Anda di halaman 1dari 18

Gerakan Perindungan Konsumen

Overview:

Hukum perlindungan konsumen merupakan cabang ilmu hukum yang tumbuh

dan berkembang pada tahun 1900-an Hukum perlindungan konsumen merupakan

respons atas kegiatan industrialisasi di Amerika Serikat dan Eropa, serta jawaban

atas tuntutan globalisasi. Industrialisasi dan globalisasi di satu sisi membawa

dampak positif dengan tersedianya banyak pilihan barang dan/atau jasa bagi

masyarakat, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Namun, di satu sisi

dapat membawa dampak negatif karena banyaknya barang dan jasa yang

berkualitas rendah yang banyak beredar di masyarakat. Kondisi demikian pada

akhirnya memunculkan gerakan-gerakan perlindungan konsumen di belahan

dunia termasuk di Indonesia. Selanjutnya berkembanglah hukum perlindungan

konsumen yang bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen.

Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu kajian hukum

ekonomi, di mana pembahasannya tidak bisa dilepaskan dengan bidang hukum

privat (hukum perdata) maupun bidang hukum publik (hukum pidana dan hukum

administrasi negara) (Ahmadi Miru & Sutarman Yado, 2004: 2). Hal ini mengingat

bahwa dalam hukum privat maupun publik yang juga mengatur dan melindungi

kepentingan-kepentingan konsumen, selain apa yang telah diatur dalam Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai

payung hukum perlindungan konsumen di Indonesia


1. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen

Keberadaan hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan

sejarah gerakan perlindungan konsumen di dunia. Munculnya gerakan

perlindungan konsumen di latar belakangi beberapa hal terkait dengan

kedudukan konsumen dan pelaku usaha, Industrialisasi dan globalisasi yang

terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Sejarah gerakan perlindungan konsumen di

dunia tidak bisa dilepaskan dari gerakan-gerakan perlindungan konsumen yang

terjadi di Amerika Serikat, serta negara-negara di Eropa seperti di Inggris,

Belanda, Belgia, dll. Secara umum sejarah gerakan perlindungan konsumen

dapat dibagi dalam empat tahapan, yakni sebagai berikut (Shidarta, 2004: 36-

37):

1) Tahapan I (1981-1914)

Pada kurun waktu ini merupakan awal munculnya kesadaran masyarakat

melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, diakibatkan novel

karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja

pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang tidak memenuhi syarat-

syarat kesehatan.

2) Tahapan II (1920-1940)

Pada kurun waktu ini muncul pula buku yang berjudul ―Your Money’s

Worth”, karya ini mampu mengguggah konsumen atas hak-hak mereka dalam

jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan: ―fair deal, best buy.”

3) Tahapan III (1950-1960)

Pada dekade 1950-an muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan-

gerakan perlindungan dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh

wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda,


Australia dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah International Organization of

Consumer Union (IOCU) yang berpusat di Den Haag Belanda dan dalam

perkembangannya pada tahun 1993 berubah menjadi Consumers

International (CI) yang berpusat di London Inggris.

4) Tahapan IV (pasca 1965)

Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen,

baik di tingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima

kantor regional, yakni di Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia

Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan

Tengah serta negara-negara maju yang berpusat di London, Inggris.

Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan

sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen (Zulham, 2013: 27).

Perhatian terhadap perlindungan konsumen di Amerika Serikat (1960-an-1970-

an) mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi objek kajian bidang

ekonomi, sosial, politik dan hukum, dengan munculnya buku-buku yang

membahas perlindungan konsumen, diundangkannya banyak peraturan serta

diikuti dengan putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen (Shidarta,

2004: 35).

Di Amerika Serikat perkembangan gerakan perlindungan konsumen dapat

dilihat dari dikeluarkannya beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan

yang melindungi konsumen. Peraturan tersebut yakni the Food, Drug and

Cosmetic Act, dimana materinya berada dibawah kewenangan the Federal

Trade Commission (FTC). Selain itu diundangkannya juga the Wool Products
Labeling Act (1940), dan the Fur Products Labeling Act (1951), serta the

Fiber Products Indetification Act (1958) (Shidarta, 2004: 44).

Gerakan perlindungan konsumen di Amerika Serikat pada era 1960-an

mencatat kejadian penting yakni pada 15 Maret 1962 pada saat Presiden John

F. Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika

Serikat. Dalam Pidato yang berjudul A Special Message of Protection the

Consumen Interest, Kennedy mengemukakan empat hak konsumen (Shidarta,

2004: 44-45) yakni sebagai berikut:

1) The right to safety – to be protected against the marketing of good

that are hazardoes to health or life.

2) The right to be informed – to be protected against fraudulent, deceitful,

or grossly, misleading information, advertising, labeling, and other

practices, and to be given the facts needed to make informed choices.

3) The right to choose – to be assured, wherever possible, acces to a

varietyof products and services at competitive prices. And in those

industries in which competition is not workable and government

regulation is subsituted, there should be assurance of satisfactory

quality and service at fair prices.

4) The right to be heard – to be assured that consumer interests will

receive full and sympathetic consideration in formulation of government

policy and fair and expeditatious treatment in its administrative

tribunals.
Hak-hak konsumen yang disampaikan oleh Kennedy menginspirasi dan

dikembangkan lagi oleh penggantinya yakni presiden L.B. Johnson. Selain

mengingatkan kembali empat hak konsumen yang disampaikan oleh Kennedy, ia

juga memperkenalkan konsep hukum baru yang berkenaan dengan perlindungan

konsumen, yakni product warranty dan product liability. Selain itu, jasa presiden

L.B. Jhonson dalam perlindungan konsumen di Amerika Serikat yakni berhasil

mengajukan rancangan undang-undang tentang ―lending charges‖ dan

―packaging practices‖ yang disetujui oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun

1967 dan 1968 (Shidarta, 2004: 45).

Disetujuinya undang-undang di bidang perlindungan konsumen oleh Kongres

Amerika Serikat tidak terlepas dari sosialisasi dan gerakan perlindungan

konsumen yang terus menurus terjadi di Amerika Serikat. Salah satu publikasi

hasil riset di bidang perlindungan konsumen menggugah kesadaran pihak

legislatif dan yudikatif di Amerika Serikat yakni publikasi penelitian yang

dilakukan oleh Ralp Nader dalam buku yang berjudul ―Unsafe at Any Speed‖.

pada tahun 1966. Publikasi ini menyimpulkan bahwa mayoritas kendaraan

bermotor yang diproduksi di Amerika Serikat mengabaikan keselamatan

pengendaranya (Shidarta, 2004: 47).

Sosialisasi dan gerakan-gerakan perlindungan konsumen kemudian juga

berkembang di berbagai negara baik di Eropa maupun di belahan bumi lainnya.

Hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi atau lembaga pemerhati yang

bergerak di bidang perlindungan konsumen yang bersifat internasional, yakni

International Organization of Consumer Union (IOCU) pada tanggal 1 April 1960

yang berpusat di Den Haag Belanda, dan berpindah ke London, Inggris pada

tahun 1993. Dalam Perkembangannya selanjutnya IOCU ini berubah nama


menjadi Consumers International (CI) (shidarta, 2004: 37). Organisasi CI ini

kemudian berkembang dan memiliki beberapa kantor regional di beberapa

negara.

Pada tahap selanjutnya, perkembangan aspek perlindungan konsumen

terjadi di beberapa negara di belahan dunia, dengan pembentukan undang-

undang perlindungan konsumen. Negara-negara tersebut antara lain (Gunawan

Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 15):

1) Amerika Serikat: The Uniform Trade Practices and Consumer

Protection Act tahun 1967, Unfair Trade Practices dan Consumer

Protection (Lousiana) Law tahun 1973;

2) Inggris: The Consumer Protection Act tahun 1961;

3) Kanda: The Consumer Protection Act dan The

Consumer Protection Amendment Act tahun 1971;

4) Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safety

Requirement Act) tahun 1975;

5) Thailand: Consumer Act tahun 1979;

6) Jepan: The Consumen Protection Fundamental Act, tahun 1968;

7) Australia: Consumer Affairs Act tahun 1978;

8) Irlandia: Consumer Information Act tahun 1978;

Setelah pengakuan perlindungan konsumen oleh beberapa negara di dunia

dengan membentuk undang-undang perlindungan konsumen, akhirnya pada

tahun 1985, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakomodir kepentingan-

kepentingan konsumen. Salah satu pengakuan PBB terhadap perlindungan

konsumen, PBB mengeluarkan Resolusi PBB No. A/RES/39/248 Tanggal 16

April 1985 Tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan perlunya


perlindungan bagi konsumen. Resolusi PBB ini populer dengan sebutan

Guidelines for Consumer Protection, yang telah menetapkan perlindungan

kepentingan-kepentingan konsumen. Perlindungan kepentingan konsumen

dalam Guidelines for Consumer Protection meliputi hal-hal sebagai berikut (Abdul

Halim Barkatullah, 2010: 32-33):

1) perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan

dan keamanannya;

2) promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

3) tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka melakukan pelatihan yang tepat

sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

4) pendidikan konsumen;

5) tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

6) kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi

lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi

tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan

keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

2. Contoh kasus gerakan perlindungan konsumen

Pada 1994 di Amerika Serikat—tepatnya Mississippi—Yang melawan: Jaksa

Agung setempat bernama Mike Moore.

Dasar gugatan Moore adalah bahwa perusahaan rokok telah memberikan

dampak buruk bagi masyarakat: strategi manipulatif untuk menyembunyikan

efek kecanduan kandungan nikotin dalam rokok hingga menyebabkan kas


daerah—senilai $25 miliar—tersedot guna membiayai pengobatan anggota

masyarakat yang sakit karena rokok.

―Tuntutan hukum ini berangkat dari gagasan sederhana: kalian menyebabkan

krisis kesehatan, kalian yang tanggung,‖ ungkap Moore seperti dilansir The

New York Times.

Seperti dituturkan dalam ―The Lawyer Who Beat Big Tobacco Takes on the

Opioid Industry‖ yang diterbitkan Bloomberg, Moore lantas mengerahkan

Jaksa Agung dari negara bagian lainnya untuk bersama-sama menggugat

perusahaan rokok. Total ada 13 pihak yang digugat, dari perusahaan sampai

asosiasi pengusaha.

Posisi Moore makin kuat kala terkuaknya dokumen perusahaan Brown &

Williamson Tobacco Corporation yang memperlihatkan bahwa perusahaan

sebetulnya paham mengenai bahaya dari rokok. Namun, seperti yang ditulis

New York Times, Brown & Williamson ―merahasiakan temuan tersebut‖

Akhirnya, gugatan Moore dikabulkan Pengadilan Chancery, Jackson County.

Pengadilan menetapkan tergugat harus mengganti uang sebesar $246 miliar

untuk mendanai program pencegahan maupun pengendalian bahaya yang

ditimbulkan dari rokok.

Kemenangan Moore juga mendorong regulasi pembatasan aktivitas merokok

berdasarkan umur (Cigarette Smoking Among Adults, 1994) dan undang-

undang pengendalian tembakau (State Laws on Tobacco Control, 1995).


Walaupun kalah, perusahaan rokok bersikeras bahwa pemerintah Mississippi

tidak punya wewenang untuk mengajukan gugatan semacam itu, mengingat

dalam kurun waktu tiga dekade terakhir telah ada peringatan untuk publik

tentang bahaya merokok.

2. Sejarah Gerakan Konsumen di Indonesia

Sejarah gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai terdengar

dan populer pada tahun 1970-an, dengan berdirinya lembaga swadaya masyarakat

Indonesia (nongovernmental organization) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI) pada bulan Mei 1973. Setelah YLKI, sejarah juga mencatat berdirinya

Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri

sejak Februari 1988. Kedua lembaga tersebut merupakan anggota dari Consumers

International (CI). Selain kedua lembaga tersebut, saat ini juga telah banyak berdiri

lembaga-lembaga perlindungan konsumen di Indonesia antara lain, Yayasan

Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung, Lembaga Konsumen

Yogyakarta (LKY), Lembaga Konsumen Surabaya, dll.

Berdirinya lembaga-lembaga konsumen mempunyai peranan yang

penting dalam pergerakan perlindungan konsumen di Indonesia, yang secara aktif

memberikan kontribusi terhadap perlindungan konsumen di Indonesia. Keberadaan

lembaga-lembaga konsumen ini memiliki peranan penting baik dari segi advokasi

maupun dari peningkatan kesadaran masyarakat mengenai perlindungan konsumen.


Perkembangan ke arah perlindungan konsumen di Indonesia selain munculnya

lembaga-lembaga konsumen di Indonesia, juga ditandai dengan banyak

diselenggarakan studi baik yang bersifat akademis, maupun untuk tujuan

mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan

tentang perlindungan konsumen.

Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen juga turut menggema dari

gerakan serupa di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(selanjutnya disebut ―YLKI‖) yang popular dipandang sebagai perintis advokasi

konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di

Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului

Revolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 211 Tahun 1978 tentang

Perlindungan Konsumen.

Jika dibandingkan dengan kemajuan perkembangan gerakan konsumen

di Amerika Serikat, tentu Indonesia masih harus belajar banyak. Sebagaimana

pernah disinyalir oleh Ketua Organization of Consumer Union (IOCU) sekarang

Consumer International (CI) Erma Witoelar perlindungan konsumen di Indonesia

masih tertinggal. Ketertinggalan itu tidak hanya dibandingkan dengan negara–

negara maju, bahkan bila dibandingkan dengan negara–negara sekitar Indonesia,

seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura

YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang semula

justru bertujuan mempromosikan hasil produk Indonesia. Ajang promosi yang diberi

nama Pekan Swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan wadah
bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Ide ini dituangkan dalam

anggaran dasar yayasan dihadapan Notaris G.H.S. Loemban Tobing, S.H. dengan

akte Nomor 26, 11 Mei 1973. YLKI sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan

produsen (pelaku usaha), apalagi dengan Pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh

YLKI, yakni dengan menyelenggarakan pekan promosi Swakarya II dan III, yang

benar-benar dimanfaatkan oleh produsen dalam negeri. Dalam suasana kerjasama

ini muncul moto yang dicetuskan oleh Ny. Kartiona Sujono Prawirabisma bahwa

YLKI bertujuan melindungi Konsumen, menjaga martabat produsen, dan membantu

pemerintah.

Jika dibandingkan dengan perjalanan panjang gerakan perlindungan

konsumen di Amerika Serikat, YLKI cukup beruntung karena tidak harus memulai

dari nol sama sekali. Pengalaman menangani kasus-kasus yang merugikan

konsumen di negara-negara lebih maju dapat dijadikan studi yang bermanfaat

sehingga Indonesia tidak perlu lagi harus mengulang kesalahan yang serupa.

Demikian pula dengan kasus-kasus kegagalan advokasi konsumen. Metode kerja

YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk barang jasa dan

mempublikasikan hasilnya pada masyarakat. Gerakan ini belum mempunyai

kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut suatu peraturan. YLKI juga tidak

sepenuhnya dapat mandiri seperti Food And Drug Administration (FDA). Alasan

yang utama tentu karena YLKI sendiri bukan badan pemerintahan seperti FDA di

Amerika Serikat dan tidak memiliki kekuasaan public untuk menerapkan suatu

peraturan atau menjatuhkan sanksi. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam

upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar

melakukan penelitan atau pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi


sekaligus juga melakukan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.

Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang diprakarsai oleh YLKI mencatat

prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil dibawa ke DPR, yang

selanjutnya disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 20 April 1999 dan

kemudian berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000.

Lahinya UUPK merupakan hasil usaha yang ―memakan waktu, tenaga,

dan pikiran yang banyak‖ dari berbagai pihak yang berkaitan dengan pembentukan

hukum dan perlindungan konsumen, baik dari kalangan Pemerintah, lembaga-

lembaga swadaya masyarakat, YLKI, bersama-sama dengan perguruan tinggi-

perguruan tinggi yang merasa terpanggil untuk mewujudkan UUPK. Berbagai usaha

tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non-ilmiah, seminarseminar, penyusunan

naskah-naskah penelitian, pengkajian, dan naskah akademik rancangan UUPK.82

Kehadiran UUPK juga turut didorong oleh kuatnya tekanan dari dunia internasional.

Setelah pemerintah Republik Indonesia mengesahkan UndangUndang Nomor 7

Tahun 1994 tentang Agreement Establishing of World Trade Organization

(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), maka ada kewajiban

bagi Indonesia untuk mengiikuti standart-standart yang berlaku dan diterima luas

oleh negara-negara anggota WTO. Salah satunya adalah perlunya eksistensi

UUPK.84 Berlakunya UUPK menjadi awal pengakuan perlindungan konsumen dan

secara legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan

tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk bermutu.

Perkembangan dan prospek Gerakan Perlindungan Konsumen


Pasca dikeluarkannya Guidelines PBB tentang perlindungan konsumen,

banyak negara anggota PBB yang segera meresponnya dengan mengambil

langkah-langkah dan kebijakan perlindungan konsumen, termasuk membuat

peraturan perundang-undangan. 91 Dibandingkan dengan negara-negara

berkembang lainnya, lahirnya UUPK, di lndonesia relatif lambat. Sebagai bahan

perbandingan India sudah mempunyai consumer Protection SCT tahun 1986; Brasil

dengan Consumer Protection Code-nya tahun 1990, Philipina dengan Consumer Act

tahun 1991, Papua New Guinea membuat consumer affairs council act tahun 1993

dan kepulauan Solomon dengan Consumer Protection Act 1995. Kelambatan

Indonesia dalam merespon resolusi PBB tersebut jelas menunjukkan bahwa

pemerintah (masa itu) tidak memiliki Political Will untuk mewujudkan perlindungan

konsumen. Oleh karena itu, sekali lagi lahirnya UU No 8 tahun 1999 tentang

Perlindungen Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK) mesti dilihat sebagai

kecenderungan awal saja dari upaya perlindungan konsumen di Indonesia sccara

menyeluruh. Artinya masih ada beberapa faktor internal dan eksternal dari hukum

yang akan ikut berpengaruh dan mewarnai perwujudan prinsip-prinsip perlindungan

konsumen di Indonesia. Faktor-faktor internal hukum itu, antara lain :

a. Materi Hukum Perlindungan Konsumen Dalam hal ini harus diakui bahwa

secara substantif UUPK masih menyimpan berbagai kelemahan fundamental

yang harus segera diperbaiki. Diantara berbagai kelemahan itu antara lain:

belum dianutnya prinsip strict liability, mekanisme penuntutan ganti rugi

(redres mechanisme) yang belum efektif dan efisiensi, serta BPSK yang jauh

dari prinsip-prinsip small claims court. Dalam hal ini cakupan materi UU ini

juga patut dipertanyakan ketika hal-hal yang menyangkut (Public Service)


tidak mendapat pengaturan yang jelas. Padahal sektor ini adalah salah satu

bidang yang berkaitan dengan kepentingan banyak konsumen.

b. Aparat Pemerintah dan Pelaksana Hukum Sudah menjadi rahasia umum

bahwa kinerja aparat pelaksana hukum di Indonesia masih memprihatinkan.

Oleh karena itu, dalam rangka implementasi UUPK perlu penanaman yang 92

menyeluruh bagi aparat pemerintah dan pelaksana hukum akan arti penting

implementasi tersebut. Siapakah pengacara, polisi, jaksa, dan tiara hakim

yang menerapkannya? Mereka perlu segera memahami bahwa peran mereka

sangatlah besar dalam itu mewarnai perkembangan konsumerisme dan

upaya-upaya perlindungan konsumen di Indonesia. Disamping itu harus

segera diciptakan Good Government sehingga Lew Enforcement menjadi

efektif dan efisien.

c. Sarana dan Prasarana Hukum Implementasi UUPK mau tidak mau harus

difasilitasi dengan baik, tanpa sarana dan prasarana yang cukup. UUPK ini

akan berjalan setengah-setengah dan akhirnya tidak efektif. Memang semua

ini adalah biaya (cost). Namun cost itu tetap harus diperhitungkan dalam

rangka perwujudan keadilan sosial dalam hubungan-hubungan bisnis.

Bukanlah selama ini cost yang juga sudah dikeluarkan pemerintah untuk

kesejahteraan pelaku utama?

d. Masyarakat dan Budaya Hukum Dalam hal ini harus diakui pula bahwa

konsumen di Indonesia masih sangat rendah kesadaran hukumnya.

Rendahnya kesadaran hukum ini memang tidak dapat dilepaskan dari

berbagai kelemahan yang ada pada konsumen, maka upaya untuk

memberdayakan konsumen dengan berbagai program pendidikan

(kesadaran) konsumen harus segera diagendakan dan dilaksanakan. Patut


dicatat disini bahwa konsumen mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan

guna meningkatkan kesadaran akan hakhaknya. Adapun faktor ekstemal

hukum itu meliputi: kebijakankebijakan di bidang ekonomi, sosial politik,

pendidikan dan lainlain. Jelas bahwa faktor ekternal dari hukum itu pun

sangat menentukan efektivitas implementasi UUPK.

Kasus perlindungan Konsumen

a. Kasus Biskuit Beracun Yaitu ammonitum bikarbonat (bahan pembuat biskuit

upaya renyah) tertukar dengan sodium nitrit (sejenis bahan berbahaya) pada

waktu pemindahan bahan-bahan tersebut (Oktober 1989) Korban : 106

selamat dan 35 orang meninggal dunia tersebar pada beberapa tempat

(Tangerang, Tegal, Palembang, dan Jambi). Bentuk penyelesaiannya :

Pengurus dan karyawan CV. Gabisco (Pelaku Usaha dijatuhi hukuman 6

bulan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun. Putusan Mahkamah Agung

tanggal 8 September 1994 No. 675 K/PID.B.1990/TN/TNG. Tanggal 1

Agustus 1990.

b. Bus Metro Mini ―Mini Maut‖ yang tercebur di kali Sunter, Jakarta Korban : 33

korban penumpang meninggal dunia tenggelam di Kali Sunter Bentuk

penyelesaiannya : Terdakwa Ramses Silitonga pengemudi divonis 15 tahun

pidana penjara dan pencabutan hak untuk memiliki SIM segala jenis

kendaraan selama 10 tahun setelah selesai menjalani pidana atas tuduhan

pembunuhan (338). Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30 Januari 1996

No. 1530K/PID/1995
c. Kasus Halal-Haram ‖Ajinomoto‖ (Januari 2001), dimana Ajinomoto telah

mengganti bahan nutrisi untuk mengembangkan kultur bakteri dari

Polypeptone menjadi bacto-soytone yang mengandung porcine (enzyme dari

pankreas babi) sejak Juni 2001, tetapi tidak pernah melaporkan perubahan itu

kepada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik Majelis

Ulama Indonesia (LPPOMMUI), lembaga yang memberikan sertifikasi halal.

Korban : Korban bersifat abstrak (abstract victim) atau tidak ada korban jiwa

Bentuk penyelesaian Ajinomoto telah menarik sejumlah besar produknya yang

tidak halal itu dan pabriknya sempat ditutup untuk sementara waktu oleh pihak

Polisi. Empat pimpinan di Jawa Timur dan tiga petingginya di Jakarta sempat

ditahan polisi. Di Kepolisian. Ajinomoto diancam delik penipuan (Pasal 338

KUHP), padahal seharusnya dikenakan Pasal 8 ayat (1) huruf h UUPK atau

Pasal 58 butir j UU Pangan (UndangUndang No. 7 tahun 1996). Untuk kasus

ini UUPK sudah efektif berlaku.


HUKUM DAN PERUNDANGAN-UNDANGAN

GERAKAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

OLEH :

WIWIK SALWIDYAH NINGSIH. S 1930131010


AMALIA FEBRIANA 1930131017

UNIVERSITAS FAJAR MAKASSAR


PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
2021

Anda mungkin juga menyukai