Anda di halaman 1dari 16

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KONSUMEN DALAM

TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE (MARKET PLACE)

Oleh

Muhammad Rizaldhi Ariwibowo (NIM. 11000120410019)

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro


Jl. Imam Bardjo, S.H. No.1-3, Semarang 5024. Telp: (024) 8310885. Fax: (024) 831516
Muhammad.rizaldhi@gmail.com

Abstrak

Dalam tujuh tahun belakangan mulai ramai bermunculan trend baru yaitu online shopping,
yang telah merambah berbagai media antara lain media sosial, situs web, hingga marketplace
dan telah menjangkit seluruh lapisan masyarakat.Sedangkan transaksi sendiri merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dan dapat menimbulkan perubahan terhadap harta
atau keuangan, baik itu bertambah maupun berkurang.

Transaksi yang menjadi salah satu contoh paling umum ditemui dalam bertransaksi online,
dimana terdapat beberapa jenis proses atau tahapan lain yang biasa dilakukan. Dalam
transaksi online di dunia maya tetap memiliki kemungkinan terjadi sengketa sebagaimana
transaksi konvensional yang terjadi dalam suatu hubungan hukum konvensional (transaksi
jual beli) yang apabila dalam transaksi konvensional terjadi kendala, ketidak sesuaian,
ataupun masalah maka dapat langsung diselesaikan oleh pihak penjual dan pembeli, namun
berbeda keadaannya dalam transaksi online yang tidak memiliki interaksi langsung antara
kedua belah pihak.

Sebuah masalah dalam transaksi online yang marak terjadi ialah ketidak sesuaian antara
barang yang dipesan oleh pembeli (konsumen) dengan barang yang diterima atau dikirim
oleh penjual, sehingga menyebabkan kerugian bagi konsumen dalam hal rugi waktu ataupun
rugi biaya, namun masih banyak pembeli maupun penjual yang masih belum memahami hak
dan kewajiban, serta kedudukan masing- masing apabila terjadi hal demikian

Maka dari itu peraturan mengenai perlindungan hukum hadir untuk tetap dapat menjaga hak
dan kewajiban para subjek dari transaksi khususnya transaksi online dapat selalu menerapkan
itikad baik dari segala aktivitas bertransaksi.
Pembahasan

Perdagangan adalah kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya yang
berdasarkan kesepakatan bersama dan bukan pemaksaan. Kegiatan berdagang atau jual
beli dahulu dilakukan secara konvensional atau dengan kata lain memerlukan
pertemuan dan interaksi dari pihak penjual dan pembeli secara langsung, sebagaimana
kegiatan perdagangan pertama dilakukan ketika telah ditemukan uang sebagai alat tukar
hingga saat ini.
Seiring perkembangan zaman, manusia menemukan, memanfaatkan, dan
mengembangkan teknologi termasuk di dalamnya yaitu teknologi internet dan
penggunaannya termasuk dalam transaksi perdagangan (jual-beli) yang menyebabkan
pergeseran transaksi tradisional yang membutuhkan interaksi langsung antara penjual
dan pembeli menjadi transaksi (jual-beli) secara elektronik. Perkembangan transaksi
elektronik memiliki faktor-faktor yang mendukung antara lain Indonesia sebagai negara
dengan jumlah penduduk mencapai 264 juta jiwa, merupakan negara dengan
pertumbuhan kelas menengah terbanyak di dunia (mencapai angka 55 juta jiwa) dan
bersifat konsumtif. Faktor lain ialah tingginya pengguna internet di Indonesia yaitu 143
juta jiwa yang secara langsung mempengaruhi perkembangan penggunaan internet
untuk bertransaksi online.
Tentu dalam prakteknya, ditemukan beberapa kasus yang menimbulkan
wanprestasi antara kedua pihak yaitu penjual dan juga pembeli. Prestasi merupakan hal
yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan. Pemenuhan Prestasi merupakan
hakekat dari suatu perikatan. Kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalu disertai
dengan tanggung jawab (liability), artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya
sebagai jaminan pemenuhan hutangnya kepada kreditur.1 Sedangkan pengertian dari
Wanprestasi ialah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana
telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara debitur dan kreditur.2 Wanprestasi
dapat pula diartikan sebagai suatu perbuatan ingkar janji yang dilakukan oleh salah satu
pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian, ataupun melaksanakan tetapi terlambat
atau tidak sesuai dengan perjanjian, maupun melakukan apa yang seharusnya tidak
boleh dilakukannya.

1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 17.
2
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Interrmasa, 2001), hal. 323.
Wanprestasi dapat berupa tidak memenuhi prestasi sama sekali, terlambat

memenuhi prestasi, memenuhi prestasi tapi tidak sempurna (tidak sesuai atau keliru),

dan melakukan hal yang dilarang dalam perjanjian. Wanprestasi dapat terjadi karena

dua hal yaitu karena kesalahan debitur (baik sengaja ataupun lalai), dan karena keadaan

memaksa (Overmacht). Dalam pembahasan dibawah ini, akan membahas mengenai

kelalaian yang dilakukan oleh debitur/penjual yang tidak memberikan barang yang

tidak sesuai degan pesanan kreditur/pembeli termasuk perlindungan konsumen terhadap

akibat wanprestasi tersebut.

Secara historis sistem perlindungan konsumen tumbuh seiring dengan


berkembangnya pola perekonomian yang makin lama makin pesat.3 Perhatian terhadap
perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat (1960-1970-an) mengalami
perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial,
politik dan hukum. Banyak sekali artikel dan buku ditulis berkenaan dengan gerakan
ini. Di Amerika Serikat bahkan pada era tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan
banyak peraturan dan dijatuhkan putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan
konsumen.4
Presiden Amerika John F Kennedy dianggap sebagai pelopor gerakan konsumen
modern. Tanggal 15 Maret 1963, dalam pidatonya di depan publik AS, Kennedy
menjabarkan 4 (empat) hak yang dimiliki konsumen, yaitu:
1. The right to safety (hak atas keamanan);
2. The right to be informed (hak atas informasi);
3. The right to choose (hak untuk memilih);
4. The right to be heard (hak untuk didengarkan);

Untuk mengabadikan peristiwa ini, Consumers International menetapkan tanggal


15 Maret sebagai Hari Hak Konsumen Sedunia. Substansi pidato JFK itu kemudian
menginspirasi International Organizations of Consumers Union (IOCU, kini berganti
nama menjadi Consumers International/CI untuk menguraikannya menjadi 8 (delapan)
hak konsumen. Jika diamati, sejarah gerakan perlindungan konsumen bermula dari

3
N.H.T Siahaan, 2005 Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Panta Rei, hal. 289
4
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT.Sinar Grafika, hal. 1
kondisi di Amerika Serikat. Perlindungan hak-hak konsumen dapat berjalan seiring
dengan perkembangan demokrasi yang terjadi dalam suatu negara. Negara demokrasi
mengamanatkan bahwa hak-hak warga negara, termasuk hak-hak konsumen harus
dihormati. Ada posisi yang berimbang antara produsen dan konsumen, karena
keduanya mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade


1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan
secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti
pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen.

Waktu sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah
Undang-Undang tentang perlindungan konsumen dilakukan selama bertahun-tahun.
Masa Orde Baru, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki
greget besar untukmewujudkannya karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-
Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda. Baru pada era
reformasi, keinginan terwujudnya UU tentang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi.

Tanggal 20 April 1999 Pemerintah Indonesia telah mensahkan dan


mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendidik
masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya yang dimiliki terhadap pelaku usaha. Sebagaimana tertera dalam
konsiderans Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan
bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya, serta menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggungjawab.

Kehadiran UUPK menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan


konsumen di Indonesia. Diakui, bahwa undang-undang tersebut bukanlah yang pertama
dan yang terakhir, karena sebelumnya telah ada beberapa rumusan hukum yang
melindungi konsumen tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Undang-undang ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik
menyangkut hukum materiil, maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa
konsumen.5

Secara etimologis, perlindungan hukum dapat diuraikan dan memiliki arti sebagai
berikut: Perlindungan sendiri memiliki arti tempat berlindung; hal (Perbuatan dan
sebagainya).6 Memperlindungi unsur-unsur perlindungan sendiri dapat berupa unsur
tindakan yang melindungi unsur pihak yang melindungi dan unsur cara melindungi.
Sehingga perlindungan hukum secara keseluruhan dapat dimaknai kedudkan hak serta
harkat dan martabat suatu subyek hukum dalam kedudukannya di sebuah sistem hukum

Perlindungan hukum merupakan segala upaya perubahan hak dan pemberian


bantuan untuk memberikan rasa aman yang dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk
yang diberikan pada subyek hukum yang bersifat preventif maupun represif.
Perlindungan hukum juga mencerminkan sebuah sistem hukum yang berlaku, apabila
suatu sistem hukum bekerja dengan baik maka secara otomatis akan mampu menjamin
perlindungan hukum tersebut.
Perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak
konsumen. Walaupun sangat beragam, secara garis besar hakhak konsumen dapat
dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:7
1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
2. hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar; dan
3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang
dihadapi.
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan

kepada konsumen. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum” dimaksudkan sebagai benteng bagi para subyek hukum dari
5
Inosentius Samsul, 2004. Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Jakarta:
Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, hlm. 20.
6
Diakses dari : https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/perlindungan, pada tanggal 20 april 2021
7
Mariam Darus Badrulzaman, ìPerlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku,î
Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang diselenggarakan oleh BPHN, Jakarta,
1986, hlm. 61.
perbuatan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha dengan mengatas namakan

penegakkan Perlindungan Konsumen, dan juga untuk menjamin kepastian hukum bagi

konsumen.8

Setelah memahami beberapa pengetahuan mengenai transaksi online, perbuatan

wanprestasi, hingga upaya perlindungan hukum, maka harus diketahui bersama apa

yang dimaksud dengan barang yang tidak sesuai dengan pesanan yang menjadi salah

satu fokus kasus yang sering kita jumpai. Meski tidak memiliki definisi yang jelas

menurut hukum, secara bahasa “Barang” berarti benda umum (segala sesuatu yang

berwujud atau berjasad)9, yang dalam konteks tulisan ini menjadi obyek hukum dari

kegiatan transaksi jual beli online ini..

Terdapat berbagai jenis “ketidaksesuaian” barang dalam transaksi jual beli online

yang dapat merugikan konsumen baik berupa kerugian materiil maupun kerugian non-

materiil. Maka hadirlah peraturan mengenai standarisasi. Sejarah perkembangan

standarisasi di Indonesia sendiri dibagi menjadi dua, yaitu pada zaman penjajahan

Belanda/Jepang, dan zaman negara Indonesia yang berdaulat. Pada zaman penjajahan

standar dijadikan sebagai sarana pendukung kegiatan ekonomi kolonial sehingga dapat

berjalan dengan lancar.10

Pemerintah Indonesia menetapkan program Pengembangan Sistem Nasional

untuk Standarisasi di bawah Menteri Negara Riset pada tahun 1973, dan pada tahun

1976 diusulkan pokok-pokok pemikiran pembentukan Sistem Standarisasi Nasional.

Tahun 1978 dibentuk Panitia Persiapan Sistem Standarisasi Nasional (PPSSN), dan

8
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka, 2004), hal. 1.
9
Diakses dari : https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/barang, pada tanggal 25 April 2021 pukul 23.45 WIB.

Muhammad Fachrudin dan Bambang Eko Turisno, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Yang
10

Belum Bersertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Kaitannya Terhadap Hukum Perlindungan
Konsumen (Studi Kasus UD. Haris Elektronik), (Diponegoro Law Journal Vol.6 No.1, Tahun 2017), hal.4.
pada tahun 1982 dibentuk Panitia Pembentukan Dewan Standarisasi Nasional yang

bertugas menyiapkan pembentukan Dewan Standarisasi Nasional. Pada tahun 1984

Presiden RI menerbitkan Keputusan Presiden No.20 tahun 1984 juncto Keputusan

Presiden No.7 tahun 1989 tentang Dewan Standarisasi Nasional dengan tugas pokok

menetapkan kebijakan standarisasi, melaksanakan koordinasi dan membina kerjasama

di bidang standarisasi nasional. Lalu pada tahun 1991 diterbitkan Peraturan Pemerintah

No.15 tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia dan Keputusan Presiden No.12

tahun 1991 tentang Penyusunan Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional

Indonesia. Kemudian pada tahun 1997 dibentuklah Badan Standarisasi Nasional (BSN)

melalui Keputusan Presiden No.13 tahun 1997. Memasuki tahun 2000 diterbitkan

Peraturan Pemerintah No.102 tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional menggantikan

Peraturan Pemerintah No.15 tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia dan

Keputusan Presiden No.12 tahun 1991 tentang Penyusunan Penerapan dan Pengawasan

Standar Nasional Indonesia. Pada tahun 2014 baru disahkan dan diundangkan Undang-

undang No. 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

Standar menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi

dan Penilaian Kesesuaian ialah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan

termasuk tata cara dan metode dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan,

kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh

manfaat yang sebesar-besarnya.11

Terkait dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), terdapat kewajiban untuk

membubuhkan Label yang memuat informasi tentang Barang dan keterangan Pelaku

Usaha, serta informasi lainnya yang disertakan pada Barang. Pencantuman label sendiri

11
Diakses dari : http://www.bsn.go.id/uploads/download/UU-20_TAHUN_2014_TENTANG_SPK1.pdf, pada tanggal 25
April 2021 pukul 23.45 WIB.
diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 73/M-DAG/PER/9/2015 tentang

Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang.

Dari sisi praktik penegakan hukum, ketentuan pasal peralihan Pasal 64 UUPK

sangatlah penting. Pertama, hukum perlindungan konsumen tersebar dalam bentuk

peraturan perundang-undangan dan berbagai cabang hukum perdata, hukum dagang,

hukum pidana, dan hukum administrasi negara, yang kadang-kadang tampak

melindungi konsumen, atau yang tercampur aduk sehingga memerlukan penafsiran,

atau yang hanya sekadar sampiran dari suatu peraturan, sebelum diundangkan dan

diberlakukannya UUPK. Kedua, sejalan dengan dinamika aktivitas ekonomi, pada masa

yang akan datang, masih akan ada pembentukan norma-norma perlindungan konsumen

di luar UUPK.12 Norma-norma perlindungan konsumen tersebut semestinya menjadi

prioritas penegakkan hukum dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang

dirujuk UUPK.

Di Amerika Serikat, Komisi khusus telah dibentuk untuk menangani

perlindungan hukum bagi konsumen dalam berbagai macam kegiatan di internet.

Komisi tersebut adalah Federal Trade Commission (FTC) yang menjalankan fungsi

sesuai dengan yang digariskan dalam the Federal Trade Commission Act13untuk

melindungi konsumen terhadap berbagai bentuk penipuan, kecurangan, dan praktik-

praktik tidak sehat lainnya. FTC diberikan kewenangan yang luas untuk dapat

mengajukan gugatan atas kepentingan konsumen.

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kepentingan konsumen sering

dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya, baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah.

Pada umumnya suara pelaku usaha jauh lebih keras sehingga mudah didengar oleh

Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
12

2008), hal. 158.


13
Federal Trade Commission dibentuk berdasarkan Federal Trade Commission Act 1914 (FTC Act). 5 FTC Act
yang menyatakan pemberian tanggung jawab kepada FTC untuk memberikan perlindungan kepada konsumen
pemerintah. Konsep pertumbuhan ekonomi suatu negara yang berwawasan integral

bukan untuk memakmurkan sekelompok rakyat, melainkan seluruh rakyat termasuk

didalamnya para konsumen.14

Dengan demikian Perlindungan hukum oleh negara kepada konsumen yang

memiliki posisi tawar yang lemah terasa sangat urgen15, maka dari itu konsumen harus

lebih dapat mengerti apa saja yang mereka dapat lakukan jika megalami hal yang

serupa, yaitu mendapatkan barang yang tidak sesuai dengan pesanan mereka. Terdapat

cara preventif hingga upaya hukum yang dapat ditempuh. Penjelasannya yaitu:

A. Langkah--Langkah Preventif Terkait Barang Tidak Sesuai Pesanan

Yang dimaksud dengan tindakan preventif ialah sebuah tindakan yang

dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan terjadinya

suatu kejadian. Dikaitkan dengan kemungkinan peristiwa barang tidak sesuai

pesanan dalam transaksi jual beli online, harus dengan cermat dipahami pasal

demi pasal yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan terkait,

agar dapat mengetahui perihal langkah-langkah pencegahan yang didukung

perundang-undangan itu sendiri.

Mengenai langkah-langkah preventif yang dapat dilakukan, tersirat di

dalam kandungan peraturan hukum tentang Perlindungan Konsumen, sehingga

terlebih dahulu perlu dicermati beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sebagaimana tertulis dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi

“meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

Abdul Halim Barkatullah Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran).
14

Bandung: Nusa Media. hal. 29


15
Abdul Halim Barkatullah, Urgensi Perlindungan Hak-Hak Konsumen dalam Transaksi di E-Commerce,
(Banjarmasin: Universitas Unlam Banjarmasin, 2007), halm 267
melindungi diri” , tersirat bahwasanya undang-undang ini menginginkan

kontribusi dan peran aktif konsumen untuk dapat lebih memahami hak-haknya,

dan berinisiatif menuntut dan melindungi dirinya (termasuk hak-haknya sebagai

konsumen), apabila tidak terpenuhi. Apabila diberikan sebuah contoh, ketika

seorang konsumen hendak melakukan transaksi elektronik, dengan

berlandaskan ayat (1) maka konsumen tersebut dapat mencari tahu lebih dahulu

(kesadaran, dan kemandirian melindungi diri) terkait reputasi pelaku usaha,

ataupun informasi lain yang mungkin relevan ataupun vital, sehingga dapat

memperkecil kemungkinan terjadinya barang yang tidak sesuai pesanan dalam

transaksinya.

Sedangkan dalam pasal 3 ayat (4) yang berbunyi “menciptakan sistem

perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan

keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi” sistem

perlindungan konsumen yang dicita-citakan harus mampu memberi kepastian

hukum dan akses serta keterbukaan informasi sehingga dapat mengurangi risiko

kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan barang tidak sesuai pesanan.

Sistem Perlindungan Konsumen yang dimaksud bukan hanya sebatas

pengetahuan saja, melainkan seluruh elemen yang berhubungan, yang dapat

mendukung terwujudnya kepastian hukum serta transparansi informasi

sehingga konsumen dapat dengan yakin melakukan perbuatan hukum (transaksi

elektronik) berlandaskan keyakinan bahwa informasi yang diterima ialah benar

adanya juga mendapatkan rasa aman dalam hal kepastian hukum, sehingga

dapat memperkecil kemungkinan terjadinya barang yang tidak sesuai pesanan

dalam transaksinya.
Dalam Perjanjian Jual Beli, jelas terdapat dua pihak yaitu penjual dan

pembeli. Bagi penjual ada kewajiban utama, yaitu: menyerahkan hak milik atas

barang yang diperjual belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi

segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik

atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli; dan

menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung

terhadap cacat-cacat tersembunyi. Konsekuensi dari jaminan oleh penjual

diberikan pada pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah sungguh-sungguh

miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak

lain. Dan mengenai cacat tersembunyi maka penjual menanggung cacat-cacat

tersembunyi dalam objek jual beli kecuali telah diperjanjikan sebelumnya

bahwa penjual tidak diwajibkan menanggung suatu apapun. Tersembunyi

berarti bahwa cacat itu tidak mudah dilihat oleh pembeli yang normal.16

Kemudian dijelaskan apa saja hak yang dapat diperoleh oleh konsumen

sehingga mereka dapat mengerti apa saja yang menjadi hak mereka ataupun

tidak. Pasal 4 menjelaskan apa saja hak-hak yang diperoleh oleh seorang

konsumen.

Tidak hanya konsumen yang harus berhati hati dalam mengupayakan

untuk terhindar dari wanprestasi/kesalahan dalam sebuah transaksi online. Para

pelaku usaha juga dituntut untuk dapat memberikan hak para konsumen dan

juga apa saja yang menjadi tanggung jawab mereka.

Dalam pasal 7 huruf (g) yang berbunyi “memberi kompensasi, ganti

rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau

16
Natalia Vita Nova, Perlindungan Konsumen Terhadap Pembelian Perumahan Royal Family di Semarang, (Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2018), hal. 37-38.
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.” mendapatkan kompensasi, ganti

rugi dan/atau penggantian jika barang yang diterima tidak sesuai dengan yang

diperjanjikan. Kedua poin ini merupakan suatu keterkaitan yang bersifat timbal-

balik, dimana hak konsumen mendapatkan barang sebagaimana diperjanjikan

sedangkan kewajiban pelaku usaha ialah untuk memenuhi hak konsumen

menerima barang sesuai yang diperjanjikan dengan cara memberi kompensasi,

ganti rugi, maupun penggantian barang agar sesuai dengan yang diperjanjikan,

serta membuktikan itikad baik dari pelaku usaha dalam kegiatannya.

B. Akibat Hukum Jika Hak-Hak Konsumen Tidak Dipenuhi Oleh Pelaku

Usaha Apabila Terjadi Barang Tidak Sesuai Pesanan Dalam Transaksi

Online

Barang tidak sesuai pesanan dalam transaksi jual beli online sejatinya

dapat dilihat sebagai bentuk wanprestasi, sebagaimana dikatakan oleh

Ahmadi Miru bahwasanya wanprestasi itu dapat berupa perbuatan: Sama

sekali tidak memenuhi prestasi, Prestasi yang dilakukan tidak sempurna,

Terlambat memenuhi prestasi, dan Melakukan apa yang dilarang dalam

perjanjian.17

Apabila konsumen mendapati situasi dimana barang yang diterima

tidak sesuai pesanan, maka sesuai Pasal 4 ayat (8) UUPK di atas, konsumen

berhak menerima kompensasi dan/atau ganti rugi dan/atau penggantian

supaya hak konsumen dapat dipenuhi, juga melihat Pasal 7 huruf (a,b dan g)

UUPK yang menyatakan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam

menjalankan usahanya memberi informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang

17
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal. 74.
kondisi barang, serta memberikan kompensasi, ganti rugi, maupun

penggantian barang agar sesuai dengan yang telah diperjanjikan.

Sengketa berawal pada situasi dimana pihak yang merasa dirugikan oleh pihak

lain.18 Biasanya dimulai oeh perasaan tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup yang

dialami oleh perseorangan maupun kelompok. Apabila perasaan tidak puas

disampaikan pada pihak penjual dan pihak penjual menanggapi dan dapat memuaskan

pihak pembeli maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika perbedaan pendapat

tersebut terus berkelanjutan maka akan terjadi yang disebut sengketa.19

Konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas

menyelesaikan sengketa antar konsumen dan pelaku usaha (BPSK) atau melalui

peradilan, dengan memperhatikan ketentuan pasal Pasal 45 UU Perlindungan

Konsumen. Adapun prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen (PSK) antara

lain:

1) Melalui konsiliasi

Konsiliasi merupakan salah satu pilihan dalam menyelesaikan

sengketa konsumen yang berada di luar pengadilan yang sebagai

perantaranya adalah BPSK

2) Mediasi

Penyelesaian sengketa ini yang dimana inisiatifnya datang dari satu

pihak atau para pihak dengan didampingi oleh majelis BPSK

sebagai mediator atau perantara yang bersifat aktif. Bedanya dengan

cara konsiliasi, yang dimana Majelis BPSK sebagai perantara

bersifat pasif.
18
Suyud Margono, Perkembangan Alternative Dispute Reesolution (ADR): Dalam Prospek dan Pelaksanaannya Arbitraase
di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 21.
19
Abdul Halim Barkatullah Op.Cit., hal. 129.
3) Arbitrase

Penyelesaian sengketa konsumen dimana para pihak memberikan

sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan

menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Ketiga cara penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana disebutkan di atas yang

didasarkan oleh pilihan dan persetujuan para pihak yang bersengketa dan bukan proses

penyelesaian sengketa secara berjenjang. Jadi para pihak berhak memilih melalui proses

bagaimana dalam menyelesaikan sengketa atau pemasalahannya. (Pasal 4 dan Pasal 2

SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001).20

Kesimpulan

Hukum Perlindungan Konsumen telah menyadarkan konsumen akan hak-haknya

melakukan Transaksi Elektronik, serta mengingatkan dan menegaskan pelaku usaha

agar menjaga itikad baik dan senantiasa memenuhi kewajibannya. Pelaku usaha maupun

konsumen dapat mengurangi risiko kemungkinan terjadinya barang tidak sesuai

mengurangi risiko kemungkinan terjadinya barang tidak sesuai pesanan dengan berhati-

hati dalam memberi dan menerima informasi serta memiliki inisiatif dan itikad baik

sebelum, selama, dan setelah proses transaksi berlangsung, serta memahami dengan baik

hak-hak dan kewajibannya serta sarana pendukung pemenuhan hak dan kewajiban

tersebut.

Daftar Pustaka

Apsari , Ni Komang Ayuk Tri Buti, Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Belanja Online di Luar Pengadilan, Hukum Bisnis FH Universitas
Udayana.

20
Ni Komang Ayuk Tri Buti Apsari, Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Belanja Online di Luar
Pengadilan, Hukum Bisnis FH Universitas Udayana.
Badrulzaman , Mariam Darus, ìPerlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut
Perjanjian Baku,î Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan
Konsumen yang diselenggarakan oleh BPHN, Jakarta, 1986.

Barkatullah, Abdul Halim Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoritis dan


Perkembangan Pemikiran). Bandung: Nusa Media.

Barkatullah , Abdul Halim, Urgensi Perlindungan Hak-Hak Konsumen dalam


Transaksi di E-Commerce, (Banjarmasin: Universitas Unlam Banjarmasin, 2007)

Fachrudin , Muhammad dan Bambang Eko Turisno, Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Terhadap Produk Yang Belum Bersertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI)
Dalam Kaitannya Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen (Studi Kasus UD.
Haris Elektronik), (Diponegoro Law Journal Vol.6 No.1, Tahun 2017)

Federal Trade Commission dibentuk berdasarkan Federal Trade Commission Act 1914
(FTC Act). 5 FTC Act yang menyatakan pemberian tanggung jawab kepada FTC
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/perlindungan, Diakses pada tanggal 20 april 2021

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/barang, Diakses pada tanggal 25 April 2021 pukul


23.45 WIB.

http://www.bsn.go.id/uploads/download/UU-
20_TAHUN_2014_TENTANG_SPK1.pdf, Diakses pada tanggal 25 April 2021
pukul 23.45 WIB.

Kristiyanti , Celina Tri Siwi, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT.Sinar
Grafika

Margono , Suyud, Perkembangan Alternative Dispute Reesolution (ADR): Dalam


Prospek dan Pelaksanaannya Arbitraase di Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2001).

Miru , Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Pustaka, 2004).

Miru , Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers,
2007)
Muhammad, Abdulkadir Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990)

Nova , Natalia Vita, Perlindungan Konsumen Terhadap Pembelian Perumahan Royal


Family di Semarang, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2018)

Subekti.R dan R. Tjitrosudibio Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Interrmasa,


2001)

Samsul , Inosentius, 2004. Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan


Tanggung Jawab Mutlak. Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum
Pascasarjana.

Shofie, Yusuf, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung:


Citra Aditya Bakti, 2008).

Siahaan, N.H.T. 2005 Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Panta Rei.

Anda mungkin juga menyukai