Walaupun para ulama mengatakan tidak wajib, khitbah hampir dipastikan
dilaksanakan, dalam keadaan mendesak atau dalam kasus-kasus “kecelakaan”.
Dalam hukum Islam, tidak dijelaskan tentang cara-cara pinangan. Hal itu memberikan
peluang bagi kita untuk mengikuti adat istiadat yang berlaku. Upacara pinangan atau
tunangan dilakukan dengan berbagai variasi. Cara yang paling sederhana adalah pihak
orangtua calon mempelai laki-laki mendatangi pihak calon mempelai perempuan, dan
mengutarakan maksudnya kepada calon besan. Dalam acara pertunangan biasanya
dilakukan tukar cincin.
Permintaan dari pihak laki-laki dan diserahkannya uang atau cincin untuk pihak wanita
merupakan upacara simbolik tentang akan bersatunya dua calon pasangan suami istri
yang hendak membangun keluarga bahagia dan abadi. Biasanya sebelum dilakukan
pertunangan, kedua calon mempelai sudah lama saling mengenal, tetapi tidak menutup
kemungkinan apabila orangtuanya menjodohkan anak-anaknya. Semua wanita boleh
dipinang, baik masih perawan maupun janda. Hal yang terpenting adalah tidak
meminang istri orang atau wanita yang telah dipinang orang lain. Dalam suatu hadis
dikatakan:
“Orang mukmin adalah saudara orang mukmin. Maka tidak halal bagi seorang mukmin
meminang seorang perempuan yang telah dipinang oleh saudaranya, sehingga nyata
sudah ditinggalkannya. Demikian pula, perempuan yang sedang masa iddah
raj’iyah, karena statusnya masih dapat dirujuk oleh bekas suaminya, atau jika masa
iddahnya belum selesai, dikhawatirkan perempuan itu sedang hamil.
Menurut Imam Nawawi dan jumhur ulama, hadis di atas menunjukkan keharaman atas
pinangan orang lain. Mereka sepakat akan keharamannya apabila telah jelas
pinangannya diterima. Apabila dilanjutkan dengan pernikahan, orang yang melakukan
pinangan tersebut telah berbuat maksiat, sekalipun perkawinannya sah.
Dari ketentuan hadis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa meminang wanita tidak
hanya dikarenakan kesediaan wanita itu sendiri, tetapi juga kondisinya pada saat
dilamar. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Bab III pasal 12 ayat , , dan
disebutkan sebagai berikut. Dalam ayat 2 dinyatakan, “Wanita yang ditalak
suami, seorang wanita dalam iddah raj’i haram dan dilarang untuk dipinang.” Dalam ayat
3 dinyatakan bahwa dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang
lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak
wanita.
Dalam ayat 4 disebutkan, putusnya pinangan pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya pinangan atau secara diam-diam pria yang telah meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang. .Perempuan yang sedang masa iddah karena ditalak
ba’in, sebaiknya dipinang secara rahasia. Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat
perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan pada hadis Rasulullah
SAW. Berikut:
“Apabila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, dia boleh melihat
perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik
diketahui oleh perempuan itu ataupun tidak.
Perempuan-perempuan yang telah dipinang, justru harus lebih menjaga
dirinya, kehormatannya, dan auratnya, karena dia telah dipilih oleh laki-laki tunangannya
untuk dijadikan pendamping hidup dalam rumah tangganya. Jika perempuan yang telah
dipinang tidak menjaga dirinya, bergaul bebas dengan laki-laki lain karena merasa belum
menikah, pertunangan dapat tersakiti. Bagi laki-laki yang telah meminang
perempuan, ternyata perempuan tersebut terlihat rendah moralitasnya, ia dengan
mudah memutuskan pertunangannya dan mencari perempuan lain yang salehah. Nabi
SAW. Memberi petunjuk tentang sifat-sifat perempuan yang baik, yaitu:
Perawan.
Sabda Rasulullah SAW.
“Dari Jabir, ‘Sesungguhnya Nabi SAW. Telah bersabda, Sesungguhnya perempuan itu
dinikahi orang karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang
beragama”.”
“Dari Ma’qal bin Yasar, ia berkata, “Seorang laki-laki telah datang kepada Nabi SAW. Dan
berkata, “Saya telah mendapatkan seorang perempuan bangsawan yang cantik, tetapi
dia tidak bisa memiliki anak. Baikkah apabila saya menikah dengannya?” Jawab
Nabi, ‘Jangan!’ Kemudian, laki-laki itu datang untuk kedua kalinya, tetapi beliau tetap
melarang. Pada yang ketiga kalinya, laki-laki itu datang lagi maka Nabi
bersabda, ‘Menikahlah dengan orang yang dikasihi lagi subur.”
“Dari Jabir, sesungguhnya Nabi SAW. Telah bersabda, ‘Hai Jabir, engkau menikah dengan
perawan ataukah janda?’ Jawab Jabir, ‘Saya menikah dengan janda. Sabda
Nabi, ‘Alangkah baiknya jika engkau menikah dengan perawan; engkau dapat menjadi
hiburannya, dan dia pun menjadi hiburan bagimu.”
BAB 4
Mahar dalam perkawinan
Pengertian Mahar
Kata mahar termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar, berasal dari bahasa Arab,
yaitu mahran atau kata kerja, yakni fi’il dari mahara yamhuru mahran. Lalu, dibakukan
dengan kata benda mufrad, yaitu al-mahr, dan kini diindonesiakan dengan kata yang sama,
yaitu mahar. Karena kebiasaan pembayaran mahar dengan emas, mahar diidentikkan
dengan maskawin
Di kalangan fuqaha, di samping perkataan mahar juga digunakan istilah lainnya, yakni
shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah mahar. Para ulama menyatakan
tidak ada perbedaan mendasar antara terma ash-shidaq dengan terma al-mahr. Shadaq
adalah sesuatu yang wajib karena nikah, sedangkan mahar merupakan sesuatu yang wajib
karena selain nikah, seperti wathi’ subhat, persusuan, dan menarik kesaksian. Menurut Ibnu
Qayyim, istilah mahar dengan shidaq tidak berbeda fungsi jika yang dimaksudkan
merupakan pemberian sesuatu dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam
sebuah perkawinan. Hanya, istilah mahar digunakan untuk perkawinan, sedangkan istilah
shadaq dapat digunakan dalam hal selain perkawinan, karena istilahnya bersifat umum,
sebagaimana shadaqah wajib dan shadaqah sunnah Shadaqah wajib adalah membayar zakat
dan membayar mahar.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mahar adalah
pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan yang berupa harta
atau manfaat karena adanya ikatan perkawinan. Mengenai bentuk dan jenis mahar tidak
ditetapkan dalam hukum perkawinan Islam, tetapi kedua mempelai dianjurkan melakukan
musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan diberikan. Apabila pihak mempelai
perempuan sepakat dengan mahar yang ditawarkan oleh pihak mempelai laki-laki, bentuk
dan jenisnya dapat ditetapkan oleh kedua belah pihak. Mahar merupakan salah satu hak
pihak mempelai perempuan dan menjadi kewajiban pihak mempelai laki-laki .Pemberian
mahar oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan tidak diartikan sebagai
pembayaran, sehingga seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti
barang.
macam-macam mahar
mahar Musamma
adalah mahar yang telah di tetapkankan bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad mahar
Musamma ada dua 1.mahar Musamma mu’ajjal 2.Mahar Musamma ghair mu’ajjal
E. Hak Perempuan atas Mahar
Mahar atau sering disebut dengan maskawin adalah hak istri yang wajib diberikan oleh
suami ketika melakukan ijab qabul perkawinan Cara pembayarannya dapat dilakukan secara
kontan atau ditunda, selama istri tidak merasa keberatan.
Cara-cara pelaksanaan pembayaran mahar sebagai berikut:
1. mahar dibayar dengan cara kontan
2. mahar dibayar dengan cara ditanggungkan sampai batas waktu Yang disepakati
3. mahar dibayar dengan cara dicicil sampai lunas;
4. mahar dibayar dengan cara pemberian uang maka, sisanya diangsur atau sekaligus
sesuai perjanjian
dalam penerapannya pemberian mahar berjalan sebagai berikut
a. pihak calon mempelai pria mengajukan na ke kua dengan maksud hendak menikah;
b. pihak kua akan menyiapkan berbagai administrasi yang dibutuhkan dalam upacara
akad nikah;
c. seluruh data yang tertulis dalam na akan dikonfirmasikan kembali kepada calon suami
dan calon istri agar penulisan dalam buku nikah tidak keliru;
d. pihak kua menanyakan kesiapan wali nikah dan para saksi dalam akad nikah dan
meminta untuk menandatangani surat-surat yang telah disediakan;
e. pihak kua menanyakan jenis dan jumlah mahar yang akan diberikan kepada calon istri
agar penulisannya dalam buku nikah tidak keliru;
f. pihak kua mempersilakan wali nikah untuk melakukan ijab kabul dengan calon suami;
g. dilakukan ijab kabul atau akad nikah dengan shighat yang jelas, yaitu: “saya nikahkan
anak saya, ratih binti kasman dengan ujang bin sulaiman dengan maskawin seperangkat
alat shalat dan gelang mas seberat 30 gram dibayar tunai”;
h. apabila terjadi kekeliruan dalam dan ketika pengucapan shighat ijab kabul, maka akan
diulang kembali, termasuk jika keliru menyebut jenis atau jumlah mahar;
i. setelah ijab kabul berlangsung, pihak wali menanyakan sah tidaknya kepada saksi. Jika
pihak saksi menyatakan sah, pihak wali mengucapkan sah dan al-hamdulillah disambung
dengan doa “barakallahu laka wabaraka ‘alaika wajama’a baenakuma fi khaerin”;
j. akad nikah pun selesai dan akta nikah diberikan kepada suami istri bersangkutan.
Pada prinsipnya, pelaksanaan penyerahan mahar yang terjadi di kua ada dua macam,
yakni diserahkan langsung ketika akad nikah selesai diucapkan dan mahar yang
diserahkan oleh suami tidak di tempat akad nikah. Dari kedua cara penyerahan mahar,
yang paling penting adalah mahar telah ditetapkan dalam shighat ijab qabul yang
bersangkutan. Selain itu, ada yang memberikan mahar dengan cara kontan, yakni
seluruhnya diberikan kepada istri yang dipersuntingnya, ada pula yang diberikan secara
tidak kontan. Kedua cara pemberian mahar dibolehkan oleh hukum perkawinan islam
dan undang-undang yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai