Anda di halaman 1dari 15

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Nafkah Anak Hasil Pernikahan Sirri

Rahmad Romadon Nasution, JM. Muslimin, Imam Sujoko


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Corresponding E-mail: rahmatromadonnst@gmail.com

Abstrak
Pernikahan sirri merupakan praktik pernikahan yang melanggar aturan yang
berlaku di Indonesia, walaupum pernikahan sirri telah memenuhi unsur syarat dan
rukun pernikahan menurut aturan agama Islam, namun dikarenakan pernikahan
tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, maka pernikahan tersebut
dipandang tidak sah menurut hukum positif di Indonesia. Anak yang terlahir dari
pernikahan yang tidak sah maka konsekuensinya anak tersebut dipandang sebagai
anak tidak sah atau anak di luar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Dalam hukum positif,
ayah yang menyebabkan lahirnya anak dari pernikahan tersebut tidak dibebankan
untuk menafkahinya. Masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana
perlindungan hukum terhadap tuntutan nafkah anak hasil pernikahan sirri. Studi ini
merupakan penelitian normatif dengan pedekatan perundang-undangan dan
pendekatan kasus. Sumber data penelitian dalam penelitian ini adalah putusan
pengadilan agama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan sikap
pandangan hakim dalam menanganinya, ada yang berpola pikiran normatife, apa yang
dibunyikan undang-undang maka itulah yang dijalankan, sehingga rasa keadilan dan
kemaslahatan terhadap nafkah anak hasil pernikahan sirri tersebut tidak terlindungi
oleh putusan hakim, berbeda menurut pandangan lain yang berpola pemikiran
normatif argumentatif sehingga nafkah anak hasil pernikahan sirri tersebut terlindungi
oleh hukum.

Kata Kunci: Hukum, Nafkah Anak, Pencatatan Nikah, Pernikahan Sirri.

Pendahuluan

1
Praktek pernikahan sirri masih saja marak terjadi di Indonesia. Salah satu
penyebab utamanya adalah terdapat kemudahan dalam pelaksanaaanya serta dapat
disembunyikan.1 Dalam hukum positif di Indonesia telah membuat peraturan
perkawinan sebagaimana tertuang di dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa kriteria keabsahan suatu perkawinan, disebutkan dengan
pernyataan: (1) “Perkawinan sah jika dilaksanakan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Setiap perkawinan mesti dicatatkan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila suami istri hanya melaksanakan pernikahan sesuai aturan agama saja
tanpa adanya pencatatan nikah, maka suami sewaktu-waktu dapat mengingkari
perkawinan tersebut dan suami bebas dari beban menafkahi anak yang terlahir dari
pernikahan tersebut.2
Pencatatan perkawinan memang tidak diatur secara kongkret di dalam al-Quran
maupun hadis Rasulullah Saw sekalipun pencatatan akad nikah itu dipandang sangat
penting, namun tidak disepakati sebagai salah satu rukun nikah. Kendatipun
demikian, tidak ada isyarat bahwa akad nikah itu mesti ditulis atau diaktekan. Atas
dasar inilah fiqh Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.3
Dapat dipahami dari dua aturan di atas bahwa akad pernikahan di Indonesia dapat
digolongkan dengan dua model. Model pertama, akad nikah yang hanya dilaksanakan
dengan menjalankan suruhan pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
saja, maksudnya ketentuan agama yang dipercayai telah dilaksanakan dan telah
memenuhi semua rukun dan syaratnya tanpa adanya pencatatan. Model kedua, akad
pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum di ayat (1) dan ayat
(2) sekaligus bersamaan, maksudnya aturan agama dan pencatatan oleh Pegawai
Pencatat Nikah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan 2 pasal tersebut.4
Perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pencatat nikah
maka efeknya tidak akan memiliki kekuatan perbuatan hukum dan pernikahan
tersebut dianggap tidak sah di mata hukum. Di dalam hukum negara, pengakuan
1
Yulia, “Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Keabsahan
Status Anak di Luar Nikah Persfektif Hukum Perdata Islam,” al-Bayyinah: Journal of Islamic Law,
Volume VII Number 1, pp. 57-72, h. 65.
2
Rudy Catur Rohman Kusmayadi and Muhammad Madarik, “Akibat Hukum Dan Dampak
Psikologis Perkawinan Siri Bagi Perempuan Dan Anak-Anaknya:(Kajian Teoretis Menurut Undang-
Undang Dan KHI),” Jurnal Pusaka 9, no. 2 (2020): 1–21. h. 7.
3
Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Undang-undang
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysa, (Jakarta: INIS, 2002), h. 139.
4
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet ke II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 23.

2
terhadap hak perdata yang disebabkan terjadinya ikatan perkawinan itu ditiadakan,
sebagai isteri tidak diakui sebagai isteri yang sah dan jika suami meninggal dunia
maka tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami. Di samping itu juga, jika
terjadi perpisahan maka isteri tidak mempunyai hak atas harta gono-gini, karena
perkawinan itu dipandang tidak pernah terjadi secara hukum.
Akad nikah model nomor pertama inilah yang dinamakan dengan nikah di bawah
tangan atau nikah sirri. Perkawinan di bawah tangan, istilah ini baru muncul sesudah
diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara
efektif. Istilah lain dari perkawinan di bawah tangan dinamakan juga dengan
perkawinan liar, yang pada dasarnya merupakan perkawinan yang melawan hukum,
maksudnya perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku
(pernikahan yang tidak dicatatkan namun rukun dan syaratnya terlaksana).5
Seorang anak yang hadir akibat dari sebuah perkawinan maka akan mucul antara
hak dan kewajibannya selaku anak, diantara kewajiban orang tua adalah mereka
selama masih hidup tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan (nafkah)
kepada anak tersebut.6
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.7
Kepentingan terbaik untuk anak menjadi prinsip tatkala sejumlah kepentingan
lainnya melingkupi kepentingan anak, sehingga dalam hal ini kepentingan terbaik
bagi anak harus diutamakan dari kepentingan lainnya. Kepentingan terbaik bagi anak
bukan dipahami sebagai memberikan kebebasan anak menentukan pandangan dan
pendapatnya sendiri secara liberal. Peran orang dewasa justru untuk menghindarkan
anak memilih suatu keadaan yang justru tidak adil dan tidak eksploitatif, walaupun
hal itu tidak dirasakan lagi oleh anak.8
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (pasal 42). Anak yang
5
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet ke II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h.27.
6
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam, (Bandung: PT Refika Aditama, 2015), h. 17.
7
Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), h. 81-82.
8
Joni dan Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Anak,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), h.105.

3
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
Pandangan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mengatakan bahwa anak
yang dilahirkan dari pernikahan sirri dipandang sebagai anak tidak sah, atau anak
yang dilahirkan di luar nikah. Anak tersebut dianggap hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya, sehingga di dalam akte
kelahiran anak tersebut pun hanya mencantumkan nama ibu yang melahirkannya,
sedangkan nama ayah dari anak tersebut tidak diisi atau kata lainnya kosong. Artinya,
anak tersebut tidak ada hubungan hukum terhadap ayahnya.9
Hak anak yang dilahirkan akan menjadi jelas jika telah adanya pencatatan
perkawinan yang dibuat oleh yang berwewenang dari pemerintah, karena akan
diketahui siapa orang tua yang melahirkannya.10 Menurut Undang-Undang
Perkawinan (UU NO. 1 Tahun 1974) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatakan
bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan atau akibat perkawinan yang sah, 11
meskipun anak tersebut terlahir dari perkawinan wanita yang hamil saat akad nikah,
yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah resmi.
Penjelasan ini didapatkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.12
Dampak yang diterima suami dari pernikahan sirri ini adalah hampir tidak ada
ditemukan dampak yang mengkhawatirkan ataupun merugikan bagi suami yang
melakukan pernikahan sirri, justru suami mendapatkan keuntungan, diantaranya:

a. Suami bebas menikah lagi, karena pernikahan sirri dianggap tidak pernah
terjadi di mata hukum.
b. Suami bebas dari tanggung jawab terhadap nafkah anak dan istrinya.
c. Suami tidak memikirkan harta gono gini jika ia menceraikan istrinya.13

Praktek pemerintah yang mengatur pencatatan perkawinan adalah berdasarkan


istidlāl menggunakan metode iṣlāḥ atau maṣlaḥah mursalah, meskipun tidak ada ayat
9
Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2010). h.
153.
10
Abdul Wahab Abd Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2020), h. 51.
11
Lihat BAB IX tentang Kedudukan Anak, pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
12
Firia Olivia, “Akibat Hukum terhadap Hasil Anak Perkawinan Sirri Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi”. Lex Jurnalica, Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014. h. 134.
13
Muh Afied Hambali, “Implikasi Perkawinan yang Tidak Didaftarkan di Kantor Urusan
Agama Ditinjau Dari Perspektif Hukum Indonesia”, Jurnal Rechtstaat Nieuw, Vol 1 No. 1. h. 84.

4
atau sunnah yang memerintahkan pencatatan perkawinan, tetapi kandungan
maslahahnya sesuai dengan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi
manusia. Atau dapat diqiyaskan dengan al-Quran surat al-Baqarah ayat 2:282 tentang
utang-piutang/bermuamalah yang tidak tunai untuk waktu yang ditentukan agar
ditulis, karena adanya kesamaan illat, yaitu dampak negatif yang ditimbulkannya.
Dengan dasar ini, dapat ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan
ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak, karena mempunyai
landasan metodologi yang cukup kokoh, yaitu maṣlaḥah mursalah atau qiyās.14
Berkaitan dengan penelitian yang akan penulis teliti ini mengenai keputusan para
hakim Pengadilan Agama dengan nomor No. 0882/.Pdt.G/2020/PA.Mlg dan No.
289/Pdt.G/2019/PA.Pbm, dimana para hakim dalam hal melindungi nafkah anak hasil
nikah sirri terjadi perbedaan keputusan hakim dalam hal tersebut. Walaupun para
hakim sepakat menolak permohonan istbat nikah dari perkawinan sirri tersebut.
Sebuah keputusan menetapkan bahwa nafkah anak hasil pernikahan sirri tetap
dibebankan kepada suami tersebut walaupun hakim memutuskan pernikahan sirri
tetap dipadang sebagai pernikahan tidak sah. Namun keputusan yang lagi menetapkan
bahwa masalah nafkah anak dari hasil perkawinan sirri tidak terlindungi atau tidak
dibebankan kepada suami dikarenakan pandangan hakim yang mengatakan bahwa
pernikahan sirri tidak berkekuatan hukum.
Artikel ini ingin melihat keputusan hakim tentang tuntutan nafkah anak hasil
pernikahan siri apakah sudah mengandung unsur kemaslahatan dan keadilan bagi para
pihak penggugat dan tergugat terlebih-lebih kepada anak yang terlahir dari pernikahan
terseut.

Metode Penelitian
Penelitian ini akan menelusuri, menganalisa dan membandingkan apa saja
yang menjadi dasar pertimbangan para hakim ketika menangani dan memutuskan
perkara dalam hal tututan nafkah anak hasil nikah sirri ditinjau dari teori maslahat dan
keadilan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatife (normative legal
research). Metode penelitian hukum normatife dalam penelitian ini adalah penelitian
studi putusan, yang mana dalam hal ini, penulis mengambil putusan Pengadilan
Agama No. 0882/.Pdt.G/2020/PA.Mlg dan No. 289/Pdt.G/2019/PA.Pbm. Pendekatan
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 121.

5
dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori maslahat dan teori keadilan.
Sumber primer dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Agama dalam
perkara nafkah anak hasil pernikahan sirri ditinjau dari teori maslahat dan keadilan
dengan nomor putusan 0882/.Pdt.G/2020/PA.Mlg dan No. 289/Pdt.G/2019/PA.Pbm.
Dua putusan ini saling berlainan atau berbeda dalam argument yang digunakan hakim
ketika memutuskannya, dimana sebuah putusan menetapkan dan membebankan
nafkah anak hasil pernikahan sirri kepada ayah biologisnya walaupun pandangan
hakim pernikahan sirri tersebut tidak sah di mata hukum dan status anak dianggap
sebagai anak yang tidak sah atau anak di luar kawin dengan berargumen kepada
yurisprudensi. Sedangkan putusan yang lain tidak menetapkan bahkan menolak
gugatan nafkah anak tersebut dikarenakan pernikahan tersebut dilakukan secara sirri
(tidak ada akta nikah).

Hasil dan Pembahasan


Pencatatan Perkawinan Sebagai Salah Satu syarat sahnya Perkawinan dalam
Hukum Positif Indonesia
Berbicara tentang pencatatan perkawinan di Indonesia tentunya tidak akan lepas
dari hukum yang berkaitan dengan perkawinan dalam Islam (fiqh Munakahat) dan
juga UU No. 1 Tahun 1974. Sejumlah pakar fikih mempertanyakan mata rantai
intelektual mengenai pencatatan perkawinan (nikah, cerai, dan rujuk) sebab dalam
kitab kuning, salah satu sumber hukum perkawinan yang telah dijadikan pedoman
oleh hakim dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan
Agama, tidak terdapat pendapat ulama yang menetapkan (menganjurkan agar
perkawinan dicatatkan).15
Pada masa awal Islam tidak dikenal adanya pencatatan perkawinan. Tuntutan
perkembangan masyarakatlah dan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan
muncullah tuntutan pencatatan perkawinan. 16 Ahmad Rofiq berpendapat bahwa
pencatatan perkawinan bukan menentukan sah tidaknya perkawinan. Pencatatan
perkawinan hanyalah syarat administratif saja. Dengan kata lain, perkawinan tetap

15
Jaih Mubarok, Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2015), h. 64.
16
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Kajian Islam Aktual, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011),
h. 98.

6
dipandang sah, karena standar sah atau tidaknya sebuah perkawinan ditentukan oleh
norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri.17
Hakikat dari pencatatan perkawinan menurut UU No. 1/1974 bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan di tengah masyarakat, untuk melindungi martabat
dan kesucian perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Dengan akte nikah, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang
telah mereka lakukan. Bukti autentik semacam ini sangat urgen sebagai tali pengikat
tanggung jawab semua pihak agar terjamin nilai keadilan dan ketertiban yang menjadi
pilar utama tegaknya kehidupan rumah tangga.18
Salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat menghilangkan hak-
haknya adalah nikah yang tidak dicatat, atau nikah di bawah tangan. Pencatatan nikah
memperkuat kesaksian dan publikasi suatu perkawinan yang dianjurkan oleh syari’at
Islam.19
Istilah nikah sirri, memang tidak jelas dari mana asal pertama kali istilah tersebut
muncul di Indonesia, sebab majelis Ulama Indonesia (MUI) pun tidak pernah
menyebut istilah “nikah sirri”. Sepadan dengan istilah ini, MUI hanya menyebut
dengan istilah “nikah di bawah tangan.” 20Namun istilah nikah siri ini sudah ada pada
zaman Khalifah ‘Umar Ibn al-Khattab, tetapi pengertian nikah sirri zaman sekarang
dengan zaman dahulu berbeda, dimana nikah sirri dahulu adalah pernikahan yang
tidak dihadiri saksi nikah kecuali hanya seorang laki-laki dan seorang perempuan.21
Perkawinan yang dilakukan tanpa prosedur pencatatan dikenal dengan nikah sirri.
Menurut KHI, nikah siri tidak mempunyai kekuatan hukum. Nikah sirri dikategorikan
sebagai perkawinan haram dalam bentuk compassionate marriage atau kawin kumpul
kebo. Perkawinan sirri menurut agama sudah sah namun hak-haknya tidak dijamin
oleh peraturan perundan-undangan. Jika seorang anak terlahir dari pernikahan siri,
maka anak tersebut dianggap anak yang tidak sah di mata hukum, sehingga hubungan
keperdataannya hanya kepada ibunya saja.22

17
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 110.
18
Siti Zumrotun, Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Relita, (Bantul: Trussmdia Grafika, 2018),
h. 19.
19
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Kajian Islam Aktual, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011),
h. 104.
20
Taufiqurrahman al-Jazizy, Jangan Sirri-kan Nikahmu, (Jakarta: Himmah Media, 2010), h.
38.
21
M. Ali Hasan, Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Pranada Media, 2003), h. 296.
22
Abdul Somad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 298.

7
Salah satu cara untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap para pelaku
pernikahan sirri adalah dengan istbat nikah. Tujuan dan manfaat permohonan istbat
nikah adalah supaya mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum terhadap
adanya pernikahan yang dlilakukan oleh pasangan suami, istri serta melindungi hak
anak yang terlahir dari pernikahan tersebut jika terjadi perceraian antara suami dan
istri.23

Perkara permohonan istbat nikah ke Pengadilan Agama berdasarkan atas pasal 49


ayat (2) yang mengatakan bahwa yang dimaksud bidang perkawinan sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara
lain meliputi penetapan tentang sahnya perkawinan terutama terhadap perkawinan
yang terjadi setelah tahun 1974 dengan pertimbangan dan dasar hukum lainnya.

Isbat nikah adalah penetapan terhadap perkawinan yang dilakukan seorang laki-
laki dengan seorang perempuan seabagai suami dan istri yang mana pelaksanaan
pernikahannya hanya menurut aturan agama Islam saja namun perkawinan tersebut
belum dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama.

Akibat hukum perkawinan terhadap anak


UU No. 1 Tahun 1974 tidak hanya mengatur hukum perkawinan saja namun juga
mengatur hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti hukum harta benda
(kekayaan) yang dikumpulkan antara suami dan istri, status anak dalam keluarga,
hukum antara orang tua dan anak (hak dan kewajiban orang tua terhadap anak), dan
hukum tentang perwalian.24
Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti
nafkah dibahas dalam fikih sebagai bagian dari kajian fikih keluarga (al-Aḥwāl al-
Shakhṣiyyah). Kewajiban memberikan nafkah terjadi di tiga tempat disebabkan tiga
sebab, pertama adalah istri dengan sebab perkawinan, kedua, kerabat disebabkan
seketurunan (nasab), ketiga, hamba ataupun orang lainnya sebab di bawah
penguasaan. Kewajiban disebabkan perkawinan merupakan dasar pertama dan lebih
utama dibandingkan dari pada dua sebab lainnya, sementara kewajiban karena nasab

23
Hafidz Nugroho and Imelda Martinelli, “Akibat Hukum Penolakan Permohonan Itsbat
Nikah Oleh Pengadilan Agama Terhadap Para Pihak Yang Melakukan Nikah Siri (Studi Kasus Putusan
Nomor: 1478/Pdt. G/2016/PAJT),” Jurnal Hukum Adigama 1, no. 2 (2016): 49–74.
24
Atikah Rahmi, “Fungsi Pencatatan Perkawinan Dikaitkan Dengan Upaya Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010,” De Lega
Lata, Volume I, Nomor 2, Juli-Desember 2016, h. 275.

8
lebih utama daripada sebab di bawah penguasaan. Keutamaan kewajiban karena nasab
keturunan secara hierarkis dari yang paling dekat sampai seterusnya.25
Ketentuan normatif yang mengatur kewajiban seorang ayah menafkahi anak dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41
huruf (b):
“Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya
tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa
ikut memikut biaya tersebut.”

Kompilasi Hukum Islam memberlakukan kewajiban menafkahi anak dengan


instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Pasal 105 huruf (c) menyebutkan bahwa
kewajiban untuk menafkahi anak (memenuhi kebutuhan hidup anak) ditanggung oleh
ayah si anak. Kedua ketentuan tersebut menegaska bahwa kewajiban menafkahi anak
dipikul oleh si ayah.
Hak untuk mendapatkan nafkah adalah hak anak yang berhubungan langsung
dengan nasab. Begitu anak lahir maka hak nafkah anak ini saling terkait dengan
masing-masing hak-haknya yang lain.26Secara terminologis, menurut ulama
Shafi’iyyah, nafkah adalah makanan yang jumlahnya sudah terukur dan mencukupi
yang diberikan oleh suami kepada istri dan pembantunya atau selain keduanya seperti
orang tua dan seterusnya, anak dan seterusnya, budak dan binatang peliharaan.
Sedangkan menurut ulama Malikiyyah, nafkah berarti makanan pokok yang menurut
kebiasaan dapat menghidupkan yang dipergunakan secara hemat dan tidak boros.27
Perceraian hanya memutuskan tali perkawinan antara suami-istri (al-
Zaujiyyah). Tetapi tidak memutus hubungan nasab orang tua dan anak (al-Ubuwwah
wa al-Bunuwwah). Sampai kapanpun, status anak yang dihasilkan dalam perkawinan
yang sah tetap berlaku. Jika kita mengenal ungkapan “bekas istri atau mantan istri”,
maka tidak dikenal istilah bekas anak atau mantan anak”.28

25
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 75.
26
M. Zufran Sabrie, Analisa Hukum Islam tentang Anak Luar Nikah, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1998), h. 79-84.
27
Ibrāhīm Ibn ‘Ali Ibn Yūsuf al-Shairāzī, Takmilah al-Majmū’ Sharḥ al-Muhazzab, cet. Ke 1,
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), 149-151.
28
M. Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah, Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal,
(Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010), h. 234.

9
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 diterangkan: akibat
perceraian, semua biaya haḍānah (pemeliharaan) dan nafkah anak menjadi
tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Pasal ini secara eksplisit
membebankan nafkah anak kepada ayah pasca perceraian.29

Peran Teori al-Maṣlahah dan Teori Keadilan dalam Putusan Hakim dalam
Menangani Perkara Nafkah Anak Hasil Pernikahan Siri
Kemaslahatan yang ingin dicapai dalam hukum adalah kemaslahatan umum yang
berkenaan dengan lima tujuan syariat Islam (maqāṣid al-sharī’ah), yaitu memelihara
agama, akal, jiwa, keturunan, dan memelihara harta kekayaan.30
Setiap yang mengandung terhadap pemeliharaan lima dasar pokok tersebut adalah
termasuk kategori maṣlaḥah, dan setiap sesuatu yang menafikan lima pokok dasar
tersebut merupakan mafsadah, jika menolaknya pun termasuk kategori maṣlaḥah
juga. Lima pokok dasar (al-Mabādi al-Khamsah) lebih dikenal dengan sebutan al-
Kulliyyāt al-khamsah, al-Ḍarūriyyāt al-Khamsah yang kemudian dikategorikan
sebagai maṣlaḥah bersifat ḍarūrī, kullī, dan qaṭ’i.31
Terdapat dua tanda untuk mengetahui bahwa dalam putusan-putusan hakim
Pengadilan Agama itu telah menerapkan dan mengandung maṣlaḥah. Apabila salah
satu tanda itu ada dan dipakai hakim sebagai alasan ketika menetapkan suatu putusan,
maka bisa dipastikan bahwa putusan tersebut sudah menggunakan teori maṣlaḥah.
Pertama adalah melalui penerapan kaidah maṣlaḥah dalam makna kebahasan, artinya
dalam putusan tersebut ada kalimat secara tertulis kemaṣlaḥatan atau
menolak/mencegah kemudratan atau yang sejenisnya. Kedua adalah melalui
penerapan al-Qawā’id al-Fiqhiyyah yang secara tertulis terdapat dalam putusan.32
Maṣlaḥah yang terdapat dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan soal
kemasyarakatan terutama hukum perkawinan dapat berubah-ubah sedangkan
maṣlaḥah yang tidak akan berubah-ubah dan abadi tersimpul pada bilang ibadat
murni. Ibnu Qayyim mengatakan bahwa perubahan fatwa hukum sesuai dengan

29
Cholil dan Ubaid, Keluarga Maslahah…, h. 234.
30
Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang-Undang, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), h.153.
31
Al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, Juz II, (Kairo: Shirkah al-Tibā’ah al-Fanniyah al-
Muttakhidah, 1971), h. 253-287.
32
Acep, Argumen Maslahah dalam Putusan Pengadilan…, h. 59.

10
perubahan zaman, tempat, hal ihwal dan kebiasaan.33Selain itu, Muhammad Ma’ruf
Al-Dawalibi berdalil bahwa tumpuan akhir (gāyah) syariah adalah kemaslahatan dan
dimana saja ditemukan kemaslahatan, maka di sanalah hukum Allah.34
Dalam praktiknya tidak semua sesuai dengan yang diinginkan, dikarenakan hakim
pun dipengaruhi oleh pelbagai faktor ketika memutuskan perkara selain itu juga
hakim berpedoman kepada aturan perundang-undangan yang telah diterapkan. Faktor-
faktor ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana sensitivitas hakim agama
dalam menyelesaikan perkara di pengadilan, terutama dalam ranah jender. 35
Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.
Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan
kemakmuran. Di antara teori-teori itu dapat disebut teori intuisi rakyat, teori egoisme,
teori utilitariesme, yang akhirnya juga teori John Rawls yang berdasarkan
pertimbangan persetujuan tentang prinsip-prinsip keadilan.36
Aristoteles menyatakan bahwa keadilan itu ada dua macam, yaitu keadilan
distributif (distributief) dan keadilan komutatif (commutatief). Keadilan distributif
adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya atau
dalam pengertian lain bahwa keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu
organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada anggotanya beban sosial, fungsi,
imbalan, balas jasa dan kehormatan secara proporsional atau seimbang sesuai dengan
kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi like or dislike.37
Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang
sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Yang menjadi asas
dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan
antar warga masyarakat terutama yang bersifat perdagangan.38
Dalam penegakan hukum dan keadilan, bukan saja hakim yang dituntut untuk
menjatuhkan putusan yang adil, tetapi peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh yang berwewenang juga harus mengandung nilai-nilai keadilan. Hukum yang
dibuat harus dapat mengubah keadaan sosial yang lebih baik terhadap seluruh rakyat

33
Ibn Qayyim, ‘I’lām al-Muwaqqi’īn, ‘an Rabb al-‘Ālamīn, (Beirut: Dar Al-fikr, 1997), h. 14.
34
Muḥammad Ma’rūf al-Dawālibī, al-Madkhal ‘ilā ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, (Damaskus: Dār al-
Kitāb al-Jadīd, 1965), h. 16.
35
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 306.
36
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), h.
196.
37
Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pustaka Al husna Baru, 2004), h.
64-65.
38
Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum…, h. 65.

11
dan peluang bagi rakyat kecil untuk memperoleh penghidupan yang layak dan
bermanfaat.39

Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Menyelesaikan Permasalahan


Tentang Gugatan Nafkah Anak Hasil Pernikahan Sirri menurut Hukum Islam
dan Hukum Positif
Yang menjadi pokok dalam meneliti putusan tersebut adalah mengenai tuntutan
nafkah anak hasil pernikahan sirri antara Penggugat dan Tergugat sekalipun
dikomulasikan dengan permohonan istbat nikah, penetapan usal usul anak, penetapan
anak tersebut sebagai anak yang sah.
Adanya pandangan hakim yang menimbang bahwa anak tersebut adalah anak
yang sah dan terbukti sebagai anak biologis tergugat dengan berbagai bukti-bukti
yang sudah diperiksa oleh hakim. Dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2020, anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ayah
biologisnya atau pihak tergugat sehingga hakim membebankan kepada ayah biologis
anak tersebut untuk memberikan biaya hidup sesuai kemampuannya. Putusan hakim
memutuskan dan menghukum tergugat untuk membayar nafkah anak yang lahir di
Malang kepada Penggugat sebesar Rp. 2.000.000,-(dua juta rupiah) setiap bulan
dengan kenaikan sebesar 10 persen setiap tahunnya sampai anak tersebut berusia 21
tahun atau dapat berdiri sendiri di luar biaya pendidikan dan kesehatan
Sedangkan hakim yang lain mempertimbangkan bahwa penggugat pada saat
menikah dalam status gadis, sedangkan tergugat statusnya sudah ada isteri dan sudah
mempunyai 4 (empat) orang anak dan status tergugat masih terikat perkawinan
dengan isterinya yang pertama sampai saat ini. Hakim ini dalam memutuskan perkara
ini menolak berdasarkan kepada SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan
Rumusan Hukum Agama Tahun 2018 pada huruf A angka 8 dinyatakan bahwa
permohonan istbat nikah poligami atas dasar nikah sirri meskipun dengan alasan
kepentingan anak harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sehingga hakim ini
memutuskan gugatan penggugat tidak dapat diterima secara Verstek.
Dalam memutuskan perkara tersebut, hakim menggunakan berbagai instrumen
dasar hukum yaitu asas, norma, dan aturan selain tentunya juga berbagai doktrin
hukum yang relevan. Satu konsep yang paling sering diangkat dalam pembicaraan
mengenai hukkum adalah konsep keadilan.

39
Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia…, h. 133.

12
Pemikiran hakim dalam menyelesaikan permasalahan tentang nafkah anak
hasil pernikahan sirri yang membebankan nafkah anak tersebut kepada ayah
biologisnya terlihat secara hukum memberikan perlindungan terhadap anak tersebut
sama dengan anak-anak lainnya pada umumnya. Perlindungan hukum ini dimulai
dengan adanya putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor
46/PUU-VIII-2010 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menganulir materi pasal 43 ayat (1) yang dinilai bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
mengubah isi materi dari pasal tersebut menjadi anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Analisis tentang Nafkah Anak Pernikahan Sirri Ditinjau dari Teori Maslahat
dan Teori Keadilan
Putusan Pengadilan Agama yang membebankan nafkah anak tersebut kepada ayah
bilogisnya memutuskan penyelesaian perkara nafkah anak hasil pernikahan sirri ini
berpedoman atau memakai argumen kepada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VII/2010 Tanggal 17 Februari 2012 walaupun tidak secara jelas mengatur
mengenai hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut bukanlah menyatakan adanya hubungan nasab antara
anak luar kawin dengan ayah biologisnya, melainkan hanya berupaya memberikan
perlindungan tehadap anak luar kawin sehingga bisa bertahan hidup, tumbuh serta
berkembang seperti halnya anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah,
Namun pandangan hakim yang tidak dapat menerima tuntutan nafkah anak tersebut,
dikarenakan pernikahan sirri ini tidak sah maka beban tanggungjawab dalam hal
nafkah anak tersebut ditanggung oleh ibu anak tersebut.
Dalam hal ini, hakim yang menolak tuntutan nafkah anak tersebut adalah
golongan hakim positivisme yang mana pandangan kaum positivisme, demi kepastian
hukum, hakim selalu dibatasi oleh hukum positif. Tidak ada hukum yang boleh
melampaui peraturan yang berlaku sebab termasuk melapaui batas wewenang yang
diberikan undang-undang. Adapun hakim yang menerima tuntatan nafkah anak
tersebut, dapat dikatakan sebagai aliran interessenjurisprudenz (freirechtslehere),

13
dimana aliran ini berpendapat bahwa undang-undang jelas tidak lengkap. Undang-
undang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim mempunyai kebebasan
yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, jadi hakim tidak semata
sekedar menerapkan undang-undang saja, namun juga mencakup memperluas dan
membentuk peraturan dalam putusan hakim.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan tersebut sama-
sama menolak istbat nikah atas dasar nikah sirri ditambah lagi dalam kasus ini bahwa
para tergugat masih terikah dengan istri mereka yang pertama, sehingga pandangan
hakim ada yang mengabaikan tentang tuntutan-tuntutan yang lainya terutama masalah
nafkah anak tersebut dan hakim yang lain berpandangan tetap menetapkan nafkah
anak tersebut kepada ayah biologisnya kendatipun pernikahan itu dianggap tidak sah.
Usaha hakim dalam menggali hukum atau argumentasi tentang nafkah anak tersebut,
adalah dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010
Tanggal 17 Februari 2012 Sedangkan hakim yang lain menerapkan SEMA Nomor 3
Tahun 2018 tentang Pemberlakukan Rumusan Hukum Kamar Agama Tahun 2018
pada huruf A angka.
Keputusan hakim dalam menangani tuntutan hal nafkah anak hasil pernikahan
sirri ini, seorang hakim mewujudkan keadilan substantife (material) dan hakim yang
lain mewujudkan keadilan prosedural (formal) semata. Dalam hal ketika hakim
memutuskan suatu putusan, sangat diharapkan hati nurani hakim, dimana seorang
anak yang terlahir jika tidak dibebankan nafkahnya kepada ayahnya, maka bangsa ini
akan banyak anak-anak yang terlantar dijalanan.
Daftar Pustaka

Abdul Somad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Kajian Islam Aktual, Jakarta: Gaung Persada Press,
2011.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006.

14
Atikah Rahmi, “Fungsi Pencatatan Perkawinan Dikaitkan Dengan Upaya
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 46/PUU-VIII/2010,” De Lega Lata, Volume I, Nomor 2, Juli-
Desember 2016.
Firia Olivia, “Akibat Hukum terhadap Hasil Anak Perkawinan Sirri Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi”. Lex Jurnalica, Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014.
Joni dan Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi
Anak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.
Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Undang-
undang Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysa, Jakarta:
INIS, 2002.
M. Ali Hasan, Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Pranada Media, 2003.
Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Surakarta: Wacana Ilmiah Press,
2010.
Muh Afied Hambali, “Implikasi Perkawinan yang Tidak Didaftarkan di Kantor
Urusan Agama Ditinjau Dari Perspektif Hukum Indonesia”, Jurnal Rechtstaat
Nieuw, Vol 1 No. 1.
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet ke II, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama
menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Bandung: PT Refika Aditama,
2015.
Siti Zumrotun, Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Relita, Bantul: Trussmdia Grafika,
2018.
Rudy Catur Rohman Kusmayadi and Muhammad Madarik, “Akibat Hukum Dan
Dampak Psikologis Perkawinan Siri Bagi Perempuan Dan Anak-Anaknya:
(Kajian Teoretis Menurut Undang-Undang Dan KHI),” Jurnal Pusaka 9, no. 2
(2020): 1–21.
Taufiqurrahman al-Jazizy, Jangan Sirri-kan Nikahmu, Jakarta: Himmah Media, 2010.
Yulia, “Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang
Keabsahan Status Anak di Luar Nikah Persfektif Hukum Perdata Islam,” al-
Bayyinah: Journal of Islamic Law, Volume VII Number 1, pp. 57-72.

15

Anda mungkin juga menyukai