Anda di halaman 1dari 18

Prinsip

Pertanggungjawaban

Negara

dan

Atribusi

Kesalahan Internasional Kepada Negara


Prinsip dasar di dalam hukum internasional mengatur
bahwa negara menjadi subjek utama dalam hukum publik
internasional.1 Permanent Court of International Justice pada
tahun 1927 di dalam kasus Lotus menyatakan bahwa hukum
internasional mengatur hubungan antara negara-negara
merdeka. Aturan hukum yang mengikat negaranegara
terefleksi dari keinginan negara-negara yang terekspresi di
dalam konvensikonvensi atau dari kebiasaan yang diterima
secara umum dalam rangka mengekspresikan prinsip
prinsip hukum yang lahir dengan tujuan untuk mengatur
hubungan antara komunitaskomunitas dalam mencapai
prestasi bersama.2
Prinsip bahwa setiap negara adalah berdaulat
memang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional.3
Oleh karena itu, semua negara yang menjadi bagian dari
masyarakat internasional harus menghormati dan mengakui
hal tersebut. Namun kedaulatan yang dimiliki oleh suatu
negara itu tidak tak terbatas. Artinya dalam melaksanakan
1 Peter Malanczuk, Akehursts Modern Introduction to International Law,
London: Routledge, 1997, hlm. 75
2 The Lotus Case, (France v. Turkey) Permanent Court of International
Justice, Ser A, No 10 (1927).
3 Montevideo Convention 1933, Pasal 1 ayat (1).

hak berdaulat itu terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak


menyalahgunakan kedaulatan tersebut.
Aktivitas negara dalam menjalankan

hubungan

internasional

perbuatan

kadangkala

tidak

luput

atas

kesalahan yang dapat tercipta dalam bentuk melakukan


pelanggaran terhadap negara lain yang perbuatannya dapat
menimbulkan kerugian.

Hukum internasional mengatur

bahwa setiap negara yang terikat pada hukum internasional


gagal untuk melaksanakan kewajibannya, maka terlahir
sebuah

konsekuensi

dalam

bentuk

kewajiban

untuk

melaksanakan upaya pertanggungjawaban atas kerugian


yang tercipta. Prinsip pertanggungjawaban negara atau
state responsibility merupakan suatu prinsip fundamental
didalam hukum internasional.4
Menurut Malcom Shaw,

jika

sebuah

negara

melakukan suatu kesalahan internasional terhadap negara


lain, maka akan lahir hubungan pertanggungjawaban negara
antara kedua negara tersebut.5 Suatu negara dapat dimintai
pertanggungjawaban atas berbagai tindakan yang melawan
hukum akibat kelalaian negara tersebut. Latar belakang
timbulnya pertanggungjawaban negara di dalam hukum
internasional adalah bahwa tidak ada satu negara pun di
4 Malcom Shaw, International Law, Edisi ke 6, Cambridge: Cambridge
University Press, 2008, hlm. 778.
5 Ibid.

dunia yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati


hak negara lain. Setiap perbuatan atau kelalaian terhadap
hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib untuk
memperbaiki pelanggaran hak tersebut.
Menurut Dictionary of Law pertanggungjawaban
negara adalah: 6
Obligation of a state to make reparation arising from a
failure to comply with a legal obligation under international
law
Definisi pertanggungjawaban juga dapat ditemui
dalam beberapa kasus trademark. Pada kasus Spanish
Zone of Morroco, Max Huber sebagai arbitrator menekankan
bahwa: Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang penting
untuk memenuhi suatu hak. Seluruh hak-hak yang memiliki
karakteristik

internasional

pertanggungjawaban

internasional.

melibatkan

pula

Pertanggujawaban

menghasilkan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan


jika tanggungjawab yang dimaksudkan untuk memenuhi hak
tersebut tidak dipenuhi.7
Pada kasus Chorzow Factory, Permanent Court of
International

Justice

juga

menyatakan

bahwa:

sudah

menjadi suatu prinsip dasar dan konsepsi hukum yang diakui


6 Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law, New York: Oxford University
Press, 2002, hlm. 477.
7 Reports of International Arbitrations, 1923, Volume 2, hlm. 641.

di dalam hukum internasional, yang mengatur bahwa


pelanggaran apapun dari perjanjian dalam bentuk apapun
melibatkan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan. 8
Prinsip pertanggungjawaban negara tidak diatur di
dalam suatu instrumen hard-law atau konvensi internasional.
Kedudukan prinsip pertanggungjawaban negara di dalam
sumber hukum internasional ialah sebagai salah satu hukum
kebiasaan internasional. Menurut Anthony Aust, tanggung
jawab negara muncul dari hukum kebiasaan internasional
yang muncul dan dikembangkan melalui praktik dan putusan
pengadilan internasional.9
Namun,
aturan-aturan

mengenai

pertanggungjawaban negara telah dikodifikasi oleh the


International Law Commission didalam ILC Articles on the
Responsibility of States for Internationally Wrongful Act
2001.10

International Law Commission merupakan suatu

badan yang dibentuk oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-

8 Permanent Court of International Justice, Series A, No. 17, 1928, hlm.


29.
9 Anthony Aust, Handbook of International Law, Cambridge University
Press, New York, 2005, hlm. 407 408.
10 United Nations International Law Commission, Articles on
Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, with
Commentaries, 2001, General Assembly Official Reports 56th Session,
Supp 10, 43.

Bangsa melalui Resolusi 174 tahun 1947. 11 International Law


Commission dibentuk dengan tugas spesifik yaitu melakukan
kodifikasi terhadap hukum kebiasaan internasional. 12
Pada Pasal 1 ILC Articles 2001 dijelaskan bahwa:
Every internationally wrongful act of a State entails the
international responsibility of that State.
Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap
kesalah
kewajiban

internasional
untuk

suatu

melakukan

negara

melahirkan

pula

pertanggungjawaban

bagi

negara pelaku kesalahan tersebut.


Pada commentary to the ILC Articles 2001 dijelaskan
bahwa kesalahan internasional suatu negara dapat terdiri
dari satu atau lebih tindakan atau omisi atau gabungan dari
keduanya.13 Mahkamah Internasional juga telah menerapkan
prinsip ini, salah satunya yaitu didalam putusan pertama
Mahkamah Internasional yaitu Corfu Channel Case antara
Albania dan Britania Raya.14 Kemudian pada Pasal 2 ILC
Articles 2001 dijelaskan lebih lanjut tentang kesalahan
internasional,15 sebagai berikut:
11 United Nations General Assembly Resolution 174 (II), 21 November
1947
12 Ibid, Article 1.
13 Yearbook of the International Law Commission 2001, vol. II, Part Two, A/56/10, 2008,
hlm. 32.

14 Corfu Channel, Merits, Judgment, I.C.J. Reports 1949, , hlm. 23.


15 Pasal 2, ILC Articles 2001.

There is an internationally wrongful act of a State


when conduct consisting of an action or omission:
(a) is attributable to the State under international law; and (b)
constitutes a breach of an international obligation of the
State.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu
kesalahan harus dapat teratribusi kepada suatu negara dan
tindakan

tersebut

termasuk

kedalam

tindakan

yang

melanggar kewajiban internasional negara yang melakukan


tindakan tersebut. Mahkamah Internasional menggunakan
dua elemen tentang kesalahan internasional tersebut pada
kasus Tehran antara Iran dan Amerika Serikat.16
Karena

salah

satu

elemen

pertanggungjawaban internasional adalah


maka

sebenarnya

tindakan

yang

penting

dari

attributabillity,

dapat

dikenakan

pertanggungjawaban tersebut tidak harus tindakan langsung


dari negara itu sendiri. Pada Pasal 4 ILC Articles 2001 diatur
bahwa:17
1. The conduct of any State organ shall be
considered as an act of that State under international law,
whether the organ exercises legislative, executive, judicial or
any other functions, whatever position it holds in the
organization of the State, and whatever its character as an
16 United States Diplomatic and Consular Staff in Tehran, Judgment, I.C.J. Reports
1980, hlm. 29, paragraf 56

17 Pasal 4, ILC Articles 2001.

organ of the central Government or of a territorial unit of the


State.
2. An organ includes any person or entity which has
that status in accordance with the internal law of the State.
Dari apa yang diatur oleh Pasal 4, maka jelas bahwa
pada dasarnya tindakan yang dilakukan oleh organ dari
suatu negara, akan langsung teratribusi kepada negara itu
sendiri terlepas ada di bagian administratif mana organ
tersebut di dalam struktur organisasi negara yang dimaksud.
Aturan tersebut lahir karena terdapat prinsip unity of the
State, yaitu bahwa di dalam hukum internasional negara
dianggap sebagai suatu kesatuan organ-organ nya. 18
ILC Articles 2001 kemudian juga mengatur tindakantindakan non-state actor yang dapat juga teratribusi menjadi
tindakan suatu negara. Pada Pasal 5 ILC Articles 2001 diatur
bahwa:19
The conduct of a person or entity which is not an
organ of the State under article 4 but which is empowered by
the law of that State to exercise elements of the
governmental authority shall be considered an act of the
State under international law, provided the person or entity is
acting in that capacity in the particular instance.
Pasal 5 ILC Articles 2001 menjelaskan bahwa
tindakan suatu individu atau entitas yang bukan merupakan
bagian dari organ negara seperti dijelaskan pada pasal 4,
18 Yearbook of the International Law Commission 2001, hlm. 40.
19 Pasal 5, ILC Articles 2001.

namun diberdayakan oleh hukum negara tersebut untuk


dapat

melaksanakan

tindakan-tindakan

otoritas

pemerintahan, atau dengan kata lain dikuasakan oleh


hukum, maka tindakan tersebut harus dianggap sebagai
tindakan dari negara itu sendiri.
Pasal 8 ILC Articles 2001 juga mengatur tentang
atribusi tindakan non-state actor terhadap negara. Pasal 8
ILC Articles 2001 mengatur bahwa:20
The conduct of a person or group of persons shall be
considered an act of a State under international law if the
person or group of persons is in fact acting on the
instructions of, or under the direction or control of, that State
in carrying out the conduct.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8, maka tindakan
individu atau kelompok individu dapat dianggap sebagai
tindakan suatu negara jika tindakan tersebut ternyata
merupakan bentuk konsekuensi dari instruksi negara,
dan/atau arahan atau kontrol dari negara tersebut.
Kemudian pada Pasal 9 ILC Articles 2001 diatur
bahwa:21
20 Pasal 8, ILC Articles 2001.
21 Pasal 9, ILC Articles 2001

The conduct of a person or group of persons shall


be considered an act of a State under international law if the
person or group of persons is in fact exercising elements of
the governmental authority in the absence or default of the
official authorities and in circumstance such as to call for the
exercise of those elements of authority.
Pasal 9 menjelaskan bahwa apabila terdapat tindakan
suatu

individu

atau

kelompok

yang

pada

faktanya

menjalankan elemen-elemen kewenangan pemerintahan


karena terdapat kekosongan aparat pemerintahan untuk
melaksanakan

kewenangan

tersebut,

maka

tindakan

tersebut harus dianggap sebagai tindakan dari negara itu


sendiri. Aturan ini lahir dari leve en masse atau suatu
tindakan pembelaan diri oleh rakyat ketika angkatan
bersenjata tidak ada untuk melakukan perlindungan. 22
Non-state

actor

lain

yang

tindakannya

dapat

melahirkan atribusi kepada negara ialah tindakan dari


gerakan insureksional. Pasal 10 ILC Articles 2001 mengatur
bahwa:23
1. The conduct of an insurrectional movement which
becomes the new Government of a State shall be
considered an act of that State under international law.
2. The conduct of a movement, insurrectional or other,
which succeeds in establishing a new State in part of the
territory of a pre-existing State or in a territory under its
22 Yearbook of the International Law Commission 2001, hlm. 49.
23 Pasal 10, ILC Articles 2001

administration shall be considered an act of the new State


under international law.
3. This article is without prejudice to the attribution to
a State of any conduct, however related to that of the
movement concerned, which is to be considered an act of
that State by virtue of articles 4 to 9.
Ketika

suatu

gerarakan

insureksional

berhasil

menggulingkan suatu pemerintahan negara dan pada


akhirnya gerakan insureksional tersebut berhasil untuk
menjadi pemerintahan baru di negara tersebut, maka
tindakan-tindakan

gerakan

tersebut

sebelum

menjadi

pemerintah teratribusi menjadi tindakan negara tersebut.


Tindakan non-state actor terakhir yang juga dapat
diatribusikan kepada suatu negara diatur di dalam Pasal 11
ILC Articles 2001. Pasal 11 ILC Articles 2001 mengatur
bahwa:24
Conduct which is not attributable to a State under the
preceding articles shall nevertheless be considere an act of
that State under international law if and to the extent that the
State acknowledges and adopts the conduct in question as
its own.
Ketika terdapat suatu tindakan yang sebenarnya tidak
teratribusi kepada suatu negara namun terdapat negara
yang memberikan pengakuan dan mengadopsi bahwa
tindakan tersebut merupakan tindakan negara itu sendiri,
24 Pasal 11, ILC Articles 2001

maka tindakan itu teratribusi kepada negara tersebut.


Penerapan atribusi jenis ini pernah terefleksi pada kasus
Tehran antara Amerika Serikat dengan Iran yang diadili oleh
Mahkamah Internasional.25
Sekalipun suatu perbuatan

dapat

diatribusikan

kepada suatu negara, untuk melahirkan adanya tanggung


jawab negara, perbuatan itu harus dibuktikan merupakan
pelanggaran suatu kewajiban internasional negara yang
bersangkutan. Untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran
suatu kewajiban internasional, ILC Articles 2001 menentukan
bahwa hal itu harus ditentukan secara kasus demi kasus. 26
Sementara itu ditentukan pula bahwa perbuatan suatu
negara tidak dianggap melanggar kewajiban internasional
jika perbuatan itu terjadi sebelum terikatnya negara tersebut
oleh suatu kewajiban internasional.27
ILC Articles 2001 mengatur tentang situasi-situasi
dimana pertanggungjawaban suatu negara tidak harus
dilakukan

walaupun

negara

telah

melakukan

suatu

kesalahan yang dapat teratribusi kepada negara tersebut.


Beberapa

contoh

pertanggungjawaban

situasi

yang

negara

dapat

menghapuskan

terhadap

kesalahan

25 United States Diplomatic and Consular Staff in Tehran , hlm. 35, paragraf..74.
26 Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, New York:
Oxford University Press, 2006, hlm. 466.
27 Ibid.

internasional ialah self-defence dan state of necessity. ILC


Articles 2001 pada Pasal 21 mengatur bahwa:28
The wrongfulness of an act of a State is precluded if
the act constitutes a lawful measure of self-defence taken in
conformity with the Charter of the United Nations.
Pasal 21 ILC Articles 2001 menegaskan bahwa suatu aksi
pertahanan diri yang sesuai dengan ketentuan Pasal 51
Piagam

Persatuan

pertanggungjawaban

Bangsa-Bangsa
suatu

negara

dapat

melepaskan

walaupun

negara

tersebut pada praktik pertahanan dirinya terbukti melakukan


tindak kekerasan atau use of force.29 Jadi selama praktik
self-defence

dilakukan

sesuai

dengan

ketentuan

dan

batasan-batasan yang diatur di dalam Piagam Persatuan


Bangsa-Bangsa, maka negara pelaku self-defence tidak
harus melakukan pertanggungjawaban.
State of necessity diatur oleh Pasal 25 ILC Articles
2001 sebagai berikut:
1. Necessity may not be invoked by a State as a
ground for precluding the wrongfulness of an act not in
conformity with an international obligation of that State
unless the act: (a) is the only way for the State to safeguard
an essential interest against a grave and imminent peril; and
(b) does not seriously impair an essential interest of the
State or States towards which the obligation exists, or of the
international community as a whole.
28 Pasal 21, ILC Articles 2001
29 Yearbook of the International Law Commission 2001, hlm. 74.

2. In any case, necessity may not be invoked by a


State as a ground for precluding wrongfulness if: (a) the
international obligation in question excludes the possibility of
invoking necessity; or (b) the State has contributed to the
situation of necessity.
Istilah necessity atau tat de ncessit digunakan
untuk menggambarkan kasus-kasus dimana satu-satunya
cara untuk suatu negara dapat menjaga kepentingan
esensial

mereka

yang

terancam

dan

dalam

kondisi

berbahaya adalah dengan melanggar salah satu atau


beberapa kewajibannya di dalam hukum internasional. 30
Salah satu penggunaan awal state of necessity tercermin
dalam kasus Caroline Incident tahun 1837. Pada kasus
tersebut,

wakil

pemerintah

Inggris

di

Washington

menyatakan bahwa Inggris harus melakukan penghancuran


terhadap kapal Amerika Serikat sebelum memasuki wilayah
Kanada karena kapal tersebut membawa pemberontak dan
persenjataan

yang

berbahaya

bagi

keselamatan

dan

keamanan wilayah Kanada.31


Prosedur self defense via Piagam PBB
Piagam PBB yang mengatur mengenai larangan
penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional, yang
diatur dalam pasal 2 ayat 4 Piagam PBB. Tetapi karena
30 Ibid, hlm. 80.
31 W. R. Manning, ed., Diplomatic Correspondence of the United States:
Canadian Relations 17841860 (Washington, D.C., Carnegie Endowment
for International Peace, 1943), vol. III, hlm. 422.

disadari bahwa kemanusiaan mengakui adanya hak yang


melekat untuk melakukan pertahanan diri ketika terjadi
kekerasan pada dirinya, berdasarkan pemikiran tersebut
kemudian Piagam PBB ini memberikan pengecualian
penggunaan kekerasaan, yang kontras dengan pasal 2 ayat
4, dalam hal self-defense dan tindakan keamanan kolektif.
Pengecualian mengenai penggunaan kekerasan
dalam rangka self-defense diatur dalam pasal 51 Piagam
PBB yang mengakui adanya "inherent right yaitu hak yang
melekat baik pada individu atau kolektif untuk melakukan
self-defense. 32
Hak untuk melakukan self defense diakui dan diatur
oleh Piagam PBB yaitu di dalam Pasal 51.
Nothing in the present Charter shall impair the
inherent right of individual or collective self-defense if an
armed attack occurs against a Member of the United
Nations, until the Security Council has taken the measures
necessary to maintain international peace and security.
Measures taken by Members in the exercise of this right of
self-defense shall be immediately reported to the Security
Council and shall not in any way affect the authority and
responsibility of the Security Council under the present
Charter to take at any time such action as it deems
necessary in order to maintain or restore international peace
and security.
Tujuan

Pasal

51

Piagam

PBB

adalah

untuk

melindungi kedaulatan dan kemerdekaan suatu negara,


sehingga pemahaman terhadap ketentuan Pasal 51 Piagam
32 Jane Gilliland Dalton, The United States National Security Strategy:
Yesterday, Today, and Tomorrow, 52 Naval L. Rev.. 60, 2005, hlm. 71.

PBB ini, jika suatu negara merasa kedaulatan dan


kemerdekaan

diancam

oleh

negara

lain

sangat

memungkinkan bagi negara tersebut untuk menggunakan


kekuatan paksaan terhadap negara yang terlebih dahulu
mengancam.
Mahkamah

Internasional

menyatakan

bahwa

ketentuan Pasal 51 sebenarnya telah memiliki status


sebagai

hukum

kebiasaan

internasional.

Pernyataan

tersebut tertuang di dalam putusan kasus Nicaragua,


sebagai berikut:33
Article 51 of the Charter is only meaningful on the
basis that there is a natural or inherent right of self-defence
and it is hard to see how this can be other than of a
customary nature, even if its present content has been
confirmed and influenced by the Charter . . . It cannot,
therefore, be held that article 51 is a provision which
subsumes and supervenes customary international law.
Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 51, sebenarnya
keberadaan Pasal 51 adalah untuk memastikan dan
menjamin hak pertahanan diri yang dimiliki oleh setiap
negara (inherent right) sebelum Dewan Keamanan PBB
mengambil tindakan untuk mengembalikan keamanan dan
perdamaian

dan

mengambil

menghilangkan ancaman.
Kewenangan
serta
Keamanan

PBB

didalam

langkah-langkah
langkah-langkah

menjaga

untuk
Dewan

keamanan

dan

33 Nicaragua Case, (Nikaragua v. Amerika Serikat), ICJ Reports, 1986,


hlm. 94

perdamaian diatur secara khusus di dalam Bab VII Piagam


PBB. Bab VII merupakan refleksi konkrit dari fungsi Dewan
Keamanan PBB untuk menjaga kedamaian dan keamanan
internasional.34
Pada pasal 39 Piagam PBB dinyatakan bahwa:35
The Security Council shall determine the existence of any
threat to the peace, breach of the peace, or act of
aggression and shall mae recommendations, or decide what
measures shall be taken in accordance with Articles 41 and
42, to maintain or restore international peace and security.
Dari pengaturan pasal 39, maka jika Dewan Keamanan
menginginkan untuk menggunakan kewenangan mereka
atas hal yang diatur oleh pasal 41 dan pasal 42 maka
Dewan Keamanan harus menetapkan bahwa telah ada
ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap
perdamaian atau aksi agresi.36 Maka dapat dikatakan bahwa
ketentuan yang diatur oleh pasal 39 merupakan syarat formil
dari seluruh ketentuan yang terdapat didalam Bab VII.
Setelah

Dewan

Keamanan

menentukan

bahwa

memang telah terjadi kondisi-kondisi yang menganggu


34 Jared Schott , Chapter VII as Exception: Security Council Action and
the Regulative Ideal of Emergency, Northwestern Journal of International
Human Rights, Volume 6, Northwestern University School of Law, 2007,
hlm. 24.
35 Pasal 39, Piagam PBB, 26 Juni 1945.
36 Bruno Simma et al , The Charter Of The United Nations: A
Commentary, 2002, hlm. 726.

keamanan dan perdamaian maka menurut pasal 41 dan


pasal 42, Dewan Keamanan PBB dapat mengambil langkahlangkah termasuk langkah-langkah menggunakan kekuatan
bersenjata untuk mengatasi ancaman perdamaian tersebut. 37
Kemudian pasal 48 mengatur bahwa tindakan-tindakan yang
diambil oleh Dewan Keamanan PBB harus dilaksanakan
oleh setiap negara anggota PBB atau beberapa negara
anggota PBB yang ditentukan oleh Dewan Keamanan
PBB.38
Ketika ternyata kondisi ancaman terhadap kedamaian
dan keamanan telah menganggu salah satu negara anggota
PBB namun belum ada langkah penanganan yang diambil
oleh Dewan Keamanan PBB, maka pasal 51 mengatur
bahwa negara yang terancam oleh kondisi tersebut dapat
mengambil
ancaman

langkah-langkah
tersebut.

pertahanan

Langkah-langkah

diri

terhadap

pertahanan

diri

tersebut harus secara segera dilaporkan kepada Dewan


Keamanan PBB dan langkah-langkah tersebut tidak boleh
mempengaruhi kewenangan dan tanggungjawab Dewan

37 Pasal 41 dan Pasal 42, Piagam PBB.


38 Pasal 48, Piagam PBB.

Keamanan untuk mengambil langkah yang dirasa perlu


didalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. 39

39 Pasal 51, Piagam PBB.

Anda mungkin juga menyukai