Anda di halaman 1dari 11

Mekanisme kerjasama internasional dalam penegakan Hukum

pidana Internasional

Dalam penyelengaraan hukum pidana internasional terkadang diperlukan cara


diplomasi agar tercapai tujuan dari penyelengaraan hukum pidana internasional
tersebut. Seperti diadakan kerjasama antara dua negara dalam menangkap dan/atau
memindahkan tersangka/pelaku kejahatan Internasional yang berada di suatu negara
dalam kepentingan untuk mengadili pelaku tersebut. Contoh kasus yang pernah
terjadi yaitu pada Liutenant william calley yang di adili atas pembantaian terhadap
wanita, anak-anak, dan orang tua di My Lai, Vietnam pada tahun 1971 yang
kemudian dijatuhi hukuman seumur hidup dan kemudian Amerika saat itu
mengintervensi proses pengadilan saat itu dan meminta agar William Calley diadili
oleh pengadilan militer Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut telah terjadi bentuk
kerjasama antar dua negara Amerika dan Vientam, walaupan pada akhirnya
pengadilan militer amerika menjatuhkan hukuman yang jauh lebih ringan dari yang
seharusnya.
Telah banyak aturan-aturan internasional yang mengatur mengenai kesepakatan
kerjasama internasional seperti UN Convention on the Law of the Treaty, Model
Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matter. Salah aturan penting kerjasama
internasional dalam pidana internasional yang diatur Model Treaty on Mutual
Assistance in Criminal Matter yaitu kerjasama internasional tersebut dapat di tolak
atau dibatalkan apabila pelaku kejahatan memiliki kekuatan atau alasan politik yang
kuat dari negara yang meminta kersama internasional yang dikhwatirkan dapat
mempengaruhi proses penegakan terhadap pelaku tersebut1.
Salah satu Bentuk kerjasama antar negara dalam hukum pidana internasional yang
pernah terjadi yaitu pada Amerika serikat membuat kesepakatan dengan meksiko dan
1

Kriangsak kittichaisaree, International Criminal Law, Oxford University Press, Oxford, hlm.41

kanada2 dalam pemindahan atau penyerahan tahanan antara ketiga negara tersebut,
yang kemudian disepakati dan diratifikasi tersebut pada tanggal 28 oktober 1997.
Berangkat dari contoh kasus dan aturan yang telah sebutkan secara singkat dalam
tulisan ini penulis akan menjelaskan bentuk-bentuk kerjasama internasional dalam
hukum pidana internasional yaitu:

1) Ekstradisi
Ekstradisi merupakan salah satu bentuk Kerjasama atau perjanjian Internasional. yang
dimana Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum
tertentu3.
Kata Ekstradisi berasal dari bahasa latin "extradere" (kata kerja) yang terdiri dari kata
"ex" artinya keluar dan "Tradere" artinya memberikan (menyerahkan), kata bendanya
"Extradio" yang artinya penyerahan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya
digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada
negara peminta4.
Ekstradisi menurut UU Rl No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi adalah penyerahan
oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka
atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di fuar wilayah negara yang
menyerahkan dan di dalam yunsdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan
tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.

a) Asas-Asas Ekstradisi
2

M. Cheriff Bassiouni, International Criminal Law, Transnational Publisher. Inc, USA, hlm.239
.Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R.Agoes, Pengantar Hukum Internasional, edisi
kedua cetakan I, Alumni, Bandung, hlm.117
4
Pengertian Ekstradisi, www.interpol.go.id
3

i) Asas Kejahatan Ganda {double criminality principle)


Maksud asas ini adalah perbuatan yang dilakukan baik oleh negara
peminta maupun negara yang diminta, dianggap sebagai kejahatan. Asas
ini tercantum dalam daftar kejahatan yang dapat diekstradisikan. Namun
ekstradisi terhadap kejahatan yang tidak tersebut dalam daftar kejahatan
dapat juga dilakukan atas dasar "kebijaksanaan" oleh negara Diminta
(Pasal 4 ayat (1) dan (2)). Dalam hal ini, nama dan unsur-unsurnya tidak
perlu semua sama, namun sistem hukum kedua negara sama-sama
mengklasifikasikan kejahatan tersebut sebagai kejahatan atau tindak
pidana.
ii) Asas Kekhususan (principle of speciality)
Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau
ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang
bersangkutan diekstradisikan selain dari pada untuk kejahatan maka ia
diserahkan, kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu
menyetujui (Pasal 15). Apabila orang yang diminta telah diserahkan,
negara peminta hanya boleh mengadili dan/atau menghukum orang yang
diminta berdasarkan kejahatan yang dimintakan ekstradisinya. Dengan
kata lain, tidak boleh mengadili atas kejahatan lain selain yang dijadikan
alasan untuk meminta ekstradisi.
iii) Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik {non-extradition of
political criminal)
Asas bahwa jika suatu kejahatan tertentu oleh negara diminta dianggap
sebagai kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak. Namun
terhadap kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga diekstradisikan
sepanjang diperjanjikan antara Negara Republik Indonesia dengan negara
yang bersangkutan (Pasal 5 ayat 1 dan 3).
iv) Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (non-extradition of nationals)
Asas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak
menyerahkan warga negaranya sendiri. Penyimpangan terhadap asas ini

dapat dilakukan apabila orang yang bersangkutan karena keadaan lebih


baik diadili di tempat dilakukannya kejahatan (Pasal 7 ayat 1 dan 2).Asas
ini berlandaskan pada pemikiran bahwa negara berkewajiban melindungi
warga negaranya dan sebaliknya warga negara memang berhak untuk
memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika negara diminta
menolak

permintaan

negara

peminta,

negara

diminta

tersebut

berkewajiban untuk mengadili dan/atau menghukum warga negaranya itu


berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri.
v) Asas non bis in idem atau ne bis in idem
Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan
yang telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh pengadilan
yang berwenang dari negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak
(Non bis in idem) (Pasal 10).
vi) Asas Daluwarsa
Asas bahwa seseorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau
hak untuk melaksanakan putusan pidana telah kadaluarsa (Pasal 12).
Permintaan negara peminta harus ditolak apabila penuntutan atau
pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan
untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluwarsa
menurut hukum dari salahsatu atau kedua pihak.
vii) Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan semuanya
atau sebagian di wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam
yurisdiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaa
ekstradisi (Pasal 8).
viii)

Asas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat

yang berwenang dari negara diminta sedang mengadakan pemeriksaan


terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang
dimintakan penyerahannya (Pasal 9).

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi

juga terdapat asas resiprositas (timbal balik) yang meliputi 3 hal5


(1) Ada kepentingan politik yang sama (mutual interest)
(2) Ada keuntungan yang sama [mutual advantages)
(3) Ada tujuan yang sama (mutual goals), dan penghormatan atas asas
"state sovereignty

b) Dasar Hukum Ekstradisi6


Adanya permintaan ekstradisi oleh suatu negara ke negara lain didasarkan
pada 4 (empat) hal yaitu:
i) Perundang-undangan Nasional
Pada abad ke-19 banyak negara yang telah menetapkan undang-undang
ekstradisi. Dalam penetapan tersebut, sebagian mereka dipengaruhi keinginan
untuk menyelamatkan kemerdekaan seseorang dan sebagian lagi oleh
pandangan mereka bahwa segala hukum pidana dan prosedur harus
didasarkan pada perundang-undangan.
ii) Perjanjian Ekstradisi
Setelah menetapkan Perjanjian Ekstradisi, selanjutnya diteruskan dengan
usaha membuat perjanjian atau konvensi untuk mengadakan keseragaman
ekstradisi dan prosedurnya, yang terdiri dari:
(1) Perjanjian bilateral yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh 2 (dua)
negara, dimana masing-masing negara harus memenuhi ketentuan
yang telah ditetapkan.
(2) Perjanjian multilateral dan konvensi yaitu suatu perjanjian yang
ditandatangani oleh lebih dari 2 (dua) negara. Sejumlah negara yang
mempunyai hubungan geografis, historis atau kebudayaan atau
mempunyai kepentingan bersama dalam bidang ekonomi telah

Romli Atmasasmita, Kebijakan Hukum Kerjasama di Bidang Ekstradisi dalam Era Globalisasi:
Kemungkinan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi,
6
www.interpol.go.id

mengambil

ketentuan

guna

membuat

standar

undang-undang

ekstradisi dengan menandatangani konvensi.


(3) Perluasan Konvensi Internasional
Ekstradisi dapat didasarkan atas perluasan suatu Konvensi tertentu
yang menyatakan bahwa ekstradisi dapat diberikan dalam hal
peianggaran yang disebut dalam perjanjian.
iii) Tata Krama Internasional
Dalam hal tidak terdapat hukum, perjanjian atau konvensi yang mengatur
sebagaimana tersebut diatas, ekstradisi dapat dilaksanakan atas dasar suatu
tata krama oleh negara terhadap negara lain yang disebut "Disguished
Extradition".
c) Unsur-Unsur Ekstradisi7
Pada umumnya penyerahan pelaku kejahatan dilakukan karena terdapat unsurunsur sebagai berikut:
i) Pelaku kejahatan {fugitive offender)
ii) Negara Peminta {requesting state)
iii) Negara Diminta {requested state)
iv) Permintaan dari negara peminta
v) Tujuan penyerahan pelaku kejahatan.
d) Individu apa saja yang dapat diekstradisi8:
Ekstradisi hanya dapat diminta terhadap seseorang yang telah melakukan
pelanggaran dalam wilayah suatu negara yang bukan negara dimana orang
tersebut ditemukan, dengan syarat tambahan sebagai berikut:
i) Orang tersebut harus dalam pencarian oleh petugas hukum dari suatu
negara, baik karena tuduhan melakukan suatu pelanggaran dan belum

7
8

ibid
ibid

diadili atau karena orang tersebut telah terbukti bersalah tetapi belum
menjalani hukuman yang dijatuhkan padanya.
ii) Dalam sebagian besar kasus, orang tersebut harus bukan warga negara
dari negara yang diminta untuk mengekstradisi.
2) Transfer Sentence Person (TSP)/ Pemindahan Narapidana

TSP atau pemindahan Narapidana adalah bentuk kerjasama Antara dua negara
atau lebih dalam memindahkan narapidana yang sedang menjalani masa
hukumannya ke negara asalnya untuk menjalani sisa masa hukumannya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
mengenai

pemindahan

narapidana

menyatakan

Negara

Pihak

dapat

mempertimbangkan pembentukan perjanjian bilateral dan multilateral atau


pengaturan-pengaturan tentang pemindahan orang-orang yang dipidana penjara
atau bentuk pencabutan hak kebebasan lainnya, ke wilayah mereka bagi tindak
pidana yang tercakup dalam Konvensi ini, agar mereka dapat menyelesaikan
masa hukuman mereka di sana.

a) Syarat Individu yang dapat menerima TSP:


untuk menjalani hukuman yang dijatuhkan di negara asal dapat dilaksanakan
apabila negara di mana pengadilan memutus secara sukarela bersedia
memindahkan narapidana ke negara asal dengan beberapa konsekuensi yaitu :
i) narapidana tetap harus menjalani hukuman sesuai yang telah diputuskan
oleh pengadilan;
ii) pemindahan narapidana mensyaratkan adanya putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap;
iii) pemindahan narapidana yang disepakati semata-mata adalah upaya
memfasilitasi para narapidana untuk dapat menjalani hukumanya.

Seorang yang sedang ditahan atau menjalani hukuman di wilayah sebuah Negara
Pihak yang keberadaannya di Negara Pihak lain Diminta dengan tujuan untuk
identifikasi, pemberian kesaksian atau sebaliknya memberikan bantuan untuk
memperoleh bukti bagi penyelidikan, penuntutan, atau proses pengadilan dalam
hubungannya dengan kejahatan yang tercakup dalam Konvensi ini, dapat
dipindahkan jika memenuhisyarat-syarat (Pasal 18 angka 10 UU no 5 tahun 2009)
sebagai berikut:
(a) orang tersebut dengan bebas memberikan persetujuan secara sadar;
(b) badan yang berwenang dari kedua Negara Pihak sepakat, tunduk terhadap
ketentuan-ketentuan yang dianggap tepat oleh Negara-Negara Pihak tersebut.

b) Sumber Hukum Pelaksanaan TSP/ Pemindahan Narapidana


Dibutuhkan suatu perjanjian bilateral atau multilateral antar negara. Ada 2
(dua) tipe perjanjian internasional atau konvensi tentang bentuk dasar dari
Treaty on TSP9:
i) Multilateral Treaty, adalah perjanjian legal antara beberapa negara, seperti
yang dikenal pada saat ini yaitu Council of Europe Convention on the TSP
atau Konvensi Dewan Eropa tentang Transfer Narapidana. Konvensi ini
telah ditandatangani oleh 44 (empat puluh empat) negara, termasuk
Kanada. Bentuk perjanjian internasional lainnya adalah Perjanjian
Multilateral Commonwealth of Nations Scheme for the Transfer of
Convicted Offenders atau Pedoman Negara Negara Commenwealth
tentang Transfer Tahanan atau Orang yang Terhukum yang ditandatangani
oleh 7 (tujuh) negara, dan The Inter-American Convention on Serving
Criminal Sentences Abroad atau Konvensi Antar Negara Bagian Amerika
tentang Layanan Hukuman Pidana Luar Negeri yang ditandatangani oleh
6 (enam) negara.

http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online, Eka Martiana Wulansari, Kerja Sama


Internasional Dalam Perpindahan Narapidana

ii) Perjanjian bilateral adalah perjanjian antar dua negara dan dalam
perkembangannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
negara. Misalnya, Australia menandatangani perjanjian bilateral tentang
Treaty on TSP dengan Thailand pada awal tahun 2001, Perjanjian
Bilateral antara Perancis dan Thailand Nomor 24319 tentang Convention
on the Cooperation in the Execution of Penal Sentences yang
ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1983. Filipina membuat Treaty on
TSPdengan Spanyol dengan Resolusi Nomor 39 tentang Resolution
Concurring in the Ratification of The Treaty on The Transfer of Sentenced
Persons between The Republic of The Philippines and The Kingdom of
Spain

Daftar Pustaka:

Kriangsak kittichaisaree, International Criminal Law,2001, Oxford University Press,


Oxford.
M. Cheriff Bassiouni, International Criminal Law,1986, Transnational Publisher. Inc,
USA.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R.Agoes, Pengantar Hukum Internasional, edisi
kedua cetakan I, Alumni, Bandung.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentan Tindak Pidana Transnasional Yang
Terorganisasi)
Internet:
www.interpol.go.id
http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online, Eka Martiana Wulansari, Kerja Sama
Internasional Dalam Perpindahan Narapidana (Transfer Of Sentenced Person), di
akses pada pukul 22.23 wib tanggal 8 oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai