Pemahaman Tentang HAM Dapat Direferensikan Kepada Pengertian HAM Yang Diberikan Pada Instrumen Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Negara Indonesia Sebagai Berikut
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
8 tayangan13 halaman
Pemahaman Tentang HAM Dapat Direferensikan Kepada Pengertian HAM Yang Diberikan Pada Instrumen Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Negara Indonesia Sebagai Berikut
Pemahaman tentang HAM dapat direferensikan kepada pengertian
HAM yang diberikan pada instrumen hukum internasional dan hukum nasional negara Indonesia sebagai berikut: a. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan PERPPU 1/2008 Pasal 1 Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. b. Declaration of Human Rights HAM diartikan sebagai seluruh elemen yang disebutkan dalam konvensi internasional tersebut Dan perlu diperhatikan secara pemahaman umum bahwa Hak asasi (fundamental Untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu seharusnya memahami pengertian dasar tentang hak. Secara definitif hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Pemilik hak; b. Ruang lingkup penerapan hak; c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak 2. UUD 1945 merupakan konstitusi negara merdeka yang dirancang oleh tokoh-tokoh yang sebagian besar terlibat langsung dalam pergerakan kemerdekaan. Maka dengan dijiwai semangat menegakkan kemerdekaan hampir dapat dipastikan konstitusi ini mengandung hak asasi meskipun dalam penyusunannya sempat diwarnai silang pendapat mengenai pemuatan materi HAM di dalamnya. Yang kemudian muncul adalah kompromi sebagai sebuah keputusan akhir berupa perumusan HAM yang bersifat implisit yang diikuti dengan dalih bahwa hal-hal yang implisit tadi jika diteliti akan banyak ditemukan rumusan-rumusan HAM. Memang jika membandingkan tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, maka nampak jelas bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 mengandung rumusan-rumusan hak asasi yang lebih luas dan lebih eksplisit daripada UUD 1945. Sering diutarakan alasan akan hal ini adalah bahwa UUD 1945 disusun tiga tahun sebelum diumumkannya The Universal Declaration of Human Right oleh PBB. Sedangkan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 disusun setelah adanya Deklarasi Universal HAM PBB tersebut, sehingga dapat dimengerti jika
sebagian besar deklarasi PBB itu kemudian banyak diserap dalam
kedua konstitusi ini. Alasan di atas tak sepenuhnya benar, karena sebelum adanya Deklarasi HAM Universal, sekurang-kurangnya telah ada dua dokumen HAM yang sudah dikenal luas di seluruh dunia, yaitu Declaration of Independence Amerika dan Declaration des Droit de Ihomme et du Citoyen Perancis. Kedua dokumen ini nampak jelas pengaruhnya dalam rumusan HAM PBB yang diumumkan tahun 1948. Tentunya tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo dan Sukiman mengetahui dengan jelas adanya kedua dokumen yang sudah sangat mengglobal tersebut. Hal ini tampak dalam perbedaan pendapat di antara mereka dalam sidang BPUPKI mengenai perlu tidaknya materi HAM diatur secara rinci dalam konstitusi. Tampaknya, tidak adanya perumusan materi HAM dalam UUD 1945 sejak awalnya adalah karena adanya pergulatan pemikiran tentang HAM itu sendiri oleh tokoh-tokoh yang merancang konstitusi tadi. Soekarno dan Soepomo berpendapat bahwa negara Indonesia yang berpaham kekeluargaan tidak dapat menerima materi HAM yang lahir dan paham liberalisme dan individualisme. Sedangkan Hatta dan Yamin mengkhawatirkan tidak diaturnya materi HAM secara eksplisit akan menyebabkan kesewenang-wenangan tindakan penguasa terhadap rakyat. Dan akhir dari silang pendapat ini adalah dimuatnya secara terbatas ketentuan-ketentuan tentang HAM yakni pada Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 dengan rumusan yang masih membatasi; hak asasi yang penting memang diakui pelaksanaannya masih harus diatur dengan UU yang dapat dibuat oleh eksekutif (Presiden) bersama legislatif (DPR). Jika dilakukan jelajah historik, secara singkat dapat dikatakan bahwa sejarah negara RI memperlihatkan dinamika yang sama dengan sejarah HAM yang umum, yaitu adanya tarik-menarik antara HAM individual dan HAM komunal (kolektif). Hal ini mulai diperdebatkan sejak tahun 1945 hingga sekarang. HAM individual melahirkan demokrasi liberal dan negara hukum yang statis dengan peranan negara yang pasif dan berakibat terjadi kesenjangan sosial ekonomi. HAM komunal melahirkan demokrasi terbatas (cenderung otoriter) dengan konsep negara hukum yang dinamis dan berwawasan welfare state. Contoh ekstrem tentang ini dapat ditunjuk AS dan Perancis sebagai pengusung aliran HAM komunal dan negara eks Soviet sebagai gambaran negara dengan HAM yang komunal. Muatan HAM di dalam UUD 1945 pada mulanya bersifat sangat fleksibel dalam arti dapat diimplementasikan menurut langgam politik yang ada. Hal ini sesuai dengan sifat UUD 1945 yang fleksibel.
Sehingga yang terjadi kemudian, jika kondisi politik sedang
demokratis, HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional, tetapi jika kondisi politik sedang berada di bawah payung otoritareian, HAM akan mendapat perlakuan buruk. Pada masa sekarang, setelah terwujudnya desakralisasi konstitusi, berupa amandemen terhadap UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR 1999; rumusan HAM mendapatkan perhatian yang besar, yaitu dengan ditambahkan dan ditetapkannya Bab X A tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dan Pasal 28A hingga Pasal 28J. Sehingga dengan sendirinya pengaturan (baca: perlindungan) HAM dalam UUD 1945 yang terdiri dan pembukaan, batang tubuh dan penjelasan mengalami perubahan yang signifikan. Jika didalami perdebatan materi HAM antara kubu Soekarno-Soepomo dan Hatta-Yamin, maka tentu yang lebih kontekstual adalah HattaYamin. Bahwa materi HAM betapapun menurut Soekarno-Soepomo tidak perlu diatur dalam konstitusi karena Indonesia berpaham kekeluargaan, jelas tidak dapat diterima. Dicantumkannya materi HAM dalam konstitusi saja masih terdapat berbagai pelanggaran HAM, apalagi jika tidak ada sandaran penegakan di dalamnya, tentu pelanggaran HAM akan lebih marak lagi. Sejarah dinamika HAM Indonesia juga demikian, linier dengan sejarah HAM secara umum. Bahwa ada tarik-menarik antara HAM individual dan HAM komunal (kolektif). Bahkan sejak adanya pengaturan HAM dalam Pasal 28 UUD 1945, bangsa ini tidak beranjak dari sana. Indonesia masih mengambil langkah moderat untuk mengusung aliran HAM individual seperti AS dan Perancis atau HAM komunal seperti yang diusung negara-negara eks Soviet. Dapat dipahami bahwa HAM menempati ruang pada Konstitutsi sebagai berikut: A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 1945 ) Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
Sarekat Islam, menekankan pada usaha usaha unutk
memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial. Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu isu yang berkenan dengan alat produksi. Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan. Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan. Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara. Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan. B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 sekarang ) Periode 1945 1950 Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM
pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat
Pemerintah tanggal 1 November 1945. Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Periode 1950 1959 Periode 1950 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami pasang dan menikmati bulan madu kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai partai politik dengan beragam ideologinya masing masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Periode 1959 1966 Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik.
Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi
masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik. Periode 1966 1998 Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak hak Asasi Manusia dan Hak hak serta Kewajiban Warganegara. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia. Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan
oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi
internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Periode 1998 sekarang Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM. Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang undangam lainnya.
3. Dikatakan sebuah pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hokum ,mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (UU 39/1999). Pada UU Pengadilan HAM (UU 26/2000) berbunyi bahwa pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Contoh kasus pelanggaran HAM KASUS TRISAKTI PENYEBAB. Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asiasepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI,Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementaradiprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
HAK YANG DI LANGGAR
Salah satu hak yang dilanggar dalam peristiwa tersebut adalah hak dalam kebebasan menyampaikan pendapat. Hak menyampaikan pendapat adalah kebebasan bagi setiap warga negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan sistem demokrasi pancasila di Indonesia. Peristiwa ini menggoreskan sebuah catatan kelam di sejarah bangsa Indonesia dalam hal pelanggaran pelaksanaan demokrasi pancasila. Dari awal terjadinya peristiwa sampai sekarang, pengusutan masalah ini begitu terlunta-lunta. Sampai sekarang, masalah ini belum dapat terselesaikan secara tuntas karena berbagai macam kendala. Sebenarnya, beberapa saat setelah peristiwa tersebut terjadi, Komnas HAM berinisiatif untuk memulai untuk mengusut masalah ini. Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini adalah pelanggaran HAM yang berat. Masalah ini pun selanjutnya dilaporkan ke Kejaksaan Agung untuk diselesaikan. Namun, ternyata sampai sekarang masalah ini belum dapat diselesaikan bahkan upayanya saja dapat dikatakan belum ada. Belum ada satupun langkah pasti untuk menyelesaikan masalah ini. Alasan terakhir menyebutkan bahwa syarat kelengkapan untuk melakukan siding belum terpenuhi sehingga siding tidak dapat dilaksanakan. Seharusnya jika pemerintah benarbenar menjunjung tinggi HAM, seharusnya masalah ini harus diselesaikan secara tuntas agar jelas agar segala penyebab terjadinya peristiwa dapat terungkap sehingga keadilan dapat ditegakan. PENYELESAIAN Agar masalah ini dapat cepat diselesaikan, diperlukan partisipasi masyarakat untuk ikut turut serta dalam proses penuntasan kasus ini. Namun, sampai sekarang yang masih berjuang hanyalah para keluarga korban dan beberapa aktivis mahasswa yang masih peduli dengan masalah ini. Seharusnya masyarakat dan mahasiswa tidak tinggal diam karena pengusutan kasus ini yang belum sepenuhnya selesai. Walaupun sulit untuk menuntaskan kasus tersebut secara sepenuhnya, tetapi jika masyarakat dan mahasiswa ingin bekerjasama dengan pihak terkait seharusnya masalah bisa diselesaikan, dengan catatan stakeholder yang bersangkutan harus jujur dalam memberikan informasi. Di luar itu semua, ada hal lain yang sebenarnya bisa diambil oleh masyarakat dan mahasiswa dalam peristiwa tersebut, yaitu semangat melawan pemerintahan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Walaupun bisa dibilang bahwa Indonesia dari tahun ke tahun terus membaik dan berkembang dari segi pembangunan, tetapi tetap banyak masalah yang sebenarnya bisa terlihat jika kita berbicara dari tentang pemerintahan. Beberapa contoh masalah-masalah pemerintahan yang ada, yaitu korupsi, perebutan kekuasaan untuk kepentingan golongan, berbagai praktik kecurangan dalam menapai kekuasaan, dan masalah lainnya. Dari masalah-
masalah tersebut, seharusnya masyarakat dan mahasiswa banyak
mengambil peran dalam pengarahan dan evaluasi kepemimpinan. Untuk peran mahasiswa tak dapat dipungkiri akan semakin besar karena di pundak mereka ada sebuah beban tanggung jawab dimana para mahasiswa dituntut harus membentuk pemimpin-pemimpin yang cakap untuk mengelola Indonesia yang lebih baik di masa depan. Agar peristiwa ini tak kembali terulang, Hak kebebasan berpendapat setiap warga negara benar-benar harus ditegakan. 4. Pada umumnya warga masyarakat memandang bahwa hukum yang diterapkan menurut apa yang terumus di dalamnya akan bermuara pada keadilan yang tidak mengenal perbedaan jenis kelamin. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum justru sering dijadikan alat pembenaran demi menerapkan ideology patriarkhi. Sebagai produk masyarakat dan produk politik, hukum tidak netral. Hukum selalu sarat dengan kepentingan yang mencerminkan nilai dan situasi sosial politik dan ekonomi pada saat hukum tersebut diciptakan. Dengan kata lain hukum mencerminkan standar nilai yang dianut masyarakat pada saat dibuat. Pada masyarakat yang menganut budaya patriakhis hukumnya akan sangat patriarkhi. Hukum dapat dikatakan sebagai konstruksi sosial dimana seksualitas perempuan didefenisikan. sebagai sebuah konstruksi sosial jelas bahwa hukum tidak dapat memenuhi tuntutan akan keadilan, karena sejak semula ia dirumuskan berdasarkan suatu ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dimana laki-laki dan perempuan didefenisikan secara berbeda tidak saja menurut jenis kelaminnya tetapi juga menurut defenisi sosialnya. Dalam kondisi seperti ini, hukum yang dilahirkan tidak lebih hanya sebagai suatu strategi untuk mempertahankan kekuasaan dari sebagian kecil orang yang menguasai berbagai sumber daya ekonomi, politik dan sosial budaya. Akibatnya, dalam pelaksanaannya hukum bermukan ganda dalam arti berdampak berbeda pada laki-laki dan perempuan yang akhirnya melahirkan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Temuan LBH APIK (1998) terhadap beberapa produk hukum yang diskriminatif dan tidak memperhatikan prinsip kesetaraan serta keadilan gender yaitu : GBHN mulai dari tahun 1978 sampai 1998 Perangkat UU, seperti UU No. 1 /1974 tentang perkawinan, UU No. 25 / 1998 tentang ketenagakerjaan , UU No. 64 / 1958 tentang kewarganegaraan dan KUHP bagian penganiayaan terhadap istri, bagian perkosaan dan perdagangan perempuan. Peraturan pemerintah yaitu PP No. 45 / 1990 tentang perubahan atas PP No. 10 / 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian.
Beberapa surat keputusan menteri dibidang ketenagakerjaan dan
beberapa peraturan daerah. Kebijakan kebijakan tersebut dapat dikatakan bahwa Negara secara khusus menciptakan perangkat kebijakan dan organisasi dengan tujuan mendepolitisasi perempuan. Terdapatnya produk hukum yang bias gender disebabkan karena perumus kebijakan yang merancang produk hukum dan para penegak hukum belum memahami permasalahan gender, sehingga masih banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan perlakuan hukum. Dalam deklarasi PBB tentang HAM ditegaskan bahwa manusia, perempuan dan laki-laki sejak dilahirkan membawa hak dan kebebasan dari martabat yang sama. Namun, persamaan hak, kebebasan dan martabat perempuan dan laki-laki belum sepenuhya terwujud. Contoh lain terdapatnya produk hukum yang bias gender dikemukakan oleh Katjasungkana bahwa pasal-pasal yang ada dalam hukum perdata yang berkaitan dengan perempuan didasarkan pada pandangan bahwa perempuan adalah lemah dan harus dilindungi oleh suaminya sehingga ia pun harus selalu patuh pada kehendak suaminya. Pasal 105 KUH perdata menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan seorang istri tidak dapat tampil di muka hakim, tidak dapat membuat kontrak tanpa bantuan suaminya. Pasal 108 juga mengatakan perempuan tidak dapat bertindak atas dirinya sendiri, tidak berhak atas pengurusan harta bersama dan wajib ikut suami. Sementara itu dalam KUH Pidana khususnya dalam ketentuan yang berkaitan dengan perempuan tidak hanya control terhadap tubuhnya sendiri. Pasal 285 KUH Pidana mengatur tentang perkosaan dengan asumsi yang dipakai adalah bahwa dalam hubungan seksual seorang istri harus selalu tunduk kepada suaminya. Karena itu seorang istri tidak dapat mengadukan suaminya jika terjadi hubungan seksual tanpa persetujuan. Contoh lain dalam pasal 207 KUH Pidana menganggap perempuan sama dengan anak laki-laki yang belum dewasa yang kurang atau belum bisa melindungi dirinya sendiri. Berbagai contoh di atas menjelaskan bahwa hukum adalah konstruksi sosial dimana dalam pengimplementasian banyak terjadi diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan. LANGKAH LANGKAH PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG HUKUM Persoalan berikutnya dalam mengkaji hubungan perempuan dan hukum adalah rendahnya akses dan control perempuan di bidang hukum. Satu contoh adalah bahwa hakim-hakim yang berjenis kelamin perempuan sangat sedikit. Dari data statistic gender diketahui bahwa
jumlah hakim agung hanya 17 % bila dibandingkan dengan laki-laki.
Menurut Moore, sungguhpun perempuan yang dididik dalam profesi peradilan pidana dan profesi hukum meningkat, namun mereka tidaklah dengan mudah diserap ke dalam pasar tenaga kerja. Banyak perempuan yang dididik dalam pelaksanaan UU, mendapatkan diri mereka sendiri tidak mampu memperoleh kedudukan dalam departemen kepolisian dan akhirnya bekerja sebagai pengatur lalu lintas, keamanan, dan pekerjaan-pekerjaan pengiriman berita. Kondisi ini juga diperparah oleh budaya kita dan diskriminasi structural di dalam bekerja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa polisi dan hakim dicap sebagai pekerja-pekerja yang keras dengan sifat maskulin. Hal ini tentu bertentangan dari pandangan masyarakat atas sikap lemah lembutnya perempuan. Diskriminasi structural biasanya berupa menyingkirkan atau menciptakan lingkungan kerja yang memusuhi perempuan. Belum lagi ditambah dengan upah ( bayaran ) yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian institusi hukum memperkuat norma-norma kekuasaan patriarkhis , karena melindungi kapitalisme serta memperkuat kelas, ras, dan prasangka-prasangka seksual. Di bawah patriarkhi perempuan tidak punya otoritas dalam system hukum baik itu menentukan ukuran-ukuran sanksi bagi terdakwa dan juga korban, memberikan perlindungan dan memulihkan kesehatan mental. Semuanya tergantung kepada system laki-laki tidak ada pembeda. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan langkah-langkah pemberdayaan perempuan di bidang hukum : a. Melakukan penataan system hukum nasional yang bersperspektif perempuan. Pendekatan hukum berperspektif perempuan muncul sekitar tahun 1970-an dan merupakan salah satu aliran terpenting dalam pemikiran ilmu hukum. Gagasan dari pendekatan hukum berperspektif perempuan ini bermula dari suatu asumsi dasar mengenai hubungan antara perempuan dan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum diinformasikan oleh laki-laki dan bertujuan memperkokoh hubunganhubungan sosial yang patriarkhis. Hubungan yang dimaksud adalah yang didasarkan pada norma. Pengalaman dan kekuasaan lakilaki serta mengabaikan pengalaman perempuan. Dengan demikian hukum dipandang telah menyumbang kepada penindasan terhadap perempuan. Dengan kata lain pendekatan hukum yang berperspektif perempuan mengacu kepada suatu bidang teori, pengajaran dan praktek mengenai bagaimana hukum berdampak kepada perempuan. Adapun inti gagasan hukum berperspektif perempuan meliputi beberapa hal :
1. Mempersoalkan perempuan dalam hukum adalah menguji apakah
hukum telah gagal memperhitungkan pengalaman perempuan, atau betapa standar ganda dan konsep hukum telah merugikan perempuan. 2. Mempersoalkan perempuan dalam hukum adalah rangka menerapkan metode kritis terhadap penerapan hukum. Pendekatan ini selanjutnya mempersoalkan tentang implikasi gender dari hukum yang mengabaikan perempuan. Doing law bagi seorang feminis adalah melihat ada apa dibalik perumusan hukum-hukum tersebut. Apa implikasi gender dari peraturan-peraturan hukum serta juga harus mengamati asumsi-asumsi dalam memecahkan persoalan 3. Konsekuensi metodologis, yaitu digunakannya kasus-kasus pengalaman perempuan sebagai unit analisis untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Ini merupakan cirri khas dari pendekatan hukum berperspektif perempuan. Yang membedakannya dari aliran mainstream pada umumnya yaitu tidak berasal dari teori yang mulukmuluk, tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman perempuan, melihat bagaimana perempuan dapat menikmati hak-hak dasarnya dan memperoleh perlindungan hukum. Berdasarkan pada pengalaman individual perempuan sehari-hari yang biasa dan kongkrit. Kemudian dimunculkan berbagai pengalaman yang dianut bersama. b. Peningkatan kuantitas perempuan sebagai aparat penegak hukum. Rendahnya kuantitas perempuan yang berkiprah di bidang hukum seharusnya menjadi agenda penting bagi pemerintah untuk memberdayakan perempuan di bidang ini. Hanya dengan cara demikian maka permasalahanpermasalahan perempuan di bidang hukum akan menjadi lebih baik dalam penerapan dan penafsirannya. c. Peningkatan pemahaman semua pihak dan penerapan UU No.7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. d. Penyusunan program aksi nasional penghapusan segala tindak kekerasan terhadap perempuan. e. Peningkatan perlindungan, penghormatan dan penegakan HAM bagi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. f. Pembentukan pusat rehabilitasi keluarga bagi perempuan korban tindak kekerasan. g. Peningkatan kesadaran hukum, kesetaraan dan keadilan gender bagi masyarakat. h. Perlindungan anak perempuan dan eksploitasi seksual komersial dan tindak kekerasan.