Anda di halaman 1dari 41

USULAN PENELITIAN

LEGAL MEMORANDUM MENGENAI TINDAKAN PENABRAKAN


KAPAL PENGAWAS PERIKANAN VIETNAM (VFRS) TERHADAP
KAPAL TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (TNI AL)
KRI TJIPTADI-381 DI WILAYAH SENGKETA LAUT NATUNA UTARA

BAB I

KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM

A. KASUS POSISI

Pada tanggal 27 April 2019, KRI Tjipradi-381 sebagai Kapal Tentara


Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) melaksanakan operasi
penegakan hukum di Laut Natuna Utara yang dianggap sebagai Zona
Ekonomi Eksklusif ZEE Indonesia. Kapal Ikan Asing (KIA) berbendera
Vietnam bernomor lambung BD 979 melakukan ilegal fishing di koordinat
6o24’50’’ U –106o50’12’’ T.1 Kapal ikan tersebut dikawal oleh kapal
pengawas perikanan Vietnam (VFRS). Kapal pengawal itu berusaha
menghalangi proses penegakan hukum oleh personel TNI AL di KRI
Tjiptadi-381 memprovokasi hingga gangguan fisik dengan cara
menabrakkan badan kapalnya ke KRI Tjiptadi-381. Gangguan ini dilakukan
kapal pengawas perikanan Vietnam dengan menabrak lambung kiri KRI
Tjiptadi-38.2 Tindakan penabrakan kapal KRI Tjipradi-381 tersebut terjadi di
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang masih disengketakan Indonesia dan
Vietnam yakni Laut Natuna Utara. Menurut Panglima Komando Armada
(Pangkoarmada) I Laksmana Muda TNI Yudo, lokasi kejadian tersebut
berada di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) nasional, sehingga
tindakan penangkapan kapal ikan ilegal itu oleh KRI Tjiptadi-38 sudah benar
dan sesuai prosedur.3 Namun pada sisi lain, pihak Vietnam juga mengklaim
wilayah tersebut merupakan perairan Vietnam sehingga merasa KRI

1 Kapal Asing Vietnam Berseteru dengan Kapal Indonesia,


https://nasional.tempo.co, diakses 04/05/2019
2 Satu Kapal Perikanan Vietnam Tenggelam Dalam Penyergapan Di Laut Natuna,

https://kkp.go.id/ diakses 04/05/2019


3 Protes Kapal TNI AL Ditabrak, Kemlu Panggil Pejabat Kedubes Vietnam,

https://news.detik.com, diakses 04/05/2019

1
Tjiptadi 381 tidak berwenang melakukan penangkapan. Lokasi kejadian
terletak di Laut Natuna Utara khususnya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
yang sama-sama diklaim, baik oleh Indonesia maupun Vietnam, karena
kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE.4

Gambar 2. Peta menggambarkan klaim Vietnam atas wilayah ZEE di Laut Natuna
Utara (sumber: Flanders Marine Institute (2018). Maritime Boundaries Geodatabase:
Vietnam Exclusive Economic Zones (200NM). http://www.marineregions.org/)

Pada saat insiden tersebut terjadi, terdapat 2 kapal pengawas


perikanan Vietnam (KN 264 dan KN 231) yang mengganggu proses
penegakan hukum yang dilakukan KRI Tjiptadi-381. Kapal pengawas
perikanan Vietnam KN 264 dan KN 231 semula bermanuver dengan
mendekati Kapal Ikan Asing Vietnam (KIAV) BD 979 dan beberapa kali
menabraknya hingga bagian bakatnya rusak. KRI Tjiptadi tidak
menghiraukan manuver KN 264 dan KN 231 dengan tetap menggiring
(KIAV) BD 979 ke Lanal Ranai.

KN 264 kemudian dengan sengaja menabrak lambung kiri KRI


Tjiptadi. Sedangkan KN 231 menabrak KIAV BD 979 hingga mengalami
kebocoran dan tenggelam. Melihat situasi kapal perang Indonesia yang
dapat terseret oleh kapal KIAV BD 979 karena tenggelam, akhirnya
komandan kapal memerintahkan untuk memotong seluruh tali yang
menghubungkan KRI TPD dengan KIAV BD 979. Dua ABK KIAV BD 979
sempat melompat ke laut dan ditolong oleh kapal pengawas perikanan milik

4 Insiden Perairan Indonesia-Vietnam Akibat Tumpang Tindih ZEE,


https://mediaindonesia.com, diakses 04/05/2019

2
Vietnam. KRI Tjiptadi-381 meski demikian tetap dapat menangkap 12 anak
buah kapal (ABK) KIAV BD 979. Melalui kasus ini, terdapat tumpang tindih
penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dikarenakan belum
ada batas maritim yang jelas antara Indonesia dan Vietnam. Pakar hukum
internasional Prof. Dr. Hikmahanto Juwana mengatakan insiden yang
terjadi di wilayah Laut Natuna Utara itu karena terdapat klaim tumpang
tindih antara Indonesia dan Vietnam atas ZEE.5 Beliau menegaskan ZEE
bukan laut teritorial di mana berada di bawah kedaulatan negara. ZEE
merupakan laut lepas di mana negara pantai mempunyai hak berdaulat
(sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.
Hingga saat ini antar kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE
yang oleh karena itu, Nelayan Vietnam dapat menangkap di wilayah
tumpang tindih tersebut dan akan dianggap sebagai penangkapan secara
ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu
sejauh ini kedua negara terlihat untuk berhak melakukan patroli dan berhak
untuk menghalangi penegakan hukum oleh negara lain,
Peristiwa ditabraknya Kapal RI (KRI) oleh Kapal Vietnam sudah
terjadi 4 kali sejak awal tahun 2019. Hal ini diungkap oleh Menteri Kelautan
dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti. Berikut tanggal kejadian kapal
Vietnam menabrak KRI:6
- 19 Februari 2019

Pada tanggal 19 Februari, Petugas Pengawas Sumber Daya


Kelautan dan Perikanan KKP bersitegang dengan kapal pengawas
Vietnam. Peristiwa tersebut terjadi di Laut Natuna. Kapal pengawas
Vietnam KN-214 sengaja melakukan manuver membahayakan demi
melepaskan 4 kapal illegal fishing yang ditangkap kapal pengawas (KP) Hiu
Macan 01. Pada perkembangannya, 4 kapal illegal fishing asal Vietnam
tersebut dilepaskan KP Hiu Macan 01.
- 25 Februari 2019

Kejadian kapal Vietnam menabrak KRI kembali terulang pada 25


Februari. Yakni saat KRI TOM-357 berupaya menangkap 4 kapal ikan
asing. Kala itu, 2 kapal Vietnam Fisheries Resources Surveillance (VFRS)
diduga lakukan manuver membahayakan KRI. Dua Kapal VFRS tersebut
juga melakukan tindakan intimidasi lewat radio komunikasi (hostile intent)
kepada KRI TOM-357. Peristiwa tersebut terjadi perairan Natuna. Akan

5 Insiden yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara itu karena adanya klaim
tumpang tindih antara Indonesia dan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE.,
http://law.ui.ac.id/, diakses 04/05/2019
6 KKP: Ada 4 Kapal Vietnam Ingin Tabrak Kapal RI Sepanjang 2019,

https://news.detik.com/, diakses 04/05/2019

3
tetapi akhirnya 2 Kapal VFRS berhasil diusir dan 4 KIA Vietnam dikawal
menuju Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IV Tanjungpinang.

- 17 Maret 2019

KP Hiu Macan 01 mendapatkan manuver berbahaya saat


mengamankan 2 kapal ikan asing Vietnam. Kejadian tersebut terjadi di
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) Laut Natuna Utara. Kapal yang
ditangkap yakni KM BV 92746 TS berukuran 65 GT dan KM BV 92747 TS
berukuran 90 GT. Kedua kapal tersebut masing-masing mengangkut 3 dan
11 orang Awak Kapal Perikanan (ABK) berkewarganegaraan Vietnam.
Kedua kapal dan seluruh ABK warga negara Vietnam selanjutnya dibawa
ke Stasiun PSDKP Pontianak, Kalimantan Barat.

Pada tanggal 29 April 2019, berdasarkan peristiwa-peristiwa


tersebut, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memanggil Duta Besar Pham
Vinh Quang untuk menyampaikan nota protes atas insiden di Laut Natuna
Utara itu. Juru bicara Kemlu Arrmanatha Natsir mengatakan menyesalkan
kejadian yang melibatkan kapal Dinas Perikanan Vietnam KN 213 dan KN
264 dengan kapal TNI AL KRI Tjiptadi 381, yang dinilai sangat
membahayakan keselamatan personil kedua kapal dan tidak sejalan
dengan hukum internasional.7

Tindakan penabrakan kapal pengawas Vietnam merupakan langkah


Vietnam mengikuti jejak cina dalam menggabungkan milisi laut ke dalam
industri perikanan untuk menegaskan klaim kedaulatannya maritimnya di
Laut China Selatan khususnya Laut Natuna Utara.8 Vietnam telah
memperkuat armada penangkap ikannya sendiri untuk berlayar ke perairan
yang disengketakan di Laut China Selatan. Pada tahun 2009, Majelis
Nasional Vietnam mengesahkan Undang-Undang tentang Milisi dan
Pasukan Bela Diri yang membuka jalan bagi 'milisi nelayan' untuk
beroperasi secara resmi. Undang-undang tersebut memasukkan
rancangan ketentuan untuk milisi dan pasukan bela diri menjadi wajib dalam
setiap perusahaan yang mempekerjakan lima puluh pekerja atau lebih, dan
bahwa milisi bela diri harus mengawal armada perikanan Vietnam. 9

7 Kemlu Panggil Duta Besar Vietnam pasca Insiden Kapal RI dan Vietnam,
https://www.voaindonesia.com, diakses 04/05/2019
8 Vietnam’s response to China’s militarised fishing fleet,
https://www.eastasiaforum.org, diakses 04/05/2019
9 Carlyle A. Thayer, Vietnam People's Army: Development and Modernization,

Research Monograph (Bandar Seri Begawan, Brunei: Sultan Haji Bolkiah Institute of
Defence and Strategic Studies, 2009), available at

4
Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung setahun kemudian
meratifikasi Plan 1902 untuk mengemudikan operasi pasukan pertahanan
diri maritim. Diperkirakan 8000 kapal dan 1,22 persen dari tenaga kerja
maritim Vietnam adalah anggota milisi perikanan. Milisi laut itu antara lain
terlibat membantu militer Vietnam mengepung anjungan minyak lepas
pantai milik Cina yang beroperasi di wilayah perbatasan pada 2014 silam.
Saat itu Presiden Truong Tan Sang diakabarkan mengirimkan surat yang
mendorong nelayan Vietnam untuk terlibat dalam penegakan kedaulatan di
Laut. Sebagai bentuk menjaga kedaulatan negara, Vietnam
memberlakukan militerisasi kepada armada nelayan miliknya. Hal ini cukup
beralasan karena negeri berpaham komunis itu juga tengah berseteru
dengan China soal wilayah di Laut China Selatan. Dilansir dari laman
dw.com, hal tersebut akhirnya mendorong pemerintah Vietnam
mengeluarkan Dekrit 67, yang berisi menyediakan jaminan kredit untuk
membangun kapal yang lebih besar bagi armada nelayan. Kebijakan itu
diharapkan bisa memperkuat klaim Vietnam atas Laut Cina Selatan yang
juga mencakup kawasan utara Natuna.10 Kebijakan tersebut diharapkan
bisa memperkuat klaim Vietnam atas Laut Cina Selatan yang juga
mencakup kawasan utara Natuna. Tak heran jika insiden tabrakan dengan
KRI Tjiptadi-381, merupakan buntut dari kepercayaan diri Vietnam atas
aturan yang dilegalkan oleh pemerintahannya.11

Insiden di perairan Natuna Utara bukan tanpa perencanaan. Vietnam


membentuk Badan Pengawasan Sumber Daya Perikanan (VFRS) sebuah
lembaga agen pemerintah yang bernaung di bawah Kementerian Pertanian
dan Pembangunan Daerah Tertinggal yang bertugas melindungi aktivitas
nelayan Vietnam di Laut Lepas. VFRS terlibat menghalangi operasi
pengamanan kapal nelayan Vietnam yang melakukan Illegal Fishing oleh
kapal perang TNI AL akhir pekan lalu.12 Pada 25 Januari 2013, VFRS
didirikan secara resmi untuk dipersenjatai dan diizinkan untuk
menggunakan kekuatan jika perlu. Lembaga ini di bawah perlindungan
penegakan hukum sipil, dibentuk dengan tujuan memperkuat posisi
Vietnam di Laut Cina Selatan. 13 lebih lanjut gugus tugas khusus non-militer

<https://pdfs.Semanticscholar.org/0d62/92f21fl9657ee86ef869a57ca9a2a4f29691.pdf>.
diakses 07/05/2019.
10 Decree no. 67 On a number of fisheries development policies
http://extwprlegs1.fao.org/docs/pdf/vie167846.pdf
11 KRI Tjiptadi 381 Ditabrak, Inilah Perbandingan Kekuatan Antara AL Indonesia

Dan Vietnam, https://menitpertama.id/, diakses 04/05/2019


12 Demi Kedaulatan, Vietnam Dorong Militerisasi Armada Nelayan,
https://www.dw.com/, diakses 04/05/2019
13 "Nghị định số 102/2012/NĐ-CP của Chính phủ : Về tổ chức và hoạt động của

Kiểm ngư" (in Vietnamese). Government of Vietnam's Electronic Portal. 29 November


2012. Retrieved 4 June 2014.

5
ini bertanggung jawab untuk berpatroli, memeriksa, mengendalikan,
mendeteksi dan menangani pelanggaran hukum dan melakukan inspeksi
perikanan di perairan yang berada di bawah yurisdiksi Vietnam. Badan ini
berkoordinasi dengan angkatan laut Vietnam, penjaga pantai Vietnam dan
angkatan pertahanan perbatasan Vietnam. Lembaga ini didirikan vietnam
menyusul agresi Cina di perbatasan laut antara kedua negara. VFRS antara
lain bertugas melindungi nelayan yang sering mengeluhkan serangan oleh
kapal penjaga pantai asing, antara lain memotong jaring atau merusak
kapal sehingga tidak bisa beroperasi. Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti
mengklaim VFRS berkoordinasi dengan militer Vietnam selama bertugas
dan diperkuat dengan 100 buah kapal patroli. Dia mengatakan lembaga ini
sudah pernah mencoba menghalangi upaya pengamanan TNI AL di Natuna
pada 19 Februari silam.

Di tahun 2018, Presiden Joko Widodo mengajak Perdana Menteri


Vietnam Nguyen Xuan Phuc, untuk segera merampungkan negosiasi batas
maritim dan ZEE antara Indonesia-Vietnam. Indonesia dan Vietnam telah
sepakat untuk mempercepat proses penetapan batas kawasan dan
negosiasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam.
Sementara itu, di sektor perikanan kedua negara telah sepakat untuk
menindaklanjuti proposal Indonesia untuk realisasi Perikanan
Berkelanjutan, dan bekerja sama untuk mengatasi Illegal Fishing yang
Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (IUU Fishing).14

Berdasarkan hasil penelitian yang diunggah di website resmi


Seminar Nasional Badan Informasi Geospasial (BIG),15 Indonesia memulai
pembahasan batas ZEE dengan Vietnam pada tahun 2010. Dari tahun 2010
sampai dengan tahun 2016, perundingan penetapan batas maritim
Indonesia-Vietnam telah dilaksanakan sebanyak delapan kali. Direktur
Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Damos Dumoli Agusman
mengatakan perundingan batas ZEE masih berlangsung pada tingkat
teknis. Kedua negara pihak sudah menyepakati beberapa prinsip, yakni
pertama berbasis Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982).
Indonesia dan Vietnam, dalam perundingan ini juga menekankan prinsip
bahwa batas landas kontinen dan ZEE ada dua rezim yang berbeda.
Menurut Konvensi Hukum Laut International, Landas Kontinen meliputi hak
sebuah negara atas dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar
laut teritorial. Selanjutnya melalui kedua juru runding, sejauh ini mulai
merundingkan garisnya (ZEE) di mana dan ini butuh pertimbangan teknis,
yuridis, dan politis. Beliau menambahkan bahwa perundingan batas maritim

14Indonesia, Vietnam Sign 6 MoUs, https://setkab.go.id/, diakses 04/05/2019


15 Konflik Indonesia-Vietnam 'terancam terus berulang' selama belum ada
kesepakatan Zona Ekonomi Ekslusif, https://www.bbc.com/, diakses 04/05/2019

6
memang membutuhkan waktu yang lama, sebagaimana perundingan batas
landas kontinen dengan Vietnam yang berlangsung lebih dari 30 tahun,
sejak 1973 dan baru selesai tahun 2003.16

Meski belum ada kesepakatan batas ZEE dengan Vietnam, Republik


Indonesia (RI) sudah mengklaim batas ZEE secara sepihak dan dituangkan
di Peta NKRI. Jadi, garis batas ZEEI di sekitar Natuna pada peta resmi
NKRI di atas adalah klaim sepihak RI.17

Gambar 1. Peta menggambarkan klaim Indonesia atas wilayah ZEE di Laut


Natuna Utara

Klaim sepihak inilah yang selama ini dijadikan dasar definisi wilayah
dan yurisdiksi laut oleh RI. Hal tersebut menjadi acuan dalam pengelolaan
sektor perikanan tangkap, termasuk dalam penanganan illegal fishing.
Dalam praktek diplomasi, klaim sepihak lazim dilakukan oleh setiap negara,
agar negara lain (terutama yang berdekatan) mengetahui posisi negara
tersebut. Seperti halnya RI, Vietnam tentu juga memiliki klaim (sepihak)
terhadap batas ZEE yang berdekatan dengan Indonesia. Karena klaim
wilayah laut selalu diikuti oleh kehadiran kapal dari negara yang
berkepentingan, baik untuk misi patroli maupun aktivitas penangkapan ikan,
maka selama masih ada dispute klaim ZEE antar Vietnam dan RI, potensi
berulangnya kejadian seperti insiden KRI TPD-381 dan dua kapal Dinas

16 https://treaties.un.org/doc/publication/unts/no%20volume/part/i-44165.pdf,
diakses 04/05/2019
17 Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia, http://big.go.id/, diakses 04/05/2019

7
Perikanan Vietnam di Laut Natuna Utara (27 April 2019), akan tetap
terbuka.18 Indonesia dan Vietnam merupakan anggota organisasi regional
Asia Tenggara (ASEAN). Beberapa upaya pemerintah Indonesia sejauh ini
dalam penyelesaian sengketa Laut Natuna Utara masih ditempuh secara
regional. Sebagaimana forum yang bernama ASEAN Regional Forum
(ARF). ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum kerjasama
internasional yang beranggotakan berbagai negara yang telah menjalin
hubungan kerjasama multilateral bersama ASEAN untuk membahas
permasalahan mengenai isu keamanan dan perdamaian kawasan,
terutama di kawasan Asia Pasifik. ARF dalam melaksanakan fungsinya
untuk menyelesaikan suatu permasalahan keamanan dan juga meredakan
konflik dilakukan melalui dialog-dialog multilateral.19 Selain penyelesaian
sengketa secara regional, Pemerintah Indonesia berupaya melalui
penyelesaian sengketa secara internasional. Upaya-upaya tersebut seperti
diskusi-diskusi secara multilateral, pengajuan ke mahkamah internasional
Den Haag, patroli bersama, dan sebagainya. Selain itu, melalui jalur hukum
dapat ditempuh beberapa cara seperti Aribtrase, Penyelesaian yudisial,
Negosiasi, mediasi dan konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian di bawah
naungan organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa.

Upaya lainnya yang dilakukan sejauh ini yakni dengan cara


penguatan hukum antara lain dengan menyerahkan peta Negara Kesatuan
Republik Indonesia lengkap dengan titik-titik koordinatnya ke United
Nations Oceans and Law of the Sea, menambahkan koordinat titik-titik
zonasi perairan Indonesia, serta merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Legal
memorandum ini menelusuri lebih lanjut sebagaimana pemerintah
Indonesia dan Vietnam dapat mengajukan gugatan di forum peradilan
integritas seperti Mahkamah Internasional (ICJ) atau Mahkamah Laut
Internasional (ITLOS). Sebagaimana Putusan dari mahkamah internasional
bukan hanya terkait ganti rugi atas tindakan penabrakan Kapal Pengawas
Perikanan Vietnam (VFRS) terhadap kapal Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut (TNI AL) KRI Tjiptadi-381, tetapi bisa memberikan preseden
hukum dan memperkuat klaim teritorial laut khususnya wilayah Republik
Indonesia.

18 Sekilas Batas Maritim RI – Vietnam, https://jurnalmaritim.com/sekilas-batas-


maritim-ri-vietnam/, diakses 09/05/2019.
19 http://kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-regional/Pages/ARF.aspx Diakses
tanggal 16 November 2016

8
B. PERMASALAHAN HUKUM

Adapaun permasalahan hukum yang muncul dalam kasus ini yang


hendak penulis angkat dalam memorandum hukum ini adalah
sebagai berikut :

1. Bagaimana tindakan penabrakan Kapal Pengawas Perikanan


Vietnam (VFRS) terhadap kapal TNI AL KRI Tjiptadi-381 di wilayah
sengketa Laut Natuna Utara menurut Hukum Internasional ?

2. Apakah kedua negara dapat melakukan penegakan hukum di


wilayah sengketa Laut Natuna Utara menurut Hukum
Internasional?

9
BAB II

PEMERIKSAAN DOKUMEN

Dalam tindakan penabrakan Kapal Pengawas Perikanan Vietnam


terhadap kapal perang Indonesia dan sengketa tumpang tindih klaim
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif di Laut Natuna Utara, terdapat beberapa
dokumen hukum relevan yang dapat dianalisis. Dokumen-dokumen yang
akan diperiksa diurutkan dari dokumen multilateral mengikat yang menjadi
hukum kebiasaan Internasional, dokumen bilateral, prinsip hukum serta
putusan mahkamah Internasional. Dokumen-dokumen tersebut adalah
sebagai berikut :

A. United Nations Convention On Law of The Sea (UNCLOS)


1982

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau juga


disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah
perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang
berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum
Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan
lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan
pengelolaan sumber daya alam laut.20 Konvensi tersebut diberlakukan pada
tahun 1994, dan menggantikan perjanjian internasional mengenai laut
tahun 1958 dimana Indonesia dan vietnam sebagai negara pihak. Pasal-
pasal yang relevan dengan tindakan penabrakan Kapal Pengawas
Perikanan Vietnam terhadap kapal perang Indonesia dan sengketa
tumpang tindih klaim wilayah Zona Ekonomi Eksklusif di Laut Natuna Utara
diantaranya :

1. Pasal 31 - Tanggung jawab Negara bendera untuk kerugian yang


disebabkan oleh kapal perang atau kapal pemerintah lainnya
yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial

Pasal ini mengatur tanggung jawab internasional bagi negara bendera


untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita Negara pantai sebagai
akibat tidak ditaatinya oleh suatu kapal perang kapal pemerintah lainnya
yang dioperasikan untuk tujuan non komersial peraturan perundang-

20
Kusumaatmadja Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung,
1978, hal.173.

10
undangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial atau
ketentuan Konvensi ini atau peraturan hukum internasional lainnya. Pasal
ini menyatakan bahwa :
“The flag State shall bear international responsibility for any loss or
damage to the coastal State resulting from the non-compliance by a
warship or other government ship operated for non-commercial purposes
with the laws and regulations of the coastal State concerning passage
through the territorial sea or with the provisions of this Convention or other
rules of international law.”

Dalam konteks insiden Indonesia dan Vietnam, telah jelas bahwa kapal
dinas perikanan Vietnam telah melanggar ketentuan ini dengan secara
sengaja menabrakkan kapalnya terhadap KRI Tjiptadi 381. Jika kapal
perang Indonesia rusak, sudah jelas Vietnam bertanggung jawab atas
timbulnya kerugian tersebut.

2. Pasal 55 – Rezim hukum khusus zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Ketentuan Pasal 55 mengandung suatu definisi ZEE, dan mengartikannya


sebagai suatu jalur laut yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut
territorialnya, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang diatur dalam Bab
V Konvensi Hukum Laut 1982.
“The exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the
territorial sea, subject to the specific legal regime established in this
Part, under which the rights and jurisdiction of the coastal State and the
rights and freedoms of other States are governed by the relevant
provisions of this Convention.”

3. Pasal 54 - Hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban Negara pantai


dalam zona ekonomi eksklusif (latar belakang kenapa pasal itu
muncul, deskripsi, kenapa dokumen ini yang dipilih)

Pasal ini mengatur bahwa di wilayah ZEE negara pantai dapat menikmati
kedaulatan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan jurisdiksi, negara
ketiga atau bukan negara pantai dapat menikmati kebebasan navigasi,
kebebasan lintas kapal udara, dan penanaman kabel dan pipa di dasar
laut.21 Pasal ini menyatakan sebagai berikut :

21 D.O’ Connell, “The International Laws of The Sea, Vol 1, 1982.

11
“1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:
(a) sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting,
conserving and managing the natural resources, whether living or
non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the
seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the
economic exploitation and exploration of the zone, such as the
production of energy from the water, currents and winds;
(b) jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this
Convention with regard to:
(i) the establishment and use of artificial islands, installations and
structures;
(ii) marine scientific research;
(iii) the protection and preservation of the marine environment;
(c) other rights and duties provided for in this Convention.
2. In exercising its rights and performing its duties under this
Convention in the exclusive economic zone, the coastal State shall
have due regard to the rights and duties of other States and shall
act in a manner compatible with the provisions of this Convention.
3. The rights set out in this article with respect to the seabed and
subsoil shall be exercised in accordance with Part VI.”

Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini


mengatur mengenai hak dan kewajiban negara pantai dalam pengelolaan
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yakni Negara Indonesia dan Vietnam yang
memiliki klaim atas Laut Natuna Utara yang saat ini masih terjadi tumpang
tindih.

4. Pasal 73 - Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara


pantai

Penegakan hukum oleh negara pantai atas ZEE diatur dalam pasal 73
UNCLOS 1982. Ayat 1 dalam pasal 73 tersebut menyebutkan bahwa
negara pantai bisa untuk mengambil tindakan-tindakan dalam melindungi
hak-haknya di ZEE seperti menghentikan, memeriksa, dan menangkap
kapal asing yang terbukti melakukan illegal Fishing.

“1. The coastal State may, in the exercise of its sovereign rights to
explore, exploit, conserve and manage the living resources in the
exclusive economic zone, take such measures, including boarding,
inspection, arrest and judicial proceedings, as may be necessary to

12
ensure compliance with the laws and regulations adopted by it in
conformity with this Convention.
2. Arrested vessels and their crews shall be promptly released upon the
posting of reasonable bond or other security.
3. Coastal State penalties for violations of fisheries laws and regulations
in the exclusive economic zone may not include imprisonment, in the
absence of agreements to the contrary by the States concerned, or
any other form of corporal punishment.
4. In cases of arrest or detention of foreign vessels the coastal State
shall promptly notify the flag State, through appropriate channels, of
the action taken and of any penalties subsequently imposed.”

Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini


mengatur mengenai hak berdaulat negara pantai dalam melaksanakan
penegakan hukum nasional masing yang dilakukan Pemerintah Indonesia
dan Vietnam yakni di wilayah sengketa Laut Natuna Utara.

5. Pasal 74 - Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara


Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan

Pasal ini mengatur bahwa UNCLOS memberikan mandat kepada negara-


negara yang sedang berunding untuk membuat sebuah kesepakatan atau
pengaturan sementara yang bertujuan untuk tak melakukan tindakan-
tindakan yang saling merugikan dan menghambat proses pencapaian
kesepakatan batas wilayah itu.

“1. The delimitation of the exclusive economic zone between States with
opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis
of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the
International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution.
2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the
States concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.
3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States
concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make
every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature
and, during this transitional period, not to jeopardize or hamper the
reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without
prejudice to the final delimitation.
4. Where there is an agreement in force between the States concerned,
questions relating to the delimitation of the exclusive economic zone
shall be determined in accordance with the provisions of that
agreement.”

13
Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini mengatur
dalam mengharuskan dibuatnya provisional arrangement atau pengaturan
sementara di wilayah perairan yang belum disepakati batas ZEE-nya oleh
Pemerintah Indonesia dan Vietnam yakni di wilayah sengketa Laut Natuna
Utara.

6. Pasal 111 - Hak Pengejaran seketika

Dalam pelaksanaannya hot pursuit dapat dilakukan hanya oleh kapal


perang atau pesawa udara militer, atau kapal atau pesawat udara lainnya
yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat
udara dalam dinas pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan
hot pursuit. Namun, mekanisme hot pursuit tidak diatur dengan jelas di
dalam konvensi tersebut. sehingga, mekanisme pelaksanaan hot pursuit
tergantung dari teknis operasional negara pantai.

“1. The hot pursuit of a foreign ship may be undertaken when the
competent authorities of the coastal State have good reason to
believe that the ship has violated the laws and regulations of that
State. ....
2. The right of hot pursuit shall apply mutatis mutandis to violations in
the exclusive economic zone or on the continental shelf, including
safety zones around continental shelf installations, of the laws and
regulations of the cable in accordance with this Convention to the
exclusive economic zone or the continental shelf, including such
safety zones.
4. Hot pursuit is not deemed to have begun unless the pursuing ship
has satisfied itself by such practicable means as may be available
that the ship pursued or one of its boats or other craft working as a
team and using the ship pursued as a mother ship is within the limits
of the territorial sea, or, as the case may be, within the contiguous
zone or the exclusive economic zone or above the continental shelf.
The pursuit may only be commenced after a visual or auditory signal
to stop has been given at a distance which enables it to be seen or
heard by the foreign ship.
5. The right of hot pursuit may be exercised only by warships or military
aircraft, or other ships or aircraft clearly marked and identifiable as
being on government service and authorized to that effect....,
7. The release of a ship arrested within the jurisdiction of a State and
escorted to a port of that State for the purposes of an inquiry before

14
the competent authorities may not be claimed solely on the ground
that the ship, in the course of its voyage, was escorted across a
portion of the exclusive economic zone or the high seas, if the
circumstances rendered this necessary.
8. Where a ship has been stopped or arrested outside the territorial sea
in circumstances which do not justify the exercise of the right of hot
pursuit, it shall be compensated for any loss or damage that may
have been thereby sustained.

Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini


mengatur mengenai hak berdaulat negara pantai dalam melaksanakan
penegakan hukum nasional masing yang dilakukan Pemerintah Indonesia
dan Vietnam yakni di wilayah sengketa Laut Natuna Utara. Khususnya
kapal KRI TJIPTADI-381 milik Indonesia sebagai kapal perang yang
menangkap kapal Nelayan Asing milik Vietnam di Laut Natuna Utara yang
diklaim oleh Indonesia sebagai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

7. Pasal 287 - Pemilihan prosedur

Pasal ini mengatur dalam hal menyediakan empat forum yang dapat
dipilih oleh pemerintah Indonesia dan Vietnam untuk menyelesaikan
sengketa dalam kasus tersebut diatas. Terutama mengenai ganti rugi atas
tindakan penabrakan kapal pengawas perikanan Vietnam terhadap kapal
perang Indonesia serta kesepakatan terkait delimitasi wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif di Laut Natuna Utara, yakni:

1) Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal For The


Law of The Sea ITLOS).
2) Mahkamah internasional (internasional Court of Justice ICJ).
3) Mahkamah Arbitrase (Arbitral tribunal),dan
4) Mahkamah Arbitrase Khusus (special Arbitral Tribunal).

8. Pasal 301 - Penggunaan laut untuk maksud-maksud damai

Dalam penggunaan kekuatan di laut, perhatian juga harus diberikan pada


Pasal 301 UNCLOS. Negara-negara harus menahan diri untuk memberikan
ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial negara
mana pun dalam menjalankan hak dan kewajiban negara.

“In exercising their rights and performing their duties under this
Convention, States Parties shall refrain from any threat or use of force

15
against the territorial integrity or political independence of any State, or in
any other manner inconsistent with the principles of international law
embodied in the Charter of the United Nations.”

Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini


mengatur kewajiban negara pantai dalam penggunaan laut untuk maksud
damai. Tindakan Vietnam yang gagal untuk menahan diri dari penggunaan
kekuatan, khususnya tindakan kapal-kapal pengawas perikanan Vietnam
(VFRS) yang dengan sengaja menabrak kapal perang KRI-Tjiptadi 381 di
wilayah sengketa Laut Natuna Utara.

B. United Nations Charter (Piagam PBB)

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (juga dikenal sebagai Piagam PBB)


tahun 1945 adalah sebuah konstitusi dasar pembentukan organisasi
internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa. Misi, pekerjaan beserta asas
dan tujuan PBB diatur oleh piagam PBB. Piagam PBB ditandatangani di
San Francisco pada tanggal 26 Juni 1945. Piagam PBB disetujui oleh 50
negara anggota asli PBB. Pada tanggal 24 Oktober 1945, Piagam PBB
mulai berlaku setelah diratifikasi oleh lima anggota pendirinya, yakni China,
Prancis, Uni Soviet, Britania Raya dan merika Serikat serta oleh mayoritas
negara penandatangan lainnya.22 Pembentukan UN charter berkaca pada
kerusakan yang diakibatkan oleh Perang dunia kedua, dengan satu misi
utama menjaga perdamaian dan keamanan internasional. PBB melakukan
ini dengan cara melakukan sesuatu untuk mencegah konflik, membantu
pihak-pihak yang berkonflik untuk berdamai,menjaga perdamaian, dan
membentuk keadaan yang memperkenankan perdamaian itu tercipta dan
berkembang.23 Pasal-pasal yang relevan dengan tindakan penabrakan
Kapal Pengawas Perikanan Vietnam terhadap kapal perang Indonesia di
wilayah Laut Natuna Utara diantaranya:

22 "Introductory Note". Un.org. Archived from the original on 9 May 2005.


Retrieved 9 February 2013.
23 Christopher N.J. Roberts (June 2017). "William H. Fitzpatrick's Editorials on
Human Rights (1949)". Quellen zur Geschichte der Menschenrechte [Sources on the
History of Human Rights]. Human Rights Working Group in the 20th
Century. Archived from the original on 7 November 2017. Retrieved 4 November 2017.

16
1. Pasal 2 ayat 3 – Tujuan dan Prinsip

Pasal ini mengatur mengenai penyelesaian sengketa bagi negara-negara


secara Internasional, dengan menyelesaikan perselisihan internasional
mereka dengan cara damai tanpa mengancam perdamaian, keamanan
internasional, dan keadilan. Oleh karena itu hukum internasional telah
menyediakan berbagai cara penyelesaian sengketa internasional secara
damai demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya
hubungan antar bangsa yang serasi. Ketentuan pasal di atas melarang
negara anggota menggunakan kekerasan dalam hubungannya satu sama
lain. Dengan demikian pelarangan penggunaan kekerasan dan
penyelesaian sengketa secara damai telah merupakan norma-norma
imperatif dalam hubungan antar bangsa.24

“All Members shall settle their international disputes by peaceful


means in such a manner that international peace and security, and justice,
are not endangered.”

Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, tindakan


penabrakan kapal pengawas perikanan Vietnam terhadap kapal perang
Indonesia secara jelas menimbulkan kerugian dan tanggungjawab bagi
Vietnam kepada Indonesia. Hal merupakan sebuah bentuk sengketa baik
secara diplomatik maupun hukum yang bersifat Internasional. Dalam
peristiwa tersebut diatas terdapat penegakan hukum masing-masing
negara. Hal tersebut menimbulkan tumpang tindih klaim wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif di Laut Natuna Utara sehingga perlu adanya
penyelesaian sengketa lintas batas negara yang secara damai dan aman.

2. Pasal 2 ayat 4 – Tujuan dan Prinsip

Pasal ini mengatur mengenai penggunaan kekuatan oleh negara yang


dikendalikan oleh hukum kebiasaan internasional dan hukum perjanjian
internasional. Prinsip ini sekarang dianggap sebagai bagian dari hukum
kebiasaan internasional, dan memiliki efek melarang penggunaan angkatan
bersenjata kecuali untuk dua situasi yang disahkan oleh Piagam PBB. 25
Louise Doswald-Beck menyatakan bahwa pasal tersebut diabadikan dalam

24 Thontowi, J., & Iskandar, P, Hukum Internasional Kontemporer. PT Refika


Aditama, Bandung, 2006, hal. 150.
25 Case Concerning Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua

(Nicaragua v. United States of America) (Jurisdiction of the Court and Admissibility of the
Application) [1984] ICJ Rep 392 Archived 1 March 2015 at the Wayback Machine

17
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945 karena alasan yang
baik yakni untuk mencegah negara menggunakan kekuatan karena sifat
kecenderungannya untuk dilakukan.26

“All Members shall refrain in their international relations from the threat
or use of force against the territorial integrity or political independence of
any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the
United Nations.”

Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini


mengatur kewajiban negara pantai untuk menahan diri dari penggunaan
kekuatan Khususnya kapal kapal pengawas perikanan Vietnam (VFRS)
yang dengan sengaja menabrak kapal perang KRI-Tjiptadi 381 di wilayah
sengketa Laut Natuna Utara.

C. International Regulations for Preventing Collisions at Sea 1972


(COLREGS)

Merupakan hasil pembaharuan daripada COLREGS 1960 seiring


perkembangan navigasi seperti pengguanaan radar, traffic separation,
perkembangan kecepatan kapal.27 Konvensi ini dibentuk dalam rangka
kerjasama antara negara-negara anggota Intergovernmental Maritime
Consultative Organization (IMCO) terutama untuk menunjukkan tujuan
utama daripada IMCO akan keselamatan di laut serta effisiensi pelayaran.28
COLREGS diterbitkan oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO) dan
menetapkan, antara lain, "aturan jalan" atau aturan navigasi yang harus
diikuti oleh kapal dan kapal lainnya di laut untuk mencegah tabrakan antara
dua atau lebih kapal.29 COLREGs juga dapat merujuk ke garis politik
tertentu yang membagi saluran air pedalaman, yang tunduk pada aturan
navigasi mereka sendiri, dan saluran air pantai yang tunduk pada aturan
navigasi internasional. COLREGs berasal dari perjanjian multilateral yang

26 International Commission of Jurists, 18 March 2003, "Iraq - ICJ Deplores Moves

Toward a War of Aggression on Iraq" "Archived copy". Archived from the original on 7 April
2003. Diakses 22/05/2019
27
http://www.imo.org/en/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/COLREG.a
spx, diakses 22/05/2019
28 Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Binacipta,

Bandung, 1978, hal. 212.


29 Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea,

1972 (COLREGs) Archived 14 October 2009 at the Portuguese Web Archive, from the IMO
(The International Maritime Organisation). Retrieved 13 February 2006.

18
disebut Convention on the International Regulations for Preventing
Collisions at Sea.

1. Rule 8 - Action to avoid collision

Aturan ini mengatur bahwa sebuah kapal yang, dengan salah satu dari
aturan ini, diharuskan untuk tidak menghalangi jalannya kapal atau
melewati jalan yang aman dari kapal lain, jika dipersyaratkan oleh keadaan
kasus ini, mengambil tindakan dini untuk memungkinkan ruang laut yang
cukup untuk jalan lintas yang aman dari kapal lainnya.30 Dalam kaitannya
dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini mengatur kewajiban negara
pantai dalam penggunaan kapal untuk menghindari tabrakan di laut dan
melewati jalan yang aman, sebagaimana Tindakan kapal pengawas
perikanan Vietnam (VFRS) yang dengan sengaja menabrak kapal perang
KRI-Tjiptadi 381 di wilayah sengketa Laut Natuna Utara.

D. International Convention for the Safety of Life at Sea 1974


(SOLAS)

Merupakan hasil pembaharuan daripada SOLAS, 1948 disebabkan oleh


banyaknya perubahan sebagai akibat daripada kemajuan di bidang
perkapalan secara teknis sehingga dirasakan perlu untuk mengadakan
penyesuaian ketentuan-ketentuan SOLAS pada keadaan yang baru.31
Konvensi ini menyangkut berbagai aspek keselamatan di laut dan memuat
ketentuan-ketentuan yakni keselamatan pelayaran.

1. Bab V tentang Keamanan navigasi

Aturan ini mengatur mengenai kewajiban negara dalam layanan


keselamatan navigasi tertentu yang harus disediakan oleh Negara pihak
pada Persetujuan dan menetapkan ketentuan yang bersifat operasional
yang berlaku secara umum untuk semua kapal di semua pelayaran. Dalam
kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, aturan ini mengatur
kewajiban negara pantai dalam menyediakan operasional keselamatan
navigasi kapal yang aman, sebagaimana Tindakan kapal pengawas
perikanan Vietnam (VFRS) yang dengan sengaja menabrak kapal perang
KRI-Tjiptadi 381 di wilayah sengketa Laut Natuna Utara menimbulkan
bahaya bagi para awak kapal Vietnam dan Indonesia yang saling

30 International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1974,


http://www.imo.org/
31 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, Bunga Rampai Hukum Laut, hlm. 213.

19
menegakan hukum nasionalnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang
belum ditetapkan perbatasan maritimnya antara kedua negara.

E. Decree No. 102/2012/ND-CP of the Vietnamese Government

Dalam penegakan hukum di wilayah laut Zona Ekonomi Eksklusifnya,


Vietnam mengeluarkan dekrit yakni keputusan pemerintah Vietnam dalam
menentukan fungsi dan tugas pasukan pengawas perikanan untuk
memfasilitasi kegiatan mereka di wilayah laut Vietnam. Pemerintah pada 29
November mengeluarkan Keputusan No. 102/2012 / ND-CP, tentang
organisasi dan operasi pasukan pengawas perikanan.32 Di bawah
Keputusan tersebut, pasukan pengawas perikanan adalah pasukan khusus
di bawah manajemen negara oleh Departemen umum Perikanan dibawah
Kementrian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan Pemerintah
Vietnam.33 Tugas utamanya adalah untuk berpatroli, memeriksa,
mengontrol, mendeteksi dan menangani pelanggaran hukum dan
memeriksa kegiatan penangkapan ikan di wilayah laut Vietnam;
menerapkan tindakan pencegahan terhadap pelanggaran hukum terhadap
individu dan organisasi domestik atau asing yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan di wilayah laut Vietnam; dan ambil bagian dalam
pencegahan dan mitigasi bencana alam, pencarian dan penyelamatan di
laut, dan pertahanan wilayah Vietnam, hak-hak teritorial dan yurisdiksi atas
lautnya.

1. Pasal 8 - Powers and responsibilities of Fisheries Supervisors

Pasal ini mengatur bahwa Direktorat Perikanan Vietnam adalah


lembaga penegakan hukum Vietnam di direktorat perikanan dan milik
Kementerian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Ini melakukan
fungsi: patroli, memeriksa, mengontrol, mendeteksi dan menangani
pelanggaran hukum dan penyelidikan bar perikanan di pantai Vietnam.
Anggota Direktorat Perikanan Vietnam akan memiliki wewenang untuk
menjatuhkan hukuman pada organisasi penangkapan ikan lokal dan asing
serta orang-orang yang beroperasi di perairan di bawah yurisdiksi Vietnam.
Mereka akan terlibat dalam pencegahan dan pengendalian bencana serta
kegiatan pencarian dan penyelamatan. Direktorat Perikanan Vietnam
bertanggung jawab untuk mengambil bagian dalam pencegahan bencana
alam dan mengoordinasikan pencarian dan penyelamatan serta

32 “New forces patrol fishing, sea borders" http://en.vietnamplus.vn/Home/New-


forces-patrol-fishing-sea-borders/201212/30405.vnplus, diakses 22/05/2019
33 Vietnam Fisheries Faolex Database, http://www.fao.org/, diakses 22/05/2019

20
penyelamatan; berpartisipasi dalam melindungi kedaulatan, hak kedaulatan
dan yurisdiksi negara sesuai dengan hukum perairan. Dalam kaitannya
dengan kasus yang penulis angkat, Tindakan kapal pengawas perikanan
Vietnam (VFRS) yang dengan sengaja menabrak kapal perang KRI-Tjiptadi
381 di wilayah sengketa Laut Natuna Utara merupakan suatu bentuk
penegakan hukum nasional Vietnam dimana dekrit ini mendasari
dilakukannya tindakan tersebut melalui pembentuk pasukan pengawas
perikanan Vietnam.

F. Decree No. 67/2014/ND-CP On a number of fisheries


development policies

Dalam insiden HD-981 di tahun 2014, terjadi konflik antara China dan
Vietnam, dimana sebuah rig minyak laut dalam China pindah ke zona
ekonomi eksklusif Vietnam dan puluhan kapal kayu Vietnam mengelilingi
daerah itu untuk membantu penjaga pantai dalam konflik tersebut.
Meskipun tidak ada panggilan resmi dari pemerintah, surat dorongan oleh
presiden saat itu Truong Tan Sang dan panggilan dari Perhimpunan
Perikanan Vietnam yang disponsori negara bagi para nelayan untuk
berlayar ke perairan yang disengketakan menyiratkan bahwa Hanoi secara
implisit memasukkan kapal-kapal sipil ke dalam aktivias perlindungan-
kedaulatan. Menyusul insiden HD-981, para pembuat kebijakan Vietnam
bersedia untuk melakukan lebih banyak sumber daya untuk memperkuat
armada penangkapan ikan mereka yang sebagian besar sudah ketinggalan
zaman. Dua bulan setelah kebuntuan, Hanoi mengeluarkan Dekrit 67, yang
bertujuan untuk mendukung para nelayan membangun kapal-kapal baja
yang lebih besar dan lebih modern yang mampu menahan cuaca buruk dan
ancaman dari kapal-kapal Tiongkok dan menjelajah lebih jauh ke daerah-
daerah yang diperebutkan.34

1. Pasal 9 - Responsibilities of ministries and sectors

Pasal ini mengatur mengenai tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh
Kementerian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan mempelajari dan
menyelidiki sumber daya perairan, meramalkan daerah penangkapan ikan
dan merencanakan pengembangan kapal penangkap ikan dalam kaitannya
dengan sumber daya perairan, kelompok perdagangan ikan dan daerah
penangkapan ikan dan beri tahu rencana tersebut ke daerah-daerah untuk

34
Priit Ojamaa, Research for PECH Committee – Fisheries in Vietnam,
http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2018/629175/IPOL_STU(2018)62
9175_EN.pdf, diakses 22/05/2019

21
diimplementasikan. Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat,
Tindakan kapal pengawas perikanan Vietnam (VFRS) yang dengan
sengaja menabrak kapal perang KRI-Tjiptadi 381 di wilayah sengketa Laut
Natuna Utara Sebagai bentuk menjaga kedaulatan negara, Vietnam
memberlakukan militerisasi kepada armada nelayan miliknya. Hal ini cukup
beralasan karena negeri berpaham komunis itu juga tengah berseteru
dengan China soal wilayah di Laut China Selatan. Hal tersebut akhirnya
mendorong pemerintah Vietnam mengeluarkan Dekrit 67, yang berisi
menyediakan jaminan kredit untuk membangun kapal yang lebih besar bagi
armada nelayan.

G. Undang-undang No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Di dalam penjelasan UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menjelaskan


bahwa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut
Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
the Sea 1982, menempatkan Indonesia memiliki hak untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, dan Laut Lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku, sehingga
penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan
strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara
terkendali dan berkelanjutan.

1. Pasal 69
“(1) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan
dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
(2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat dilengkapi dengan senjata api.
(3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa,
membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga
melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan
lebih lanjut.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan
khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal

22
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.”

Dalam penegakan hukum nasional Indonesia TNI AL, Polisi Air, Kapal
Pengawas Perikanan (di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan),
sampai Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (di bawah Kementerian
Perhubungan), turut bekerjasama dalam penegakan hukum mengenai
Illegal Fishing di wilayah laut teritori Indonesia. Tindakan Tegas
penangkapan dan penenggelaman terhadap kapal asing pelaku Illegal
Fishing sebagaimana menurut pemerintah Indonesia, telah dilakukan oleh
kapal nelayan Vietnam di Laut Natuna Utara, merupakan berdasarkan
ketentuan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Perikanan,
bertujuan untuk menunjukkan ketegasan dan kewibawaan pemerintah
Indonesia dalam melindungi kedaulatan wilayah dan hasil alam yang
dimilikinya, serta menimbulkan efek jera kepada pihak asing pelaku Illegal
Fishing. 35

2. Pasal 73 ayat (1)

Pasal ini memberi kewenangan kepada Penyidik tindak pidana di


bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan,
Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk menerapkan penegakan hukum nasional di wilayah teritori
Laut Natuna Utara yang saat ini masih dipersengketakan oleh Indonesia.
Terkait kasus tersebut diatas, pelanggaran illegal fishing yang dilakukan
kapal nelayan Vietnam, Bagi Komandan KRI kapal perang dapat melakukan
tindakan penembakan dan/atau penenggelaman kapal perikanan
berbendera asing, dengan harus memenuhi persyaratan adanya kondisi
dimana kapal-kapal tersebut melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
proses pengejaran, penangkapan, pemeriksaan dan penyelidikan.

H. Perkasal 32/V/2009 tentang Prosedur Tetap Penegakan Hukum


dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional
oleh TNI AL.

Pelaksanaan peran penegakan hukum TNI Angkatan Laut


diimplementasikan dalam sebuah pedoman bagi unsur operasional dan
pangkalan dalam menangani setiap tindak pidana di laut melalui Peraturan
Kasal Nomor Perkasal 32N12009 tanggal 4 }i4ei 2009 tentang Prosedur

35 Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Nuansa Aulia,

Bandung, 2010, hal 45.

23
Tetap Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan Di Wilayah Laut
Yurisdiksi Nasional Oleh TNI Angkatan Laut. Perkasal tersebut bertujuan
untuk memberikan keseragaman dan kepastian hukum bagi penyidik TNI
Angkatan Laut dalam menangani tindak pidana di laut secara profesional
dan proporsional sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional dan
Hukum Nasional, Pedoman tersebut tidak saja dipedomani pada saat
melaksanakan tugas di perairan Indonesia tetapi walaupun berada di
wilayah perbatasan selama terkait dengan penegakan hukum harus
berpedoman pada ketentuan Hukum Laut Internasional dan Hukum
nasional.36 TNI AL (KRI) meskipun secara hukum nasional, ketentuan dan
kewenangan untuk memusnahkan kapal ikan asing dengan cara
ditenggelamkan telah diatur prosedur dan mekanismenya, namun dalam
implementasinya agar para Komandan KRI mencermati dan
mempertimbangkan berbagai faktor baik faktor yuridis, teknis maupun
tanggungjawab komando. Salah satunya Faktor yuridis, tindakan
kekerasan terhadap kapal ikan asing pada saat pemeriksaan di laut.

I. Statuta Mahkamah Internasional (ICJ)

Pada tahun 1942, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari
Inggris menyatakan kesepakatan untuk mengaktifkan dan membentuk
kembali suatu mahkamah internasional. Pada tahun 1943 pemerintah
Inggris mengambil inisiatif dengan mengundang para ahli London untuk
mengkaji masalah tersebut yaitu Inter-Allied Committee yang dipimpin oleh
Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil mengeluarkan
laporannya pada tanggal 10 Februari 1944 yang memuat beberapa
rekomendasi diantaranya, bahwa perlu dibentuk suatu Mahkamah
Internasional baru dengan statute yang berlandaskan Statuta PCIJ, bahwa
mahkamah baru tersebut harus memiliki yurisdiksi untuk memberikan
nasehat, dan bahwa mahkamah baru tersebut tidak boleh memiliki
yurisdiksi memaksa (cumpolsory jurisdiction). Setelah berbagai pertemuan
dan pembahasan mengenai pembentukan suatu mahkamah baru, akhirnya
dicapailah kesepakatan pada Konferensi San Fransisco pada tahun 1945
yang memutuskan bahwa akan dibentuk suatu badan Mahkamah
Internasional baru dan badan ini merupakan badan utama PBB.37

1. Pasal 36 ayat (1) :

36 Kolonel Laut (KH) Sudardi, Peranan TNI Angkatan Laut Dalam penegakan Hukum di
WIlayah Perbatasan Laut Indonesia, Jurnal Lex Librum, Vol. 1, No.1, Desember 2011
37 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,

hal. 67.

24
“Jurisdiksi Mahkamah meliputi semua perkara yang diajukan pihak-
pihak yang bersengketa kepadanya dan semua hal, terutama yang
terdapat dalam Piagam PBB atau dalam perjanjian-perjanjian dan
konvensi-konvensi yang berlaku.”

Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, menjelaskan


mengenai sengketa apa saja yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang
bersengketa ke Mahkamah Internasional. Walaupun demikian, Pasal 36
ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional ini tidak membedakan antara
sengketa hukum dan politik yang boleh dibawa ke Mahkamah
Internasional namun dalam prakteknya Mahkamah Internasional selalu
menolak memeriksa perkara-perkara yang tidak bersifat hukum.

J. Statuta International Tribunal for Law Of the Sea (ITLOS)

ITLOS merupakan sebuah lembaga peradilan internasional yang usianya


masih cukup baru apabila dibandingkan dengan Mahkamah Internasional
(International Court of Justice), namun lebih dulu berdiri dibandingkan
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). ITLOS
didirikan seiring dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea). Statuta ITLOS menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari UNCLOS. Badan ini ditujukan untuk mengadili
sengketa-sengketa yang lahir dari pelaksanaan maupun penafsiran
ketentuanketentuan dalam UNCLOS. Dibentuk pada tanggal 10 Desember
1982 dan mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, dengan tanggung
jawab untuk pengaturan penambangan dasar laut di luar batas yurisdiksi
nasional, yang berada di luar batas-batas laut teritorial, zona tambahan dan
landas kontinen.38

1. Pasal 21 - Yurisdiksi

Yurisdiksi Tribunal terdiri dari semua sengketa dan semua aplikasi yang
diajukan kepadanya sesuai dengan Konvensi ini dan semua hal yang
secara khusus diatur dalam perjanjian lain yang memberikan yurisdiksi
pada Tribunal. Dalam kasus tersebut diatas, terdapat permasalah hukum
khususnya mengenai klaim tumpang tindih Zona Ekonomi Eksklusif dan
penegakan hukum nasional di wilayah teritori Laut Natuna Utara yang saat
ini masih dipersengketakan oleh Indonesia dan Vietnam

38 International Tribunal for the Law of the Sea, “Chambers”. Tersedia di

https://www.itlos.org/the-tribunal/chambers/. Diakses pada 10 Oktober 2016.

25
2. Pasal 22 - Referensi perselisihan yang tunduk pada perjanjian
lain.

Jika semua pihak dalam suatu perjanjian atau konvensi sudah


berlaku dan mengenai pokok permasalahan yang dicakup oleh Konvensi
ini, maka setuju, perselisihan mengenai interpretasi atau penerapan
perjanjian atau konvensi tersebut dapat, sesuai dengan perjanjian,
diserahkan ke Pengadilan. Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis
angkat, Pasal ini mengatur kewajiban negara pantai untuk menyelesaikan
perselisihan sengketa wilayah Laut Natuna Utara, terkait konvensi Hukum
Laut 1982, khususnya kekosongan kesepakatan sementara yang
seharusnya dilaksanakan oleh negara Indonesia dan Vietnam. Demikian
pula mengenai ganti rugi atas tindakan Vietnam yang gagal untuk menahan
diri dari penggunaan kekuatan, khususnya tindakan kapal-kapal pengawas
perikanan Vietnam (VFRS) yang dengan sengaja menabrak kapal perang
KRI-Tjiptadi 381 di wilayah sengketa Laut Natuna Utara.

K. Penyelesaian Sengketa secara regional Asia Tenggara (ASEAN) 39

1. Mekanisme Dalam TAC (Treaty of Amity and Cooperation)

Kesepakatan dalam TAC dengan Deklarasi Bali 1976 menyatakan


“Member states, in the spirit of ASEAN solidarity, shall rely exclusively on
peaceful processes in the settlement of intra20 Walter Woon SC, “Dispute
Settlement The ASEAN Way”, regional differences.” Deklarasi ini
menyodorkan poin-poin penting yang tercantum dalam Bab IV TAC (Treaty
of Amity and Cooperation) yang harus dihormati dan dijalankan oleh
negaranegara ASEAN. Ada 3 tahap yang harus dilalui apabila terjadi
sengketa, yaitu:
a. Pencegahan meningkatnya sengketa serta upaya penyelesaian
melalui negosiasi langsung antarpihak yang bertikai. Hal itu
ditegaskan dalam pasal 10 yang berbunyi: “Each High Contracting
Party shall not in any manner or form participate in any activity which
shall constitute a threat to the political and economic stability,
sovereignty, or territorial integrity of another High Contracting Party.”
b. Pasal 13 menekankan bahwa “the High Contracting Party”
diwajibkan menahan diri dari hal-hal yang bisa memicu terjadinya

39 http://cil.nus.edu.sg/wp/wp-content/uploads/2010/01/ WalterWoon-Dispute-
Settlement-the-ASEAN-Way-2012.pdf, diakses pada tanggal 9 Mei 2014.

26
sebuah ancaman ataupun penggunaan kekuatan serta harus
memprioritaskan penyelesaian sengketa melalui negosiasi damai
(“the High Contracting Parties shall have the determination and good
faith to prevent disputes from arising. In case of disputes on matters
directly affecting them, they shall refrain from the threat or use of
force and shall at all times settle such disputes among themselves
through friendly negotiations”).
c. Pasal 14 dari TAC berisikan mekanisme penyelesaian sengketa
selanjutnya melalui pengawasan High Council yang terdiri dari satu
perwakilan tingkat menteri dari masingmasing negara anggota yang
berjumlah 10 negara anggota bersama dengan negara-negara
nonASEAN yang terlibat langsung dalam sengketa. Apabila cara
friendly negotiation yang dilakukan tidak mendatangkan hasil positif,
High Council dapat merekomendasikan kepada pihak yang
bersengketa sebuah penyelesaian melalui jasa baik (good offices),
mediasi, inquiry or conciliation (Pasal 15).
d. Pasal 16 menyatakan bahwa apabila melalui friendly negotiation
tidak berhasil, mereka bisa menyerahkan sengketa ke High Council
untuk dibicarakan didalamnya, yang memungkinkan untuk
menyertakan negara nonASEAN yang terikat pada TAC namun tidak
terlibat dalam sengketa terkait.
e. Pasal 17 menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa setelah
melalui tahapan perundingan di atas bisa merujuk pada pasal 33 ayat
1 Piagam PBB, yaitu menyerahkan penyelesaian sengketa menurut
cara yang diatur dalam Piagam PBB.

2. Mekanisme dalam Piagam ASEAN (ASEAN Charter)

Dengan adanya Piagam ASEAN (2007) mekanisme penyelesaian sengketa


sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dirintis dalam
TAC. Terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa ala Piagam ASEAN
dimaksudkan untuk mendorong sebuah organisasi ini, terutama bagi
terbentuknya Komunitas ASEAN, untuk memiliki pijakan kerangka hukum
yang jelas dan mengikat bagi negara ASEAN. Prosedur penyelesaian
sengketa berdasarkan Piagam ASEAN yang termaktub dalam Bab VIII
pasal 22 – 28 (lihat bagan 1) berisikan sebagai berikut:
a. Pasal 22 menyatakan perlunya upaya negosiasi, dialog dan
konsultasi disertai dengan (wajib) menahan diri untuk tidak
menggunakan cara kekerasan.
b. Apabila cara di atas kurang berhasil, pihak yang bersengketa bisa
merujuk pada pasal 23. Isi dari pasal 23 menyatakan mekanisme

27
penyelesaian sengketa melalui jasa-jasa baik (good offices), mediasi,
konsiliasi.
c. Mekanisme melalui arbitrase bisa dipakai oleh pihak yang
bersengketa apabila mekanisme sebelumnya tidak berhasil. Hal ini
termaktub dalam pasal 25.
d. Pasal 27 menegaskan mekanisme penyelesaian sengketa dibawa ke
KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN sebagaimana tertera dalam
ayat 1 yang berbunyi: “The Secretary-General of ASEAN, assisted by
the ASEAN Secretariat or any other designated ASEAN body, shall
monitor the compliance with the findings, recommendations or
decisions resulting from an ASEAN dispute settlement mechanism,
and submit a report to the ASEAN Summit. “
e. Selanjutnya, para pihak yang bersengketa bisa memutuskan secara
bersama untuk melanjutkan penyelesaian sengketa ke tingkat yang
lebih tinggi yaitu menggunakan mekanisme yang tertera dalam
Piagam PBB Bab IV pasal 33 ayat1. Ketentuan itu berbunyi:
f. “The parties to any dispute, the continuance of which is likely to
endanger the maintenance of international peace and security, shall,
first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies
or arrangements, or other peaceful means of their own choice (ayat
1), The Security Council shall, when it deems necessary, call upon the
parties to settle their dispute by such means. “ (ayat 2)

L. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia No 18


Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Sosialis Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen,
2003

Pada 26 Juni 2003 di Hanoi, Vietnam, telah ditandatangani Persetujuan


antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis
Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen, 2003. Persetujuan
Penetapan Batas Landas Kontinen oleh Pemerintah Indonesia
dimaksudkan untuk menegaskan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan menjamin kepastian hukum terhadap pulau-pulau
terluar di wilayah Natuna yang berbatasan langsung dengan negara
Vietnam. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Republik Sosialis Vietnam dilakukan sesuai dengan United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982 yang memberikan
pengakuan terhadap wilayah Negara Kepulauan yang mempunyai arti

28
penting untuk kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
sebagai perwujudan Wawasan Nusantara.

1. Latar Belakang Perlunya Perundingan antara Pemerintah


Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam
tentang Batas Landas Kontinen.

Sejak pendeklarasian negara kepulauan Republik Indonesia melalui


Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, yang kemudian diperkuat
dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia, terdapat kebutuhan mendesak agar konsep negara kepulauan
tersebut dapat diterima oleh masyarakat internasional. Konsep negara
kepulauan yang diajukan Republik Indonesia akhirnya telah diterima
menjadi suatu prinsip hukum internasional oleh masyarakat internasional
dengan disahkannya United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) 1982. Bab IV, Pasal 46 sampai dengan Pasal 54 UNCLOS 1982
mengatur secara khusus mengenai prinsip hukum negara kepulauan.
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on
the Law of the Sea 1982. Prinsip hukum internasional tentang negara
kepulauan juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia. Seiring dengan perjuangan untuk
mendapatkan pengakuan hukum atas konsep negara kepulauan pada
perundingan tingkat multilateral di forum PBB, sejak tahun 1960-an
Pemerintah Republik Indonesia juga giat melaksanakan perundingan
penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga termasuk
Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Thailand, dan
Vietnam. Upaya penetapan batas maritim dengan negara tetangga tersebut
menjadi sangat penting karena hasil perundingan penetapan batas tersebut
menjadi salah satu bentuk pengakuan negara-negara tetangga terhadap
Indonesia sebagai negara kepulauan secara hukum. Pada gilirannya,
pengakuan dari negara-negara tetangga ini menjadi penting pada
perundingan tingkat multilateral karena hal ini berarti dukungan luas dari
masyarakat internasional dalam Konferensi Hukum Laut Perserikatan
Bangsa-Bangsa Ketiga yang berlangsung dari tahun 1973 hingga tahun
1982.

Penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut pada


dasarnya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum tentang wilayah,
batas kedaulatan, dan hak berdaulat Republik Indonesia, memudahkan
kegiatan penegakan hukum di laut, serta menjamin kepastian hukum
kegiatan pemanfaatan sumber daya alam. Penetapan batas maritim ini juga

29
mempunyai fungsi sebagai penegasan kepemilikan pulau-pulau terluar
Republik Indonesia karena Indonesia menggunakan pulau-pulau terluar
tersebut sebagai penentuan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif,
dan landas kontinen Indonesia. Yang dimaksud dengan pulau-pulau terluar
adalah pulau-pulau terdepan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Penetapan batas landas kontinen dengan Republik Sosialis Vietnam


diperlukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam kerangka
kepentingan-kepentingan tersebut di atas. Perairan Natuna yang
merupakan bagian dari Laut China Selatan adalah perairan strategis yang
menjadi pintu masuk ke Asia Tenggara khususnya dari Jepang, RRC,
Republik Korea, dan Republik Rakyat Demokratik Korea. Selain itu, dasar
laut perairan Natuna terdapat potensi sumber daya alam khususnya
hidrokarbon. Di kawasan ini juga terdapat sejumlah pulau-pulau terluar
Indonesia yang telah dijadikan dasar penetapan titik dasar dan penarikan
garis pangkal negara kepulauan Republik Indonesia sejak tahun 1960. Oleh
karena itu, penetapan batas maritim di kawasan tersebut sangat diperlukan
bagi kedua negara.

Penetapan batas landas kontinen antara Republik Indonesia dan Republik


Sosialis Vietnam yang berjalan dari tahun 1978 hingga tahun 2003 dan
dilakukan melalui perundingan yang alot pada dasarnya telah memberikan
keuntungan bagi Republik Indonesia dari beberapa aspek, yaitu:

a) adanya batas dan wilayah landas kontinen yang jelas sehingga


menjamin kepastian hukum;
b) adanya pembagian wilayah landas kontinen yang adil sesuai dengan
hukum internasional yang berlaku;
c) memudahkan upaya pengawasan dan penegakan hak-hak berdaulat
negara di landas kontinen;
d) pengakuan secara hukum oleh Pemerintah Vietnam atas pulau-
pulau terluar di wilayah Natuna yang berhadapan dengan Republik
Sosialis Vietnam; dan
e) meningkatkan hubungan baik kedua negara.

2. Proses Perundingan Penetapan Batas Landas Kontinen antara


Republik Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam.

Perundingan Penetapan Batas Landas Kontinen dengan Pemerintah


Republik Sosialis Vietnam mulai dilaksanakan pada 5 Juni 1978, dan

30
berakhir pada 26 Juni 2003 ketika Menteri Luar Negeri kedua negara
menandatangani Perjanjian Penetapan Batas Landas Kontinen di Hanoi,
Vietnam. Penandatanganan ini disaksikan oleh Presiden Republik
Indonesia, Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Republik Sosialis
Vietnam, Tran Duc Luong. Rangkaian perundingan tersebut ditempuh
melalui putaran perundingan formal (1978--1991) dan pertemuan informal
pada tingkat teknis (1994--2003). Perundingan informal pada tingkat teknis
dimaksudkan agar pembicaraan kedua tim perunding dapat dilakukan
secara lebih terbuka. Upaya penyelesaian penetapan batas landas
kontinen antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam juga
dilakukan dalam berbagai kesempatan pertemuan tingkat kepala
pemerintahan, tingkat menteri, dan tingkat teknis. Guna memfasilitasi
perundingan, beberapa kali dilakukan pembahasan teknis di antara para
pejabat pemetaan kedua negara untuk penggambaran titik-titik dasar bagi
penarikan klaim wilayah maritim kedua pihak.

Pada tingkat tinggi, pertemuan-pertemuan antara Presiden Republik


Indonesia, Soeharto, dan Wakil Ketua Dewan Menteri, Jenderal Vo Nguyen
Giap, 4 Juli 1990 di Jakarta; Presiden Republik Indonesia, Soeharto, dan
Presiden Dewan Menteri, Vo Chi Cong, 21 November 1990 di Hanoi;
Presiden Republik Indonesia, Soeharto, dan Ketua Dewan Menteri, Vo Van
Kiet, 27 Oktober 1991 di Jakarta, menghasilkan sejumlah kesepakatan
untuk menyelesaikan perundingan sesegera mungkin dengan mekanisme
pertemuan secara reguler. Demikian pula, di masa pemerintahan Presiden
Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, komitmen untuk segera
menyelesaikan masalah penetapan batas landas kontinen kedua negara
kembali ditegaskan oleh kedua kepala pemerintahan pada saat kunjungan
Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, ke Vietnam pada 22
Agustus 2001 dan kunjungan Presiden Republik Sosialis Vietnam, Tran Duc
Luong, ke Indonesia pada 10 November 2001.

Melalui serangkaian perundingan yang panjang sejak 1978, meskipun


beberapa kali terjadi kemacetan yang disebabkan oleh perbedaan
pandangan mengenai masalah teknis dan metode delimitasi, Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam pada
pertemuan informal 10--13 Maret 2003 berhasil menyepakati garis batas
akhir landas kontinen kedua negara (garis 20-H-H1-A4-X1-25) untuk
diajukan kepada pemerintah masing-masing guna memperoleh keputusan
penerimaannya.

31
3. Pokok-Pokok Isi Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam tentang
Penetapan Batas Landas Kontinen.

Pasal 1 Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah


Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen
mengatur titik koordinat dan garis yang menghubungkannya sebagai batas
landas kontinen kedua negara. Titik-titik koordinat dimaksud dihitung
dengan menggunakan "World Geodetic System 1984 Datum" (WGS84) dan
garis-garis lurus yang menghubungkan setiap titik-titik koordinat merupakan
suatu garis geodetik. Sementara itu, peta yang dipakai dalam perjanjian
kedua negara ditetapkan peta pihak ketiga yang tidak memihak dan biasa
dipakai secara internasional, yaitu British Admiralty Chart Nomor 3482,
skala 1:1.500.000 yang diterbitkan pada tahun 1997.

 Pasal 1 juga mengatur perlunya penetapan lokasi sesungguhnya


dari titik-titik koordinat oleh instansi teknis kedua negara yang
berwenang. Bagi Republik Indonesia, instansi teknis dimaksud
adalah Dinas Hidro-Oseanografi Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Angkatan Laut.

 Pasal 2 menyatakan bahwa penetapan batas landas kontinen tidak


akan mempengaruhi penetapan batas zona ekonomi eksklusif kedua
negara yang akan ditetapkan di masa datang.

 Pasal 3 dan Pasal 4 mengatur perlunya kerja sama kedua negara


dalam bentuk koordinasi setiap kebijakan terkait dengan hukum
internasional mengenai perlindungan lingkungan bahari serta
eksploitasi dan pembagian keuntungan yang adil dari hasil
eksplorasi sumber daya alam dasar laut yang melintasi garis batas
kedua negara.

 Pasal 5 mengatur cara penyelesaian secara damai melalui


musyawarah atau perundingan apabila terdapat perselisihan yang
timbul dari penafsiran atau pelaksanaan persetujuan kedua negara.

 Pasal 6 mengatur bahwa persetujuan perlu diratifikasi oleh negara


masing-masing. Piagam ratifikasi tersebut kemudian akan saling
dipertukarkan, dan tanggal pertukaran piagam ratifikasi dinyatakan
sebagai tanggal mulai berlakunya persetujuan.

32
M. Yurisprudensi Terkait

1. Award in the arbitration regarding the delimitation of the


maritime boundary between Guyana and Suriname (Guyana v.
Suriname, 2004)

“Claim of unlawful threat or use of force—action taken by Suriname


not a law enforcement activity but a threat of use of force in
contravention of UNCLOS, the Charter of the United Nations and
general international law—in international law force may be used in
law enforcement activities provided such force is unavoidable,
reasonable and necessary—claim that action constituted a
countermeasure precluding wrongfulness not accepted—
countermeasures may not involve use of force.”40

Tindakan penabrakan kapal Pengawas Perikanan Vietnam (VFRS)


terhadap kapal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) KRI
Tjiptadi-381 di wilayah sengketa Laut Natuna Utara ini dapat dikaitkan
dengan kasus Guyana versus Suriname (dalam forum Arbitral Tribunal
UNCLOS pada tahun 2004). Penggunaan use of force hanya dapat
dibenarkan jika memenuhi tiga syarat yaitu tidak terhindarkan, kewajaran
(reasonableness) dan keharusan (necessity). Kasus ini yakni mengenai
pemberian izin terhadap instalasi di perairan perbatasan yang belum
ditentukan (Guyana v Suriname), dimana suriname melakukan tindakan
yang mengancam instalasi beserta kru negara lain dengan menggunakan
aparat bersenjata yang melebihi tindakan penegakan hukum (Guyana v
Suriname). Menjelang tahun 2000, Suriname mulai mengambil tindakan
agresif terhadap Guyana terkait sengketa maritim tersebut. Pada bulan Juni
tahun 2000, kapal bor minyak milik perusahaan CGX, salah satu pemegang
konsesi Guyana berada di wilayah maritim yang disengketakan antara
Guyana dan Suriname, lalu kapal tersebut diperintahkan untuk pergi dan
dikawal oleh angkatan laut Suriname dengan cara-cara militer.41 Hal ini
menjadi konsentrasi penulis untuk mengkaji sejauh apa tindakan yang
dilakukan kapal Pengawas Perikanan Vietnam (VFRS) terhadap kapal
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) KRI Tjiptadi-381 dapat
dikategorikan sebagai penggunaan kekuatan (Use of force) dalam keadaan
damai khususnya dalam rezim hukum laut.

40 Award in the arbitration regarding the delimitation of the maritime boundary between
Guyana and Suriname , http://legal.un.org/riaa/cases/vol_XXX/1-144.pdf.
41 Guyana v. Suriname, 2000 https://pca-cpa.org/en/cases/9/

33
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mauna, Boer, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan


Fungsi dalam era dinamika Global), Bandung, PT.Alumni, 2011.
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Rajawali Pers,
Jakarta, 2016

Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar


Grafika,Jakarta, 2014.

Tantowi, Jawahir, Hukum dan Hubungan Internasional,UII Press


Yogyakarta, 2016.

34
Shaw, Malcolm N., International Law, New York, Cambridge
University. Press, 2008.

Ketut Mandra dan Yohanes Usfunan, Kapita Salekta Hukum Laut


Internasional, Cet. I, Perc Offset “Bali Post”, Denpasar, 1987.
Rudy, May, Hukum Internasional 2, Cet I, PT Refika Aditama
Bandung, Bandung, 2002.

Jurnal

Ariadno, Melda Kamil. “Konsep Delimitasi Batas maritim dan


Penerapannya: Studi Kasus Negara Indonesia – Singapura.” Indonesian
Journal of International Law (2013).

Agoes, Etty R. “Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara


Kelautan”. Indonesia Journal of International Law. Vol. 1 No. 3 (April
2004).

Jaelani, Abdul Qodir. “Illegal Unreported and Unregulated (IUU)


Fishing Upaya Mencegah dan Memberantas Illegal Fishing dalam
Membangun Poros Maritim Indonesia.” Supremasi Hukum (2014),
Kartika, Shanti Dwi. “Keamanan Maritim Dari Aspek Regulasi dan
Penegakan Hukum”. Jurnal Negara Hukum: vol. 5 No. 2, November (2014),
Köning, Doris, “The Enforcement of the International Law of the Sea
by Coastal and Port States” Max Planc Institute (2015).
Kwast, Patricia Jimenez, “Maritime Law Enforcement and the Use of
Force: Reflections on the Catagorisation of Forcible Action at Sea in the
Light of Guyana/Suriname Award,” Journal of Conflict & Security Law
(2008),
Ronzitti, N. “The Right of Self-Defence at Sea and Its Impact on the
Law of NavalWarfare’, in D. S. Constantopoulos (ed.), The Law of the Sea
with Emphasis on the Mediterranean Issues, Thesaurus Acroasium Vol.
XVII (1991)
Schofield, Clive H. dan Chisom Udechukwu, “Bluring the
lines:maritime joint development and cooperative management of ocean
resurce”, University of Wollongong Research Online 2009. August 2012.

35
Schofield, Clive. Martin Tsamenyi and Mary Ann Palma, ‘Securing
Maritime Australia: Developments in Maritime Surveillance and Security’,
Ocean Development and International Law, 39 (1) (2008),

36
37
38
39
BAB II PEMERIKSAAN DOKUMEN

Berisi uraian dokumen-dokumen hukum yang terkait dan relevan


untuk diteliti sesuai dengan masalah hukum yang dikaji. Pada
umumnya dokumen hukum yang dimaksud berupa

bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan nasional


dan/atau internasional) dan
bahan hukum sekunder (rancangan peraturan perundang-
undangan, kontrak, dan putusan pengadilan yang belum memiliki
kekuatan hukum tetap).

- dokumen UNCLOS zee


- internasional colregs
- uu decree
- illegal fishing
- Piagam PBB use of force
- statuta penyelesaian sengketa internasional pca
- ITLOS
- forum asean
- Pasal 59 ayat (3) pada UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
- Pasal 69 ayat (4) dalam Undang-undang No 45 Tahun 2009
tentang Perikanan
- perjanjian zona landas kontinen vietnam indonesia

40
nasihat/ rekomendasi/ pemecahan masalah hukum
-pihak pihak terkait
-latar belakang peristiwa hukum
-perbuatan hukum/hubungan hukum = obyek penelitian
-mengirimkan nota protes
-sengketa wilayah laut natuna utara kasus-kasus lainnya
-indonesia dan vietnam sama2 menerapkan hukum nasionalnya
-belum ada perjanjian sebatas perjanjian landas kontinen
-cantumin sumber tni kemenlu
-penyelesaian di asean

41

Anda mungkin juga menyukai