1, Februari 2018
Ahmad Fatah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Indonesia
ahmadfatah@stainkudus.ac.id
Sri Utami
amikudus@gmail.com
Abstract
The purpose of this study was to describe the legal status of the guardian
of marriage for the father of the incest against the biological child. This
study is limited to a review of four schools and the Compilation of
Islamic Law (KHI). This study is a library research, which is to examine
several basic and secondary references to discuss the subject matter of the
study. The results of this study state that guardian marriage is one of
the pillars of marriage and there is no marriage if there is no guardian.
A marriage is considered invalid if there is no guardian who allows
the bride to leave the bridegroom. Thus the presence of guardians in
marriage can play a role in protecting women from possible disadvantages
in their marital life. As for the marriage guardian, it is regulated in
Article 19 to Article 23 Compilation of Islamic Law. Imam Maliki,
Shafi’i, and Hambali argue that guardians are a legitimate condition
of a marriage, while Imam Abu Hanifah argues that a woman may
marry herself without a guardian. The legal basis of the opinions of
Imam Maliki, Shafi’i, and Hambali are several hadiths. The opinion
161
Ahmad Fatah dan Sri Utami
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan status hukum
wali nikah bagi ayah pelaku incest terhadap anak kandung. Kajian ini
dibatasi pada tinjauan empat madzhab dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Kajian ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu mengkaji
beberapa referensi pokok dan sekunder untuk membahas pokok kajian.
Hasil kajian ini menyatakan bahwa Wali nikah adalah salah satu
rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada wali.
Suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali
yang mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria. Dengan
demikian adanya wali dalam perkawinan dapat berperan untuk
melindungi kaum wanita dari kemungkinan yang merugikan di dalam
kehidupan perkawinannya. Adapun mengenai wali nikah ini diatur
dalam Pasal 19 sampai Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam. Imam
Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat bahwa wali merupakan
syarat sahnya suatu perkawinan, sedang Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa
wali. Adapun yang dipakai dasar hukum dari pendapat Imam Maliki,
Syafi’i, dan Hambali adalah beberapa hadits. Adapun pendapat
Imam Abu Hanifah berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra.
Kata kunci: wali nikah, incest, empat madzhab, KHI.
A. Pendahuluan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai dengan Undang-
undang Perkawinan di Indonesia, perkawinan dipandang sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
kepercayaan yang dianut (pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974).
Ini mengandung pengertian bahwa perkawinan akan sah apabila
telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan.
162 Jurnal Penelitian, Vol. 12, No. 1, Februari 2018
Status Hukum Wali Nikah bagi Ayah Pelaku Incest terhadap Anak Kandung
1
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, cet. ke-3, 1998, hal. 258.
3
Al-Quran dan terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung, 2006, cet. ke-10,
hal. 285.
B. Pembahasan
1. Konsep Dasar Wali Nikah
a. Pengertian Wali Nikah
Kata wali diambil dari bahasa Arab وىل, berarti yang
menolong, yang mencintai.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa, wali dapat berarti: 1) Orang yang menurut
hukum (agama, adat) disertai kewajiban mengurus anak yatim
serta hartanya sebelum anak itu dewasa. 2) Pengasuh pengantin
perempuan pada waktu menikah (yaitu orang yang melakukan janji
nikah dengan pengantin laki-laki). 3) Orang sholeh (suci); penyebar
agama. 4) Kepala pemerintah.5
Perwalian dalam istilah fiqh disebut wilayah yang berarti
penguasaan dan perlindungan.6 Yang dimaksud dengan wilayah
adalah hak yang diberikan oleh syari’ah yang membuat si wali (yakni
pelaksanaan perwalian) mengambil dan melakukan sesuatu, kalau
perlu secara paksa, di luar kerelaan dan persetujuan dari orang
yang diperwalikan. Adakalanya perwalian meliputi harta seseorang
ataupun haknya dalam pernikahan. Yang terakhir inilah yang
dimaksudkan dalam penelitian ini.
4
Ahmad Warson al-Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia,
Yogyakarta, 1984, hal. 1690.
5
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hal. 1124.
6
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
Liberty, Yogyakarta, 1984, hal. 141.
7
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, Terjemahan Mahyiddin Syaf, PT Al Ma’arif,
Bandung, 1997, hal. 11.
8
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Bagan V, PT Ikhtiar Van Hoeve,
Jakarta, 1994, hal. 171.
9
Soemiyati,, Op.Cit, hal. 41.
10
M. Abdul Mujieb, et.al , Kamus Istilah Fiqh, PT Pustaka Firdaus, Jakarta,
1994, hal. 417.
11
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terjemahan Masykur
AB, et, al Leutera, Jakarta, 1986, hal. 345.
12
Abdurrahman al-Jazairy, Al Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah, juz 4, Dar Al
Fair,Beirut, 1996, hal. 355.
13
Abi Bakar Ibnu Mas’ud al Hawafi, Bada’i As Shara, I, juz II, Daral Fiqr,
Beirut, 1996, hal. 355.
hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui”.14
Itulah satu-satunya ayat yang menunjukkan status
wali. Wali dilarang mencegah wanita kawin dengan orang-
orang yang mereka pilih sebagai calon suami. Pencegahan
hanya terdapat pada orang yang mempunyai kekuasaan
untuk mencegah, sehingga ayat tersebut menunjukkan
bahwa akad nikah berada di dalam kekuasaan wali bukan
dalam kekuasaan wanita.15 Ayat di atas diperkuat oleh
beberapa hadits berikut ini.
2) As-Sunnah
a) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad kecuali An-
Nasa’i dari Abu Musa
ُ َ ُ َّ ْح ُ َ َ َّ َ ََ َّ َ َ حُ َ َّ ُ ْ ُ ُ َ َ َ ْ َ ْ ن
ي َحدثنَا أبُو عبَيْ َد َة الَداد ع ْن يُون َس حدثنا ممد بن قدامة ب ِن أع
َّ وس أ َّنَ َُ ى َ َ
ْ اق َع ْن أب بُ ْر َد َة َع َ َ ْ َ ْ َ َ َ َْ ر
ب صىل اهلل َّ انل م ب أ ن ح س إ
ِ ِوإِسا ِئيل عن أ ى
ب
ِى َّا ْخ ِى َِّ ى َ
َّ ُ َ َ َ
.)(ر َو ُاه ال َ ْم َسة ِال الن َساءِي
16 ُّ َ .» ل ٍّ اح إال ب َو
ِى ِ ِ
َ ك
ِ ن ال « ال عليه وسلم ق
Muhammad bin Qudamah meriwayatkan, Abu Ubaidah al-Haddad meriwayatkan
dari Yunus dan Israil dari Abi Ishaq dari Abi Burdah dari Abi Musa bahwasannya
Rasulullah Saw bersabda: ”Tidak ada perkawinan tanpa wali” (HR. al-Khamsah
kecuali an-Nasa`i).
b) Hadits yang diriwayatkan oleh lima kecuali An-Nasa’i dari
A’isyah ra
َ ْ َ َ َ َّ َ َ َ َ ُ ْ َ َ َّ َ ٌ َ َ َ َ َّ َ َ َ َّ َ ُ ْ َ َ َ َّ َ
جعف ُر ْب ُن هلل حدث ىِن أ ىِب حدثنا حسن حدثنا ابن ل ِهيعة حدثنا ِ حدثنا عبد ا
ُ ُ َ َ َ ْ َ َ َ َ ََ ْ ُ ْ َ َ ْ ُّ َ رْ َ ْ ا َ ْ َ ََ َ
ِ ي عن عئِشة قالت قال رسول ا
هلل ِ اب عن َ عروة ب َ ِن الزب ٍ ربِيعة ع ِن اب ِن ِشه
ٌ َ َ ُ َُّ َ ْ َ َ َ َ ْ َ رْ ْ َ ِّ َ َ ا
اطل ِ ي إِذ ِن و يِلها ف ِنكحها ب ِ « أي َما امرأ ٍة نكحت بِغ-عليه وسلم صىل اهلل-
ل َ ُ َ ْ ُّ َ ُ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ
ُّ ابها فلها مهرها بما أصاب ِمن فرجها وإن اشتجروا فالسلطان و َ َ َ ُ ْ َ َ َ َ َ َ فَإ ْن أَ َص
ِى ِ ِ ِ ِ ْخ ِ
ُّ)ال َ ْم َس ُة ا اَّل النَّ َساءِي ُ(ر َواه َ .» ل هَ ُل َّ َ َ ْ َ
ِ ِمن ال و ى
14
Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 232, Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama,
hal. 29.
15
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Al-Umm, juz V, Dar al-Fikr, Beirut, tth,
hal. 12.
16
Al-Hadits, Sunan Ibnu Majah, Al-Mujallad I, Dar Al-Fikr, Beirut, tth, hal.
605.
َ ْأْ ُ ِّ ُ َّ أْ َ ُ أ َ َ َ َْ ْ ىَ ْ ُ اَ اْ َ ُ ُ َّ جْ ُّ َ ُ أ
ْ لب ُث َّم
اب ُن ِ ل خ ال م ث م ال َ والب ُث َّم ا ْ أَل ُخ ل ِ أْلب
و َواول الول ِة الب ثم الَد اب
ِ ِ ِ
19 ْ ْ َّر َ َ َأْ َ أْ َ َ أْ ُ ِّ ُ َّ ْ ُ أْ َ أْ َ ُ َّ ْ َ ُّ ُ َّ ْ َ ُ لَى
ب ِ ي ت
ِ االت ذ ال ِخ لِل ِب والم ثم ابن ال ِخ لِل ِب ثم العم ثم ِابنه ع ه
“Yang paling berhak menjadi wali adalah ayah, kemudian ayahnya ayah, kemudian
saudara kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak saudara ayah
kemudian paman (saudara ayah) kandung, paman seayah, kemudian anak
dari paman”.
Selanjutnya dalam kitab Bajuri juga disebutkan urutan-
urutan wali sebagai berikut:
َ ْجْ ِّّ ُ اْ َ ُ ا َ ُّ ْج ُ ُ َ ْزَّ ْ ْ ا َاْ َ ي َ ََ ىَ ْ ا
ب ث َّم الَد ابُو الَد ث َّم الخ لِل ِب َوا ْول ال ُول ِة ا َح ُّّق ال ْول بِالت ِوي ِج ال
ْ ُ َ َْ ْ ُ ِّ ُ َّ اْ َ ُ اْ َ ُ َّ ْ ُ اْ َ اْ َ َ ْ اُ ِّّ ُ َّ ْ اْ َ ا
اب ُن ال ِخ لِل ِب ث َّم ال َع ُّم واالم ثم الخ لِل ِب ثم ابن ال ِخ لِل ِب والم ثم
20 ُ َ ْ َّ ُ
.ثم ابنه
“Yang paling berhak menjadi wali adalah ayah, kemudian ayahnya ayah, kemudian
saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah kemudian anaknya saudara
laki-laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara seayah, kemudian paman (saudara
seayah) sekandung, paman seayah.
Menurut Madzhab Syafi’i, orang yang berhak menjadi
wali adalah bapak, kalau bapak sudah meninggal atau tidak
mencakup syarat-syarat menjadi wali seperti gila, maka yang
menjadi adalah kakek. Kalau kakek tidak ada. Maka yang
menjadi wali adalah bapaknya kakek. Karena semua mereka
itu mempunyai kedudukan sebagai bapak. Jika bapak-bapak
tersebut tidak ada, maka yang menjadi wali adalah saudara
laki-laki sekandung. Kalau tidak ada, maka saudara laki-laki
seayah. Kalau saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-
laki seayah tidak ada atau tidak mencukupi syarat menjadi
wali, maka yang menjadi wali adalah anak laki-laki saudara
laki-laki sekandung, kalau tidak ada maka anak laki-laki
seayah. Jika seluruh wali di atas tidak ada dan yang ada
hanya anak laki-laki paman dan tidak ada kerabat yang lebih
dekat darinya, maka mereka yang berhak menjadi wali (anak
laki-laki paman sekandung).21
19
Ibid, hal 51
20
Ibrahim Al-Bajuri, Kifayatul Bajuri, juz II, Al-Ma’arif. Bandung, tth, hal. 108.
21
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Al Azhar, Mesir, 1961, hal. 14.
22
Ibid, hal. 57.
Sunnah dan Pendapat para Ulama, Mizan, Jakarta, cet.1, 2002, hal. 65-66.
Syekh Ali Yahya Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab, juz II,
28
ْ
َ َاشت
ج ُروا
َ َ اب َها فَلَ َها َم ْه ُر َها ب َما أَ َص
اب ِم ْن ف ْر ِج َها َوإِ ِن َ فَن اَك ُح َها بَاط ٌل فَإ ْن أَ َص
ِ ِ ِ ِ
ُّ َ َّ ََّ َ ُ خْ َ ْ َ ُ ا ُ ََ ُّ ْ َ ُ َ ُّ َ ْ َ َ َّ ه
) (رواه المسة ِال النساءِي.» فالسلطان و ىِل من ال و ىِل ل
Abdullah meriwayatkan, ayahku meriwayatkan, Hasan meriwayatkan, Ibnu Lahi`ah
meriwayatkan, Ja`far bin Rabi`ah meriwayatkan dari Ibnu Syihab dari Urwah
bin Zubair dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw. bersabda: ”Perempuan siapa
saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami
telah melakukan hubungan seksual, si perempuan berhak mendapatkan maskawin
lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu. Apabila wali-
wali itu enggan, sultanlah yang menjadi wali bagi orang orang yang tidak ada walinya”
(HR. al-Khamsah kecuali an-Nasa`i)
3) Wali Mujbir
Menurut Imam Syafi’i, wali mujbir adalah bapak,
kakek dan seterusnya ke atas sedangkan wali-wali yang
lain bukanlah wali mujbir.29 Sedangkan menurut Imam
Malik menurut Imam Malik dan Hambali berpendapat,
pada asasnya wali mujbir apabila telah mendapat wasiat
dari bapak. Dalam hal-hal yang sangat diperlukan Imam
Hambali berpendapat, bahwa boleh orang lain diangkat
wali mujbir apabila bapak dan hakim tidak ada.30
Imam Hanafi berpendapat, bahwa semua wali
dengan semua wali dapat menjadi wali mujbir sesuai dengan
pengertian wali itu sendiri. Menurutnya, orang-orang yang
di bawah wali mujbir adalah anak-anak dan orang-orang gila
baik laki-laki maupun perempuan. Wanita yang baligh dan
berakal baik gadis maupun janda tidak termasuk di bawah
wali mujbir. Menurut Iman Syafi’i, dasar perwalian mujbir
adalah bagi orang laki-laki apabila ia baligh, perempuan
apabila ia belum pernah kawin (gadis) dan orang-orang gila
laki-laki maupun perempuan.31
29
Ismail bin Muhammad Ash-Shan’ani, Op.Cit, hal. 117.
30
Mahmud Yunus, Op.Cit, hal. 64.
31
Ibid, hal. 65-66.
”Dan disyaratkan di dalam wali harus merdeka, berakal, dewasa dan ditambahi syarat
yaitu satu lagi dengan syarat Islam jika yang diwalikan itu orang Islam.
32
Dirjen Binbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam, Depag RI, 1998/1999,
hal. 21-22.
33
Imam Taqiyyudin bin Abu Bakar, Op.Cit, hal. 49.
34
Abdurrahman, Op. Cit, hal. 13.
35
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz IV, Darul Fikr , Beirut, tth, hal. 13.
Abu Abdillah bin Bukhary, Shahih al-Bhukari, juz III, Sulaiman Mar’i,
36
Singapura, 1979.
37
As- Shan`ani, Subul al-Salam, ttp, tth, Juz 4, hal. 457.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Janda itu
lebih berhak atas (perkawinan) dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan
perintahny (untuk mengawinkannya) kepadanya, dan tanda ijinnya adalah diamnya”.
Hadits Ibnu Abbas di atas menerangkan, bahwa
orang yang akan kawin itu termasuk wanita lebih berhak
atas perkawinan dirinya dari pada walinya. Karena hak
itu, ia dibolehkan menikahkan dirinya. Sebagaimana hak
wali yang boleh pula melaksanakan perkawinannya itu.
Demikian juga wanita boleh menikahkan orang dibawah
perwaliannya. Hal ini juga sesuai dengan apa yang pernah
diperbuat oleh Aisyah: Ia pernah mengawinkan anak
perempuan saudaranya Abdurrahman yang pada waktu
itu sedang bepergian. Setelah Abdurrahman kembali
dan mengetahui perbuatan Aisyah terhadap putrinya,
ia pun marah pada Aisyah. Tetapi tidak ada riwayat yang
mengatakan perkawinan itu batal. Abu Hanifah mengatakan
bahwa hadits yang dijadikan hujjah Syafi’i adalah dhaif. Imam
Syafi’i mensyaratkan wali itu harus yang cerdas. Menurut
Syafi’i yang dimaksud dengan cerdas adalah `adil. Abu
Hanifah tidak mensyaratkan wali harus seorang yang `adil.
2. Pengertian Incest
Incest dalam bahasa Arab juga disebut ghisyan al-maharin, sifah
al-qurba atau zina al-maharim yaitu hubungan seksual antara orang
yang diharamkan menikah diantara mereka oleh syari`ah, karena
kekerabatan.38 Incest ini terkadang dilakukan dengan sukarela di
antara mereka dan adapula dengan paksaan.
Terlepas dari, apakah dilakukan dengan sukarela atau
terpaksa,dampak dari incest ini adalah rusaknya makna bapak,
ibu, anak, saudara, paman, bibi, anak, dan seterusnya. Karena itu,
tindakan ini bukan saja haram, sebagaimana haramnya perzinaan,
tetapi juga merupakan tindakan yang sangat keji. Incest ini bukan
38
Munir al-Ba’albakki, Kamus al-Maurid: Injalizi-’Arabi, ‘Arabi- Injelizi;
madah; incest.
ﭽﭾﭿ ﮀﮁﮂﮃﮄﮅ
ﮆﮇﮈﮉﮊ ﮋﮌﮍ
ﮎﮏ ﮐ ﮑﮒﮓﮔ
ﮕ ﮖﮗﮘﮙﮚﮛ ﮜﮝ
ﮞﮟﮠﮡﮢﮣ ﮤﮥﮦﮧ
ﮨﮩ ﮪﮫﮬﮭﮮﮯ ﮰ
ﮱ ﯓ ﯔﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan [281]; saudara-saudaramu
yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-
anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Selain itu, Allah SWT juga berfirman:
ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲﭳ
ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai
ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Jika Allah mengharamkan zhihar, yaitu mengaggap istri sama
seperti ibu, padahal itu hanyalah anggapan, maka apa yang lebih
dari sekedar anggapan, yaitu berhubungan badan dengan ibunya,
ُ َ ْ ُّ َ ُ َ َ ْ
ُّ ان َو
ل ط ل الس ف وا رج تاش ن إ َ اب ِم ْن فَ ْرج َها
و َ اب َها فَلَ َها َم ْه ُر َها ب َما أَ َص َ فَإ ْن أَ َص
ِى ِ ِ ِ ِ ْخ ِ
ُّ)ال َ ْم َس ُة ِا اَّل النَّ َس يِائ َ .» ل هَ ُل
ُ(ر َواه َ ْ َ
َّ ال َو من
ِى
Abdullah meriwayatkan, ayahku meriwayatkan, Hasan meriwayatkan, Ibnu Lahi`ah
meriwayatkan, Ja`far bin Rabi`ah meriwayatkan dari Ibnu Syihab dari Urwah
bin Zubair dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw. bersabda: ”Perempuan siapa
saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami
telah melakukan hubungan seksual, si perempuan berhak mendapatkan maskawin
lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu. Apabila wali-
wali itu enggan, sultanlah yang menjadi wali bagi orang orang yang tidak ada walinya”
(HR. al-Khamsah kecuali an-Nasa`i).41
Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama
mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam Syafi’i dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu
rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh
sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak
sah (batal).16 Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya:
1) Q.S. An-Nur 32
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ
ﭞ ﭟﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
(QS. An-Nur 32).
2) Hadits Nabi SAW dari Abi Musa al-Asy’ari.
ُ َ ُ َّ ْح ُ َ َ َّ َ َام َة بْن أَ ْع نَ َح َّد َثنَا حُمَ َّم ُد ْب ُن قُ َد
ي َحدثنَا أبُو عبَيْ َد َة الَداد ع ْن يُون َس ِ
ب صىل اهلل َّ انلَّ وس أَ َّنَْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُ ى
م ب أ ن ع ةدرب ب أ ن ع اق ح س إ ب
َ ْ َ َ َ َْ ر
ِى ِى َِّ ى ِ ِوإِسا ِئيل عن أ ى
42 ُّ َ َّ ََّ َ ُ خْ َ ْ َ ُ ا َ َ
ٍّ ال « ال نِكاح إال بوَ َ َ َ
.) (رواه المسة ِال النس يِائ.» ل ِى ِ ِ عليه وسلم ق
41
Zakiah Darajat, Fiqih II, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hal.
77.
42
Al-Hadits, Sunan Ibnu Majah, Al-Mujallad I, Dar Al-Fikr, Beirut, tth, hal.
605.
Al-Shan`ani, Subul al-Salam, juz III, Mjld 2, Kairo, Dar Ihya` al-Turas
43
Artinya: «Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Nabi SAW bersabda: «Perempuan
janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta
pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud
dan An-Nasa’i: «Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak
mempunyai Bapak (yatimah)» (HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita
(janda) mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan
orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk
C. Simpulan
Menurut Hukum Islam peranan wali dalam perkawinan
adalah sangat penting sebab semua perkawinan yang dilakukan
harus dengan izin dan restu wali nikah, terutama wali nasab yaitu
ayah, karena perkawinan tersebut memakai dasar ajaran agama
Islam. Perkawinan tanpa izin wali nikah adalah tidak sah. Hal ini
dipertegas dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam. Dengan adanya
wali nikah dalam perkawinan dapat berperan untuk melindungi
kaum wanita dari kemungkinan yang merugikan didalam rumah
tangga perkawinannya. Adapun mengenai wali nikah ini diatur
dalam Pasal 19 sampai Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam. Dalam
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa: “Wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka peranan wali nikah
sangat penting bagi seorang wanita dalam akad nikah karena selain
perintah agama, wanita adalah makhluk yang mulia, makhluk yang
memiliki beberapa hak yang telah disyariatkan oleh sang pencipta
dan mempunyai satu kedudukan yang dapat menjaga martabat,
kemanusiaan, dan kesuciannya serta merupakan wujud cinta
DAFTAR PUSTAKA
Nur Ahmad Fadil Lubis dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag,
Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2004.
Rina Kurniawati, Pendampingan terhadap Korban Tindak Pidana
Perkosaan Incest, Skripsi, Universitas Negeri Surakarta,
2006.
Saifudin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001.
Sayyid Bakri, I’ anah al-Tholibin, juz III, Singapura, tth.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 7 tp.:Maktabah al-Adab, tth.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
Liberty, Yogyakarta, 1984.
Soerjono Sukamto, Pengantar Pengertian Hukum, UII Press, Jakarta,
1981.
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru, Bandung, 1997.
Sulaiman Zuhdi Manik, Pendampingan dan Penanganan Anak
Perempuan Korban Incest, Penerbit CIDA dan PKPA, Jakarta,
2002.
Sunan Ibnu Majah, Al-Mujallad I, Dar Al-Fikr, Beirut, tth.
Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-
Ummah, Beirut, Muktamadah, 2005.
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1997.
Tim Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan beserta
Peraturan Perkawinan khusus untuk Anggota ABRI-POLRI,
Pegawai Kejaksaan dan PNS, Sinar Grafika, Jakarta, cet. Ke-4,
2000.
W.J.S. Poerwadaminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2002.
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran al Qur`an, Al-Quran
dan terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung, 2006.
Zakiah Darajat, Fiqih II, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,
1995.