BAB I
A. KASUS POSISI
1
Tjiptadi 381 tidak berwenang melakukan penangkapan. Lokasi kejadian
terletak di Laut Natuna Utara khususnya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
yang sama-sama diklaim, baik oleh Indonesia maupun Vietnam, karena
kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE.4
Gambar 2. Peta menggambarkan klaim Vietnam atas wilayah ZEE di Laut Natuna
Utara (sumber: Flanders Marine Institute (2018). Maritime Boundaries Geodatabase:
Vietnam Exclusive Economic Zones (200NM). http://www.marineregions.org/)
2
Vietnam. KRI Tjiptadi-381 meski demikian tetap dapat menangkap 12 anak
buah kapal (ABK) KIAV BD 979. Melalui kasus ini, terdapat tumpang tindih
penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dikarenakan belum
ada batas maritim yang jelas antara Indonesia dan Vietnam. Pakar hukum
internasional Prof. Dr. Hikmahanto Juwana mengatakan insiden yang
terjadi di wilayah Laut Natuna Utara itu karena terdapat klaim tumpang
tindih antara Indonesia dan Vietnam atas ZEE.5 Beliau menegaskan ZEE
bukan laut teritorial di mana berada di bawah kedaulatan negara. ZEE
merupakan laut lepas di mana negara pantai mempunyai hak berdaulat
(sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.
Hingga saat ini antar kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE
yang oleh karena itu, Nelayan Vietnam dapat menangkap di wilayah
tumpang tindih tersebut dan akan dianggap sebagai penangkapan secara
ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu
sejauh ini kedua negara terlihat untuk berhak melakukan patroli dan berhak
untuk menghalangi penegakan hukum oleh negara lain,
Peristiwa ditabraknya Kapal RI (KRI) oleh Kapal Vietnam sudah
terjadi 4 kali sejak awal tahun 2019. Hal ini diungkap oleh Menteri Kelautan
dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti. Berikut tanggal kejadian kapal
Vietnam menabrak KRI:6
- 19 Februari 2019
5 Insiden yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara itu karena adanya klaim
tumpang tindih antara Indonesia dan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE.,
http://law.ui.ac.id/, diakses 04/05/2019
6 KKP: Ada 4 Kapal Vietnam Ingin Tabrak Kapal RI Sepanjang 2019,
3
tetapi akhirnya 2 Kapal VFRS berhasil diusir dan 4 KIA Vietnam dikawal
menuju Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IV Tanjungpinang.
- 17 Maret 2019
7 Kemlu Panggil Duta Besar Vietnam pasca Insiden Kapal RI dan Vietnam,
https://www.voaindonesia.com, diakses 04/05/2019
8 Vietnam’s response to China’s militarised fishing fleet,
https://www.eastasiaforum.org, diakses 04/05/2019
9 Carlyle A. Thayer, Vietnam People's Army: Development and Modernization,
Research Monograph (Bandar Seri Begawan, Brunei: Sultan Haji Bolkiah Institute of
Defence and Strategic Studies, 2009), available at
4
Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung setahun kemudian
meratifikasi Plan 1902 untuk mengemudikan operasi pasukan pertahanan
diri maritim. Diperkirakan 8000 kapal dan 1,22 persen dari tenaga kerja
maritim Vietnam adalah anggota milisi perikanan. Milisi laut itu antara lain
terlibat membantu militer Vietnam mengepung anjungan minyak lepas
pantai milik Cina yang beroperasi di wilayah perbatasan pada 2014 silam.
Saat itu Presiden Truong Tan Sang diakabarkan mengirimkan surat yang
mendorong nelayan Vietnam untuk terlibat dalam penegakan kedaulatan di
Laut. Sebagai bentuk menjaga kedaulatan negara, Vietnam
memberlakukan militerisasi kepada armada nelayan miliknya. Hal ini cukup
beralasan karena negeri berpaham komunis itu juga tengah berseteru
dengan China soal wilayah di Laut China Selatan. Dilansir dari laman
dw.com, hal tersebut akhirnya mendorong pemerintah Vietnam
mengeluarkan Dekrit 67, yang berisi menyediakan jaminan kredit untuk
membangun kapal yang lebih besar bagi armada nelayan. Kebijakan itu
diharapkan bisa memperkuat klaim Vietnam atas Laut Cina Selatan yang
juga mencakup kawasan utara Natuna.10 Kebijakan tersebut diharapkan
bisa memperkuat klaim Vietnam atas Laut Cina Selatan yang juga
mencakup kawasan utara Natuna. Tak heran jika insiden tabrakan dengan
KRI Tjiptadi-381, merupakan buntut dari kepercayaan diri Vietnam atas
aturan yang dilegalkan oleh pemerintahannya.11
<https://pdfs.Semanticscholar.org/0d62/92f21fl9657ee86ef869a57ca9a2a4f29691.pdf>.
diakses 07/05/2019.
10 Decree no. 67 On a number of fisheries development policies
http://extwprlegs1.fao.org/docs/pdf/vie167846.pdf
11 KRI Tjiptadi 381 Ditabrak, Inilah Perbandingan Kekuatan Antara AL Indonesia
5
ini bertanggung jawab untuk berpatroli, memeriksa, mengendalikan,
mendeteksi dan menangani pelanggaran hukum dan melakukan inspeksi
perikanan di perairan yang berada di bawah yurisdiksi Vietnam. Badan ini
berkoordinasi dengan angkatan laut Vietnam, penjaga pantai Vietnam dan
angkatan pertahanan perbatasan Vietnam. Lembaga ini didirikan vietnam
menyusul agresi Cina di perbatasan laut antara kedua negara. VFRS antara
lain bertugas melindungi nelayan yang sering mengeluhkan serangan oleh
kapal penjaga pantai asing, antara lain memotong jaring atau merusak
kapal sehingga tidak bisa beroperasi. Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti
mengklaim VFRS berkoordinasi dengan militer Vietnam selama bertugas
dan diperkuat dengan 100 buah kapal patroli. Dia mengatakan lembaga ini
sudah pernah mencoba menghalangi upaya pengamanan TNI AL di Natuna
pada 19 Februari silam.
6
memang membutuhkan waktu yang lama, sebagaimana perundingan batas
landas kontinen dengan Vietnam yang berlangsung lebih dari 30 tahun,
sejak 1973 dan baru selesai tahun 2003.16
Klaim sepihak inilah yang selama ini dijadikan dasar definisi wilayah
dan yurisdiksi laut oleh RI. Hal tersebut menjadi acuan dalam pengelolaan
sektor perikanan tangkap, termasuk dalam penanganan illegal fishing.
Dalam praktek diplomasi, klaim sepihak lazim dilakukan oleh setiap negara,
agar negara lain (terutama yang berdekatan) mengetahui posisi negara
tersebut. Seperti halnya RI, Vietnam tentu juga memiliki klaim (sepihak)
terhadap batas ZEE yang berdekatan dengan Indonesia. Karena klaim
wilayah laut selalu diikuti oleh kehadiran kapal dari negara yang
berkepentingan, baik untuk misi patroli maupun aktivitas penangkapan ikan,
maka selama masih ada dispute klaim ZEE antar Vietnam dan RI, potensi
berulangnya kejadian seperti insiden KRI TPD-381 dan dua kapal Dinas
16 https://treaties.un.org/doc/publication/unts/no%20volume/part/i-44165.pdf,
diakses 04/05/2019
17 Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia, http://big.go.id/, diakses 04/05/2019
7
Perikanan Vietnam di Laut Natuna Utara (27 April 2019), akan tetap
terbuka.18 Indonesia dan Vietnam merupakan anggota organisasi regional
Asia Tenggara (ASEAN). Beberapa upaya pemerintah Indonesia sejauh ini
dalam penyelesaian sengketa Laut Natuna Utara masih ditempuh secara
regional. Sebagaimana forum yang bernama ASEAN Regional Forum
(ARF). ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum kerjasama
internasional yang beranggotakan berbagai negara yang telah menjalin
hubungan kerjasama multilateral bersama ASEAN untuk membahas
permasalahan mengenai isu keamanan dan perdamaian kawasan,
terutama di kawasan Asia Pasifik. ARF dalam melaksanakan fungsinya
untuk menyelesaikan suatu permasalahan keamanan dan juga meredakan
konflik dilakukan melalui dialog-dialog multilateral.19 Selain penyelesaian
sengketa secara regional, Pemerintah Indonesia berupaya melalui
penyelesaian sengketa secara internasional. Upaya-upaya tersebut seperti
diskusi-diskusi secara multilateral, pengajuan ke mahkamah internasional
Den Haag, patroli bersama, dan sebagainya. Selain itu, melalui jalur hukum
dapat ditempuh beberapa cara seperti Aribtrase, Penyelesaian yudisial,
Negosiasi, mediasi dan konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian di bawah
naungan organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa.
8
B. PERMASALAHAN HUKUM
9
BAB II
PEMERIKSAAN DOKUMEN
20
Kusumaatmadja Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung,
1978, hal.173.
10
undangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial atau
ketentuan Konvensi ini atau peraturan hukum internasional lainnya. Pasal
ini menyatakan bahwa :
“The flag State shall bear international responsibility for any loss or
damage to the coastal State resulting from the non-compliance by a
warship or other government ship operated for non-commercial purposes
with the laws and regulations of the coastal State concerning passage
through the territorial sea or with the provisions of this Convention or other
rules of international law.”
Dalam konteks insiden Indonesia dan Vietnam, telah jelas bahwa kapal
dinas perikanan Vietnam telah melanggar ketentuan ini dengan secara
sengaja menabrakkan kapalnya terhadap KRI Tjiptadi 381. Jika kapal
perang Indonesia rusak, sudah jelas Vietnam bertanggung jawab atas
timbulnya kerugian tersebut.
Pasal ini mengatur bahwa di wilayah ZEE negara pantai dapat menikmati
kedaulatan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan jurisdiksi, negara
ketiga atau bukan negara pantai dapat menikmati kebebasan navigasi,
kebebasan lintas kapal udara, dan penanaman kabel dan pipa di dasar
laut.21 Pasal ini menyatakan sebagai berikut :
11
“1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:
(a) sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting,
conserving and managing the natural resources, whether living or
non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the
seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the
economic exploitation and exploration of the zone, such as the
production of energy from the water, currents and winds;
(b) jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this
Convention with regard to:
(i) the establishment and use of artificial islands, installations and
structures;
(ii) marine scientific research;
(iii) the protection and preservation of the marine environment;
(c) other rights and duties provided for in this Convention.
2. In exercising its rights and performing its duties under this
Convention in the exclusive economic zone, the coastal State shall
have due regard to the rights and duties of other States and shall
act in a manner compatible with the provisions of this Convention.
3. The rights set out in this article with respect to the seabed and
subsoil shall be exercised in accordance with Part VI.”
Penegakan hukum oleh negara pantai atas ZEE diatur dalam pasal 73
UNCLOS 1982. Ayat 1 dalam pasal 73 tersebut menyebutkan bahwa
negara pantai bisa untuk mengambil tindakan-tindakan dalam melindungi
hak-haknya di ZEE seperti menghentikan, memeriksa, dan menangkap
kapal asing yang terbukti melakukan illegal Fishing.
“1. The coastal State may, in the exercise of its sovereign rights to
explore, exploit, conserve and manage the living resources in the
exclusive economic zone, take such measures, including boarding,
inspection, arrest and judicial proceedings, as may be necessary to
12
ensure compliance with the laws and regulations adopted by it in
conformity with this Convention.
2. Arrested vessels and their crews shall be promptly released upon the
posting of reasonable bond or other security.
3. Coastal State penalties for violations of fisheries laws and regulations
in the exclusive economic zone may not include imprisonment, in the
absence of agreements to the contrary by the States concerned, or
any other form of corporal punishment.
4. In cases of arrest or detention of foreign vessels the coastal State
shall promptly notify the flag State, through appropriate channels, of
the action taken and of any penalties subsequently imposed.”
“1. The delimitation of the exclusive economic zone between States with
opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis
of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the
International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution.
2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the
States concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.
3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States
concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make
every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature
and, during this transitional period, not to jeopardize or hamper the
reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without
prejudice to the final delimitation.
4. Where there is an agreement in force between the States concerned,
questions relating to the delimitation of the exclusive economic zone
shall be determined in accordance with the provisions of that
agreement.”
13
Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini mengatur
dalam mengharuskan dibuatnya provisional arrangement atau pengaturan
sementara di wilayah perairan yang belum disepakati batas ZEE-nya oleh
Pemerintah Indonesia dan Vietnam yakni di wilayah sengketa Laut Natuna
Utara.
“1. The hot pursuit of a foreign ship may be undertaken when the
competent authorities of the coastal State have good reason to
believe that the ship has violated the laws and regulations of that
State. ....
2. The right of hot pursuit shall apply mutatis mutandis to violations in
the exclusive economic zone or on the continental shelf, including
safety zones around continental shelf installations, of the laws and
regulations of the cable in accordance with this Convention to the
exclusive economic zone or the continental shelf, including such
safety zones.
4. Hot pursuit is not deemed to have begun unless the pursuing ship
has satisfied itself by such practicable means as may be available
that the ship pursued or one of its boats or other craft working as a
team and using the ship pursued as a mother ship is within the limits
of the territorial sea, or, as the case may be, within the contiguous
zone or the exclusive economic zone or above the continental shelf.
The pursuit may only be commenced after a visual or auditory signal
to stop has been given at a distance which enables it to be seen or
heard by the foreign ship.
5. The right of hot pursuit may be exercised only by warships or military
aircraft, or other ships or aircraft clearly marked and identifiable as
being on government service and authorized to that effect....,
7. The release of a ship arrested within the jurisdiction of a State and
escorted to a port of that State for the purposes of an inquiry before
14
the competent authorities may not be claimed solely on the ground
that the ship, in the course of its voyage, was escorted across a
portion of the exclusive economic zone or the high seas, if the
circumstances rendered this necessary.
8. Where a ship has been stopped or arrested outside the territorial sea
in circumstances which do not justify the exercise of the right of hot
pursuit, it shall be compensated for any loss or damage that may
have been thereby sustained.
Pasal ini mengatur dalam hal menyediakan empat forum yang dapat
dipilih oleh pemerintah Indonesia dan Vietnam untuk menyelesaikan
sengketa dalam kasus tersebut diatas. Terutama mengenai ganti rugi atas
tindakan penabrakan kapal pengawas perikanan Vietnam terhadap kapal
perang Indonesia serta kesepakatan terkait delimitasi wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif di Laut Natuna Utara, yakni:
“In exercising their rights and performing their duties under this
Convention, States Parties shall refrain from any threat or use of force
15
against the territorial integrity or political independence of any State, or in
any other manner inconsistent with the principles of international law
embodied in the Charter of the United Nations.”
16
1. Pasal 2 ayat 3 – Tujuan dan Prinsip
(Nicaragua v. United States of America) (Jurisdiction of the Court and Admissibility of the
Application) [1984] ICJ Rep 392 Archived 1 March 2015 at the Wayback Machine
17
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945 karena alasan yang
baik yakni untuk mencegah negara menggunakan kekuatan karena sifat
kecenderungannya untuk dilakukan.26
“All Members shall refrain in their international relations from the threat
or use of force against the territorial integrity or political independence of
any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the
United Nations.”
Toward a War of Aggression on Iraq" "Archived copy". Archived from the original on 7 April
2003. Diakses 22/05/2019
27
http://www.imo.org/en/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/COLREG.a
spx, diakses 22/05/2019
28 Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Binacipta,
1972 (COLREGs) Archived 14 October 2009 at the Portuguese Web Archive, from the IMO
(The International Maritime Organisation). Retrieved 13 February 2006.
18
disebut Convention on the International Regulations for Preventing
Collisions at Sea.
Aturan ini mengatur bahwa sebuah kapal yang, dengan salah satu dari
aturan ini, diharuskan untuk tidak menghalangi jalannya kapal atau
melewati jalan yang aman dari kapal lain, jika dipersyaratkan oleh keadaan
kasus ini, mengambil tindakan dini untuk memungkinkan ruang laut yang
cukup untuk jalan lintas yang aman dari kapal lainnya.30 Dalam kaitannya
dengan kasus yang penulis angkat, Pasal ini mengatur kewajiban negara
pantai dalam penggunaan kapal untuk menghindari tabrakan di laut dan
melewati jalan yang aman, sebagaimana Tindakan kapal pengawas
perikanan Vietnam (VFRS) yang dengan sengaja menabrak kapal perang
KRI-Tjiptadi 381 di wilayah sengketa Laut Natuna Utara.
19
menegakan hukum nasionalnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang
belum ditetapkan perbatasan maritimnya antara kedua negara.
20
penyelamatan; berpartisipasi dalam melindungi kedaulatan, hak kedaulatan
dan yurisdiksi negara sesuai dengan hukum perairan. Dalam kaitannya
dengan kasus yang penulis angkat, Tindakan kapal pengawas perikanan
Vietnam (VFRS) yang dengan sengaja menabrak kapal perang KRI-Tjiptadi
381 di wilayah sengketa Laut Natuna Utara merupakan suatu bentuk
penegakan hukum nasional Vietnam dimana dekrit ini mendasari
dilakukannya tindakan tersebut melalui pembentuk pasukan pengawas
perikanan Vietnam.
Dalam insiden HD-981 di tahun 2014, terjadi konflik antara China dan
Vietnam, dimana sebuah rig minyak laut dalam China pindah ke zona
ekonomi eksklusif Vietnam dan puluhan kapal kayu Vietnam mengelilingi
daerah itu untuk membantu penjaga pantai dalam konflik tersebut.
Meskipun tidak ada panggilan resmi dari pemerintah, surat dorongan oleh
presiden saat itu Truong Tan Sang dan panggilan dari Perhimpunan
Perikanan Vietnam yang disponsori negara bagi para nelayan untuk
berlayar ke perairan yang disengketakan menyiratkan bahwa Hanoi secara
implisit memasukkan kapal-kapal sipil ke dalam aktivias perlindungan-
kedaulatan. Menyusul insiden HD-981, para pembuat kebijakan Vietnam
bersedia untuk melakukan lebih banyak sumber daya untuk memperkuat
armada penangkapan ikan mereka yang sebagian besar sudah ketinggalan
zaman. Dua bulan setelah kebuntuan, Hanoi mengeluarkan Dekrit 67, yang
bertujuan untuk mendukung para nelayan membangun kapal-kapal baja
yang lebih besar dan lebih modern yang mampu menahan cuaca buruk dan
ancaman dari kapal-kapal Tiongkok dan menjelajah lebih jauh ke daerah-
daerah yang diperebutkan.34
Pasal ini mengatur mengenai tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh
Kementerian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan mempelajari dan
menyelidiki sumber daya perairan, meramalkan daerah penangkapan ikan
dan merencanakan pengembangan kapal penangkap ikan dalam kaitannya
dengan sumber daya perairan, kelompok perdagangan ikan dan daerah
penangkapan ikan dan beri tahu rencana tersebut ke daerah-daerah untuk
34
Priit Ojamaa, Research for PECH Committee – Fisheries in Vietnam,
http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2018/629175/IPOL_STU(2018)62
9175_EN.pdf, diakses 22/05/2019
21
diimplementasikan. Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis angkat,
Tindakan kapal pengawas perikanan Vietnam (VFRS) yang dengan
sengaja menabrak kapal perang KRI-Tjiptadi 381 di wilayah sengketa Laut
Natuna Utara Sebagai bentuk menjaga kedaulatan negara, Vietnam
memberlakukan militerisasi kepada armada nelayan miliknya. Hal ini cukup
beralasan karena negeri berpaham komunis itu juga tengah berseteru
dengan China soal wilayah di Laut China Selatan. Hal tersebut akhirnya
mendorong pemerintah Vietnam mengeluarkan Dekrit 67, yang berisi
menyediakan jaminan kredit untuk membangun kapal yang lebih besar bagi
armada nelayan.
1. Pasal 69
“(1) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan
dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
(2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat dilengkapi dengan senjata api.
(3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa,
membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga
melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan
lebih lanjut.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan
khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
22
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.”
Dalam penegakan hukum nasional Indonesia TNI AL, Polisi Air, Kapal
Pengawas Perikanan (di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan),
sampai Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (di bawah Kementerian
Perhubungan), turut bekerjasama dalam penegakan hukum mengenai
Illegal Fishing di wilayah laut teritori Indonesia. Tindakan Tegas
penangkapan dan penenggelaman terhadap kapal asing pelaku Illegal
Fishing sebagaimana menurut pemerintah Indonesia, telah dilakukan oleh
kapal nelayan Vietnam di Laut Natuna Utara, merupakan berdasarkan
ketentuan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Perikanan,
bertujuan untuk menunjukkan ketegasan dan kewibawaan pemerintah
Indonesia dalam melindungi kedaulatan wilayah dan hasil alam yang
dimilikinya, serta menimbulkan efek jera kepada pihak asing pelaku Illegal
Fishing. 35
23
Tetap Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan Di Wilayah Laut
Yurisdiksi Nasional Oleh TNI Angkatan Laut. Perkasal tersebut bertujuan
untuk memberikan keseragaman dan kepastian hukum bagi penyidik TNI
Angkatan Laut dalam menangani tindak pidana di laut secara profesional
dan proporsional sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional dan
Hukum Nasional, Pedoman tersebut tidak saja dipedomani pada saat
melaksanakan tugas di perairan Indonesia tetapi walaupun berada di
wilayah perbatasan selama terkait dengan penegakan hukum harus
berpedoman pada ketentuan Hukum Laut Internasional dan Hukum
nasional.36 TNI AL (KRI) meskipun secara hukum nasional, ketentuan dan
kewenangan untuk memusnahkan kapal ikan asing dengan cara
ditenggelamkan telah diatur prosedur dan mekanismenya, namun dalam
implementasinya agar para Komandan KRI mencermati dan
mempertimbangkan berbagai faktor baik faktor yuridis, teknis maupun
tanggungjawab komando. Salah satunya Faktor yuridis, tindakan
kekerasan terhadap kapal ikan asing pada saat pemeriksaan di laut.
Pada tahun 1942, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari
Inggris menyatakan kesepakatan untuk mengaktifkan dan membentuk
kembali suatu mahkamah internasional. Pada tahun 1943 pemerintah
Inggris mengambil inisiatif dengan mengundang para ahli London untuk
mengkaji masalah tersebut yaitu Inter-Allied Committee yang dipimpin oleh
Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil mengeluarkan
laporannya pada tanggal 10 Februari 1944 yang memuat beberapa
rekomendasi diantaranya, bahwa perlu dibentuk suatu Mahkamah
Internasional baru dengan statute yang berlandaskan Statuta PCIJ, bahwa
mahkamah baru tersebut harus memiliki yurisdiksi untuk memberikan
nasehat, dan bahwa mahkamah baru tersebut tidak boleh memiliki
yurisdiksi memaksa (cumpolsory jurisdiction). Setelah berbagai pertemuan
dan pembahasan mengenai pembentukan suatu mahkamah baru, akhirnya
dicapailah kesepakatan pada Konferensi San Fransisco pada tahun 1945
yang memutuskan bahwa akan dibentuk suatu badan Mahkamah
Internasional baru dan badan ini merupakan badan utama PBB.37
36 Kolonel Laut (KH) Sudardi, Peranan TNI Angkatan Laut Dalam penegakan Hukum di
WIlayah Perbatasan Laut Indonesia, Jurnal Lex Librum, Vol. 1, No.1, Desember 2011
37 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,
hal. 67.
24
“Jurisdiksi Mahkamah meliputi semua perkara yang diajukan pihak-
pihak yang bersengketa kepadanya dan semua hal, terutama yang
terdapat dalam Piagam PBB atau dalam perjanjian-perjanjian dan
konvensi-konvensi yang berlaku.”
1. Pasal 21 - Yurisdiksi
Yurisdiksi Tribunal terdiri dari semua sengketa dan semua aplikasi yang
diajukan kepadanya sesuai dengan Konvensi ini dan semua hal yang
secara khusus diatur dalam perjanjian lain yang memberikan yurisdiksi
pada Tribunal. Dalam kasus tersebut diatas, terdapat permasalah hukum
khususnya mengenai klaim tumpang tindih Zona Ekonomi Eksklusif dan
penegakan hukum nasional di wilayah teritori Laut Natuna Utara yang saat
ini masih dipersengketakan oleh Indonesia dan Vietnam
25
2. Pasal 22 - Referensi perselisihan yang tunduk pada perjanjian
lain.
39 http://cil.nus.edu.sg/wp/wp-content/uploads/2010/01/ WalterWoon-Dispute-
Settlement-the-ASEAN-Way-2012.pdf, diakses pada tanggal 9 Mei 2014.
26
sebuah ancaman ataupun penggunaan kekuatan serta harus
memprioritaskan penyelesaian sengketa melalui negosiasi damai
(“the High Contracting Parties shall have the determination and good
faith to prevent disputes from arising. In case of disputes on matters
directly affecting them, they shall refrain from the threat or use of
force and shall at all times settle such disputes among themselves
through friendly negotiations”).
c. Pasal 14 dari TAC berisikan mekanisme penyelesaian sengketa
selanjutnya melalui pengawasan High Council yang terdiri dari satu
perwakilan tingkat menteri dari masingmasing negara anggota yang
berjumlah 10 negara anggota bersama dengan negara-negara
nonASEAN yang terlibat langsung dalam sengketa. Apabila cara
friendly negotiation yang dilakukan tidak mendatangkan hasil positif,
High Council dapat merekomendasikan kepada pihak yang
bersengketa sebuah penyelesaian melalui jasa baik (good offices),
mediasi, inquiry or conciliation (Pasal 15).
d. Pasal 16 menyatakan bahwa apabila melalui friendly negotiation
tidak berhasil, mereka bisa menyerahkan sengketa ke High Council
untuk dibicarakan didalamnya, yang memungkinkan untuk
menyertakan negara nonASEAN yang terikat pada TAC namun tidak
terlibat dalam sengketa terkait.
e. Pasal 17 menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa setelah
melalui tahapan perundingan di atas bisa merujuk pada pasal 33 ayat
1 Piagam PBB, yaitu menyerahkan penyelesaian sengketa menurut
cara yang diatur dalam Piagam PBB.
27
penyelesaian sengketa melalui jasa-jasa baik (good offices), mediasi,
konsiliasi.
c. Mekanisme melalui arbitrase bisa dipakai oleh pihak yang
bersengketa apabila mekanisme sebelumnya tidak berhasil. Hal ini
termaktub dalam pasal 25.
d. Pasal 27 menegaskan mekanisme penyelesaian sengketa dibawa ke
KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN sebagaimana tertera dalam
ayat 1 yang berbunyi: “The Secretary-General of ASEAN, assisted by
the ASEAN Secretariat or any other designated ASEAN body, shall
monitor the compliance with the findings, recommendations or
decisions resulting from an ASEAN dispute settlement mechanism,
and submit a report to the ASEAN Summit. “
e. Selanjutnya, para pihak yang bersengketa bisa memutuskan secara
bersama untuk melanjutkan penyelesaian sengketa ke tingkat yang
lebih tinggi yaitu menggunakan mekanisme yang tertera dalam
Piagam PBB Bab IV pasal 33 ayat1. Ketentuan itu berbunyi:
f. “The parties to any dispute, the continuance of which is likely to
endanger the maintenance of international peace and security, shall,
first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies
or arrangements, or other peaceful means of their own choice (ayat
1), The Security Council shall, when it deems necessary, call upon the
parties to settle their dispute by such means. “ (ayat 2)
28
penting untuk kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
sebagai perwujudan Wawasan Nusantara.
29
mempunyai fungsi sebagai penegasan kepemilikan pulau-pulau terluar
Republik Indonesia karena Indonesia menggunakan pulau-pulau terluar
tersebut sebagai penentuan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif,
dan landas kontinen Indonesia. Yang dimaksud dengan pulau-pulau terluar
adalah pulau-pulau terdepan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
30
berakhir pada 26 Juni 2003 ketika Menteri Luar Negeri kedua negara
menandatangani Perjanjian Penetapan Batas Landas Kontinen di Hanoi,
Vietnam. Penandatanganan ini disaksikan oleh Presiden Republik
Indonesia, Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Republik Sosialis
Vietnam, Tran Duc Luong. Rangkaian perundingan tersebut ditempuh
melalui putaran perundingan formal (1978--1991) dan pertemuan informal
pada tingkat teknis (1994--2003). Perundingan informal pada tingkat teknis
dimaksudkan agar pembicaraan kedua tim perunding dapat dilakukan
secara lebih terbuka. Upaya penyelesaian penetapan batas landas
kontinen antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam juga
dilakukan dalam berbagai kesempatan pertemuan tingkat kepala
pemerintahan, tingkat menteri, dan tingkat teknis. Guna memfasilitasi
perundingan, beberapa kali dilakukan pembahasan teknis di antara para
pejabat pemetaan kedua negara untuk penggambaran titik-titik dasar bagi
penarikan klaim wilayah maritim kedua pihak.
31
3. Pokok-Pokok Isi Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam tentang
Penetapan Batas Landas Kontinen.
32
M. Yurisprudensi Terkait
40 Award in the arbitration regarding the delimitation of the maritime boundary between
Guyana and Suriname , http://legal.un.org/riaa/cases/vol_XXX/1-144.pdf.
41 Guyana v. Suriname, 2000 https://pca-cpa.org/en/cases/9/
33
DAFTAR PUSTAKA
Buku
34
Shaw, Malcolm N., International Law, New York, Cambridge
University. Press, 2008.
Jurnal
35
Schofield, Clive. Martin Tsamenyi and Mary Ann Palma, ‘Securing
Maritime Australia: Developments in Maritime Surveillance and Security’,
Ocean Development and International Law, 39 (1) (2008),
36
37
38
39
BAB II PEMERIKSAAN DOKUMEN
40
nasihat/ rekomendasi/ pemecahan masalah hukum
-pihak pihak terkait
-latar belakang peristiwa hukum
-perbuatan hukum/hubungan hukum = obyek penelitian
-mengirimkan nota protes
-sengketa wilayah laut natuna utara kasus-kasus lainnya
-indonesia dan vietnam sama2 menerapkan hukum nasionalnya
-belum ada perjanjian sebatas perjanjian landas kontinen
-cantumin sumber tni kemenlu
-penyelesaian di asean
41