Anda di halaman 1dari 17

PERBANDINGAN PRINSIP HARDSHIP DAN FORCE MAJEURE DALAM

UNIDROIT 2010
A. Hardship
1. Definisi Hardship
Hardship sebagai sebuah pranata hukum sebenarnya bukanlah hal yang baru di dalam
sistem Common Law. Di dalam publikasi International Chamber of Commerce (ICC)[1].
diberikan bentuk model klausula hardship di dalam kontrak bisnis dan juga perbedaannya dengan
pranata force majeure yang lebih dahulu dikenal di dalam sistem hukum kita[2].
ICC menyebutkan bahwa :
Hardship may be invoked by one of the parties if the occurrence of events not contemplated by
the parties fundamentally alters the equilibrium of the contract thereby placing an excessive
burden on the party invoking the clause, in the performance of his contractual obligations
Dengan perkataan lain, hardship akan diterapkan jika terjadi peristiwa tidak diatur oleh
para pihak yang mengakibatkan mengubah keseimbangan secara mendasar di dalam kontrak
sehingga menempatkan beban yang berlebihan pada salah satu pihak dalam pelaksanaan
kewajiban kontraktualnya.
Pengertian Hardship menurut pasal 6.2.2 UNIDROIT PRINCIPLES yaitu peristiwa yang
secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya
pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi para penerima
sangat menurun, sementara itu :
a.

Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan oh kontrak.

b. Perisstiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat
penutupan kontrak.
c.

Peristiwa terjadi diluar kontrol dari pihak yang dirugikan.

d. Resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.
2. Contoh kasus dari kontrak Hardship
Kasus jual beli besi krum ini bermula ketika Nouva Fucinati S.P.A (penjual) menolak
untuk melaksanakan kontraknya dikarenakan naiknya harga besi krum dipasar internasional,

sehingga membuat penjual sangat berat melaksanakan kontrak yang telah disepakati sebelumnya.
Sebab dalam klausa kontrak antara Nouva Fucinati S.P.A (penjual) dan Fondmetall International
A.B (pembeli) tidak ada satu klausa pun yang mengatur mengenai pelaksanaaan kontrak apabila
terjadi perubahaan keadaan yang dalam hal ini kenaikan harga besi krum dipasar internasional.
Para pihak tidak menemukan jalan keluar mengenai pelaksanaan kokontrak sehingga
penjual meminta pengadilan dan menuntut kepada pengadilan italia atas kejadian. Dalam
tuntutannya penjual meminta memutuskan agar kontrak dengan alsan suspending excessive
onerous. Alasan excessive onerous merupakan alsan yang sama dengan Hardship.
Namun dalam putusannya hakim berpendapat bahwa perubahan keadaan yang terjadi
dalam pelaksanaan kontrak tidak membuat penjual terlepas dari kewajibannya. Hakim
memutuskan untuk mematalkan kontrak dengan pembayaran ganti rugi.
Kasus Nouva Fucinati S.P.A Vs Fondmetall International A.B tanggal 14 januari 1993
yang diselesaikan dipengadilan italia dengan gambaran kasus seperti ini.
a.

Identifikasi kasus
Tanggal keputusan

: 14 januari 1993

Jurisdiksi

: Italia

Nama Kasus

: Nouva Fucinati S.p.A. V. Fondmetall International A.B.

Negara Penjual

: Italia (penggugat)

Negara Pembeli

: Swedia (Tergugat)

Barang

: Besi Krom (ferrochrome)

Pengaplikasikan pasal : Pasal 1(1) (a),(b), Pasal 14 dan Pasal 79.


Deskripsi Kasus

: Aplikasi, Pilihan Hukum, Ruang Lingkup Konvensi

Pengecualian Halangan Hardship.


b.

Latar Belakang

Para pihak Nouva Fucinatai adalaha Seorang penjual dari Italia, FondmetallInternational adalah
seorang pembeli dari swedia.

Pada tanggal 13 November 1988, kedua belah pihak menyetujui kontrak pembelian besi krum
sebanyak 1000 ton dengan harga 545 lira

Didalam kontrak tersebut diatur juga diatur mengenai pengiriman besi krum yang
memperbolehkan pembeli untuk membeli untuk memilih tanggal pengiriman pada tanggal 20
maret 1988 dan 10 april 1988.

Pada tanggal pengiriman barang dipilih oleh pembeli tanpa diperkirakan harga besi krum
Lumpy di pasar internasional naik sebesar 43,71 %. Sedangkan di dalam kontrak tidak di atur
sama sekali mengenai perubahan keadaan seperti ini dalam kontrak juga tidak mengatur
mengenai pembebasan kewajiban jika terjadi force majeure.

1 Maret 1990, pada saat proses di Pengadilan, Penjual berargumen bahwa putusan pengadilan
seharusnya di cabut dan kontrak seharusnya dibatalkan karena adanya suatuhambatan yang
memberatkan penjaul untuk melaksanakan kontrak yang disebabkan oleh kenaikan harga pasar.

Pembeli menentang argumen mengenai pembatalan kontrak yang diinginkan oleh Penjual
dengan alasan adanya keadaan yang memberatkan Penjual. Selanjutnya, pembeli meminta ganti
kerugian atas tidak dilaksanakannya kontrak oleh Penjual. Pembeli juga berargumen bahwa salah
satu isi dari Pasal 79 CISG memdahului pernyataan yang mengatur supervening excessive
onerousness atau tidak ada supervening excessive onerousness dalam kasus ini.

c.

Putusan Pengadilan
Dalam memutuskan perkara ini, pengadilan menjelaskan dengan dibagi menjadi tiga
bagian. Pertama, mengangkat putusan pengadilan melawan penjual pada tanggal 20 Juli 1988.
Kedua, membatalkan kontrak atas tidak dilaksanakannya kontrak oelh penjual. Dan yang terakhir
yaitu, menolak permohonan penjual atas pemutusan kontrak dengan alasan supervening
excessive onerousness dan tidak dilaksanakan kontrak dengan beberapa pertimbangan antara lain
:

Permohonan pembatalan kontrak yang dimohonkan oleh pembeli, pengadilan menyimpulkan


bahwa Penjual tidak berhak untuk dibebaskan dari kewajibannya da di dalam kontrak.
Selanjutnya, pengadilan berpendapat bahwa pasal 79 CISG 1980 tidak akan membebaskan salah
satu pihak dari kewajibannya jika pelaksanaan kontraknya tidak mungkin. Pengadilan juga yakin
dengan bukti dari Penjual bahwa meningkatnya harga pasar internasional besi krum dapat alasan
tersebut, pengadilan memutuskan kasus ini.

Walaupun pengadilan dihadapkan pada kasus dan dasar dalam konvensi ini dengan kuat pada
saat isu diangkat. Tetapi pada akhirnya, pengadilan memutuskan untuk tidak menggunakan CISG
1980 dan menggunakan hukum italia dalam memutuskan perkara ini. Pengadilan tetap mengkaji
isu yang ada dalam konvensi ini dengan detail dan menyimpulkan jika pasal 79 diterapkan dalam
kasus ini, maka menetapkan kewajiban menjadi tidak mungkin dilaksanakan oleh hambatan

yang sangat berat dan hal tersebut tidak membuat penggantian rugi atas pemutusan kontrak
yang disebabkan oleh keadaan yang sangat memberatkan.

Perbedaan antara pelaksanaan kontreak yang tidak mungkin dan pelaksanaan kontrak yang
sangat memberatkan adalah hal yang sangat penting bagi pengadilan untuk
mempertimbangkan kasus ini karena kedua perbedaan tersebut memiliki peranan penting dalam
menentukan struktur yang ada pada Italian Civil code. Berdasarkan Italian Civil code,
kontrakdapat diputuskan ketika pelaksanaannya tidak mungkin karena hambatan yang sangat
berat yang tidak dapat diperkirakan oleh para pihak. Sebaliknya pasal 1467 Italian Civil code
menentukan kasus pemutusan kontrak dengan alasan sangat memberatkan untuk melaksanakan,
maka setidaknya kontrak tersebutdilanjutkan atau dilaksanakandengan pelaksanaan yang
berbeda atau jangkawaktu tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghormati
kontrak yang telah disetujui oleh para pihak

Pengadilan sangat memaksakan dikotomi Italian Civil code pada CISG 1980. Analisa
pengadilan menjadi tertanggu sejak berlakunya hukum negara itali pada kasus ini karena
pengadilan menggunakan pasal 70 pada saat pertama kali masuk ini masuk untuk
mengintrepertasikan hambatan dalam pelaksanaan.

Dengan diilhami oleh CISG 1980 pengadilan mendapat acuan dalam memutuskan kasus ini.
Dengan kata lain, walaupun pengadilan tidak memberlakukan CISG dalam kasus ini, tetapi dapat
melihat penentuan keadaan hambatan pada pasal 79 sebagai arti dari imposible seperti yang
terdapat dalam civil code digunakan dalam kasus ini maka dapat diputuskan kasus ini
berdasarkan standar excessive onerousness. Hal ini diniklai sangat penting karena putusan yang
diambil oleh pengadilan berdasarkan hukum nasional dengan dibantu interpretasi oleh CISG
yang lebih ketat.

B. FORCE MAJEURE
1. Definisi
Keadaan memaksa (force majeure/overmacht) merupakan suatu ketentuan yang tidak
begitu banyak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Jika ditemukan atau diatur,
seringkali hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan peraturan tersebut, misalnya ditempatkan
pada bagian ayat atau sub-ayat dari suatu pasal. Sebagai contoh, dalam KUH Perdata hanya dua
pasal yang mengatur tentang force majeure, yaitu Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata.

Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa force majeure adalah suatu keadaan
di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan karena hal-hal yang sama sekali tidak dapat
diduga, dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di
luar dugaan tersebut.
Selain diatur di dalam KUH Perdata di atas, pengertian force majeure tidak luput dari
perhatian para ahli hukum. R. Subekti berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah keadaan di
luar kekuasaan debitur yang tidak dapat diketahui pada waktu kontrak itu dibuat. Ia tidak dapat
dikatakan salah atau alpha sehingga orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi[3].
Kejadian tak terduga tersebut, menurut Sri Soedewi M. Sofwan, dapat dijadikan dasar keadaan
memaksa jika orang yang berpikiran sehat tidak dapat memperhitungkannya[4]
Sedangkan pengertian yang diberikan oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tidak jauh
berbeda memberikan pengertian tentang force majeure dalam KUH Perdata maupun pendapat
para ahli. Keadaan memaksa dilihat sebagai keadaan yang diakibatkan malapetaka yang secara
patut tidak dapat dicegah oleh pihak yang berprestasi (Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983).
Force majeure telah menutup kemungkinan-kemungkinan atau alternatif lain bagi pihak yang
terkena force majeure untuk memenuhi kontrak (Putusan MA RI No. 24 K/Sip/1958)
Rezim hukum force majeure dapat juga dilihat di dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang Diperbaharui-NBW) Belanda tahun 1992[5].
Walau tidak menyebutkan dengan tegas pengertian dan istilah force majeure, namun NBW
berpendirian bahwa setiap kelalaian pemenuhan kewajiban kontraktual dari debitur akan
ditanggung olehnya, kecuali hal tersebut bukan kesalahannya. Dengan demikian, sesuatu yang
berada di luar kesalahan debitur bukan berada di bawah tanggung jawabnya[6].
Pengertian force majeure juga bisa diperoleh dari peraturan perundang-undangan.
Namun, tidak semua ketentuan perundangundangan yang mengatur force majeure memberikan
pengertian force majeure. Peraturan perundang-undangan yang mengatur force majeure dengan
memberikan pengertian force majeure, di antaranya adalah peraturan mengenai Jasa Konstruksi,
Pengadaan Barang dan Jasa, Perbankan, dan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan. Hanya saja,
ketentuan force majeure dalam peraturan Perbankan dan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak
terkait dengan perjanjian atau kontrak.
Dalam peraturan Jasa Konstruksi dan peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, pembentuk
peraturan mewajibkan para pihak untuk memasukkan klausul force majeure. Dalam peraturan

Jasa Konstruksi, force majeure diartikan sebagai suatu kejadian yang timbul di luar kemauan dan
kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam peraturan
Pengadaan Barang dan Jasa, force majeure disebut keadaan kahar, artinya suatu keadaan yang
terjadi di luar kehendak para pihak sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi
tidak dapat dipenuhi.
Prinsip penting force majeure atau keadaan memaksa (juga kadang disebut keadaan
kahar) termuat dalam pasal 7.1.7 prinsip UNIDROIT. Bunyi pengarturan artikel tersebut adalah
rumusan yang umum, termasuk dalam hukum nasional kita. Rumusan tersebut adalah:
1. Peristiwa yang menyebabkan force majeure merupakan peristiwa di luar kemampuannya.
2. Adanya peristiwa tersebut mewajibkan pihak yang mengalaminya untuk memberitahukan pihak
lainnya mengenai telah terjadinya force majeure[7].
Prinsip ini penting mengingat peristiwa yang terjadi di kemudian hari yang berada di luar
control (kendali) para pihak dapat setiap saat terjadi. Prinsip ini sebenarnya lebih banyak
menggunakan prinsip yang dikenal dalamk konsep hukum kontinental. Di Negara- Negara
common law dikenal pula doktrin frustration dan doktrin impossibility of performance. Namun
perencanaan UNIDROIT menetapkan penggunaan istilah force majeure karena kontrak
internasional umumnya sudah lazim menggunakan istilah ini.
Dalam komentar prinsip UNIDROIT, tidak dijelaskan pengertian atau perbedaan secara
tegas masing- masing doktrin, termasuk di dalamnya adalah pengertian doktrin hardship serta
perbedaannya dengan force majeure. Jalan keluar yang dilakukan adalah menerapkan prinsip
hukum perdata internasional yaitu dengan menerapkan suatu prinsip yang disebut dengan renvoi.
Menurut prinsip renvio, sesuatu hal yang perlu kepastian tentang status hukum tertentu, maka hal
tersebut dikembalikan pada system hukum yang mangaturnya[8].
Sebenarnya yang jauh lebih penting dari sekedar pengertian atau perbedaan pengertian
dari istilah- istilah ini adalah definisi atau batasan istilah yang menyebabkan tidak dapat
mengakibatkan dilaksanakannya suatu peristiwa.
2. Unsur-Unsur Force majeure
Dari pengertian force majeure sebagaimana diuraikan di atas, serta dalam beberapa
kontrak, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur force majeure antara lain
a.

terjadinya keadaan kejadian di luar kemauan, kemampuan atau kendali para pihak;

b. menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak;


c.

terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak


dilaksanakannya prestasipara pihak;

d. para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut
e.

kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.

3. Contoh Kasus Kontrak Internasional Yang Force Majeure.


Globex adalah suatu perusahaan Amerika yang menjual produk-produk makanan ke
seluruh dunia. Globex telah dikontrak untuk menjual Macromex, sebuah perusahaan di Rumania,
dalam kontrak tersebut, Globex harus mengirimkan 112 kontainer ayam ke Rumania. Kontrak
tersebut diatur dalam ketentuan CISG. Dalam kontrak tersebut Globex menyebutkan bahwa
pengiriman terakhir dilakukan pada 29 Mei 2006. Namun pada tanggal 2 Juni 2006 terjadi
kegagalan dalam mengirim 62 kontainer ayam ke Rumania.
Pada tanggal 2 Juni 2006, pemerintah Rumania mendeklarasikan tanpa memberitahu
terlebih dulu kepada Globex bahwa sampai pada tanggal 7 Juni 2006, tidak ada ayam yang dapat
diimpor ke Rumania kecuali apabila ada pengesahan pada tanggal terakhir yang telah ditentukan.
Antara tanggal pengumuman tersebut dibuat sampai pada tanggal 7 Juni 2996 Globex bergegas
untuk mengirimkan 20 kontainer dari sisa 62 kontainer yang telah dikontrak untuk dijual. Pada
tanggal 7 Juni 2006 sisa 42 kontainer ayam tidak dapat dikirim ke Rumania dikarenakan suatu
peraturan pemerintah. Marcomex kemudian membawa perkara ini ke proses arbitrase dengan
dasar bahwa Globex telah melakukan suatu pelanggaran kontrak, dan meminta ganti rugi sebesar
$608,323,00.
Atas pengajuan arbitrase Macromex terhadap Globex tersebut, Globex kemudian
mengajukan argumennya, Globex mengajukan argumennya bahwa kegagalan pengiriman
tersebut terjadi karena adanya force majeure. Globex beragumen bahwa penundaan pengiriman
tersebut tidak sesuai dengan standar umum. Larangan tersebut tidak dapat diadaptasi oleh pihak
Globex karena tidak ada peringatan terlebih dahulu, larangan tersebut benar-benar memblocking
Globex dalam pengiriman sisa ayam ke Macromex.
Arbitrase memutuskan bahwa penundaaan pengiriman tersebut bukan merupakan suatu
pelanggaran yang fundamental karena larangan untuk mengimpor ayam ke Rumania tidak efektif
membuat pengiriman tidak terlaksana. Sesuai dengan keberadaan Pasal 79 CISG dimana

meminta dimasukkan dalam keadaaan force majeure sesuai dengan pasal tersebut yang dipakai
sebagai dasar interpretasi oleh arbitrator. Kemudian arbitrase mencatat bahwa selain Amerika
sebagai supplier Macromex yang menyetujui secara lebih tidak terkait secara langsung oleh
larangan impor. Yang seharusnya Globex dapat mengambil keuntungan dari meningkatnya nilai
jual ayam di pasar sesuai dengan keadaan.
Rusaknya harga pasar di Rumania dikarenakan tidak terkirimnya ayam senilai
$606,323,00 yang menyebabkan kerugian pihak Macromex. Arbitrator membebankan semua
biaya untuk proses arbitrse dan biaya pengacara kepada Globex sehingga total putusan sebesar
$876,310,58.
Kasus kontrak antara Macromex Vs Globex Pada tanggal 7 Juni 2006 yang diselesaikan
dipengadilan arbitrase dengan gambaran kasus seperti ini.
a.

Identifikasi kasus
Tanggal keputusan

: 7 Juni 2006

Nama Kasus

: antara Macromex Vs Globex

Negara Penjual

: Amerika (penggugat)

Negara Pembeli

: Rumania (Tergugat)

Barang

: Ayam Potong (ferrochrome)

Pengaplikasikan pasal : Pasal 1(1) (a),(b), Pasal 14 dan Pasal 79.


Deskripsi Kasus

: Aplikasi, Pilihan Hukum, Ruang Lingkup Konvensi Force majeure,

b. Latar Belakang

Para pihak Macromex adalaha Seorang penjual dari Amerika, Globex adalah seorang pembeli
dari swedia.

Globex adalah suatu perusahaan Amerika yang menjual produk-produk makanan ke seluruh
dunia. Globex telah dikontrak untuk menjual Macromex, sebuah perusahaan di Rumania, dalam
kontrak tersebut, Globex harus mengirimkan 112 kontainer ayam ke Rumania.

Dalam kontrak tersebut Globex menyebutkan bahwa pengiriman terakhir dilakukan pada 29 Mei
2006. Namun pada tanggal 2 Juni 2006 terjadi kegagalan dalam mengirim 62 kontainer ayam ke
Rumania.

Pada tanggal 2 Juni 2006, pemerintah Rumania mendeklarasikan tanpa memberitahu terlebih
dulu kepada Globex bahwa sampai pada tanggal 7 Juni 2006, tidak ada ayam yang dapat diimpor
ke Rumania kecuali apabila ada pengesahan pada tanggal terakhir yang telah ditentukan.

Antara tanggal pengumuman tersebut dibuat sampai pada tanggal 7 Juni 2996 Globex bergegas
untuk mengirimkan 20 kontainer dari sisa 62 kontainer yang telah dikontrak untuk dijual. Pada
tanggal 7 Juni 2006 sisa 42 kontainer ayam tidak dapat dikirim ke Rumania dikarenakan suatu
peraturan pemerintah.

Pada tanggal 7 Juni 2006 sisa 42 kontainer ayam tidak dapat dikirim ke Rumania dikarenakan
suatu peraturan pemerintah. Marcomex kemudian membawa perkara ini ke proses arbitrase
dengan dasar bahwa Globex telah melakukan suatu pelanggaran kontrak, dan meminta ganti rugi
sebesar $608,323,00

Globex mengajukan argumennya bahwa kegagalan pengiriman tersebut terjadi karena adanya
force majeure. Globex beragumen bahwa penundaan pengiriman tersebut tidak sesuai dengan
standar umum.

Arbitrase memutuskan bahwa penundaaan pengiriman tersebut bukan merupakan suatu


pelanggaran yang fundamental karena larangan untuk mengimpor ayam ke Rumania tidak efektif
membuat pengiriman tidak terlaksana. Sesuai dengan keberadaan Pasal 79 CISG dimana
meminta dimasukkan dalam keadaaan force majeure sesuai dengan pasal tersebut yang dipakai
sebagai dasar interpretasi oleh arbitrator

c.

Putusan Pengadilan
Arbitrase adalah hakim yang ditunjuk menjadi sebuah pengadilan sebagai pihak ketiga
dalam perjanjian atau kontrak dagang Internasional antara Globex dengan Marcomex yang
secara principal karena berbeda Negara maka berbeda aturan hukumnya. Dalam masalah Globex
dengan Marcomex arbitrase menerima klaim atau tuntutan dari Marcomex sekaligus menerima
argument / alibi dan atau pembelaan diri dari Globex secara terperinci berdasar pada seluruh
pasal yang sudah disepakati menjadi perjanjian dagang Internasional antara kedua belah pihak.
Mengingat posisi sebagai peradilan pihak ketiga yang independent maka para arbitrator selalu
mengacu dalam setiap pasal perjanjian dan atau CISG sebagai alat pertimbangan untuk
mengambil keputusan Tidak lupa para arbitrator juga memegang erat seluruh prinsip UNIDROIT
secara lengkap yang menjadi nafas / prinsip dasar penentuan CISG, antara lain:
Pasal 30 :
The seller must deliver the goods, hand over any documents relating to them and
transfer the property in the goods, as required by the contract and this Convention

Pasal 32 ayat 2:
If the seller is bound to arrange for carriage of the goods, he must make such contracts
as are necessary for carriage to the place fixed by means of transportation appropriate in the
circumstances and according to the usual terms for such transportation
Pasal 33:
The seller must deliver the goods:
(a) if a date is fixed by or determinable from the contract, on that date;
(b) if a period of time is fixed by or determinable from the contract, at any time within that period
unless circumstances indicate that the buyer is to choose a date; or
(c) in any other case, within a reasonable time after the conclusion of the contract
Pasal 34:
If the seller is bound to hand over documents relating to the goods, he must hand them over at
the time and place and in the form required by the contract. If the seller has handed over
documents before that time, he may, up to that time, cure any lack of conformity in the
documents, if the exercise of this right does not cause the buyer unreasonable inconvenience or
unreasonable expense. However, the buyer retains any right to claim damages as provided for in
this Convention.
Pasal 45:
1. If the seller fails to perform any of his obligations under the contract or this Convention, the
buyer may:
a. exercise the rights provided in articles 46 to 52;
b. claim damages as provided in articles 74 to 77.
2. The buyer is not deprived of any right he may have to claim damages by exercising his right to
other remedies.
3. No period of grace may be granted to the seller by a court or arbitral tribunal when the buyer
resorts to a remedy for breach of contract.
Pasal 46:
(1) The buyer may require performance by the seller of his obligations unless the buyer has resorted
to a remedy which is inconsistent with this requirement.
(2) If the goods do not conform with the contract, the buyer may require delivery of substitute goods
only if the lack of conformity constitutes a fundamental breach of contract and a request for

substitute goods is made either in conjunction with notice given under article 39 or within a
reasonable time thereafter.
(3) If the goods do not conform with the contract, the buyer may require the seller to remedy the
lack of conformity by repair, unless this is unreasonable having regard to all the circumstances.
A request for repair must be made either in conjunction with notice given under article 39 or
within a reasonable time thereafter.
Pasal 47:
(1) The buyer may fix an additional period of time of reasonable length for performance by the
seller of his obligations.
(2) Unless the buyer has received notice from the seller that he will not perform within the period so
fixed, the buyer may not, during that period, resort to any remedy for breach of contract.
However, the buyer is not deprived thereby of any right he may have to claim damages for delay
in performance
Pasal 48:
(1) Subject to article 49, the seller may, even after the date for delivery, remedy at his own expense
any failure to perform his obligations, if he can do so without unreasonable delay and without
causing the buyer unreasonable inconvenience or uncertainty of reimbursement by the seller of
expenses advanced by the buyer. However, the buyer retains any right to claim damages as
provided for in this Convention.
(2) If the seller requests the buyer to make known whether he will accept performance and the buyer
does not comply with the request within a reasonable time, the seller may perform within the
time indicated in his request. The buyer may not, during that period of time, resort to any remedy
which is inconsistent with performance by the seller.
(3) A notice by the seller that he will perform within a specified period of time is assumed to include
a request, under the preceding paragraph, that the buyer make known his decision.
(4) A request or notice by the seller under paragraph (2) or (3) of this article is not effective unless
received by the buyer.
Pasal 49 ayat 1:
(1) The buyer may declare the contract avoided:
(a) if the failure by the seller to perform any of his obligations under the contract or this Convention
amounts to a fundamental breach of contract; or

(b) in case of non-delivery, if the seller does not deliver the goods within the additional period of
time fixed by the buyer in accordance with paragraph (1) of article 47 or declares that he will
not deliver within the period so fixed
Dari cuplikan pasal-pasal di atas maka bisa dilihat secara jelas beberapa pelanggaran
kontrak perdagangan internasional (CISG) yang dilakukan oleh Globex secara langsung ataupun
tidak langsung walaupun dengan dalih terjadi force majeure karena intervensi larangan impor
ayam oleh Pemerintah Rumania. Beberapa pelanggaran yang paling mendasar yang telah
digunakan sebagai acuan keputusan pengadilan oleh para arbitrator antara lain :

Selama masa munculnya larangan tanggal 2 Juni 2006 Pemerintah Rumania memberikan
sosialisasi sampai pada tanggal 7 Juni 2006 sehingga pada prinsipnya ada jeda waktu 5 hari yang
bisa dan atau dapat digunakan oleh Globex untuk melakukan pemberitahuan, pembahasan dan
konsolidasi dengan pihak Marcomex untuk mencari cara atau mensiasati larangan impor ayam
Rumania (Pasal 49 CISG dan rumusan umum UNIDROIT pasal 2).

Penolakan para arbitrator terhadap argumentasi pembelaan dari Globex terkait dengan force
majeure sebagai penyebab tidak terlaksananya kewajiban Globex selaku penjual karena larangan
pemerintah Rumania tentang impor ayam tersebut bukanlah sebuah masalah yang fundamental
atau sangat mendasar tidak ada jalan keluar karena bila dikehendaki seharusnya Globex akan
melakukan koordinasi dan konsolidasi secepatnya dalam jeda waktu yang masih aman. Hal
tersebut bukan merupakan pelanggaran fundamental karena tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam Artikel 25 UNCITRAL. Para arbitrator memutuskan dengan seksama menilik
kerugian langsung dialami di pihak Marcomex dan tidak tampaknya iktikad secara professional
pihak globex mencari jalan keluar menyelesaikan kontraknya yang pada akhirnya arbitrator
memutuskan memenangkan pihak Marcomex selaku pembeli dengan membebankan biaya
kerugian dan arbitrase secara total kepada Globex sebesar $876,310,58.

Menilik keputusan para arbritor tersebut secara seksama sudah jelas dan secara riil sesuai
penerapan poin-poin pasal CISG secara keseluruhan.

C. Force Majeure dan Hardship : Sebagai Perbandingan


Persamaan yang paling jelas antara force majeure dan Hardship, pertama, mengenai
keberlakuannya, dimana keduanya baru dapat diterapkan sebatas untuk peristiwa-persitiwa yang
tidak dapat diduga sebelumnya terjadi dan persitiwa tersebut tidak berada dalam kendali pihak

yang dirugikan. Oleh karenanya menjadi wajar, pihak tersebut tidak mungkin melaksanakan
prestasinya. Tidak ada hakim yang akan menghukum seseorang untuk sesuatu yang tidak
mungkin untuk dilaksanakan[9].
Kedua, baik force majeure maupun Hardship hanya dapat diterapkan pada keadaan yang
tidak terduga pada waktu kontrak itu dibuat. Dengan perkataan lain, sebelum kontrak disepakati,
para pihak tidak memiliki dugaan bahwa akan terjadi sesuatu peristiwa. Misalnya, pada sebelum
kontrak kredit disepakati, debitur tidak menduga bahwa akan terjadi krisis moneter yang
mengakibatkan berubahnya nilai pinjamannya secara drastis sebagai kelanjutan dari kenaikan
nilai kurs mata uang asing.
Selain adanya persamaan, tentu terdapat perbedaan yang mencolok. Pertama, seperti yang
telah dijelaskan di atas, pengertian mengenai keduanya jelas berbeda. Hardship lebih
menekankan pada keadaan yang tidak seimbang secara mendasar di antara para pihak, sedangkan
force majeure memiliki pengertian nampak lebih umum yang menunjuk pada peristiwaperistiwa tak terduga di luar kekuasaan para pihak.
Kedua, perbedaan pengertian dan kondisi dapat diterapkannya Hardship atau force
majeure menyebabkan adanya perbedaan mengenai akibat hukum terhadap sebuah kontrak
bisnis. Berdasarkan doktrin para ahli hukum, pada force majeure absolut menyebabkan
pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan seketika itu kontrak putus.
Sebaliknya, pada force majeure relatif, pemenuhan prestasi menjadi tertunda dan kontrak tidak
putus[10].
Akibat hukum Hardship terhadap kontrak terutama menyangkut pada kesempatan pihak
yang dirugikan untuk mengajukan negosiasi ulang (renegosiasi). Hal ini wajar dimungkinkan,
sebab Hardship membuat kedudukan para pihak tidak lagi seimbang dikarenakan adanya
peristiwa tak terduga yang mengubah kedudukan para pihak secara mendasar. Bahkan Unidroit
Principles 2004 secara tegas di dalam komentarnya membedakan Hardship dan force
majeure[11]. Dimana, pada Hardship , belum terjadi wanprestasi (non performance), namun
pada saat force majeure terjadi telah terjadi wanprestasi.
KESIMPULAN
Perbedaan mencolok Hardship dan force majeure didasarkan pada terbukanya
kemungkinan renegosiasi kontrak ataukah tidak jika terjadi peristiwa tak terduga. Pada force

majeure, renegosiasi telah tertutup semenjak disepakatinya kontrak, kecuali kedua belah pihak
sepakat untuk melakukan perubahan klausula kontrak. Sebaliknya, Hardship membuka peluang
itu. Untuk itu, klausula Hardship maupun force majeure menjadi teramat penting untuk
diakomodasi dalam kontrak guna menghadapi peristiwa yang tak terduga yang mengancam
keberlangsungan kontrak. Hardship lebih menekankan pada keadaan yang tidak seimbang secara
mendasar di antara para pihak, sedangkan force majeure memiliki pengertian nampak lebih
umum yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa tak terduga di luar kekuasaan para pihak.
Hardship atau force majeure menyebabkan adanya perbedaan mengenai akibat hukum
terhadap sebuah kontrak bisnis. Berdasarkan doktrin para ahli hukum, pada force majeure
absolut menyebabkan pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan seketika itu
kontrak putus. Sebaliknya, pada force majeure relatif, pemenuhan prestasi menjadi tertunda dan
kontrak tidak putus

Hardship
Bagian UNIDROIT pada Pasal 6.2.1, menekankan bahwa pacta Sunt servanda adalah prinsip
yang mendasar. Hardship adalah suatu kedaan di mana kinerja kontrak menjadi lebih berat bagi
salah satu pihak, pihak yang tetap terikat melaksanakan kewajibannya Jadi, para pihak tidak
bisa keluar dari kontrak hanya karena menjadi tidak menguntungkan untuk mereka. Sebaliknya,
kewajiban kontrak harus dilakukan meskipun perubahan di pasar telah menyebabkan salah satu
pihak menjadi lebih berat bagi debitur.
George Bernard Shaw dianggap telah mengatakan bahwa Inggris dan Amerika adalah dua
negara yang terpisah oleh bahasa yang umum. [1] Di Amerika Serikat istilah Hardship
terbatas pada situasi di mana dimungkinkan untuk melakukan kontrak.
Ketika kontrak hardship, hakim tidak dapat mengubah atau menyesuaikan dengan situasi
baru. Hardship hanya membuang kontrak dan tergugat akan dibebaskan dari tuntutan. Sampai
saat ini, hardship tidak memiliki pengaruh pada setiap tugas kontrak yang telah dilakukan atau
yang akan dilakukan prakontrak.
1. Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak.
2. Peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat
penutupan kontrak
3. Peristiwa terjadi diluar control dari pihak yang dirugikan
4. Resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.
Contoh: A dan B melakukan kontrak jual beli internasional. Dalam kontrak mereka setuju untuk
menggunakan mata uang asing Dollar. Namun karena dollar pada saat itu harga jual nya turun,
maka A sebagai penjual merasa dirugikan dan memberatkan usahanya berjualan hingga harga
jual dollar naik kembali.
Force majeure
Bagian pada pasal 7.1.7 UNIDROIT, Force majeure terjadi ketika hukum mengakui bahwa
dengan adanya kegagalan dari salah satu pihak sehingga kewajiban kontraktual telah menjadi
tidak mampu yang dilakukan karena keadaan di mana akan menjadi sulit atau mustahil dilakukan
karena diluar rencana atau tak terduga.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur force majeure dengan memberikan pengertian
force majeure, di antaranya adalah peraturan mengenai Jasa Konstruksi, Pengadaan Barang dan
Jasa, Perbankan, dan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan. Hanya saja, ketentuan force majeure dalam
peraturan Perbankan dan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak terkait dengan perjanjian atau
kontrak.

Dalam peraturan Jasa Konstruksi dan peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, pembentuk
peraturan mewajibkan para pihak untuk memasukkan klausul force majeure. Dalam peraturan
Jasa Konstruksi, force majeure diartikan sebagai suatu kejadian yang timbul di luar kemauan dan
kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam peraturan
Pengadaan Barang dan Jasa, force majeure disebut keadaan kahar, artinya suatu keadaan yang
terjadi di luar kehendak para pihak sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi
tidak dapat dipenuhi.[2]
Dari pengertian force majeure sebagaimana diuraikan di atas, serta dalam beberapa kontrak,
dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur force majeure antara lain:
1. terjadinya keadaan kejadian di luar kemauan, kemampuan atau kendali para pihak;
2. menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak;
3. terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak
dilaksanakannya prestasipara pihak;
4. para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut
5. kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.
Contoh: mengenai kontrak jasa pengiriman barang. A harus mengirim barang ke B. Namun
karena ada bencana alam di kota C dimana A harus melewati kota C untuk sampai ke kota B.
Maka pengiriman barang menjadi tidak tepat waktu.

Perbedaan Hardship dan Force Majeure


1. Hardship lebih menekankan pada keadaan yang tidak seimbang secara mendasar diantara
pihak, sedangkan force majeure memiliki pengertian lebih umum yang menunjuk pada
peristiwa-peristiwa tak terduga di luar kekuasaan para pihak.
2. Akibat hukum dari force majeure absolute menyebabkan pemenuhan prestasi tidak
mungkin dapat dilakukan lagi dan seketika itu kontrak putus, sedangkan akibat hukum
dari hardship terhadap kontrak terutama menyangkut pada kesempatan pihak yang
dirugikan untuk mengajukan negosiasi ulang (renegosiasi).
[1] Atiyah, PS, Tort Law and Some Alternatives. 1987 Duke L. J ., 1002, 1005 n. 14, citing H.
Prochnow & H. Prochnow, Jr., A Treasury of Humorous Quotations , 129 (1969).
[2] Prof Hijma menyebutnya sebagai : No judge will sentence a party to accomplish what is
impossible. Lihat di artikel Hijma, Jaap. 2010. Force majeure According To The Civil Code Of
The Netherlands. Jakarta : PT Gramedia di dalam Rahmat Soemadipradja. 2010. Penjelasan
Hukum tentang Keadaan Memaksa. Jakarta : PT Gramedia

Anda mungkin juga menyukai