Anda di halaman 1dari 25

Pengangkatan Anak (Adopsi) Hasil dari Pernikahan Siri

Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia.


Abdillah Mazi C, Akmalatus Syarifah, Andres Hdialgo, Daris Emirel Ulum, Fadilatul
Fitri, Faiqotur Rifdah A, Nadia Kholida, Elysia Rahmadhani, Nisya Ayu Ariska, Aneira
Syahadati Arsha.

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai anak angkat yang diperoleh dari pernikahan siri perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Seorang Anak dianggap sah jika lahir dari
pernikahan yang sah dan dapat dibuktikan dengan adanya akta pernikahan. Menurut agama
anak yang diperoleh dari pernikahan siri tetap dianggap anak sah meskipun tidak terdaftar
dan diakui secara hukum. Dalam hal ini secara hukum orang tua yang memiliki hubungan
dengan anak tersebut hanyalah pihak ibu saja sehingga harus adanya surat persetujuan dari
pihak ibu untuk anak tersebut daat dialihkan kuasanya kepada orang tua angkatnya.
Sebagaimana Didalam UU RI No 35 Tahun 2004 mengenai perubahan atas UU RI No 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam pasal 1 menjelaskan bahwsannya anak angkat
haknya sudah dialihkan dari lingkungan kekuasaan nya yang dimana sebelum nya yaitu dari
orang tua kandung, wali yang sah kemudian ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan dari pengadilan.

Kata Kunci : Anak angkat; Nikah Siri; Adopsi

Abstract

This study discusses adopted children obtained from siri marriages from the perspective of
Islamic Law and Positive Law in Indonesia. A child is considered valid if born from a valid
marriage and can be proven by having a marriage certificate. According to religion, children
obtained from unregistered marriages are still considered legitimate children even though
they are not legally registered and recognized. In this case, legally the parents who have a
relationship with the child are only the mother's side, so there must be a letter of approval
from the mother's side for the child to be transferred to the adoptive parents. As in RI Law
No. 35 of 2004 regarding amendments to RI Law No. 23 of 2002 concerning child protection
in article 1 it explains that adopted children have their rights transferred from their
environment of power which was previously from biological parents, legal guardians then to
the environment. the family of his adoptive parents based on a decision from the court.

Keyword : Adopted child; Siri Marriage; Adoption


Pendahuluan

Mempunyai anak adalah tujuan setiap orang tua yang melakukan sebuah perkawinan
dan memiliki tujuan yaitu untuk memiliki keturunan serta sebagai pewaris harta dari kedua
orang tua mereka. Memililki anak adalah sebuah kebanggaan bagi setiap keluarga tetapi,
kadang tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi dan sulit memiliki keturunan sedangkan setiap
orang memiliki harapan yang besar untuk memiliki anak sehingga ada beberapa orang yang
melakukan pengangkatan anak.1

Sebagai warga negara Indonesia tentunya pasti memiliki tekanan yang besar terkait
apalagi seorang wanita harus memiliki seorang anak dan mengangkat anak tak selalu menjadi
opsi untuk seorang wanita. Bahkan di zaman sekarang anak angkat sering dijadikan
pancingan agar orang tua tersebut bisa memiliki anak kandung dan negara Indonesia sendiri
juga menyutujui untuk melakukan adopsi anak karena di Indonesia masih banyak anak yang
terlantar sehingga bisa menyelamatkan anak-anak yang terlantar yang dimana anak kandung
dan anak angkat tidak membedakan mereka atau diskriminasi terhadap mereka.

Dengan adanya anak angkat yang juga merupakan karunia dari tuhan tetapi, sangat
disayangkan bahwa ada beberapa orang tua yang harus mengurus anak dari darah daging
orang lain yang disebabkan beberapa faktor oranng tersebut tidak memiliki anak kandung.
Pembahasan terkait hak seorang anak angkat terkait hak waris menjadi topik pembicaraan
yang saat ini sering dibahas dan sebagai orang tua seharusnya tidak boleh membedakan
maupun anak angkat maupun itu anak kandung baik itu terkait harta benda seperti uang,
rumah, dan sebagainya.

Sebagai orang tua juga tega yang dimana anak mereka kelak nanti tidak memiliki harta
yang dimana setiap orang tua harus memperhatikan hak waris anak-anak mereka. Adapun
tujuan dari hak kewarisan Islam yaitu bagaimana setiap orang bisa mengatur dan membagi
harta peninggalan mereka agar bisa di manfaat kan dengan maksimal dan baik oleh ahli waris
mereka.2

Didalam UU RI No 35 Tahun 2004 mengenai perubahan atas UU RI No 23 Tahun 2002


tentang perlindungan anak dalam pasal 1 menjelaskan bahwsannya anak angkat haknya sudah
dialihkan dari lingkungan kekuasaan nya yang dimana sebelum nya yaitu dari orang tua
kandung, wali yang sah kemudian ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan dari pengadilan.3

Dalam permasalahan kasus anak angkat tersebut kita di tuntun untuk agar selalu teliti dan
peduli terkait dalam menentukan hak anak angkat tersebut dan dalam hukum yang mengatur
terkait permasalahan anak angkat tersebut.

1
Iin Ratna Sumirat and Muhamad Wahyudin, “Hukum Anak Angkat Dalam Perspektif Islam Dan Hukum
Positif,” Jurnal Studi Gender dan Anak 8, no. 02 (2021): 168.
2
Titik Triwulan Tutik, “Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,” no. 1 (2010): 248.
3
Pemerintah Republik Indonesia, “UU No 35/2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak” (2014): 1–40.
Adapun terkait pencatatan anak angkat dan perkawinan yang sah dimana banyak sekarang
orang yang melukan nikah siri tidaklah mengganggu keabsahan dari sebuah pernikahan
tersebut karena sesuai Hukum Islam yang ada. Hanya saja dalam administrasi nya tidak
dicatat sehingga orang yang melakukan nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat.4

Oleh karena itu pernikahan siri banyak menimbulkan dampak negatif bagi kelangsungan
sebuah rumah tangga. Akibat hukumnya bagi pernikahan yang tidak memiliki akta nikah
secara yuridis mereka tidak memiliki tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan
yang berkaitan dengan rumah tangga mereka yang dimana anak-anak mereka hanya akan
diakui sebagai anak luar kawin yang hanya memiliki keperdataan dengan ibu mereka dan
keluarga ibu mereka. Jika seorang ibu dan anak mereka ditelantarkan oleh ayah mereka maka
mereka tidak memiliki tuntutan hukum seperti pemenuhan hak ekonomi maupun harta
bersama.

Mengenai anak yang lahir dari perkawinan siri ini masih menjadi perdebatan yang cukup
panjang karena tidak ada tercatat dan hanya memiliki hubungan hukum kepada ibu mereka
dan keluarga dari ibu mereka.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis sesuai dengan permasalahan yang
mendasarinya Penelitian ini merupakan jenis Library Research dan yuridis normatif, yaitu
rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan metode pengumpulan data pustakawan, membaca
dan menulis serta menangani dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Penelitian ini
menggunakan sumber kepustakaan untuk pengumpulan data riset. Untuk objek penelitian
data pustaka penelitian khususnya Peraturan yang terkait dengan Pengangkatan anak dari
hasil nikah siri Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia dan perpustakaan
yang terkait dengan topik permasalahan.

4
Winarsih, “Kedudukan Anak Didalam Pernikahan Secara Siri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Maksigama 14, no. 2
(2020): 168–178.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengangkatan Anak (Adopsi) Hasil dari Nikah Siri Dalam Perspektif
Hukum Islam ?
2. Bagaimana Pengangkatan Anak (Adopsi) Hasil dari Nikah Siri Dalam Perspektif
Hukum Positif ?
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Pengangkatan Anak (Adopsi) Hasil dari Nikah Siri Dalam Perspektif
Hukum Islam
2. Mengetahui Pengangkatan Anak (Adopsi) Hasil dari Nikah Siri Dalam Perspektif
Hukum Positif
Pembahasan

A. Pengangkatan Anak (Adopsi) Hasil dari Nikah Siri Dalam Perspektif Hukum Islam

Pengangkatan Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam


Pengertian pengangkatan anak berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari
bahasa Inggris ”Adoption” yang berarti mengangkat seorang anak, anak orang lain untuk
dijadikan sebagai anak sendiri dan memiliki hak yang sama dengan anak kandung.5 Pada saat
Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat arab (zaman jahiliyah)
Lembaga Pengangkatan Anak telah menjadi tradisi dengan istilah ”Tabani” yang berarti
mengambil anak angkat.
Dalam kajian Hukum Islam, ada dua pengertian mengenai pengangkatan anak.6
1. mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan
kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung, kepadanya cuma ia
diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri.
2. mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai anak
kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua
angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak orang lain
sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkat.
Pada Pasal 171 huruf h, secara definitif disebutkan bahwa anak angkat adalah anak
yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan disebut beralih
tanggung jawabnya dari oarng tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan.
Menurut Hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
biologis dan keluarga.
2. anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, melainkan
tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat
tidak berhak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
3. anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung,
kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/ alamat.
4. orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak
angkatnya.7
Pengangkatan anak menurut Hukum Islam sebenarnya merupakan hukum Hadhonah/
pemeliharaan anak yang diperluas dan sama sekali tidak merubah hubungan hukum, nasab
dan mahram antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga asalnya.
Al-Imam Al-Lausi juga menyatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang dengan
sengaja menasabkan ayah kepada yang bukan ayahnya. Unsur kesengajaan menasabkan
seseorang kepada seorang ayah yang bukan ayahnya padahal ia mengetahui ayahnya yang

5
Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta, 1987, hlm. 4
6
Nasroen Haron, Ensiklopedi hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 29
7
Muderis Zaini, Adopsi Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, hlm. 54
sebenarnya, adalah penyebab haramnya perbuatan tsb, tetapi mengambil dan merawat anak
yang terlantar tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib hukumnya.8
Dalam Hukum Islam pemeliharaan anak disebutkan dengan Al Hudhinah yang
merupakan kata dari Al Hadhanah yang berarti mengasuh atau memelihara bayi. Dalam
pengertian istilah Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri,
biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya.
Hadhanah sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik itu yang
menyangkut perkawinan maupun yang menyangkut hartanya. Hadhanah tersebut adalah
semata-mata tentang perkara anak dalam arti mendidik dan mengasuhnya.9
Hukum Islam juga hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya
kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain. Dalam
konteks beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam menghargai hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Hukum Islam, bahkan menempatkannya sebagai bagian
dari sumber hukum Islam al-’adah almuhakamah. Masyarakat hukum adat telah mengenal
pengambilan anak dari suatu keluarga untuk dijadikan anak yang diasuh dengan penuh kasih
sayang layaknya anak sendiri, dengan bermacam-macam istilah, seperti anak kukut, anak
pupon, anak akon.
Pengangkatan Anak Menurut Al-Quran

Islam mengharamkan Tabanny (pengangkatan anak) yang diakui sebagai anak


kandung, dan Islam menggugurkan segala hak yang biasa didapatkan anak angkat
dari Mutabanniy (orang yang mengangkat anak). Allah SWT berfirman dalam QS :
Al-Ahzab ayat 4 :
َّ E‫ َح‬E‫ ْل‬E‫ ا‬E‫ ُل‬E‫ و‬Eُ‫ ق‬Eَ‫ ي‬Eُ ‫ هَّللا‬E‫و‬Eَ Eۖ E‫ ْم‬E‫ ُك‬E‫ ِه‬E‫ ا‬E‫ َو‬E‫ َأ ْف‬Eِ‫ ب‬E‫ ْم‬E‫ ُك‬Eُ‫ ل‬E‫و‬Eْ Eَ‫ ق‬E‫ ْم‬E‫ ُك‬Eِ‫ ل‬E‫ َذ‬Eٰ Eۚ E‫ ْم‬E‫ ُك‬E‫ َء‬E‫ ا‬Eَ‫ ن‬E‫ َأ ْب‬E‫ ْم‬E‫ ُك‬E‫ َء‬E‫ ا‬Eَ‫ ي‬E‫ع‬Eِ E‫ َأ ْد‬E‫ َل‬E‫ َع‬E‫ َج‬E‫ ا‬E‫ َم‬E‫َو‬
E‫ق‬
E‫ َل‬E‫ ي‬Eِ‫ ب‬E‫ َّس‬E‫ل‬E‫ ا‬E‫ ي‬E‫ ِد‬E‫ ْه‬Eَ‫ ي‬E‫ َو‬Eُ‫ ه‬E‫َو‬
Artinya “Allah tidak menjadikan anak – anak angkatmu sebagai anak kandung-mu
(sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja, dan Allah SWT
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Pengangkatan anak (Tabanny) yang dianjurkan, adalah pengangkatan anak yang
didorong oleh motivasi beribadah kepada Allah SWT dengan menanggung nafkah sehari –
hari, biaya pendidikan, pemeliharaan, dan yang lainnya tanpa harus memutuskan hubungan
hukum dengan orang tua kandungnya, tidak menasabkan dengan orang tua angkatnya, tidak
menjadikannya sebagai anak kandung sendiri dengan segala hak – haknya.
Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat, mencampur
adukkan nasab, mengubah hak – hak warisan kepada yang tidak berhak, dan menghalalkan
yang haram seperti berkhalwat merupakan suatu kedustaan. Maka dapat penulis pahami
bahwa agama islam mendorong seorang muslim untuk memelihara orang lain yang tidak
mampu, fakir, terlantar, dan ditelantarkan. Akan tetapi tidak boleh memutus hubungan hak –
hak tersebut dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan pada bentuk
penyantunan semata sesuai dengan ajaran islam.
8
Zakaria Ahmad, Ahkam ai Aulad bi al Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hlm. 35
9
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka Bangsa,
2003, hlm. 78
Nikah Siri Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kata “sirri” dalam istilah nikah sirri berasal dari Bahasa arab yaitu : “sirrun” yang
artinya rahasia. Melalui kata ini, nikah sirri diartikan sebagai pernikahan yang dirahasiakan.
berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Oleh karena
itu, nikah siri dapat didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan secara hukum
agama atau secara adat istiadat, dan juga tidak diumumkan pada halayak yang ramai serta
tidak dicatatkan secara resmi di kantor pegawai pencatat nikah.10
Wahbah Al Zuhaily memberikan definisi bahwa pernikahan siri adalah dengan adanya
ijab dan qabul yang dalam pelaksanaannya terdapat dua orang mempelai (laki-laki dan
perempuan), wali nikah dan terdapat dua orang saksi. Pada nikah siri, calon pengantin laki -
laki boleh memberikan pesan pada saksi untuk menyembunyikan atau merahasiakan
perkawinan itu, walaupun terhadap keluarganya sendiri. Madzhab Syafi’i dan madzhab
Hanafi membolehkan nikah siri, kemudian madzhab Maliki membolehkan dengan catatan
harus dalam situasi atau keadaan darurat, sedangkan madzhab Hanafi menghukumi nikah siri
adalah makruh.11
Ditegaskan bahwa pernikahan dianggap sah jika sudah melengkapi syarat dan
rukunnya. Sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan pada Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
1. Calon Suami
2. Calon Istri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan Kabul.
Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang sesuai dengan syariat
Islam, dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai
hukum Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat yang dikenal dalam islah dengan
istilah mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan
atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan
keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.
Nikah sirri adalah pilihan hukum yang didasarkan hanya kepada konteks agama, yang
penekanan esensinya tidak sekedar hubungan hukum tapi lebih kepada faktor konsekuensi
pengamalan ibadah kepada Allah SWT. Meskipun demikian perlu juga memerhatikan aspek
social yakni mengumumkan pernikahan kepada khalayak ramai.
Sebagaimana pada Pasal 7 ayat (2) KHI menyebutkan bahwa “dalam hal perkawinan
tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama”.
Adapun tentang isbat nikah yang disebutkan pada Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, secara
eksplisit menjelaskan adanya indikasi pengakuan tentang sahnya pernikahan yang tidak
dicatatkan untuk kemudian dapat dicatatkan di kemudian hari. Dan tentunya dengan adanya
isbat nikah ini dimaksud supaya nikah siri yang dilakukan dapat dicatatkan dan dapat

10
Happy Susanto: Nikah Sirri Apa Untungnya?. Jakarta: Visi Media, 2007 hlm. 22
11
Wahbah al Zuhaily. al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh. Beirut: Dar al Fikr, juz VII, (1989). h. 71.
memberikan keuntungan pada pihak yang dengan sengaja melaksanakannya. Ini banyak
dilakukan oleh Pengadilan Agama di Indonesia dengan dasar yang diperbolehkan oleh KHI.
Nikah siri dalam kenyataannya memiliki banyak keburukan daripada kebaikannya,
sudah seharusnya masyarakat diberikan edukasi kalau dalam nikah siri ini yang sangat
dirugikan adalah perempuan dan anak. Nikah siri yang menurut hukum negara tidak sah ini
menyebabkan perempuan dan anak tidak bisa memperoleh haknya. Misalnya terkait harta
gonogini apabila suatu saat terjadi perceraian sebab apapun yang terjadi perkawinan itu akan
dianggap tidak pernah ada dan terjadi oleh hukum.
Menurut KHI, nikah siri adalah tidak sah karena melanggar peraturan perundangan di
Indonesia dan tidak sesuai dengan hukum. Hukum Islam tentang perkawinan sendiri sudah
lama dilaksanakan jauh sebelum adanya peraturan yang mengharuskan pelegalan catatan akta
nikah.

Nikah Siri Menurut Al-Quran

Kata “sirri” berasal dari bahasa Arab yang berasal dari infinitif sirran dan sirriyyun.
Secara etimologi, kata sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di
dalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau
misterius. Jadi nikah sirri, artinya nikah rahasia (secret marriage), pernikahan yang
dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.12
Dalam Islam, pelaksanaan suatu pernikahan harus sesuai dengan ketentuan syari’at,
yakni memenuhi syarat dan rukun sebagaimana diatur dalam al-Qur’an dan hadits, atau yang
telah terhimpun dalam khazanah hukum fiqih. Suatu pernikahan hendaklah dilakukan oleh
wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi. Meskipun, secara dogmatis tidak ada
nash al-Quran atau hadis yang mengatur pencatatan perkawinan. Akan tetapi pencatatan
perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh siapa saja yang
akan melangsungkan pernikahan.13
Islam memandang bahwa perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa.
Perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan). Oleh karena itu,
akad nikah bukanlah transaksi (mu’amalah) biasa. Akan tetapi ia merupakan perjanjian yang
sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:

َ E‫ْض َوَأخ َْذنَ ِم ْن ُك ْم ِميثَاقًا‬


  ‫غلِيظًا‬ ٍ ‫ض ُك ْم ِإلَ ٰى بَع‬ َ ‫َو َك ْيفَ تَْأ ُخ ُذونَهُ َوقَ ْد َأ ْف‬
ُ ‫ى بَ ْع‬Eٰ ‫ض‬

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu


telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (QS. an-Nisa’: 21).
Dalam hukum Islam, juga mengharuskan mencatatkan perkawinan untuk pembuatan
Akte Nikah dianalogikan kepada pencatatan dalam masalah transaksi utang-piutang
(mudayyanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Hal tersebut
ditegaskan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:

12
Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif ”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII, September – Oktober 1996, hal. 8.
13
Ali Akbar. Nikah Sirri Menurut Perspektif Al-Quran. JURNAL USHULUDDIN Vol. XXII No. 2, Juli 2014
Eْ Eُ‫ ت‬E‫ ْك‬Eَ‫ ي‬E‫ ْل‬E‫و‬Eَ Eۚ Eُ‫ه‬E‫ و‬Eُ‫ ب‬Eُ‫ ت‬E‫ ْك‬E‫ ا‬Eَ‫ ف‬E‫ ى‬E‫ ًّم‬E‫ َس‬E‫ ُم‬E‫ ٍل‬E‫ َأ َج‬E‫ى‬Eٰ Eَ‫ ِإ ل‬E‫ ٍن‬E‫ ْي‬E‫ َد‬Eِ‫ ب‬E‫ ْم‬Eُ‫ ت‬E‫ ْن‬Eَ‫ي‬E‫ ا‬E‫ َد‬Eَ‫ ت‬E‫ ا‬E‫ ِإ َذ‬E‫ا‬E‫و‬Eُ‫ ن‬E‫ َم‬E‫ آ‬E‫ َن‬E‫ ي‬E‫ ِذ‬Eَّ‫ل‬E‫ ا‬E‫ ا‬Eَ‫ ه‬EُّE‫ َأ ي‬E‫ ا‬Eَ‫ي‬
E‫ ْم‬E‫ ُك‬Eَ‫ ن‬E‫ ْي‬Eَ‫ ب‬E‫ب‬
E‫ ِل‬E‫ ْد‬E‫ َع‬E‫ ْل‬E‫ ا‬Eِ‫ ب‬E‫ب‬
ٌ Eِ‫ت‬E‫ ا‬E‫َك‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (QS. al-Baqarah : 282).
Dari beberapa ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mendatangkan
kemaslahatan dan ketertiban segala macam yang berkaitan dengan keluarga seperti
keturunan, kewarisan, perwalian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hukum keluarga
maka pencatatan perkawinan sangat diharuskan.
Kaidah lain yang dapat digunakan adalah Saddu Dzari’ah dan Fathu Dzari’ah jalan
yang menuju kepada sesuatu bisa jadi perbuatan tersebut terlarang untuk dikerjakan karena
membawa kemudaratan dan yang membawa kemaslahatan sehingga dituntut untuk
dilaksanakan. Segala perbuatan yang akan mendatangkan kemadaratan atau kemafsadatan
seperti larangan ber-kholwat antara laki-laki dengan seorang istri yang bukan muhrim akan
menimbulkan fitnah. Demikian juga nikah tanpa adanya bukti dan pencatatan bisa
mendatangkan kemudaratan apabila berurusan dengan hukum atau yang lainnya yang
memerlukan bukti dan perkawinan.14
Namun, Hukum nikah siri atau nikah dibawah tangan adalah sah apabila dilakukan
oleh wali dan dihadiri oleh dua orang saksi serta memenuhi syaratsyarat yang telah
ditentukan oleh Syariat Islam.

Hadis tentang pengangkatan Anak (adopsi)

Syariat Islam yang ditegakkan diatas kebenaran dan kejujuran untuk membina
masyarakat dengan landasan hubungan yang murni dan wajar dalam mengatur susunan
keluarga melarang pengangkatan anak yang diperlakukan seperti anak kandung/Agama Islam
membatalkan dan tidak mengakui adat-istiadat dalam pengangkatan anak orang lain untuk
dijadikan sebagai anak kandung karena akan berdampak negatif. Hadis yang berhubungan
dengan anak angkat, yaitu:

‫ وهو يعلمه ا ال كف ر‬,‫ ليس من رجل اد عى لغري أبيه‬:‫عن أ ىب ذ ر رض هلال عنه أنه مسع رسلو هلال سلى هلال عليه و سلم يقول‬
‫ و ليتبو أ مقعده من النار )رواه مسلم‬,‫(و من اد عى ما ليس له منا‬

Artinya: Dari Abu Dzar ra, bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak seorang pun yang mengikuti (membanggakan diri) kepada bukan ayah yang
sebenarnya, sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan
barang siapa yang mengakui sesuatu yang tidak ada padanya, maka ia bukan dari kalangan

14
Ahmad Sobari, “Nikah Siri Dalam Perspektif Islam”. Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn
Khaldun (UIKA) BOGOR Vol. 1 No. 1 (2013)
kami (kalangan kaum muslim) dan hendaklah dia menyiapkan diri sendiri tempatnya dalam
api neraka”. (HR. Muslim)

Kesimpulan hadits tersebut bahwa haram hukumnya membanggakan diri kepada


orang lain yang bukan ayah kandung maka haram mengangkat anak orang lain dan
membangsakannya/menyandarkan nasabnya kepada orang yang mengangkatnya sebagai anak
kandung, tetapi boleh mengangkatnya sebagai anak asuh karena tidak menyandarkan nasab
anak asuh tersebut kepada nasab orang tua angkat. Hal tersebut justru dianjurkan oleh agama
agar anak orang miskin tersebut tidak terlantar. Inti dari pengangkatan anak menurut hukum
Islam adalah mubah. Hukumnya bisa berubah menjadi sunnah atau haram sesuai dengan
situasi dan kondisi.15

Seiring perkembangan zaman maka hukum Islam pun selalu berkembang, termasuk
dalam hal pengangkatan anak di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari hasil rumusan Tim
Pengkajian Bidang Hukum Islam pada Pembinaan Hukum Nasional dalam Seminar
Pengkajian Hukum 1980/1981 di Jakarta yang pernah mengusulkan pokok-pokok
pikiransebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang anak angkat yang
dipandang dari sudut hukum Islam.

Pokok-pokok pikiran tersebut adalah:

1. Hukum Islam tidak melarang adanya lembaga adopsi bahkan membenarkan dan
menganjurkan demi untuk kesejahteraan anak dan kebahagiaan orang tua.
2. Perlu diadakan peraturan perundang-perundangan tentang pengangkatan anak yang
memadai.
3. Diusahakan ada penyatuan istilah pengangkatan anak dan meniadakan istilah-istilah
lain.
4. Pengangkatan anak jangan memutuskan hubungan antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandung.
5. Hubungan harta kekayaan/kehartabendaan antara anak yang diangkat dengan orang
tua angkat dianjurkan agar dalam hubungan hibah dan wasiat
6. Pengangkatan anak yang terdapat dalam hukum adat hendaknya diusahakan agar
tidak bertentangan dengan hukum Islam.
7. Pengangkatan anak oleh warga negara asing supaya diadakan pembatasan yang
lebih ketat.
8. Tidak dibenarkan pengangkatan anak oleh orang tua yang berlainan agama.16

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia
tahun 1984 yang berlangsung pada Jumadil Akhir 1405 H/Maret 1984 memfatwakan tentang
adopsi sebagai :

1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan
(pernikahan).
15
Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), h. 132.
16
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata (Cet. VIII; Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 199
2. Mengangkat (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan
(nasab) dengan ayah dan ibu kandung bertentangan dengan syariat Islam.
3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan agama
dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik
dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri merupakan perbuatan yang terpuji
dan termasuk amal saleh yang dilanjutkan oleh agama Islam.
4. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan dengan
UUD 1945 Pasal 34 juga merendahkan martabat bangsa.17

Menurut Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam yang sejalan dengan Pasal 39 ayat 2
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa
"Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya".18

B. Pengangkatan Anak (Adopsi) Hasil dari Nikah Siri Dalam Perspektif Hukum Positif

Hukum Nikah Sirih Menurut Perspektif Hukum Positif Indonesia

Secara literal Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kosa kata
yaitu “nikah” dan “sirri”. Nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling
memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sering dipergunakan
untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Sedangkan kata Sirri berasal dari
bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia.19

Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan sebagai
pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan
karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari public dengan berbagai
alasan, dan biasanya hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dimeriahkan
dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum. Jika kita berpedoman dari
pengertian etimologis nikah sirri sebagaimana tersebut di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga)
bentuk atau model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu:

Pertama : Pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang sudah cukup
umur yang dilangsungkan di hadapan petugas negara serta dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah namun hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak diumumkan dalam
suatu resepsi walimatul ursy.

Kedua : Pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita yang masih di bawah
umur menurut undang-undang, kedua-duanya masih bersekolah. Pernikahan ini datang atas
inisiatif dari orang tua kedua belah pihak calon suami dan isteri yang sepakat menjodohkan
anak-anak mereka dengan tujuan untuk lebih memastikan perjodohan dan menjalin
persaudaraan yang lebih akrab. Biasanya dalam pernikahan setelah akad nikah mereka belum
17
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Kajian Islam Aktual (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press),
h. 152- 153.
18
Al Mutsla:Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan Desember 2019 Volume 1 No.
2 : Pengangkatan Anak Adopsi dalam Tinjauan Hukum Islam & Sistem Hukum di Indonesia
19
Abd.Rahman Gazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2006
kumpul serumah dulu. Setelah mereka tamat sekolah dan telah mencapai umur perkawinan,
lalu mereka dinikahkan lagi secara resmi di hadapan PPN/KUA yang menurut istilah jawa
disebut “munggah”.

Ketiga : model pernikahan antara seroang pria dan seroang wanita yang sudah cukup
umur menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di
bawah tangan (nikah siri), tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan.

Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat biaya, yang penting sudah
dilakukan menurut agama sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, pernikahan
itu dilakukan oleh seseorang yang mampu secara ekonomi, akan tetapi karena alasan tidak
mau repot dengan segala macam urusan administrasi dan birokrasi, atau karena alasan lain
maka ia lebih memilih nikah sirri saja.

Dari tiga model pernikahan sirri tersebut di atas, pernikahan sirri model terakhir
adalah yang paling relevan dengan topic bahasan dalam tulisan ini. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan Nikah Sirri dalam tulisan ini ialah suatu pernikahan yang berlangsung yang
tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau dengan kata lain disebut dengan Nikah siri
(bawah tangan). Dalam sistem peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia,
nikah siri merupakan perkawinan yang tidak memiliki asas legalitas hukum, dalam arti tidak
sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Hal ini didasarkan pada UU No 1/1974
tentang Perkawinan, pasal 2 ayat (1 dan 2) jo KHI pasal 4, yaitu : (1) Perkawinan sah apabila
dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.26 Kemudian KHI
pasal 5 ayat (1 dan 2) yaitu : (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun
1946 jo Undangundang No. 32 Tahun 1954 jo UU No 1/1974. Bahkan, masalah pencatatan
perkawinan ke KUA sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) jo. KHI pasal 5 ayat (ayat
1 dan 2) merupakan syarat sahnya perkawinan dalam hukum positif di Indonesia, bukan hanya
sebatas dalam hubungan administrasi saja.

Pernyataan ini didasarkan pada KUHAPerdata pasal 81 yang berbunyi : Tidak ada
upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada
pejabat agama mereka bahwa perkawinan di hadapan Pegawai Catatan Sipil telah
berlangsung.Pernyataan diatas ditegaskan lagi dalam Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975
sebagai pelaksanaan UU Perkwinan pasal 3 ayat (1, 2 dan 3) sebagi berikut :

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan


kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurangkurangnya 10 (sepuluh)
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 1 disebabkan sesuatu
alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.20

Dalam suatu perkawinan harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, akan
tetapi juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang, supaya sah perkawinan itu secara
negara. Dalam arti sesuai dengan aturan perundangundangan yang ada dan memiliki legalitas
yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan
perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap hak-hak
pelayanan publik oleh instansi yang berwenang bagi pelakunya. Mereka tidak memperoleh
perlindungan dan pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang sebagaimana mestinya.
Perkawinan mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak
dapat memperoleh akte kelahiran dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pernikahan sirri
banyak membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan mencatatkan perkawinan lebih banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat
dan bangsa.

Perkembangan Hukum Nikah Siri Menurut Perspektif Hukum Positif Indonesia

Begitu mulianya pernikahan itu sehingga diatur sedemikian rupa, baik oleh agama
maupun oleh negara, walaupun sampai hari ini masih dijumpai pelanggaran-pelanggaran
yang secara sadar atau tidak dilakukan oleh sebagian masyarakat, khususnya umat Islam
mengenai nikah siri dan berbagai bentuk penyimpangan dan pelanggaran lainnya terhadap
sistem nikah khususnya di Indonesia seperti nikah usia dini dan nikah kontrak. Indonesia
sebagai negara hukum, tidak luput mengatur rakyatnya dalam hal perkawinan. Walaupun
Indonesia bukanlah negara yang hukumnya berdasarkan hukum Islam, akan tetapi hukum
Islam memiliki tempat khusus utamanya dalam aturan pernikahan. Sistem peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak mengatur nikah siri. Jadi nikah siri
merupakan perkawinan yang tidak memiliki asas legalitas atau payung hukum, dalam arti
tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Hal ini didasarkan pada UU No 1/
1974 tentang Perkawinan, pasal 2 ayat (1 dan E jo KHI pasal 4, yaitu : (1) Perkawinan sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan KHI pasal
5 ayat (1 dan 2) yaitu : (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undangundang No.22 Tahun 1946
jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954 jo UU No 1/1974.

Nikah siri merupakan pernikahan yang illegal wedding, salah seorang pakar hukum
Islam mengatakan : kawin liar atau yang biasa disebut nikah siri tidak sah dan batal demi
hukum, karena tidak mempunyai kepastian hukum dan buku nikah serta sulit menjamin
keabsahannya, menurut hukum Syari‟at agama sering terjadi manipulasi identitas karena
biasanya pelaksanaan kawin liar itu melalui penghulu gadungan.21

20
PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP
21
Nurul Huda Haem: Awas Illegal Wedding, Jakarta : Mizan publika, 2007. Hal 11
Suatu perkawinan harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, akan tetapi juga
harus dicatat oleh pejabat yang berwenang, supaya sah perkawinan itu secara negara. Dalam
arti sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada dan memiliki legalitas yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan,
nikah sirri adalah pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak
memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh
instansi yang berwenang bagi pelakunya. Bagi sebagian pelaku nikah siri tidak memperoleh
perlindungan dan pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang sebagaimana mestinya.
Perkawinan mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak
dapat memperoleh akte kelahiran dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pernikahan sirri
banyak membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan mencatatkan perkawinan lebih banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat
dan bangsa.

Faktor-Faktor Terjadinya Nikah Siri

Secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman Hukum


Masyarakat Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum menyadari dan
memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam
kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya
sekedar ikut-ikutan belaka. Atau mungkin mereka menganggapnya sebagai tradisi yang
lazim dilakukan oleh masyarakat setempat. Barangkali pencatatan perkawinan itu hanya
dipandang sekedar soal administrasi, belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya
akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut. Padahal pencatatan
perkawinan yang merupakan perintah undang-undang itu sesungguhnya mempunyai
tujuan penting, yakni proses dokumentasi atas perbuatan hukum perkawinan itu sendiri
sehingga kemudian akan memberikan perlindungan hukum bagi suami isteri yang
bersangkutan beserta anak turunnya di kemudian hari, sehingga dimulai dari
terbentuknya keluarga sebagai unit masyarakat terkecil yang tertib hukum akan tercipta
kehidupan masyarakat bangsa yang madani. Permasalahannya ialah, mengapa begitu
rendah kesadaran dan pemahaman hukum sebagian masyarakat Indonesia dalam hal
pencatatan perkawinan dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kesadaran hukum
bagi mereka. Semua itu tentu merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah
yang memposisikan dirinya sebagai Negara hukum dan keseluruhan bangsa Indonesia
sebagai masyarakat hukum. Jika suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah
hukum di Indonesia belum mempunyai kesadaran dan pemahaman hukum yang tinggi,
hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri melainkan juga
disebabkan kurang maksimalnya peran dan upaya lembaga pemerintahan yang terkait
dalam memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang betapa pentingnya mencatatkan
perkawinan mereka.
2. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan
yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di
bawah umur bernama Ulfah dan kasus pernikahan sirri Aceng Fikri, mantan Bupati
Garut, sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis
masyarakat terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan media massa
tersebut, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji maupun
Aceng Fikri yaitu, Pertama: Pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui
izin di pengadilan, Kedua: Dalam kasus pernikahan sirri Syekh Puji, beliau tidak mau
mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun calon isteri tersebut masih di
bawah umur menurut undang-undang perkawinan. Sikap apatisme semacam itu, terutama
yang dilakukan oleh publik figur, sungguh merupakan hambatan besar bagi
terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh
masyarakat, biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu
penanganan secara hukum atas kasus yang dilakukan Syekh Puji dan Aceng Fikri
sungguh sangat tepat, agar tidak menimbulkan citra buruk bagi bangsa Indonesia yang
saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum dalam sebuah Negara hukum
yang bernama Indonesia.
3. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok
dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami
sebagai syarat komulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari norma
hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap
wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung
kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka
yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-
undang tersebut bersifat tidak tegas dan ambigu. Karena Itu rasanya perlu dilakukan
revisi terhadap UUP agar tidak menyebabkan kebimbangan dalam menafsirkannya
maupun menerapkannya. Dalam Pasal 4 RUU tersebut menegaskan bahwa: setiap
perkawinan wajib dicatat oleh PPN/KUA berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal
4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN/KUA.31 Kewajiban
pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman
pidana bagi yang melanggarnya. Akan tetapi, Ketentuan pidana yang menyangkut
pelanggaran pencatatan perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut
menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di
hadapan PPN/KUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama
6 (enam) bulan. Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Pasal 146 RUU
menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-
olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal
21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Dengan demikian, ketidaktegasan
ketentuan pencatatan dalam undangundang yang berlaku selama ini masih memberi
ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah siri bagi sebagian masyarakat yang
melakukannya. Hal ini juga menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan
sirri.
4. Sulitnya Izin Poligami
Dalam UU No.1/1974 konsep perkawinan di Indonesia menganut azas monogami,
meskipun masih diberikan peluang untuk berpoligami, sebagaimana diatur dalam pasal 4
UUP. Yaitu : Ayat (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2)
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dan Pasal 5 Ayat (1) Untuk dapat mengajukan
permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-
undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: 1. Adanya persetujuan dari isteri/
isteri-isteri 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Ayat (2) Persetujuan yang dimaksud
dalam ayat (1) huruf (a) pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi
pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
dari Hakim Pengadilan22.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) buku ke satu tentang orang
menyatakan syarat perkahwinana yaitu:
1) Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang,
yaitu bagi laki-laki 18tahun dan bagi perempuan 15 tahun
2) Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
3) Untuk seorang perempuan yang telah kahwin harus lewat 300 harii dahulu
setelah putusnya perkahwinan pertama
4) Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak
5) Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atau walinya
6) Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu
orang wanita sebagaj isterinya,seorang wanita hanyya satu orang laki-laki sebagai
suaminya (Asas Monogami).
7) Semua orang hendak kahwin,harus memberitahukan kehendak itu kepada pegawai
catatan sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak.

UU perkawinan mengharuskan pencatatan perkahwinan dan mengatur mengenai


sahnya perkahwinana yang mesti dilaksanakan menurut hukum agama serta kepercayaan
yang memiliki perbedaaan penafsiran pada ketentuan UU perkahwinan.UU perkahwinan

22
Nikah Sirri menurut Hukum Islam dan Positif; ending Zakaria ,Muhammad Saad;Kordinat Vol.XX No. 2 Tahun
2021:Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agam Islam
merupakan salah satu daei ikatan perdata.Sebagaimana bisa ditinjau dari tujuan
perkahwinana yang dikemukakan dalam pasal 1 UU perkahwinan yaitu perkahwinan itu
bertujuan untuk bagi membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
KetuhananYang Maha Esa.Hukum Perkahwinan adalah salah satu perintah agama kepada
yang mampu untuk segera melaksanakannya.Perkahwinan pada dasarnya adalah untuk
mengurangi kemaksiatan baik dalam bentuk penglihatan ataupun perzinahan.Seseorang
yang berkeinginan untuk menjalankan pernikahan ,namun belum memiliki kelengkapan
bekal yang cukup (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW untuk
berpuasa.Seseorang yang berpuasa pada dasrnya akan mempunyai kekuatan atau
penghalang dari perbuatan tercela.23

Anak yang lahir dari pernikahan sirih seharusnya diakui sebagai sah menurut syariat
agama, tetapi secara hukum belum dapat diakui. Sebagai anak yang sah menurut undang-
undang, seseorang harus dilahirkan dari perkawinan yang sah yang tercatat dalam dokumen
negara, seperti akta nikah.Masalah perlindungan hak anak dalam perkawinan siri masih
belum terpenuhi karena anak-anak dari perkawinan siri ini tidak memiliki identitas resmi. UU
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mensyaratkan pengajuan akta
kelahiran harus disertai dengan dokumen perkawinan orang tua yang sah menurut hukum
negara. Karena tidak adanya akta kelahiran, anak-anak ini mengalami kesulitan dalam
mendaftar sekolah, mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan tidak berhak atas harta
warisan.

Selain mengenai masalah administrasi kependudukan, anak-anak dari perkawinan siri


juga mengalami beban psikologis dan sosial. Mungkin mereka merasa tidak diakui secara
resmi dan mengalami kesulitan dalam menghadapi stigma masyarakat karena status mereka
yang tidak sah menurut undang-undang.Perlu ada langkah-langkah untuk mengatasi masalah
ini agar hak-hak anak dari pernikahan sirih dapat diakui dan terlindungi. Mungkin melalui
upaya hukum dan perubahan kebijakan yang lebih inklusif, agar anak-anak ini memiliki
identitas resmi, mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka terima, dan tidak lagi merasa
terbebani secara psikologis dan sosial.24

Pernikahan di bawah tangan merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum


karena secara historis perkawinan semacam ini dianggap ilegal. Namun, perlu dicatat bahwa
dalam Pasal 5 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, disinyalir bahwa pencatatan perkawinan
bukan merupakan persyaratan utama untuk sahnya perkawinan, tetapi lebih sebagai alat untuk
menciptakan ketertiban dalam perkawinan.Secara historis, pernikahan di bawah tangan
dianggap melanggar hukum karena sering kali tidak diakui secara resmi oleh pihak
berwenang. Meskipun begitu, ada pengecualian tertentu dalam Kompilasi Hukum Islam di
mana pencatatan perkawinan tidak dianggap sebagai syarat mutlak untuk memvalidasi sebuah
perkawinan.Artinya, meskipun pernikahan di bawah tangan mungkin dianggap ilegal dalam
beberapa kasus, tetapi ada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyiratkan
23
Kedudukan Anak Hasil Perkahwinan Siri :Fatia Kemalayanti ,Hj. Sri Pursetyowati,Dosen fakultas Hukum
Universitas Langlangbuana,hal 5-6
24
Jurnal Legalitas: Analisis Sosio Yuridis Terhadap Penetapan Asal-Usul anak Pernikahan
Sirih untuk Kepentingan Pemenuhan Hak Anak,Vitra Fitria M.Koniyo,Vol.13 No.2,Hal. 96.
bahwa ketertiban dalam perkawinan dapat tercipta tanpa harus melalui proses pencatatan
resmi.

Dalam keputusan ijtima ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia, terdapat fatwa yang
mengenai nikah dibawah tangan. Berikut adalah poin-poin utama dari fatwa tersebut:

1. Nikah dibawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang
telah memenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam Hukum Islam,
namun tidak dicatatkan secara resmi sesuai dengan peraturan Perundang-
Undangan.
2. Jenis pernikahan semacam itu dianggap tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-Undangan dan seringkali dapat menimbulkan dampak negatif bagi istri
dan anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut terkait dengan hak-hak
mereka.
3. Para peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan sebaiknya dicatatkan secara
resmi pada instansi berwenang sebagai tindakan pencegahan untuk menghindari
dampak negatif atau mudarat.
4. Meskipun pernikahan dibawah tangan secara syariat dianggap sah karena telah
memenuhi syarat dan rukun nikah, namun dapat dianggap haram jika terdapat
mudarat atau dampak negatif yang timbul jika pernikahan tidak dicatat.25

Anak Hasil Pernikahan Siri menurut Hukum Positif

Pada perkembangannya, Indonesia telah mengatur Undang-Undang (UU) Perkawinan


pasal 42 menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari atau melalui nikah sah dianggap
sebagai anak sah. 26Baik anak hasil perkawinan yang tidak tercatat maupun anak yang
dilahirkan sebelum nikah diperlakukan sama. Namun, karena ayah hanya memiliki ikatan
keperdataan dengan ibunya, maka identitas anak hanya tercatat atas nama ibu dalam
perkawinan di luar nikah. Oleh karena itu, Pengakuan resmi diperlukan agar anak siri dapat
memperoleh hak-haknya secara utuh.

Anak yang lahir dari perkawinan ini memiliki status hukum yang tidak pasti jika
perkawinan orang tuanya tidak memenuhi syarat-syarat hukum sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 2 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu pernikahan yang
belum dicatat berdasarkan hukum yang berlaku. Anak yang lahir di luar ketentuan tersebut
disebut anak yang dilahirkan diluar atua sebelum pernikahan, seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi individu muda di luar struktur
keluarga yang stabil sesuai dengan Peraturan No. 1 Anak yang dikandung dan lahir di luar
nikah secara resmi dimasukkan dalam UU Kompilasi Hukum Islam tahun 1974. Meskipun
anak tersebut dianggap sah karena telah sesuai dengan ketentuan agama.

Jaih Mubarok. (2015).Pembaharuan Hukum Perkahwinan di Indonesia.Bandung: Simbiosa


25

Rekatama Media.Hlm 77-78


26
Pasal 42, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Salah satu bentuk perlindungan terhadap anak adalah dengan adanya pemberian
identitas terhadap anak. Pencatatan kelahiran anak menghasilkan Akta Kelahiran Anak yang
merupakan dokumen resmi dan bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum bagi seorang
anak, hal tersebut penting karena:

1. Pencatatan kelahiran anak memastikan secara tegas tentang adanya pengakuan


negara terhadap keberadaan anak sebagai subyek hukum. Ini berarti bahwa pencatatan
kelahiran anak tersebut menjelaskan identitas yuridis seorang anak karena memuat
nama anak, nama kedua orang tuanya, tempat dan tanggal lahir, yang diakui/disahkan
oleh pejabat berwenang untuk itu

2. Pencatatan kelahiran anak memastikan perlindungan hukum atas hak-hak seseorang


(anak). Ini berarti bahwa pencatatan kelahiran anak memberi dasar hukum bagi
pemerintah dalam memberi perlindungan hak-hak anak.27

Dasar kewarisan dalam hukum perdata bersumber pada KUHPerdata (BW). Hukum
kewarisan diatur dalam Buku II KUHPerdata (BW), pewaris adalah orang yang telah
meninggal dunia atau orang yang diduga meninggal dunia yang meninggalkan harta yang
dimiliki semasa hidupnya. Terdapat 3 unsur penting suatu pewaris, yaitu:

1. Adanya orang yang meninggal dunia selaku pewaris,


2. Adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dan,
3. Adanya ahli waris.
Menurut pasal 832 KUHPerdata, yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga
sedarah , baik ynag sah menurut undang-undang maupun yang diluar pernikahan, dan suami
atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan berikut ini.Bila keluarga sedarah dan suami
atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik
Negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta
peninggalan mencukupi untuk itu.28

Berdasarkan pasal di atas, hak untuk memperoleh warisan adalah bagi orang yang
memiliki hubungan sedarah dengan pewaris, baik itu sah menurut undang-undang maupun
tidak sah. Selain itu, orang yang memiliki hubungan pernikahan dengan si pewaris juga dapat
menjadi ahli waris. Namun, jika tidak ada ahli waris dari kedua kategori tersebut, maka harta
peninggalan akan menjadi milik negara, dan negara akan bertanggung jawab untuk melunasi
hutang-hutang pewaris. Dalam situasi ini, harta peninggalan akan menjadi milik negara, dan
negara akan mengelola aset tersebut untuk menyelesaikan hutang-hutang yang masih ada.

Agar anak hasil perkawinan siri bisa mendapatkan haknya secara keseluruhan, maka
diperlukan adanya suatu pengakuan sesuai Pasal 280 KUH Perdata “Dengan pengakuan
terhadap anak diluar kawin terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dengan ayah atau
ibunya”. Pengakuan anak luar kawin merupakan bentuk perbuatan yang menimbulkan status
27
Gerald Gilberd Sorongan, Friend H Anis, and Marthim N Tooy, “KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN
HUKUM ANAK YANG LAHIR DARI HASIL PERKAWINAN SIRIH DALAM KAITANNYA DENGAN
WARISAN MENURUT HUKUM PERDATA,” no. 9 (n.d.).
28
Pasal 832, KUHPerdata
hukum baru (cinstituatif), karena dengan adanya pengakuan maka muncullah status dan hak
bagi si anak dihadapan hukum perdata. Sehingga tanpa adanya pengakuan tidak aka nada
hubungan keperdataan antara si anak dengan ayah maupun ibunya.29

Bila ditinjau dari hal kewarisan anak dari pernikahan siri diatur dalam pasal 863-866
KUHPerdata

1. Pasal 863 KUHPerdata menyatakan Bila pewaris meninggal dengan


meninggalkan keturunan yang sah dan atau suami istri, maka anak luar kawin
yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat,
seandainya mereka adalah anak sah (golongan I).30
2. Pasal 863 KUHPerdata menyatakan bila pewaris meninggal tidak meningalkan
eturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam
garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau
keturunannya (golongan II dan III), maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris
1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih
jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat ¾. 31
3. Pasal 864 KUHPerdata menyatakan Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih
dahulu. Kemudian sisanya baru dibagi-bagi antara para waris yang sah.32
4. Pasal 865 KUHPerdata menyatakan Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli
waris yang sah, maka mereka memperoleh seluruh warisan.33
5. Pasal 866 KUHPerdata Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka ia dapat
digantikan anak-anaknya (yang sah).34

Pengangkatan Anak (Adopsi) menurut Hukum Positif

Dalam perundang-undangan Republik Indonesia, istilah "pengangkatan anak"


memiliki makna sebagai perbuatan hukum untuk mengangkat seorang anak. Anak yang
diangkat dalam konteks ini disebut sebagai "anak angkat", sementara orang tua yang
mengangkat anak tersebut disebut sebagai "orang tua angkat". Pengangkatan anak dalam
pengertian ini memiliki akibat hukum berupa putusnya hubungan nasab antara anak angkat
dan orang tua kandungnya. Status anak angkat setara dengan status anak kandung, dan anak
angkat dipanggil dengan nama ayah angkatnya. Selain itu, anak angkat juga memiliki hak
untuk mewarisi harta benda dan hak-hak lainnya.

Sesuai pasal 1 ayat 9 Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan


anak yang dimaksud anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas

29
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin (Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang Uji Materiil UU Perkawinan), 57-58, Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2012
30
Pasal 863 KUHPerdata
31
Pasal 863 KUHPerdata
32
Pasal 864 KUHPerdata
33
Pasal 865 KUHPerdata
34
Pasal 865 KUHPerdata
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang
tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.35

Undang-undang diatas juga memberikan perlindungan kepada anak yang pada


hakikatnya menjadi Implementasi dari perlindungan hak-hak asasi anak meliputi segala
kebutuhan anak baik Rohani maupun jasmani. Perlindungan anak diberikan untuk
menghindari perlakuan diskriminasi serta perlakuan tidak manusiawi. ketentuan Pasal 3
Undang-undang Perlindungan Anak secara tegas menyebutkan tujuan dari perlindungan anak
adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.Perlindungan terhadap anak diberikan selama
anak tersebut hidup bahkan sejak saat seorang anak masih dalam kandungan (janin).
Sehingga negara membuat ketentuan pidana yang melarang aborsi sebagimana diatur dalam
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 346 yang isinya mengancam seorang
wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain
untuk itu, dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun.36

Adapun dalam pasal 1 ayat 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak menjelaskan bahwa pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan
berdasarkan penetepan pengadilan di tempat tinggal pemohon dengan maksud perbuatan
hukum untuk mengalihkan hak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah,
atau orang lain yang bertangung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut.37

Berdasarkan pasal 39 terdapat perdebatan dalam lingkup Masyarakat seperti halnya


dalam pasal 39 ayat 1 yang menegaskan bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan sesuai
dengan kebiasaan adat setempat dan peraturan perundang-undangan. Sehingga pengangkatan
anak tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan dengan hukum adat tanpa melalui proses
hukum untuk melindungi hak-hak anak angkat. Sedangkan dalam pasal 39 ayat 2
menegaskan bahwa pengangkatan anak tidak dapat memutus hubungan darah antara anak dan
orang tua kandung. Sehingga dalam hal ini orang tua angkat wajib mencatatkan dalam akta
kelahiran dengan tidak menghilangkan atau menghapus identitas awal anak. Dan dalam pasl
39 ayat 3 menjelaskan pengangkatan anak harus memperhatikan latar belakang agama calon
anak yang akan diangkat (agama orang tua angkata harus seagama dengan orangtua
kandung). Hal ini guna melindungi hak anak dalam memeluk agamanya sehingga tidak
berpindah-pindah untuk menyesuaikan agama orang tua angkat.

Dilihat dari aspek akibat hukum pengangkatan anak menurut sebagian wilayah hukum
adat, memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum Barat, yaitu
masuknya anak angkat ke dalam keluarga orang tua yang mengangkatnya dan terputusnya
hubungan keluarga dengan keluarga atau orang tua kandung anak angkat. Sedangkan dilihat
35
Pasal 1 ayat 9, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 2002 tentang perlindungan anak
36
Noni Fitriyani and Irene Svinarky, “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM HAK ANAK
ANGKAT AKIBAT DARI PENGANGKATAN ANAK MAU- PUN ADOPSI BERDASARKAN HUKUM POSITIF,” n.d.
37
Pasal 1 ayat 9, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dari motivasi pengangkatan anak, berbeda dengan motivasi pengangkatan anak yang terdapat
dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menekankan
bahwa perbuatan hukum pengangkatan anak harus didorong oleh motivasi semata-mata untuk
kepentingan yang terbaik untuk anak yang diangkat. Dalam hukum adat lebih ditekankan
pada kekhawatiran (calon orang tua angkat) akan kepunahan, maka calon orang tua angkat
mengambil anak dari lingkungan kekerabataannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka
anak yang diangkat itu kemudian menduduki seluruh kdudukan anak kandung ibu dan bapak
yang mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula (Rais n.d.).38

Menurut Ahmad Kamil dalam (Pratiwi n.d.) Dilihat dari aspek akibat hukum dari
pengangakatan anak dalam hukum adat adalah dengan masuknya anak angkat kedalam suatu
keluarga yang mengangkatnya maka putuslah hubungan keluarga kandung dengan anak
angkat tersebut. Hanya saja terdapat perbedaan dengan adopsi menurut hukum barat,
perbedaannya adalah dalam hukum adat pengangkatan anak disyaratkan dengan suatu
imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung si anak angkat, biasanya merupakan
benda-benda yang dikramatkan atau dipandang memiliki kekuatan magis. Dilihat dari segi
motivasi dalam melakukan pengangkatan anak, pengangkatan anak dalam hukum adat lebih
menekankan pada kekhawatiran pada calon orangtua angkat akan kepunahan, maka calon
orangtua angkat (keluarga yang tidak memiliki anak) akan mengambil anak dari lingkungan
kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak itu akan
menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia akan
terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.39

Dari penjelasan diatas pengangkatan anak tidak dapat menghilangkan identitas antara
anak angkat dengan orangtua kanadung sebab keduanya memiliki hubungan dalam
penggunaan nama, proses pewarisan, kedudukan anak angkat dan lainnya. Hal ini sangat
berbeda dengan hukum adat yang berlaku, yang mana Sebagian besar orangtua angkat
memutuskan hubungan dengan orangtua kandungnya. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 ditentukan bahwa pengangkatan anak wajib dicatatkan dalam akta kelahiran
dengan tidak menghilangkan identitas awal anak dan kesamaan agama antara calon anak
angkat dengan orang tua angkat.

Kesimpulan

Seorang anak bisa dianggap sah jika yaitu seorang anak yang dilahirkan dari hasil
pernikahan yang dimana pernikahan tersebut sudah bisa dibuktikan dengan adanya akta
pernikahan. Menurut agama anak yang dihasilkan dari nikah siri tetap dianggap anak yang
sah walaupun tidak terdaftar dimata negara dan tidak memiliki kekuatan hukum yang dimana
hal tersebut disebabkan karena anak tidak memiliki akta lahir. Prosedur yang harus dilakukan
oleh orang tua yaitu melakukan isbat nikah yang dimana hal tersebut bertujuan untuk
mempertahankan hak dan status anak tersebut. Dengan demikian anak tersebut menjadi sah
dimata hukum dan memiliki akta lahir.

38
Junaidi, “MOTIF DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT DAN
HUKUM POSITIF,” n.d.
39
Junaidi.
Kedudukan anak angkat dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif hal tersebut
juga berlaku untuk orang islam walaupun bertentangan dengan hukum positif yang ada
Indonesia. Orang islam tidak juga memiliki untuk membagikan warisan mereka kepada anak
angkat karena itu juga bukan darah daging mereka yang jelas mereka harus memberikan
warisan ke anak kandung mereka karena itu lebih berhak untuk mereka ketimbang anak
angkat.

Hukum Islam menegaskan bahwasannya hubungan orang tua dengan anak angkat
hanyalah hubungan yang sebatas orang tua asuh dengan anak asuh yang diperjelas dengan
tidak memiliki nasab.

Didalam Islam ditegaskan juga bahwa orang tua angkat tidak bisa menjadikan anak
angkat sebagai nasab mereka karena dengan begitu kita sama saja menganggap bahwa anak
angkat tersebut lahir dari darah daging kita yang dimana dengan begitu kita tidak bersyukur
atas pemberian dan mengingkari takdir kita terhadap Allah.

Didalam pasal pasal 1 ayat 9 undang-undang RI No 23 tahunn 2002 disana dijelaskan


bahwa intinya anak angkat juga bisa dijadikan ahli waris berdasarkan latar belakang yang
menjadikan anak angkat tersebut.

Saat ini di Indonesia aturan yang digunakan yaitu Hukum Islam dan Hukum Positif
yang dimana itu saling berhubungan dan sudah diterapkan di pengadilan agama yang terdapat
pada undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai pengangkatan anak dan kompilasi
hukum islam dalam pasal 176 sampai pasal 193.

Dengan demikian, anak angkat berhak atau menerima warisan yang tidak sama
dengan ahli waris. Jika posisinya sama dengan anak kandung memiliki catatan yang
memenuhi persyaratan prosedural dari otoritas peradilan agama atau upacara masyarakat
setempat, anak memiliki hak yang sama sebagai seorang anak dalam warisan. Jika anak
tersebut diadopsi secara sah dan memenuhi persyaratan prosedural yang sama dengan anak
kandung, yang sekalipun memilikinya status resmi sebagai anak kandung, tetapi orang tua
angkat harus beri tahu anak itu bahwa dia diadopsi dengan prosedur yang ada dan juga harus
mengetahui asal usul kelahiran mereka. 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zakaria. 1977. Ahkam ai Aulad bi al Islam, Jakarta : Bulan Bintang.


Akbar, Ali. 2014. Nikah Sirri Menurut Perspektif Al-Quran. JURNAL USHULUDDIN Vol.
XXII No. 2
Al Mutsla:Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan Desember 2019 Volume 1 No.
2.
Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994)
Endang Zakaria ,Muhammad Saad Nikah Sirri menurut Hukum Islam dan Positif;;Kordinat
Vol.XX No. 2 Tahun 2021:Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agam Islam
Haron, Nasroen. 1996. Ensiklopedi hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Jaih Mubarok. (2015).Pembaharuan Hukum Perkahwinan di Indonesia.Bandung: Simbiosa
Rekatama Media
Manan, Abdul. 2003. Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama,
Jakarta : Pustaka Bangsa.
Nuzha:Pengangkatan Anak Adopsi dalam Tinjauan Hukum Islam & Sistem Hukum di
Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia. “UU No 35/2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” (2014): 1–40.

Simorangkir, 1987. Kamus Hukum, Jakarta.


Sobari, Ahmad. 2013.“Nikah Siri Dalam Perspektif Islam”. Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI
Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR Vol. 1 No. 1.
Sorongan, Gerald Gilberd, Friend H Anis, and Marthim N Tooy. “KAJIAN YURIDIS
KEDUDUKAN HUKUM ANAK YANG LAHIR DARI HASIL PERKAWINAN
SIRIH DALAM KAITANNYA DENGAN WARISAN MENURUT HUKUM
PERDATA,” no. 9 (n.d.).
Sumirat, Iin Ratna, and Muhamad Wahyudin. “Hukum Anak Angkat Dalam Perspektif Islam
Dan Hukum Positif.” Jurnal Studi Gender dan Anak 8, no. 02 (2021): 168.

Susanto, Happy. 2007. Nikah Sirri Apa Untungnya?. Jakarta: Visi Media.
Tutik, Titik Triwulan. “Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,” no. 1 (2010): 248.

Wahbah al Zuhaily. al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh. Beirut: Dar al Fikr, juz VII, (1989).
Winarsih. “Kedudukan Anak Didalam Pernikahan Secara Siri Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.” Maksigama 14, no. 2 (2020): 168–178.
Vitra Fitria M. Koniyo:Jurnal Legalitas: Analisis Sosio Yuridis Terhadap Penetapan Asal-
Usul anak Pernikahan Sirih untuk Kepentingan Pemenuhan Hak Anak,Vol.13 No.2
Zaini, Muderis. 1995. Adopsi Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta : Sinar Grafika.
Zuhdi, Masjfuk. 1996. “Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut
Hukum Islam dan Hukum Positif ”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28
Thn. VII, September – Oktober.

Anda mungkin juga menyukai