Anda di halaman 1dari 19

1

Kasus Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia Baru v. Jepang

A. Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia Baru v. Jepang
Latar Belakang
1. Southern Bluefin Tuna (SBT) adalah spesies ikan yang hidup berpindah-pindah yang
tercantum dalam daftar spesies yang sering bermigrasi di Annex I UNCLOS. SBT
bergerak secara luas melewati samudera Belahan Bumi Selatan, terutama di laut
bagian atas, namun mereka juga melintasi zona ekonomi eksklusif dan wilayah
perairan beberapa negara, salah satunya Australia, Selandia Baru, dan Afrika
Selatan. Mereka bertelur di perairan selatan Indonesia. Pasar utama untuk penjualan
SBT adalah di Jepang, dimana ikan dihargai sebagai makanan yang lezat untuk
sashimi.
2. Bagi para pihak yang bersengketa, panen untuk tujuan perniagaan terhadap SBT
merupakan hal yang lumrah dilakukan sejak 1950an, lalu pada 1961, penangkapan
global memuncak hingga 81.000 metrik ton (mt). Pada awal 1980an, persediaan SBT
sudah sangat berkurang akibat penangkapan yang berlebihan; diperkirakan
keberadaan induk SBT merosot hingga tersisa 23-30% saja dari data tahun 1960.
Pada 1982, Australia, Selandia Baru, dan Jepang secara tidak formal mulai
mengatur penangkapan SBT. Jepang bergabung dengan Australia dan Selandia
Baru pada 1985 untuk memperkenalkan adanya angka penangkapan maksimum
(total allowable catch, TAC) terhadap SBT yang diperbolehkan secara global, yakni
38.650 mt. Pada 1989, TAC yang disepakati adalah 11.750 ton, dengan alokasi
nasional 6.065 ton untuk Jepang, 5.265 ton untuk Australia, dan 420 ton untuk
Selandia Baru. Jepang sebagai pemanen terbesar, menopang potongan yang
terbesar pula. Namun, persediaan SBT terus merosot. Pada 1997, diperkirakan
hanya tersisa 7-15% dari data tahun 1960. Pengerahan atas persediaan SBT
memasukkan ikan baru ke dalam perikanan diperkirakan pada 1998 hanya
menambah persediaan menjadi sepertiga dari data tahun 1960. Adanya pembatasan
penangkapan SBT yang dilakukan oleh Jepang, Australia, dan Selandia Baru secara
lebih luas diimbangi oleh masuknya Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia, dan
beberapa negara lainnya. Adanya pembatasan penangkapan SBT akhirnya
berdampak pada pemulihan persediaan SBT di wilayah tengah antara Australia -
Selandia Baru dan Jepang.
2

3. Pada 1993, Australia, Jepang, dan Selandia Baru menyimpulkan adanya Konvensi
untuk Perlindungan Terhadap SBT (Convention for the Conservation of SBT,
CCSBT).
4. Pada Mei 1994, sebuah Komisi yang didirikan oleh CCSBT menetapkan TAC
sebesar 11.750 ton, dengan alokasi antara Jepang, Australia, dan Selandia Baru
yang disebutkan di atas. Setelah itu, tidak ada kesepakatan untuk mengubah level
atau pembagian TAC. Sejak 1994 Jepang mencari kenaikan di TAC dan
pembagiannya, namun ditentang oleh Selandia Baru dan Australia. Komisi
mempertahankan TAC pada level yang ada pada saat itu berkaitan dengan
ditemukannya jalan buntu, yakni sejak 1998, tidak dapat ditemui adanya
kesepakatan mengenai TAC. Saat kekosongan keputusan Komisi, para pihak pada
prakteknya telah mempertahankan TAC mereka yang ditetapkan pada 1994. Pada
saat yang sama, Jepang menekan Komisi untuk tidak hanya meningkatkan TAC,
tetapi juga untuk menyetujui adanya Experimental Fishing Program (EFP), yang
mana memperbolehkan adanya penangkapan ikan sebanyak 6.000 ton per tahun,
selama 3 tahun, berkaitan dengan pembagian untuk perniagaan Jepang dan
berkaitan pula dengan usaha agar TAC Jepang ditingkatkan.
5. Selandia Baru dan Australia menolak adanya EFP karena tidak sesuai dengan
kerangka perjanjian CCSBT. Berdasarkan pembukaan pada CCSBT disebutkan
bahwa CCSBT secara sukarela menjadikan UNCLOS sebagai payung hukum dari
CCSBT. Maka dari itu, Selandia Baru dan Australia melaporkan adanya sengketa
tersebut kepada Pengadilan Arbitrase dan mengajukan adanya Provisional
Measures kepada ITLOS melawan Jepang.

Sejarah Prosedural
1. Pada 31 Agustus 1998 Australia dan Selandia Baru menyampaikan kepada Jepang
akan adanya nota diplomatis yang secara formal memberitahukan kepada Jepang
akan adanya sengketa antara Australia dan Selandia Baru di satu pihak, dan Jepang
di pihak lainnya, mengenai perlindungan dan manajemen atas ikan Southern Bluefin
Tuna. Pada 15 Juli 1999, Australia dan Selandia Baru secara masing-masing
menyampaikan kepada Jepang suatu Statement of Claim and Grounds on Which it is
Based
1
. Australia dan Selandia Baru dengan cara demikian memulai proses

1
Statement of Claim menurut Blacks Law Dictionary 4th Edition: Suatu pernyataan tertulis atau tercetak oleh
penggugat pada peradilan Inggris (Anglo Saxon), yang menunjukkan fakta-fakta yang ia andalkan untuk
mendukung tuntutannya kepada tergugat dan keringanan atas tuntutannya. Hal tersebut disampaikan kepada
tergugat atau kuasa hukumnya. Penyampaian pernyataan biasanya merupakan langkah yang ditempuh setelah
adanya kedatangan di pengadilan dan merupakan permulaan atas adanya pembelaan.
3

arbitrase melawan Jepang berdasarkan Annex VII United Nations Convention on The
Law of The Sea (UNCLOS).
2. Seraya menantikan konstitusi atas Pengadilan Arbitrase ini berdasarkan Annex VII
UNCLOS, Australia dan Selandia Baru, pada 30 Juli 1999, masing-masing
mengajukan permohonan akan adanya Provisional Measures
2
kepada The
International Tribunal for The Law of The Sea (ITLOS).
3. Pada 9 Agustus 1999, berdasarkan adanya undangan dari Presiden ITLOS, Jepang
mengajukan pernyataan tunggal sebagai balasan dari permohonan Australia dan
Selandia Baru. Jepang menyatakan adanya keberatan atas yurisdiksi ITLOS.
4. Pada 16 Agustus 1999, ITLOS mengeluarkan perintah yang berkenaan dengan
adanya permohonan-permohonan atas adanya Provisional Measures. Dengar
pendapat atas permohonan Provisional Measures diadakan oleh ITLOS di Hamburg
pada 18, 19, dan 20 Agustus 1999.
5. Pada 27 Agustus 1999, ITLOS mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa
Pengadilan Arbitrase memiliki yurisdiksi dan menentukan adanya Provisional
Measures tertentu.
6. Berdasarkan penunjukkan-penunjukkan tersebut, Pengadilan Arbitrase
dikonstitusikan.
7. Pada 19 Januari 2000, para pihak bertemu dengan Ketua Pengadilan Arbitrase di
Den Haag. Hasil dari konsultasi ini adalah adanya kesepakatan atas penjadwalan
pengajuan pembelaan berkenaan dengan keberatan Jepang atas adanya yurisdiksi
ITLOS dan dengar pendapat akan adanya yurisdiksi ITLOS yang akan
diselenggarakan di Washington D.C. pada awal Mei 2000, yang difasilitasi oleh Bank
Dunia
3
. Berdasarkan konsultasi dengan anggota lain dari Pengadilan Arbitrase,
Ketua Pengadilan Arbitrase kemudian menentukan adanya dengar pendapat atas
yurisdiksi pada 7 Mei hingga 11 Mei 2000, yang disepakati oleh para pihak.
8. Pada 19 Januari 2000, pada pertemuan dengan Ketua Pengadilan Arbitrase, para
pihak sepakat bahwa Pengadilan akan menetapkan Panitera, yang akan mengawasi
kepaniteraan. Para pihak menyatakan bahwa mereka akan menerima dengan
senang hati adanya penunjukan tersebut demi tercapainya pelaksanaan International
Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang resmi dan layak.

2
Provisional Measures menurut J.G. Merills adalah wewenang Mahkamah untuk menyatakan diberlakukannya
suatu tindakan perlindungan sementara, membolehkan suatu intervensi dan menafsirkan atau mengubah
suatu putusan. J. G. Merrills, International Dispute Settlement, 1995, Cambridge: Grotus Publications Ltd., 2nd
Edition.
3
Para pihak juga setuju bahwa pada 19 Januari 2000 akan diselenggarakan pertemuan dengan Ketua
Pengadilan Arbitrase, yang mana bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Inggris dan biaya proses akan
didistribusikan kepada pihak-pihak yang bersengketa dan pemberian upah akan ditawarkan kepada anggota
dari Pengadilan Arbitrase.
4

Berdasarkan kepada konsultasi dengan Sekertaris Jenderal ICSID, Ketua
Pengadilan Arbitrase menulis kepada Kesekretariatan ICSID pada 3 Februari 2000
untuk mempertanyakan apakah ICSID akan mempersiapkan pejabat-pejabatnya dan
fasilitas-fasilitasnya tersedia untuk mendukung proses. Melalui surat pada hari yang
sama, ICSID membalas dengan penerimaan. Mrs. Margrete L. Stevens dan Messrs.
Alejandro A. Escobar dan Antonio R. Parra adalah pejabat-pejabat ICSID yang
ditunjuk sebagai sekretaris bersama dari Pengadilan.
9. Pada korespondensi antara ICSID dan para pihak selanjutnya, tugas-tugas ICSID
yang berkenaan dengan proses diuraikan. ICSID akan berperan sebagai Panitera,
menjadi saluran resmi dalam berkomunikasi antara para pihak dengan Pengadilan
Arbitrase; membuat catatan atas dengar pendapat tentang yurisdiksi; membuat
susunan tentang hal-hal yang penting dalam dengar pendapat; dan membayar biaya
anggota Pengadilan Arbitrase dari dana yang dihimpun oleh para pihak, mengganti
uang perjalanan dan biaya-biaya lainnya yang dibutuhkan berkaitan dengan proses.
10. Pada 11 Februari 2000, Jepang mengajukan memori keberatannya atas yuridiksi.
Melalui surat pada hari yang sama, ICSID menyampaikan salinan dari memori
keberatan tersebut kepada anggota-anggota Pengadilan Arbitrase.
11. Mengenai pengajuan memori keberatan Jepang, para pihak saling berkoresponden
untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya tentang judul yang diberikan atas proses.
Australia dan Selandia Baru mengajukan judul Kasus Southern Bluefin Tuna,
sedangkan Jepang mengajukan judul Kasus Mengenai Konvensi atas Perlindungan
Southern Bluefin Tuna atau sebagai alternatifnya, Australia dan Selandia Baru v.
Jepang. Pada 17 Februari 2000, Ketua Pengadilan Arbitrase memberitahukan
kepada para pihak bahwa, hingga Pengadilan Arbitrase mempunyai kesempatan
untuk bertemu untuk mempertimbangkan dan menyelesaikan perkara, judul-judul
dari Australia dan Selandia Baru maupun Jepang akan digunakan secara
bersamaan. Pada pembukaan dari dengar pendapat atas yuridiksi pada 7 Mei 2000,
Ketua Pengadilan Arbitrase mengumumkan bahwa, Australia dan Selandia Baru
akan dipertimbangkan menjadi satu pihak di dalam proses dan judul yang digunakan
adalah Kasus Southern Bluefin Tuna Australia dan Selandia Baru v. Jepang.
12. Pada 22 Februari 2000, Australia dan Selandia Baru mengajukan salinan dokumen
yang digunakan pada proses Provisional Measures dihadapan ITLOS. Salinan
tersebut disebarkan ke Jepang dan ke setiap anggota dari Pengadilan Arbitrase
melalui ICSID, pada 23 Februari 2000.
13. Pada 31 Maret 2000, Australia dan Selandia Baru mengajukan jawaban gabungan
terhadap yurisdiksi. Salinan dari jawaban tersebut disebarkan kepada para anggota
dari Pengadilan Arbitrase dan kepada Jepang melalui ICSID pada 3 April 2000.
5

14. Pada 3 April 2000, sebuah agenda permulaan didistribusikan kepada para pihak
sebagai pendahuluan dari dengar pendapat atas yurisdiksi. Peninjauan mengenai
draf agenda diterima dari Australia dan Selandia Baru dan dari Jepang.
15. Dengar pendapat atas yurisdiksi diadakan di kedudukan ICSID di markas besar Bank
Dunia di Washington D.C. dari 7 Mei hingga 11 Mei 2000. Ketua Pengadilan
Arbitrase mengumumkan adanya permulaan prosedural atas persoalan yang
disetujui oleh para pihak, termasuk nama dari kasus, akses publik kepada dengar
pendapat, penyiaran atas transkrip sementara atas dengar pendapat di website
ICSID, dan rekaman video dari dengar pendapat.
16. Jepang mempresentasikan argumen lisannya atas keberatannya terhadap yurisdiksi
dan tentang hal-hal yang dapat diterima pada 7 Mei. Australia dan Selandia Baru
kemudian mempresentasikan argumen lisan mereka tentang yurisdiksi dan hal-hal
yang dapat diterima pada 8 Mei. Diikuti satu hari jeda, Jepang mempresentasikan
bidasannya pada 10 Mei. Australia dan Selandia Baru kemudian mempresentasikan
bidasan baliknya pada 11 Mei 2000. Terjemahan yang dilakukan secara serentak
kepada Jepang disediakan saat dengar pendapat.
17. Agen dan Penasihat Jepang yang ditunjuk untuk Pengadilan Arbitrase adalah:
a. Shotaro Yachi, Agen Jepang, Direktur Jenderal Biro Perjanjian, Kementerian
Luar Negeri, Tokyo
b. Nisuke Ando, Profesor Hukum Internasional, Universitas Doshisha dan Profesor
Emeritus, Universitas Kyoto
c. Sir Elihu Lauterpacht, Q.C., C.B.E.
d. Shabtai Rosenne, Anggota dari Israel Bar, Anggota dari Institut Hukum
Internasional
e. Vaughan Lowe, ChiceleProfessor Hukum Internasional Publik, All Souls College,
Universitas Oxford
18. Agen dan Penasihat Australia dan Selandia Baru yang ditunjuk untuk Pengadilan
Arbitrase adalah:
a. Bill Campbell, Agen Australia, Asisten Sekretaris Pertama, Kantor Hukum
Internasional, Departemen Advokat Jenderal, Canberra
b. Tim Caughley, Agen Selandia Baru, Penasihat Hukum Internasional dan Direktur
Divisi Hukum Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan, Wellington
c. James Crawford, Whewell Professor Hukum Internasional, Universitas
Cambridge
d. Henry Burmester Q.C., Kepala Penasihat Jenderal, Kantor Kuasa Hukum
Pemerintah Australia, Canberra
6

e. Mark Jennings, Penasihat Senior, Kantor Hukum Internasional, Departemen
Advokat Jenderal, Canberra
f. Elana Geddis, Penasihat Hukum, Divisi Hukum Kementerian Luar Negeri dan
Perdagangan, Wellington
g. Rebecca Irwin, Kepala Perwira Hukum, Kantor Hukum Internasional,
Departemen Advokat Jenderal, Canberra
h. Andrew Serdy, Perwira Eksekutif, Hukum Laut, Cabang Hukum, Departemen
Luar Negeri dan Perdagangan, Canberra
19. Pada dengar pendapat atas yurisdiksi, masing-masing pihak menyerahkan salinan
materi untuk membantu para anggota Pengadilan Arbitrase. Jepang menyerahkan
empat jilid salinan materi yang berisi teks perjanjian yang mengacu kepada Annex 47
dari memori yurisdiksi Jepang. Transkrip harfiah sementara yang mencakup materi
dengar pendapat setiap harinya, pada hari yang sama didistribusikan secara
elektronik kepada para pihak dan ICSID. Pada pagi hari setelahnya setiap harinya
sebelum dengar pendapat, setiap pihak menerima salinan naskah dari ICSID yang
berisi transkrip harfiah dan rekaman audio untuk hari tersebut. Salinan dari transkrip
demikian juga disediakan oleh ICSID kepada setiap anggota dari Pengadilan
Arbitrase dan dipublikasikan pada website ICSID.
20. Pada 10 Mei 2000, Pengadilan Arbitrase mengajukan beberapa pertanyaan kepada
para pihak yang timbul berdasarkan pembelaan dan presentasi lisan. Kedua pihak
menyatakan bahwa mereka akan menjawab pertanyaan-pertanyaan Pengadilan
Arbitrase secara tertulis. Pada 26 Mei 2000, masing-masing pihak mengumpulkan
jawaban-jawaban tersebut kepada ICSID, bersamaan dengan koreksi atas transkrip
harfiah yang dibuat berdasarkan dengar pendapat. Melalui surat pada tanggal yang
sama, ICSID menyebarkan salinan jawaban para pihak dan koreksi atas transkrip
harfiah kepada para anggota Pengadilan Arbitrase dan satu pihak dengan pihak
lainnya.

Sumber:
Southern Bluefin Tuna Case - Australia and Selandia Baru v. Japan
Award on Jurisdiction and Admissibility
August 4, 2000
rendered by
the Arbitral Tribunal
7

constituted under Annex VII of the
United Nations Convention on the Law of the Sea

B. Putusan The International Tribunal for The Law of The Sea (ITLOS) Terhadap Kasus
Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia Baru v. Jepang
Hasil dari perselisihan yang diajukan oleh Australia dan Selandia Baru terhadap
Jepang yang diselesaikan di International Tribunal on the Law of the Sea (ITLOS)
adalah:
1. Mengatur , menunggu keputusan siding arbitrase, langkah-langkah berikut :
A. Australia, Jepang dan Selandia Baru memastikan bahwa tindakan yang diambil
yang mungkin memperburuk atau memperpanjang perselisihan disampaikan
kepada majelis arbitrase.
B. Australia, Jepang dan Selandia Baru masing-masing akan memastikan bahwa
tidak ada tindakan yang diambil yang dapat mengganggu keluarnya putusan
merrits dari arbitral tribunal.
C. Australia, Jepang dan Selandia Baru harus menjalankan perjanjian, kecuali ada
perjanjian lain, bahwa jumlah penangkapan ikan tahunan tidak melebihi alokasi
sebagaimana telah diatur dalam perjanjian CSBT, yaitu 5.265 ton, 6.065 ton, dan
420 ton, secara berurutan, untuk penghitungan total penangkapan tahunan
untuk tahun 1999 dan 2000, dan penghitungan ini adalah untuk penangkapan
selama tahun 1999, termasuk penangkapan ikan eksperimental.
D. Australia, Jepang dan Selandia Baru masing-masing akan menahan diri dari
melakukan suatu Program penangkapan ikan eksperimental yang melibatkan
penangkapan tuna sirip biru selatan, kecuali dengan kesepakatan para pihak lain
atau kecuali penangkapan eksperimental itu dihitung terhadap alokasi nasional
tahunan sebagaimana diatur dalam sub ayat (c).
E. Australia, Jepang dan Selandia Baru harus melanjutkan perundingan tanpa
penundaan dengan pandangan untuk mencapai kesepakatan tentang langkah-
langkah untuk konservasi dan pengelolaan tuna sirip biru selatan.
F. Australia, Jepang dan Selandia Baru harus melakukan upaya lebih lanjut untuk
mencapai kesepakatan dengan negara lain dan badan-badan pemancingan
yang terkait dalam penangkapan ikan tuna sirip biru selatan, dengan pandangan
untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal dari
saham.
8

2. Memutuskan bahwa masing masing pihak harus menyerahkan laporan awal
sebagaimana dimaksud dalam pasal 95, ayat 1,Peraturan selambat-lambatnya 6
Oktober 1999, dan memberi kewenangan pada Presiden Tribunal untuk meminta
laporan dan informasi lebih lanjut di waktu yang jadi anggap tepat setelah tanggal
tersebut.
3. Memutuskan, sesuai dengan pasal 290, ayat 4, dari Konvensi dan pasal 94 dari
Aturan, bahwa putusan sela yang ditentukan dalam Putusan ini wajib segera
diberitahukan oleh Panitera melalui cara-cara yang tepat untuk semua Negara Pihak
Konvensi berpartisipasi dalam perikanan untuk tuna sirip biru selatan.
Dari urutan putusan di atas yang paling penting adalah putusan yang dengan 18
hasil voting, ITLOS memutuskan bahwa Australia, Jepang dan Selandia Baru harus
menjalankan perjanjian, kecuali ada perjanjian lain, bahwa jumlah penangkapan
ikan tahunan tidak melebihi alokasi sebagaimana telah diatur dalam perjanjian
CSBT, yaitu 5.265 ton, 6.065 ton, dan 420 ton, secara berurutan, untuk
penghitungan total penangkapan tahunan untuk tahun 1999 dan 2000, dan
penghitungan ini adalah untuk penangkapan selama tahun 1999, termasuk
penangkapan ikan eksperimental.
Hal ini berarti, bahwa pihak-pihak yang terkait tidak diperbolehkan untuk menangkap
SBT diluar kuota tangkapan ikan tahunannya sesuai dengan yang telah diatur didalam
CSBT, baik dengan alasan untuk penangkapan ikan eksperimental maupun
penangkapan ikan di laut lepas.

C. Pertimbangan Hukum Terhadap Putusan Kasus Southern Bluefin Tuna Case
Australia dan Selandia Baru v. Jepang
SOUTHERN BLUEFIN TUNA CASES
(Selandia Baru v. Japan; Australia v. Japan)
Award on Jurisdiction and Admissibility
August 4, 2000
Rendered by
The Arbitral Tribunal
constituted under Annex VII of the
United Nations Convention on the Law of the Sea
9


1. Tribunal sadar posisinya sebagai pengadilan pertama arbitrase yang akan dibentuk di
bawah Bagian XV ("Penyelesaian Sengketa"), Annex VII ("Arbitrase") dari UNCLOS.
2. Dengan memperhatikan Submissions akhir dari Para Pihak, Tribunal awalnya akan
membahas contention bahwa kasus ini telah menjadi diperdebatkan dan harus
dihentikan. Menurut Tribunal, kasus ini tidak dapat diperdebatkan. Jika para Pihak bisa
setuju pada program memancing eksperimental, unsur yang akan membatasi
tangkapan di luar de facto batas TAC 1500 mt, bahwa aspek yang menonjol dari
sengketa mereka memang akan diselesaikan; tapi Australia dan Selandia Baru tidak
menerima tawaran tersebut atau pembatasan oleh Jepang.
3. Dalam kasus ini, Tribunal yang memutuskan apakah "sengketa sebenarnya" antara
para Pihak tidak atau tidak beralasan berhubungan dengan kewajiban yang tercantum
dalam perjanjian yang diduga pelanggaran.
4. Tribunal menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan dalam UNCLOS yang tidak
diatur di dalam CCSBT maupun TAC (Art. 117-119), sehingga yurisdiksi ITLOS bisa
masuk. Pasal 5 ayat 1 CCSBT menyatakan bahwa setiap pihak harus mengambil
segala tindakan yang diperlukan untuk memastikan penegakan Konvensi ini dan
pemenuhan langkah yang mengikat. Terlebih lagi, peraturan UNCLOS tidak mungkin
bertentangan dengan ketentuan CCSBT karena CCSBT dirancang untuk
melaksanakan prinsip-prinsip yang ada dalam UNCLOS. Berdasarkan alasan-alasan
Tribunal menyimpulkan bahwa sengketa antara Australia dan Selandia Baru melawan
Jepang tersebut juga merupakan wewenang UNCLOS.
5. Tribunal menyepakati bahwa Pasal 16 Konvensi 1993 merupakan kesepakatan antara
para pihak untuk mencari penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan pilihan
mereka sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun sengketa ini
berdasarkan Konvensi 1993, UNCLOS juga memiliki wewenang terhadapnya. Hal ini
disebabkan pihak-pihak yang bersengketa merupakan pihak-pihak yang sama bukan
dalam sengketa berbeda tapi sebenarnya merupakan satu sengketa yang timbul
dibawah kedua Konvensi tersebut.
6. Tribunal menyimpulkan bahwa Pasal 16 Konvensi 1993 meniadakan adanya
prosedur lebih lanjut berkaitan dengan Pasal 281 (1) UNCLOS. Ada dua
pertimbangan lain menurut Tribunal yang mendukung kesimpulan ini yaitu yang
pertama, prosedur yang wajib dilakukan memerlukan keputusan mengikat faktanya
telah ditentukan Bagian XV UNCLOS untuk semua anggota UNCLOS. Pasal 286,
menyatakan bahwa apabila tidak ada penyelesaian yang dicapai menurut section 1,
10

sengketa tersebut dapat diajukan oleh pihak manapun ke pengadilan yang memiliki
yurisdiksi (dibawah Pasal 297).
7. Isi Pasal 297 UNCLOS menyatakan bahwa UNCLOS memiliki yurisdiksi untuk
menangani kasus-kasus diantaranya kasus-kasus yang melibatkan perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan laut.
8. Pertimbangan kedua adalah bahwa Tribunal menyadari fakta bahwa sejumlah besar
perjanjian internasional dengan unsure maritime yang diadakan setelah disahkannya
UNCLOS, mengecualikan dengan berbagai tingkat ketegasan, referensi sepihak suatu
sengketa untuk diselesaikan dengan keputusan mengikat atau prosedur arbitrase.
Perjanjian-perjanjian lain menutup kemungkinan pengajuan sengketa keputusan
mengikat dan arbitrase atau ajudikasi secara sepihak, bukan hanya pernyataan tegas
keharusan penyelesaian sengketa dengan prosedur yang disetujui bersama, tapi juga
seperti dalam Pasal 16 Konvensi 1993, mengharuskan para pihak untuk terus
berusaha menyelesaikan sengketa secara damai sesuai pilihan cara mereka sendiri.
Untuk meyakinkan bahwa sengketa yang menyebabkan kewajiban dibawah UNCLOS
dan perjanjian pelaksana seperti Konvensi 1993 harus dibawa dalam jangkauan
section 2 Bagian XV UNCLOS yang akan efektif untuk menghilangkan efek
substansial ketentuan penyelesaian sengketa perjanjian pelaksana yang mengatur
penyelesaian sengketa dengan cara pilihan para pihak.
9. Dari analisis di atas, Tribunal ini tidak memiliki yurisdiksi mengenai merits sengketa
Australia dan Selandia Baru melawan Jepang. Tribunal merasa tidak perlu untuk
melanjutkan ke persoalan mengenai diterima atau tidaknya sengketa ini. Ditambahkan
pula, Tribunal tidak menemukan bahwa proses yang dibawa ke ITLOS dan Tribunal
merupakan penyalahgunaan proses; sebaliknya proses yang dijalankan telah
konstruktif.
10. Dalam pandangan bahwa Tribunal tidak memiliki yurisdiksi terhadap merits sengketa,
dan isi Pasal 290 (5) UNCLOS, Order ITLOS tanggal 27 Agustus 1999, Putusan Sela,
harus tidak berlaku lagi sejak tanggal ditandatanganinya Putusan ini.
11. Namun, pencabutan Order ITLOS tanggal 27 Agustus 1999, Putusan Sela, tidak
berarti bahwa para pihak dapat mengabaikan hasil dari Order ini atau keputusan
mereka yang menyesuaikannya. Order dan keputusan-keputusan tersebut
berdampak: tidak hanya dalam penghentian program memancing eksperimental yang
dilakukan Jepang secara sepihak selama Order berlaku, tetapi juga pada perspektif
dan tindakan para pihak.
12. Apapun cara penyelesaian sengketa secara damai yang dipilih para pihak, Tribunal
menegaskan bahwa prospek untuk penyelesaian sengketa yang sukses adalah
11

dimana para pihak tidak melakukan tindakan sepihak yang dapat memperburuk
sengketa sementara belum tercapai suatu solusi.

SOUTHERN BLUEFIN TUNA CASES
(Selandia Baru v. Japan; Australia v. Japan)
August, 1999
Request for Provisional Measures

Tribunal, setelah musyawarah,

Dengan memperhatikan Pasal 287 ayat 5, dan Pasal 290 United Nation Convention on the
Law of the Sea (selanjutnya Konvensi atau Konvensi Hukum Laut) dan Pasal 21 dan 25
Statute of the Tribunal (selanjutnya Statuta),

Dengan memperhatikan Pasal 89 dan 90 the Rules of the Tribunal (selanjutnya the Rules),
1. Menimbang bahwa, berdasarkan Pasal 286 dan 287 Konvensi, Australia dan Selandia
Baru keduanya telah melaksanakan persidangan dalam Pengadilan Arbitrase melawan
Jepang dalam sengketa mereka mengenai Southern Bluefin Tuna
2. Menimbang bahwa, Australia dan Selandia Baru pada 15 Juli 1999 telah menotifikasi
Jepang tentang pengajuan sengketa ke pengadilan arbitrase dan tentang Permohonan
Putusan Sela
3. Menimbang bahwa pada 30 Juli 1999, setelah daluwarsanya jangka waktu dua minggu
berdasarkan Pasal 290 ayat 5 Konvensi, Australia dan Selandia Baru mengajukan
Permohonan Putusan sela kepada Tribunal
4. Menimbang bahwa sebelum melaksanakan Putusan Sela berdasarkan Pasal 290 ayat 5
Konvensi, Tribunal harus meyakinkan diri bahwa prima facie pengadilan arbitrase
memiliki yurisdiksi
5. Menimbang bahwa Australia dan Selandia Baru telah dipanggil sebagai dasar yurisdiksi
pengadilan arbitrase Pasal 288 ayat 1 Konvensi menyatakan :
Suatu mahkamah atau pengadilan yang dimaksud Pasal 287 harus memiliki yurisdiksi
atas sengketa apapun mengenai interpretasi atau aplikasi Konvensi ini yang diserahkan
padanya sesuai dengan bagian ini
12

6. Menimbang bahwa Jepang menyatakan bahwa sengketa ini adalah masalah ilmiah
daripada masalah hukum
7. Menimbang bahwa, dalam pandangan Tribunal, perbedaan antara para pihak juga
mengenai perihal-perihal hukum
8. Menimbang bahwa, dalam pandangan Tribunal, suatu sengketa adalah suatu
perbedaan pendapat dalam hal hukum atau fakta, konflik dalam pandangan hukum atau
kepentingan (Mavrommatis Palestine Concessions, Judgment No. 2, 1924, PCIJ, Series
A, No. 2, p. 11), dan hal itu harus menunjukkan bahwa klaim dari salah satu pihak
secara positif ditentang oleh pihak yang lain (South West Africa, Preliminary Objections,
Judgment, ICJ Reports 1962, p.328)
9. Menimbang bahwa Australia dan Selandia Baru menyatakan bahwa Jepang, dengan
sepihak merancang dan melakukan program memancing eksperimental, telah gagal
mematuhi kewajiban dalam Pasal 64 dan 116 sampai 119 Konvensi, dengan ketentuan
the Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna of 1993 (selanjutnya
Konvensi 1993) dan dengan peraturan hukum kebiasaan internasional
10. Menimbang bahwa Jepang mempertahankan pendapat bahwa sengketa adalah
mengenai interpretasi atau implementasi Konvensi 1993 dan bukan mengenai
interpretasi atau aplikasi Konvensi
11. Menimbang bahwa Jepang membantah bahwa mereka telah gagal memenuhi ketentuan
Konvensi yang dimaksud oleh Australia dan Selandia Baru
12. Menimbang bahwa daftar spesies yang sering bermigrasi tercantum dalam Annex I
Konvensi meliputi tuna sirip biru selatan: Thunnus maccoyii
13. Menimbang bahwa, menurut Tribunal, ketentuan Konvensi yang diajukan Australia dan
Selandia Baru tampaknya memberi dasar yurisdiksi pengadilan arbitrase
14. Menimbang bahwa negosiasi dan konsultasi telah dilakukan para pihak dan catatan
menunjukkan negosiasi ini dianggap Australia dan Selandia Baru dibawah Konvensi
1993 dan juga Konvensi
15. Menimbang bahwa Tribunal mendapati bahwa pengadilan arbitrase akan memiliki
yurisdiksi yang prima facie atas sengketa
16. Menimbang bahwa menurut Pasal 290 ayat 5 Konvensi, Putusan Sela dapat
dilaksanakan untuk menunda sidang arbitrase jika Tribunal menganggap urgensi situasi
sangat membutuhkannya
17. Menimbang bahwa, sesuai Pasal 290 ayat 5 Konvensi, pengadilan arbitrase, setelah
dibentuk, dapat memodifikasi, mencabut, atau menegaskan setiap putusan sela yang
ditentukan Tribunal tersebut
13

18. Menimbang bahwa sesuai Pasal 290 Konvensi, Tribunal dapat menetapkan putusan
sela untuk mempertahankan hak-hak para pihak yang bersengketa atau untuk
mencegah bahaya yang serius terhadap lingkungan laut
19. Menimbang bahwa Australia dan Selandia Baru berpendapat bahwa dengan tindakan
sepihak Jepang menerapkan program memancing eksperimental telah melanggar hak-
hak Australia dan Selandia Baru dibawah Pasal 64 dan Pasal 116-119 Konvensi
20. Menimbang bahwa Australia dan Selandia Baru berpendapat bahwa penangkapan tuna
sirip biru selatan lebih lanjut, menunggu hearing dari pengadilan arbitrase, akan
menyebabkan kerugian langsung terhadap hak-hak mereka
21. Menimbang bahwa the Conservation of the living resources of the sea adalah unsure
dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
22. Menimbang bahwa, dalam pandangan Tribunal, para pihak harus bertindak dengan
bijaksana dan hati-hati untuk memastikan langkah-langkah konservasi yang efektif yang
diambil untuk mencegah bahaya serius terhadap stok tuna sirip biru selatan
23. Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, Tribunal berpandangan bahwa
Putusan Sela sesuai dalam situasi ini
24. Menimbang bahwa sesuai Pasal 89 ayat 5 the Rules, Tribunal dapat menetapkan
measure yang berbeda secara keseluruhan atau sebagian dari yang dimintakan
25. Menimbang bahwa kekuatan mengikat dari measures yang ditetapkan dan persyaratan
dalam Pasal 290 ayat 6 Konvensi yang sesuai dengan measures segera dilaksanakan
26. Menimbang bahwa sesuai Pasal 95 ayat 1 the Rules, para pihak wajib menyampaikan
laporan dan informasi mengenai kepatuhan terhadap putusan sela yang ditetapkan
27. Menimbang bahwa Tribunal mungkin perlu meminta informasi lebih lanjut dari para pihak
dalam pelaksanaan putusan sela dan bahwa Presiden Tribunal berwenang untuk
meminta informasi tersebut sesuai Pasal 95 ayat 2 the Rules

D. Identifikasi Masalah Kasus Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia
Baru v. Jepang
1. Apakah putusan yang dikeluarkan International Tribunal for Law of The Sea (ITLOS)
terkait Southern Bluefin Tuna Cases sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam prinsip-prinsip Hukum Internasional?
2. Apakah ITLOS dibawah UNCLOS memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan memutus
kasus ini ?
3. Apakah Selandia Baru dan Australia berhak untuk menghentikan EFP (experimental
fishing programme) Jepang di bawah CCBST (Convention for the Conservation of
Southern Bluefin Tuna) ?

14

E. Analisis Hukum Mengenai Kasus Southern Bluefin Tuna Case Australia dan
Selandia Baru v. Jepang
1. Putusan yang dikeluarkan International Tribunal for Law of The Sea (ITLOS)
terkait Southern Bluefin Tuna Cases
Australia dan Selandia Baru mendasarkan gugatannya pada Article-article Law
of the Sea (LOS), yang diadopsi oleh Convention for the Conservation of Southern
Bluefin Tuna 1993 (CSBT) karena wilayah yang dicakup oleh CSBT tidak meliputi
Samudera Hindia dimana Jepang melakukan unilateral experimental fishing-nya.
Artikel-artikel yang dijadikan sebagai gugatan adalah: Law of the Sea (LOS) Article 64
tentang Highly migratory species, Article 116 tentang Right to fish on the high seas,
Article 117 tentang Duty of States to adopt with respect to their nationals measures for
the conservation of the living resources of the high seas, Article 118 tentang
Cooperation of States in the conservation and management of living resources, Article
119 tentang Conservation of the living resources of the high seas, Article 300 tentang
Good faith and abuse of rights, Article 297 tentang Limitations on applicability of
section 2, Article 290 tentang Provisional measures.
Berdasarkan gugatan tersebut, putusan yang dikeluarkan oleh International
Tribunal for Law of The Sea (ITLOS) terkait Southern Bluefin Tuna Cases adalah
mencakup sebagai berikut :
ITLOS memutuskan bahwa Australia, Jepang dan Selandia Baru harus
menjalankan perjanjian, kecuali ada perjanjian lain;
bahwa jumlah penangkapan ikan tahunan tidak melebihi alokasi sebagaimana telah
diatur dalam perjanjian CSBT, yaitu 5.265 ton, 6.065 ton, dan 420 ton, secara
berurutan termasuk penangkapan ikan secara eksperimental.
Secara keseluruhan putusan yang dikeluarkan oleh ITLOS sudah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam prinsip-prinsip Hukum Internasional terutama
Hukum Lingkungan Internasional dan Konvensi Hukum Laut. Dalam hukum
lingkungan internasional, Jepang telah melanggar prinsip pencegahan yang dimana
telah dianggap sebagai norma dalam hukum kebiasaan internasional. Prinsip
pencegahan adalah suatu prinsip yang menjadikan perlindungan lingkungan sebagai
salah satu tujuan utama. Seperti yang telah dijelaskan dari tahun ke tahun angka
populasi dari Southern Bluefin Tuna (SBT) terus mengalami penurunan dan di
Indonesia sendiri hewan tersebut kini dianggap sebagai salah satu hewan langka yang
dilindungi karena populasinya semakin sedikit. Prinsip ini bertujuan untuk menjaga
keseimbangan alam. Jepang sendiri telah dianggap melakukan eksperimen
penangkapan ikan TBB secara sepihak dan telah gagal dalam mengambil langkah-
15

langkah guna melakukan konservasi dan menejemn TBB di laut lepas yang tidak
mendukung prinsip pencegahan tersebut. Prinsip pencegahan telah diakui oleh ICJ
yang menyatakan bahwa pencegahan diwajibkan karena kerusakan lingkungan
seringkali bersifat tidak bisa dipulihkan (irreversible) dan karena adanya keterbatasan
kemampuan kita untuk memulihan kerusakan lingkungan jika hal itu terjadi
4
. Selain itu
Jepang juga telah dianggap melanggar Pasal 64, 116 119 dan 300 Konvensi hukum
laut yang mana telah disepakati sebelumnya.

2. Yurisdiksi ITLOS dibawah UNCLOS untuk mengadili dan memutus kasus ini
Terkait penyelesaian sengketa dalam bidang hukum laut sebelum UNCLOS
1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya.
Yaitu sengketa diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi-institusi
peradilan internasional yang sudah ada.
Setelah UNCLOS lahir, negara-negara diarahkan untuk segera menyelesaikan
sengketa yang berhubungan dengan laut. Negara- negara tidak dapat lagi menunda-
nunda penyelesaian sengketa dengan bersembunyi di balik kedaulatan negara. Suatu
negara dapat menunda penyelesaian sengketa bila negara lain yang terlibat dalam
sengketa setuju untuk itu. Jika tidak ada persetujuan demikian. Maka mekanisme
prosedur memaksa (compulsory procedures) dalam UNCLOS 1982 harus
diberlakukan.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa negara-negara yang menghadapi
sengketa diharuskan menyelesaikan sengketa dalam ketentuan yang telah ditetapkan
dalam UNLCOS 1982. Untuk itu, pasal 287 UNCLOS 1982 mengatur tentang alternatif
dan prosedur penyelesaian sengketa (dispute settlement) bagi negara-negara yang
berhubungan dengan wilayah zona kelautan. Ada dua bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di mana negara-negara diberi kebebasan memilih bentuk penyelesaian
mana yang mereka anggap paling tepat dalam sengketa yang dihadapi. Adapun
bentuk alternatif penyelesaian sengketa dalam kerangka UNCLOS 1982 adalah :
A. Penyelesaian sengketa secara damai.
B. Penyelesaian sengketa dengan prosedur wajib.


4
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCkQFjAA&
url=http%3A%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups%2F70943315%2F1639612411%2Fname%2Fprinsi&ei=2udr
U9aWF4KK7Ab_zIHYDg&usg=AFQjCNGnAyoAPJqhN63teimwKSldP625A&sig2=Ov4dB_qcEwbZvwyEocij0A&bvm
=bv.66330100,d.cGU diakses pada 06 Mei 2014.
16

A.1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai.
Dalam perspektf ini, UNCLOS 1982 mewajibkan negara-negara menyelesaikan
sengketa yang terjadi di antara mereka dengan merujuk pada ketentuan pasal 3 ayat
(2) Piagam PBB. di sini negara-negara diberi kebebasan untuk memilih bentuk
prosedur penyelesaian sengketa dengan menggunakan sarana-sarana penyelesaian
sengketa sebagaimana diatur pada pasal 33 ayat (1) Piagam PBB. sekalipun demikian
ketentuan dalam pasal 33 PBB tidak meniadakan kemungkinan para pihak untuk
memilih bentuk penyelesaian sengketa secara damai lainnya sepanjang para pihak
sepakat untuk itu.
Jika cara dan prosedur yang ditentukan pada pasal 33 Piagam PBB tidak
mampu menyelesaikan sengketa di antara para pihak, maka salah satu pihak dapat
mengundang pihak lainnya untuk mengadakan prosedur konsiliasi. Dan jika prosedur
ini disetujui para pihak, masing-masing pihak akan memilih dua konsiliator dari
negara-negara peserta konvensi kemudian ditambah masing-masing satu konsiliator
dari negara yang terlibat sengketa. Keseluruhan konsiliator ini akan memilih konsiliator
ke lima yang akan bertindak sebagai ketua. Panel konsiliasi akan bertugas selama
satu tahun untuk melakukan hearing, membuat laporan pelaksanaan, konsiliasi dan
membuat rekomendasi-rekomendasi untuk penyelesaian sengketa tersebut.
Satu prosedur penyelesaian sengketa secara damai dapat dikatakan berhasil
adalah apabila pihak yang terlibat sengketa secara bersama-sama menyatakan
menerima dan puas akan hasil rekomendasi atau kepustusan prosedur penyelesaian
sengketa yang dilakukan.

B.1. Penyelesaian Sengketa Dengan Prosedur Wajib(Compulsory Settlement)
Dalam hal tidak tercapai suatu kesepakaatan dalam penyelesaian sengketa
secara damai maka para pihak dapat menggunakan prosedur wajib yang
menghasilkan keputusan yang mengikat. UNCLOS menetapkan 4 aturan untuk
resolusi penyelesiaan sengketa antara negara yang timbul dari penafsiran atau
penerapan UNCLOS.
Sesuai pasal 287(1) dari UNCLOS, saat ditandatangani, diratifikasi, atau aksesi,
sebuah negara bisa membuat pernyataan memilih satu atau lebih metode
penyelesaian sengketa yang dalam UNCLOS. Bab XV khususnya pasal 287
UNCLOS 1982 menyediakan empat forum yang dapat dipilih untu menyelesaikan
sengketa, yakni:
1. Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal For The Law of The
Sea ITLOS).
17

2. Mahkamah internasional (internasional Court of Justice ICJ).
3. Mahkamah Arbitrase (Arbitral tribunal),dan
4. Mahkamah Arbitrase Khusus (special Arbitral Tribunal)
5
.
ITLOS ( International Tribunal for Law Of the Sea ) adalah sebuah organisasi
antar pemerintah yang diciptakan oleh mandat Ketiga Konferensi PBB tentang Hukum
Laut. ITLOS adalah badan peradilan independen yang dibentuk oleh UNCLOS 1982.
Badan ini ditujukan untuk mengadili sengketa-sengketa yang lahir dari pelaksanaan
maupun penafsiran ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS. Berdasarkan Statutanya,
ITLOS dapat membentuk Chamber untuk menangani bidang-bidang tertentu yang
disengketakan. Saat ini ada beberapa chamaber yang telah dibentuk yaitu :
The Chamber of Summary Procedure
The Chamber of Fisheries Dispute and the Chamber for environmental disputes.
A special chambers to deal with the case concerning the conservation and
sustainable exploitation of sword fish stock in the South-Eastern pacific ocean.
Seabed disputes Chamber.
ITLOS adalah salah satu sarana untuk penyelesaian perselisihan yang timbul
dari Konvensi, namun ada juga cara lainnya yaitu melalui Mahkamah Internasional,
pengadilan arbitrase yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VII Konvensi, dan sidang
arbitrase khusus yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VIII Konvensi. Majelis Umum
PBB telah mengakui kontribusi Pengadilan ke penyelesaian damai sengketa sesuai
dengan Bagian XV dari Konvensi dan telah menggaris bawahi peran dan kewenangan
penting Tribunal mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi. Keputusan
Pengadilan bersifat final dan mengikat terhadap para pihak yang bersengketa dan
wajid untuk mematuhinya. Namun, Pengadilan tidak memiliki sarana menegakkan
keputusan.
6
Menurut Prof. Etty R. Agoes, untuk beberapa hal, ITLOS memiliki
kelebihan dibanding ICJ. Seperti pada contoh sengketa Sipadan Ligitan yang
penyelesaiannya di ICJ memakan waktu lama. Pada waktu itu, Indonesia harus
menunggu giliran kasus lain di ICJ selesai diperiksa. Sedangkan di ITLOS, karena
khusus menangani sengketa yang berhubungan dengan kelautan, maka otomatis
penyelesaiannya akan lebih cepat
7
.

5
http://sendhynugraha.blogspot.com/2013/04/international-tribunal-for-law-of-sea.html diakses pada 05 Mei
2014.
6
http://blogs.unpad.ac.id/inet/2013/04/30/itlos-international-tribunal-for-the-law-of-the-sea/ diakses pada
06 Mei 2014
7
http://leszalombok.blogspot.com/2012/06/penentuan-batas-maritim-menurut.html diakses pada 05 Mei
2014.
18

Pasal 297 UNCLOS menyatakan bahwa UNCLOS memiliki yurisdiksi untuk
menangani kasus-kasus diantaranya kasus-kasus yang melibatkan perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan laut dalam hal ini UNCLOS menunjuk ITLOS sebagai
lembaga peradilan guna memecahkan sengketa yang berkaitan dengan tuna sirip biru
tersebut yang terjadi antara Australia dan Selandia Baru melawan Jepang.
"Kompetensi ITLOS juga umumnya ditentukan oleh Pasal 287 ayat 1. Oleh
karena itu serta pengadilan arbitrase (Lampiran VII, Pasal 1), ITLOS dapat menangani
semua sengketa mengenai interpretasi atau penerapan Konvensi. Namun,
yurisdiksinya juga terdiri "semua hal-hal yang diatur secara khusus dalam perjanjian
lain yang memberikan yurisdiksi Pengadilan" (Lampiran VI, Pasal 21). Meskipun
lintang jelas diberikan kepada perjanjian tersebut, yurisdiksi ITLOS atas dasar
perjanjian berunding yurisdiksi Pengadilan dapat mencakup hanya sengketa di bidang
hukum laut. Itulah sebabnya mengapa penting untuk dapat membedakan ini bagian
dari hukum internasional dari bidang lain hukum internasional publik. Keterbatasan
ITLOS untuk perselisihan tentang hukum laut tidak hanya jelas dari namanya,
kompetensinya di bawah Konvensi dan Statuta nya (Lampiran VI), tetapi juga dari
kompetensi yang dibutuhkan para anggotanya. Selain memiliki "reputasi tertinggi
untuk keadilan dan integritas", para anggota ITLOS harus "kompetensi yang diakui
dalam bidang hukum laut" (Lampiran VI, Pasal 2, ayat 1)."
Berdasarkan pemaparan diatas, sejak awal para pihak yang bersengketa diatas
telah mengetahui bahwa Southern Bluefin Tuna (SBT) adalah spesies ikan yang hidup
berpindah-pindah yang tercantum dalam daftar spesies yang sering bermigrasi di
Annex I UNCLOS. Sebagai salah satu negara yang patuh terhadap UNCLOS, para
pihak patuh terhadap statuta yang dimiliki oleh UNCLOS dan menjadikan UNCLOS
sebagai salah satu payung hukum. Salah satu pasal dalam statuta UNCLOS 1982
yaitu Pasal 287 menyebutkan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara, para pihak
mempunyai hak untuk menyelesaikan perkara tersebut melalui : Mahkamah
Internasional Hukum Laut (International Tribunal For The Law of The Sea ITLOS),
Mahkamah internasional (internasional Court of Justice ICJ), Mahkamah Arbitrase
(Arbitral tribunal), dan Mahkamah Arbitrase Khusus (special Arbitral Tribunal). Dalam
kasus Southern Bluefin Tuna ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa
melalui ITLOS. ITLOS merupakan salah satu lembaga peradilan yang disebutkan
dalam Pasal 287 Statuta UNCLOS 1982, hal ini mengindikasikan bahwa ITLOS
memiliki yurisdiksi untuk menangani segala permasalahan yang berkaitan dengan
kelautan, dalam hal ini khususnya masalah Southern Bluefin Tuna antara Selandia
Baru dan Australia melawan Jepang.
19


3. Hak/Kewenangan Selandia Baru dan Australia untuk menghentikan EFP
(experimental fishing programme) Jepang di bawah CCBST (Convention for the
Conservation of Southern Bluefin Tuna)
Berdasarkan kasus posisi diatas, berkaitan dengan penurunan jumlah ikan tuna
bersirip biru, Jepang, Australia dan Selandia Baru sepakat membuat Convention for
the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CSBT Convention) tahun 1993 dan
menyepakati pula total penangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) untuk
masing-masing Jepang, Australia dan Selandia Baru sebesar 6.065 ton, 5.265 ton,
dan 420 ton. Pada tahun 1998, Jepang secara sepihak telah melakukan apa yang
disebut dengan eksperiman penangkapan ikan TBB sebanyak 1.400 ton di selatan laut
Hindia. Penuntut menyatakan bahwa Jepang telah melakukan eksperimen
penangkapan ikan TBB secara sepihak dan telah gagal dalam mengambil langkah-
langkah guna melakukan konservasi dan menejemn TBB di laut lepas dan telah
melanggar pasal 64, 116 119 dan 300 Konvensi hukum laut. Sebagai tambahan,
Jepang juga telah melanggar prinsip pencegahan, dimana menurut penuntut
merupakan norma dalam hukum kebiasaan internasional.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan dengan jelas bahwa Jepang
telah melanggar kesepakatan yang telah tertuang dalam Konvensi Hukum Laut dan
juga telah melanggar norma dan hukum kebiasaan internasional, maka untuk itu
Australia dan Selandia Baru berhak untuk menghentikan EFP (experimental fishing
programme) Jepang karena selain telah melanggar kesepakatan dan hukum
kebiasaan internasional, juga karena EFP tidak sesuai dengan kerangka perjanjian
CCSBT yang sebelumnya telah disepakati bersama oleh Australia, Jepang, dan
Selandia Baru. Dengan melakukan EFP, Jepang dianggap telah gagal mematuhi
kewajiban dalam Pasal 64 dan 116 sampai 119 Konvensi, dengan ketentuan the
Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna of 1993. Apa yang
dimintakan oleh Australia dan Selandia baru agar Jepang menghentikan EFP juga
bertujuan baik, karena dari tahun ke tahun angka populasi dari tuna sirip biru
mengalami penurunan karena terus diburu karena tuna sirip biru mempunyai nilai jual
yang mahal hal ini bertujuan untuk mencegah tuna sirip biru dari kepunahan serta
untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai