Anda di halaman 1dari 17

1.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

2. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan konsumen


adalah:

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan

keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas

yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1) Asas manfaat

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku

usaha secara keseluruhan;

2) Asas keadilan

memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh

haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

3) Asas keseimbangan

memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan

pemerintah dalam arti materiil dan spiritual;

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau

digunakan;

5) Asas kepastian hukum

agar pelaku usaha maupun konsumen menaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen,

serta negara menjamin kepastian hukum.


3. Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen
Terjadinya hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen adalah pada saat

pelaku usaha memberikan janji-janji dan segala informasi yang berkaitan dengan barang

dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen pada saat memberikan iklan, brosur,

ataupun promosi.

4. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha dan Produk Cacat


1) Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

2) Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi.

3) Produk cacat adalah produk yang dihasilkan dalam proses produksi, dimana produk

yang dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan standart mutu yang ditetapkan, tetapi

secara ekonomis produk tersebut dapat diperbaiki dengan mengeluarkan biaya tertentu,

dan biaya yang dikeluarkan harus lebih rendah dari nilai jual setelah produk tersebut

diperbaiki.

5. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen di Barat


Tumbuhnya sistem perlindungan konsumen seiring dengan tumbuh dan berkembangnya

pola perekonomian yang makin lama makin pesat. Perhatian terhadap perlindungan
konsumen, terutama di Amerika Serikat (1960-1970-an) mengalami perkembangan yang

sangat signifikan da menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum.

Banyak sekali artikel dan buku ditulis berkenaan dengan gerakan ini. Di Amerika Serikat

bahkan pada era tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan

dijatuhkan putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan consumen.

Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam 4 tahapan :

1) Tahapan I (1881-1914)

Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan

perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal akibat novel karya Upton Sinclair

berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di

Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2) Tahapan II ( 1920-1940)

Pada kurun waktu ini pula muncul buku berjudul Your Money’s Worth karya Chase

dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual

beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan: fair deal, best buy.

3) Tahapan III (1950-1960)

Pada dekade 1950-an muncul keinginan untuk mempersatuakan gerakan perlindungan

konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan

konsumen di Amerika Serikat. Inggris, Belanda, Australia dan Belgia, pada 1 April

1960 berdirilah International Organization of Consumer Union. Semula organisasi ini

berpusat di Den Haag, Belanda, lalu pindah ke London, Inggris, pada 1993. Dua tahun

kemudian IOCU mengubah namanya menjadi Consumen International (CI).

4) Tahapan IV (pasca-1965)

Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik tingkat

regional maupun tingkat internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional,
yakni Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia Fasifik berpusat di Malasyia,

Afrika Berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di inggris dan negara-

negara maju juga berpusat di London, Inggris.

Sejak ratusan tahun yang lalu, di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Perancis dan

Jerman, sudah sangat dikenal ungkapan “jangan racuni roti tetanggamu” atau “caveat

emptor” (berhati-hatilah, konsumen). Konsep ini masih terasa sangat bermanfaat karena

kala itu jarak antara konsumen dan produsen masih dekat dan proses perekonomian

belum serumit sekarang.

John F Kennedy dianggap sebagai pelopor gerakan konsumen modern. Tanggal 15

Maret 1963, dalam pidatonya di depan publik AS, Kennedy menjabarkan 4 (empat) hak

yang dimiliki konsumen, yaitu: the right to safety (hak atas keamanan), the right to be

informed (hak atas informasi), the right to choose (hak untuk memilih) dan the right to

be heard (hak untuk didengarkan). Untuk mengabadikan peristiwa ini, Consumers

International menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Hak Konsumen Sedunia.

Substansi pidato JFK itu kemudian menginspirasi International Organizations of

Consumers Union (IOCU, kini berganti nama menjadi Consumers International/CI)

untuk menguraikannya menjadi 8 (delapan) hak konsumen. Lihat: Hak dan Tanggung

Jawab Konsumen.

Pada 9 April 1985, Majelis Umum PBB memasukkan hak-hak dasar konsumen tersebut

ke dalam “United Nation Guidelines for Consumer Protection”, yaitu panduan dasar

bagi negara-negara anggota PBB untuk membuat kebijakan perlindungan konsumen di

semua negara anggota PBB.

Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

Titik awal sejarah perlindungan konsumen di Indonesia belum dapat ditentukan dengan

jelas. Demikian juga tentang pentahapan sejarah. Pergerakan perlindungan konsumen dari
sejak awalnya hingga saat ini belum ada pihak yang melakukannya. Dalam rangka

mengkaji perkembangan mengenai perlindungan di negara kita, NHT Siahaan

merangkaikan kurun perkembangan tersebut berikut ini. Tentu tidak semata-mata dari

sudut reaktivitas masyarakat konsumen, seperti yang terjadi di negara Amerika atau Eropa.

Berikut ini rangkai waktu perlindungan konsumen di negara kita, lebih banyak didekati

dari aspek perkembangan produk hukum yang ada, termasuk pada fase Hindia Belanda.

Tentunya fase-fase perkembangan demikian, tidak disangkal akan adanya pengaruh

perkembangan kehidupan konsumen diluar negeri.

1) Masa zaman Hindia Belanda

Pada masa zaman Hindia Belanda, upaya perlindungan konsumen telah tampak melalui

rumusan pasal-pasal dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Meskipun

misalnya rumusan-rumusan tersebut tidak secara eksplisit menyebut istilah konsumen,

produsen atau pelaku usaha, namun secara hakiki objek pengaturannya adalah berkaitan

pula terhadap konsumen atau pihak pelaku usaha. Pengatura pada perlindungan

konsumen pada zaman ini dapat kita lihat antara lain pada:

a. Burjelijk Wetboek (BW), yakni Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

b. Wetboek van Strafsrecht (WvS), yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

c. Wetboek van Koophandel (WvK), yakni Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

2) Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1967

Dari sudut peraturan perundang-undangan dapat dilihat beberapa produk perundangan

yang sudah dibuat antara lain:

a. Undang-undang No. 10 tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti. Undang-undang No.1 tentang Barang menjadi Undang-undang.

Undang-undang ini maksunya untuk menguasai dan mengatur barang-barang

apapun yang diperdagangkan di Indonesia.


b. PP No. 9 Tahun 1964 tentang Standart Industri.

c. Undang-undang No. 1 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

d. Undang-undang No. 6 tahun 1962 tentang Pokok Perumahan. UU ini sudah

diperbaharui setelah diundangkan UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,

beserta PP No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun sebagai peraturan

oraganiknya.

e. Undang-undang No. 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.

3) Masa Tahun 1967 hingga 1874

Ditandai dengan hadirnya investasi yang amat pesat di Indonesia, baik dilakukan secara

joint venture maupun investasi dalam negeri. Keran investasi secara pesat dibuka

setelah dikeluarkannya Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA)

bendasarkan UU N0 1 tahun 1967 dan UU tentang Penanaman Modal dalam Negeri

(PMDN) berdasarkan UU No 11 tahun 1968. Pada periode inilah Orde Baru lebih

menitikberatkan ekonomi sebagai sector utama dalam merintis pembangunan.

4) Masa Tahun 1874 Hingga Sekarang

Masalah perlindungan konsumen yang secara tegas ditangani secara khusus, baru

dikenal dan tumbuh di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, sehingga belum

mengakar pada segenap lapisan dan kelompok masyarakat yang ada.

Sejak tahun 1980-an, YLKI memperjuangkan hadirnya legislasi perlindungan

konsumen di Indonesia. Kala itu pemerintah tidak peduli dan malah mengganggap

bahwa penegakan hak-hak konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Tahun 1981, YLKI dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyusun RUU

Perlindungan Konsumen dan mensosialisasikan ke sejumlah kekuatan politik, tak

terkecuali DPR, namun hasilnya nihil.


Tahun 1990-an, Departemen Perdagangan RI mulai memiliki kesadaran tentang

pentingnya sebuah produk hukum tentang perlindungan hak konsumen. Namun dua

draf RUU Perlindungan Konsumen yang disusun bersama Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada dan Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Indonesia tidak pernah

dibahas di DPR RI. Pasca-reformasi, pemerintahan BJ Habibie mengesahkan Undang-

Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20

April 1999. Tepat setahun kemudian, UUPK secara resmi dinyatakan berlaku.

6. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan konsumen (UU No 8 tahun 1999)


Awal terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

yang disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada

tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan memakan waktu,

tenaga dan pikiran yang banyak telag dijalankan berbagai pihak yang berkaitn dengan

pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan pemerintah,

lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI, bersama-sama dengan perguruan-

perguruan tinggi yang merasa terpanggil untuk mewujudkan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ini. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non

ilmiah, seminar-seminar, penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian naskah

akademik Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen). Kegiatan-kegiatan

tersebut dimulai antara lain:

a. pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi oleh Bakir Hasan

dan dari sudut hukum ooleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima Pusat Study Hukum

Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember 1975) sampai

dengan penyelesaian akhir Undang-Undang ini pada tanggal 20 April 1999.


b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang

Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).

c. BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan

tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).

d. Yayasan Lwmbaga Konsumen Indonesia, Perlindunga Konsumen Indonesia, suatu

sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(tahun 1981).

e. Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).

f. DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindunga Konsumen

(tahun 1998).

Selain pembahasan-pembahasan di atas, masih terdapatberbagai lokakarya-lokakarya,

penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar di dalam dan luar negeri berkenaan dengan

perlindungan atau tentang produk konsumen tertentu dari dari berbagai aspeknya. Tidak

pula dapat dilupakan berbagai kegiatan perlindungan konsumen, dengan “pahit manisnya”

reaksi masyarakat, kalangan pelaku usaha dan pemerintah, yang dijalankan YLKI

dihampir seluruh Indonesia. Salah satu pokok kesimpulan seminar Kelima Universitas

Indonesia tersebut berbunyi “Agaknya dalam kerangka ini mutlak perlu suatu Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, dan seharusnya Undang-Undang ini memberikann

perlindungan pada masyarakat konsumen.” Akhirnya, didukung oleh perkembangan

politik dan ekonomi di Indonesia (1997-1999), semua kegiatan tersebut berujung

disetujuinya UU Tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 pasal
dan mulai berlaku efektif sejak 20 April 2000. Ternyata dibutuhkan waktu 25 tahun sejak

gagasan awal hingga Undang-Undang ini dikumandangkan (1975-2000).

7. Perbedaan Antara Hukum Konsumen Dan Hukum Perlindungan Konsumen


1) Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas asas dan kaidah-kaidah hukum

yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan

dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.

2) Hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat

asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen

8. Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak-Hak Konsumen

Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :

 Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.

 Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi

serta jaminan yang dijanjikan .

 Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang/jasa.

 Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.

 Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut.

 Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

 Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
 Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa

yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

 Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen

Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,

Kewajiban Konsumen adalah :

 Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

 Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

 Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

 Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

9. Hak dan Kewajiban pelaku usaha


Hak Pelaku Usaha

 hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi

dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.

 Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad

tidak baik.

 Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun sengketa

konsumen.

 Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.

 Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


Kewajiban pelaku usaha

 bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

 Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.

 Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif ; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan

pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada

konsumen.

 Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan

ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.

 Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa

tertentu serta memberi jaminan dan garansi .

 Memberi kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,

pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang diperdagangkan.

 Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang

diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha


Pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut, ”Tanggung jawab

produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke

dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat

pada produk tersebut.“ Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk

dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-


undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab

produsen sebagai berikut:

1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,

dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang

dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau

penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan

kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah

tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih

lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa

kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”

11. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Larangan dalam memproduksi / memperdagangkan. Pelaku usaha dilarang memproduksi

atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :

• tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan ;

• tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto;


• tidak sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut

ukuran yang sebenarnya;

• tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam

label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut;

• tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label;

• tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;

• tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran

,berat isi atau neto

1. Larangan dalam menawarkan / memproduksi pelaku usaha dilarang menawarkan,

mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah .

• barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar

mutu tertentu.

• Barang tersebut dalam keadaan baik/baru;

• Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan,

perlengkapan tertentu.

• Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.

• Barang atau jasa tersebut tersedia.

• Tidak mengandung cacat tersembunyi.

• Kelengkapan dari barang tertentu.

• Berasal dari daerah tertentu.

• Secara langsun g atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.

• Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek

sampingan tanpa keterangan yang lengkap.

• Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.


2. Larangan dalam penjualan secara obral / lelang Pelaku usaha dalam penjualan yang

dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen,

antara lain :

• menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.

• Tidak mengandung cacat tersembunyi.

• Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud

menjual barang lain.

• Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud

menjual barang yang lain.

4. Larangan dalam periklanan

Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya :

• mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga

mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.

• Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang atau jasa.

• Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.

• Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.

• Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau

persetujuan yang bersangkutan.

• Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

12. Klausula Baku dalam Perlindungan Konsumen


Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang

dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon,

perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

Klausula Baku dilarang menurut undang-undang Undang-Undang No. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam

suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam

pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :

1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;

2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa

yang dibeli oleh konsumen;

4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun

tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang

yang dibeli secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa

yang dibeli konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi

harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau

lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha

dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,

hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

Contoh Klusula Baku yang dilarang Undang-Undang


 Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau

disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa

“ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran

dari Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai

mereka ;

 Kuitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :

"Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan"

"Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan"

Contoh Klusula Baku yang BATAL DEMI HUKUM

 Setiap transaksi jual beli barang dan atau jasa yang mencantumkan Klausula Baku yang

tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;

 Konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan Klausula Baku yang

dilarang dan pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana

penjara;

 Pencantuman Klusula Baku yang benar adalah yang tidak mengandung 8 unsur atau

pernyataan yang dilarang dalam Undang-Undang, bentuk dan pencantumannya mudah

terlihat dan dipahami;

13. Lembaga yang berperan dalam upaya hukum perlindungan konsumen

1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) adalah badan yang dibentuk untuk

membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.

2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)


Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ialah lembaga non

pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan

menangani perlindungan konsumen.

3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas

menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Anda mungkin juga menyukai