Contract
Pada dasarnya prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT tidak secara
tegas mencantumkan jual beli internasional sebagai objek dasar
pengaturan. Hal ini dapat dilihat dari Purpose of the Principles yang
terdapat dalam preamble UNDROIT, sebagai berikut:[1]
Berupaya untuk menciptakan suatu aturan yang berimbang.
Dengan adanya aturan yang berimbang tersebut diharapkan para
pihak yang terlibat dalam perdagangan internasonal yang berlatar
belakang tingkat ekonomi dan sistem politik, bahkan sistem hukum
yang berbeda dapat menggunakannya;
Tujuan lainnya yang juga penting adalah bahwa sistem
UNIDROIT ini dapat digunakan oleh para pihak manakala mereka
menemukan jalan buntu dalam menentukan hukum mana yang
akan dipilih terhadap kontrak mereka. Kebuntuan ini karenanya
dapat diselesaikan dengan kesepakatan para pihak untuk memilih
prinsip kontrak UNIDROIT ini;
Bahwa prinsip UNIDROIT dapat digunakan oleh para pihak
untuk menafsirkan sesuatu hal (klausul) dalam kontrak yang
menimbulkan sengketa karena adanya perbedaan penafsiran
diantara para pihak;
Fungsi lainnya dari prinsip UNIDROIT ini adalah bahwa prinsipprinsip hukum kontrak yang terdapat di dalamnya dapat
dimanfaatkan sebagai pegangan bagi para pihak perancang hukum
di negara-negara di dunia dalam merancang hukum kontraknya.
Bahkan dalam preamble juga dinyatakan bahwa tidak menutup
kemungkinan perjanjian internasional lainnya yang dibuat setelah
adanya prinsip UNIDROIT, untuk mengacu kepada prinsip-prinsip
kontrak UNIDROIT.
Tujuan dibuatnya prinsip-prinsip UNIDROIT adalah untuk
menentukan aturan umum bagi kontrak komersial internasional.
Prinsip ini berlaku apabila para pihak telah sepakat bahwa kontrak
mereka tunduk pada prinsip tersebut dan pada prinsip hukum
umum (general principles of law), lex mecantoria, dan sejenisnya.
Prinsip-Prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah
yang timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk
menggunakan sumber hukum yang relevan dengan hukum yang
Prinsip
kesepakatan
melalui
penawaran
(offer)
dan
penerimaan (acceptance)
Hal ini tertuang dalam Pasal 2.1.1 UNIDROIT Principles, sebagai
berikut:
A contract may be concluded either by the acceptance of an offer or
by conduct of the parties that is sufficient to show agreement
Inti dari ketentuan tersebut adalah bahwa persetujuan terjadi karena:
penawaran dan penerimaan;
perilaku yang menunjukan adanya persetujuan untuk terikat
kontrak.
Dasar pemikiran dari prinsip-prinsip UNIDROIT adalah dengan
tercapainya kata sepakat saja sudah cukup untuk melahirkan kontrak.
Konsep tentang penawaran dan penerimaan digunakan untuk
menentukan apakah dan kapankah para pihak telah mencapai kata
sepakat. Namun, dalam prakteknya terkadang kontrak menyangkut
transaksi yang rumit dan seringkali terwujud setelah melalui negosiasi
yang cukup panjang tanpa diketahui urutan penawaran dan
penerimaannya, sehingga sulit untuk menentukan kapan kata sepakat
itu terjadi.
5. Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk
Larangan untuk melakukan negosiasi yang berdasarkan itikad buruk
dalam Pasal 2.15 UNIDROIT Principles tentang Negotiation in Bad
Faith, sebagai berikut:
(1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach
an agreement; (2) However, a party who negotiates or breaks off
negotiations in bad faith is liable for the losses caused to the other
party; (3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or
continue negotiations when intending not to reach an agreement with
the other party.
Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir
sejak proses negosiasi dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :[16]
Kebebasan negosiasi;
Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.
to be had, among other factors, to (a) the fact that the other party has
taken unfair advantage of the first partys dependence, economic
distress or urgent needs, or of its improvidence, ignorance,
inexperience or lack of bargaining skill, and (b) the nature and
purpose of the contract.
(2) Upon the request of the party entitled to avoidance, a court may
adapt the contract or term in order to make it accord with reasonable
commercial standards of fair dealing.
(3) A court may also adapt the contract or term upon the request of
the party receiving notice of avoidance, provided that that party
informs the other party of its request promptly after receiving such
notice and before the other party has reasonably acted in reliance on
it. The provisions of Article 3.13(2) apply accordingly
Salah satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi
perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan keuntungan
berlebihan dan secara tidak sah kepada salah satu pihak. Keadaan
demikian didasarkan pada:
Fakta bahwa pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara
curang dari ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang
mendesak, atau dari keborosan, ketidaktahuan, kekurangpahaman atau
kekurangahlian dalam tawar menawar;
Sifat dan tujuan dari kontrak.
Atas permintaan pembatalan kontrak oleh pihak yang berhak,
pengadilan dapat mengubah kontrak atau syarat tersebut agar sesuai
dengan standar komersial yang wajar dari transaksi yang jujur.
Pengadilan dapat juga mengubah seluruh kontrak atau sebagian
syaratnya atas permintaan pihak yang menerima pemberitahuan
pembatalan. Pemohon harus memberitahu pihak lain tentang
permohonannya tersebut.[18]
Adanya perbedaan yang besar mengenai keuntungan yang tidak
dibenarkan, hal ini disebabkan oleh posisi tawar yang seimbang, sifat
dan tujuan dari kontrak, dan faktor-foktor lain sehingga menimbulkan
hak untuk membatalkan atau mengubah kontrak tersebut.
10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku
dan jangka waktu yang pasti, atau dapat pula mengubah kontrak untuk
mengembalikan keseimbangannya.
12. Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan
memaksa (force majeur)
Pembahasan tentang force majeur ini terdapat dalam Pasal 7.1.7
UNIDROIT Principles, pasal ini mengatur tentang keadaan memaksa
dengan menyatakan antara lain, sebagai berikut:[21]
Force majeur yang dilakukan oleh salah satu pihak yang
dimaafkan apabila pihak tersebut dapat membuktikan bahwa force
majeur tersebut disebabkan oleh suatu rintangan di luar
pengawasannya dan hal itu secara wajar tidak diharapkan akan terjadi;
Apabila rintangan hanya bersifat sementara, maka pemberian maaf
akan berakibat hukum atas jangka waktu dengan memperhatikan
akibat dari rintangan pelaksanaan kontrak tersebut;
Pihak yang gagal melaksanakan kontrak harus memberi
pemberitahuan kepada pihak lainnya tentang rintangan dan akibat
terhadap kemampuannya untuk melaksanakan kontrak. Jika
pemberitahuan itu tidak diterima oleh pihak lain dalam jangka waktu
yang wajar, setelah pihak yang gagal melaksanakan mengentahui atau
seharusnya telah mengetahui adanya rintangan itu, ia bertanggung
jawab atas kerugian akibat dari tidak diterimanya pemberitahuan
tersebut;
Pasal ini tidak mencegah salah satu pihak untuk menggunakan
haknya mengakhiri kontrak, menahan pelaksanaan kontrak, atau
meminta pembayaran bunga atas uang yang telah jatuh tempo.
[1] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers,