Anda di halaman 1dari 15

Perlindungan Konsumen

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kegiatan bisnis,terdapat hubungan antara pelaku usaha sebagai
pihak yang memproduksi atau menyalurkan barang atau jasa,dengan konsumen
sebagai pemakai barang atau jasa. Antara pelaku usaha dan konsumen,memiliki
kepentingan yang berbeda. Pelaku usaha berkepentingan untuk memperoleh laba
transaksi dari konsumen. Sementara konsumen berkepentingan untuk memperoleh
kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap suatu produk.
Perbedaan kepentingan diantaranya keduanya,seringkali menyebabkan
timbulnya konflik. Konsumen biasanya berada pada posisi tawar menawar yang
lemah dan rawan menjadi sasaran eksploitasi pelaku usaha. Masalah konsumen
seperti ini merupakan hal yang selalu aktual dan dipersoalkan. Masalah ini adalah
masalah manusia yang berhubungan dengan kesehatan,dan juga tidak lepas dari
unsur diluar kesehatan,misalnya seperti unsur keagamaan. Dalam banyak
kasus,seringkali juga para pelaku bisnis tidak peduli bahwa pabriknya telah
mencemari lingkungan atau produknya ternyata bermasalah bagi kesehatan
konsumen.
Sebenarnya,masalah pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia sudah
terlalu banyak terjadi,tetapi sebagian besar masyarakat membiarkan saja kasus-
kasus yang menimpanya. Alasan yang paling sering dijumpai adalah tidak mau
repot atau khawatir urusan akan menjadi bertele-tele,dan tidak mau berurusan
dengan polisi. Sebagian masyarakat tidak tahu harus ke mana untuk mengadukan
permasalahan tersebut. Mereka juga khawatir akan mengeluarkan biaya besar
untuk menyelesaikan sengketa.
Oleh karena itu,sebagai upaya perlindungan hukum baik kepada konsumen
ataupun produsen,pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini secara tegas mengatur
hak-hak serta kepentingan konsumen dan produsen. dalam pembahasan makalah
ini juga akan dijelaskan mengenai cara-cara penyelesaian sengketa antara
konsumen dan produsen.
1.2 Perumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah posisi konsumen dalam perdagangan bebas?
1.2.2 Apa saja hak dan kewajiban konsumen - pelaku usaha?
1.2.3 Bagaimanakah peranan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YKLI) dalam
perlindungan hukum konsumen?
1.2.4 Bagaimanakah penyelesaian sengketa pada perlindungan konsumen?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui posisi konsumen dalam perdagangan bebas.
1.3.2 Untuk mengetahui hak dan kewajiban konsumen - pelaku usaha.
1.3.3 Untuk mengetahi peranan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YKLI) dalam
perlindungan hukum konsumen.
1.3.4 Untuk mengetahui penyelesaian sengketa pada perlindungan konsumen.

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Posisi Konsumen Dalam Perdagangan Bebas


Situasi akhir-akhir ini yang mendesak pemerintah dan pelaku usaha untuk
segera memulihkan kegiatan bisnis dan perekonomian sering kali dihadapkan
pada persoalan perlindungan konsumen. Pasokan barang dan jasa melalui kegiatan
promosi yang gencar tidak selamanya dapat dipahami dengan baik oleh
masyarakat, dan bahkan sering kali mengakibatkan masyarakat menjadi korban.
Sifat berpikir objektif sering dikalahkan oleh kegiatan promosi yang menggebu-
gebu dengan berbagai teknik promosi yang dikemas sedemikian rupa sehingga
mengubur sikap rasional konsumen.
Situasi kondisi yang mengharuskan Indonesia terlibat aktif dalam pasar
bebas dan globalisasi semakin membuat masalah yang dihadapi konsumen
semakin kompleks. Melalui UU Nomor 7 Tahun 1994, Negara kita telah
meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan dunia atau World
Trade Organization (WTO).
Dalam aturan aturan yang ditetapkan WTO, sebenarnya perlindungan
konsumen lebih mendapat perhatian dan perlindungan hukum, misalnya stanadar-
standar barang dan jasa yang diperdagangkan dan sanksi bagi negara-negara yang
memproduksi barang dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuam hukum.
Dalam TRIPs (Trade Related Intelectual Properties) antara lain disebutkan
bahwa negara anggota wajib melaksanakan ketentuan tentang penggunaan merek
sebagai upaya untuk melindungi konsumen sebagi korban peniruan merek.
Misalnya dalam kasus Nike di Indonesia, Mahkamah Agung RI berpendapat
bahwa menggunakan merek terkenal di dunia internasional tanpa izin dapat juga
mengelabui konsumen seolah-olah barang yang dipalsukan mereknya tersebut
barang asli, padahal mungkin barang tiruan tersebut mungkin mutunya lebih
rendah dari barang aslinya.
Selain itu, pada peraturan yang tercantum dalam GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) mensyaratkan pencantuman indikator atas asal
barang impor sebagai upaya untuk melindungi konsumen.
Bila dilihat dari sisi perlindungan komsumen menghadapi sistem
perdagangan bebas, posisi konsumen ada pada dua sisi, yaitu sebagai berikut:

1. Posisi konsumen diuntungkan


Hal ini disebabkan karena perdagangan bebas telah mengakibatkan begitu
banyaknya pilihan bagi konumen mengenai jenis serta macam barang, mutu
maupun harga.

2. Posisi konsumen dirugikan


Masih lemahnya pengawasan di negara berkembang tentang standarisasi mutu
barang dan peraturan yang berlaku di negara berkembang dapat mengakibatkan
negara-negara berkembang tersebut menjadi sasaran tujuan bagi barang-barang
reject, yang di Negara maju tidak memenuhi persyaratan pasar.

2.2 Hak dan Kewajiban Konsumen - Pelaku Usaha


Hukum, khususnya hukum ekonomi, mempunyai tugas untuk
menciptakan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat
dan pemerintah. UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
(UUPK)secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional. Pada
era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa yang mrmiliki
kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting kesejahteraan rakyat,
dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari
perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Selanjutnya, upaya
menjaga harkat dan martabat konsumen perlu didukung peningkatan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggung jawab.
Dalam pasal 4 UUPK mengatur hak hak dari konsumen. Hak hak
konsumen tersebut adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan atas barang dan jasa .
2. Hak untuk memilih barang dan jasa.
3. Hak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur atas barang dan jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya.
5. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum (advokasi), perlindungan dan
penyelesaian sengketa.
6. Hak dalam pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi atas barang atau jasa yang merugikan.
9. Hak hak yang ditentukan dalam perundang undangan lain.

Selanjutnya pasal 5 UUPK mengatur kewajiban konsumen yaitu :


1. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian yang benar.
2. Beritikad baik dalam transaksi pembelian barang atau jasa.
3. Membayar sesuai kesepakatan.
4. Mengikuti penyelesaian sengketa secara patut.
Sementara itu, hak hak pelaku usaha (pasal 6 UUPK) adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran dari konsumen.
2. Hak untuk dilindungi (hukum) atas itikad tidak baik konsumen.
3. Hak untuk membela diri dalam sengketa konsumen.
4. Hak untuk memperoleh rehabilitasi nama baik apabila tidak bersalah.
5. Hak hak yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan lain.
Mengenai kewajiban pelaku usaha, terdapat dalam pasal 7 UUPK, yaitu :
1. Beritikad baik dalam kegiatan usaha.
2. Memberi informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang atau jasa termasuk penjelasan tentang penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.
3. Melayani konsumen secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang atau jasa berdasarkan ketentuan standar mutu yang
berlaku.
5. Memberi kesempatan kepada konsumen menguji barang atau jasa dan memberi
jaminan/garansi atas barang yang diperdagangkan.
6. Memberi ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang timbul dari pemakaian
barang atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi ganti rugi atau kompensasi atas kerugian karena tidak sesuai perjanjian.

Dalam rumusan kewajiban produsen (pelaku usaha) sesuai pasal 7 butir a


UUPK, pelaku usaha diwajibkan untuk beritikad baik dalam aktivitas
produksinya. Rumusan tersebut mengandung suatu keharusan atau kewajiban
yang suka atau tidak suka harus dilaksanakan.
Disamping kewajiban tersebut, pelaku usaha dilarang melakukan tindakan-
tindakan tertentu yang dapat merugikan konsumen sebagaiman diatu pasal 8
sampai dengan pasal 18 undang-undang tersebut. Beberapa larangan tersebut,
misalnya diatu dalam pasal 8 ayat 1 bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi
dna atau memperbanyak barang dan atau jasa yang:
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket dan keterangan barang dan atau jasa
tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan atau jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwasrsa atau jangka waktu penggunaan atau
pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan
Halal yang dicantumkan dalam label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 18 diatur mengenai pembatasan penggunaan klausula baku
dalam perjanjian atau dokumen yang dibuat pelaku usaha. Maksudnya, untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan
prinsip kebebasan berkontrak. Pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut
menyebabkan perjanjian atau dokumen menjadi batal demi hukum. Pelaku usaha
juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan atau perjanjian apabila:
a. Mengatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Mengatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. Mengatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas penjualan barang dan atau jasa yang dibeli konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan, dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
Selanjutnya sesuai UUPK, jika suatu produk merugikan konsumen,
produsen bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen,
kewajiban itu melekat pada produsen, meskipun antara pelaku dan korban tidak
terdapat kesepakatan sebelumnya. Contohnya ketika penjual es krim berkewajiban
untuk bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami korban yang menikmati
es krim tersebut jika es krim tersebut mengandung bakteri penyakit. Dalam hal ini
penjual es krim berkewajiban menanggung penderitaan korban karena perbuatan
melawan hukum sebagaimana ditentukan di dalam pasal 1365 KUH Perdata.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa pelaku usaha dapat dibebaskan dari
tanggung jawabnya (pasal 27 UUPK) apabila :
1. Sesuatu barang seharusnya tidak untuk diedarkan.
2. Barang mengalami cacat di kemudian hari.
3. Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
4. Kelalaian yang berasal dari konsumen.
5. Setelah terjadinya mas kadaluarsa penuntutan empat tahun sejak barang dibeli
atau diperjanjikan.
Pada saat seseorang akan melakukan klaim pada dasarnya terdapat dua
dasar tuntutan, yaitu sebagai berikut :
1. Pelanggaran jaminan
Hal ini dikaitkan dengan adanya suatu jaminan tertentu dari pelaku usaha tentang
produk yang dipasarkan tidak cacat atau rusak. Cacat atau rusaknya barang
diartikan dalam tiga hal yaitu dikarenakan konstruksi barang, desain dan atau
karena pelabelan.
2. Prinsip kehati-hatian
Pelaku usaha dapat diklaimkarena pelaku usaha gagal menunjukkan adanya
kehati-hatian yang cukup dalam melakukan proses produksinya mulai dari
perencanaan pembuatan sampai dengan pendistribusian atau pemasaran.
2.3 Peranan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI) dalam
Perlindungan Hukum Konsumen.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan sebuah
organisasi masyarakat yang bersifat nirlaba dan independen yang didirikan pada
tanggal 11 Mei 1973. Keberadaan YLKI diarahkan pada usaha meningkatkan
kepedulian kritis konsumen atas hak dan kewajibannya, dalam upaya melindungi
dirinya sendiri, keluarga, serta lingkungannya.
Perlindungan terhadap konsumen pada hakikatnya berarti pula bahwa
dorongan terhadap produsen untuk menghasilkan barang yang terjamin mutunya.
Dengan demikian konsumen tidak akan mengalihkan perhatiannya pada produk
luar negeri. Kepercayaan konsumen yang diterima oleh produsen dengan
sendirinya membuat produsen memperbesar volume produksinya. Ini berarti
bahwa produsen akan menambah jumlah tenaga kerjanya yang akan mengurangi
jumlah pengangguran di masyarakat. YLKI sebagai lembaga sosial dapat berperan
aktif sebagai lembaga mediasi dalam melindungi konsumen, menumbuhkan
kesadaran konsumen atas haknya, memberikan masukan kepada produsen atas
kewajibannya, serta berbagai masukan kepada pemerintah dalam mengeluarkan
kebijakan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban bagi produsen dan
perlindungan konsumen.
Visi YLKI adalah tatanan masyarakay yang adil dan konsumen berani
memperjuangkan hak-haknya secara individual dan berkelompok.
Misi YLKI adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pengawasan dan bertindak sebagai pembela konsumen.
2. Memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok konsumen
3. Mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pengawas kebijakan publik
4. Mengantisipasi kebijakan global yang berdampak pada konsumen.
Strategi dan kegiatan YLKI:
advokasi
Mempengaruhi para pengambil keputusan di sektor industri dan pemerintahan
agar memenuhi kewajibannya terhadap konsumen, pada tingkat lokal dan
nasional.
Penggalangan solidaritas
Meningkatkan kepedulian kritis konsumen melalui penggalangan solidaritas antar
konsumen, serta melalui prasarana kegiatan berbagai kelompok konsumen.
Pengembangan jaringan
Memperkuat kerjasama antar organisasi konsumen dan juga dengan organisasi
kemasyarakatan lainnya pada tingkat lokal, nasional, regional dan internasional.
Penyebaran informasi yang tidak memihak
Mengimbangi informasi yang telah ada dengan informasi dan data objektif
lainnya yang diperoleh berdasarkan kajian dan bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Selain itu, pengimplementasian strategi yang dilakukan YLKI dalam
rangka melaksanakan visi dan misinya adalah secara aktif melakukan kegiatan
riset dan penelitian terhadap suatu produk yang beredar dimasyarakat.Misalnya
pengjujian suatu produk halal yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan. Kedua
adalah melakukan pembelaan konsumen (advokasi) terhadap konsumen yang
dirugikan oleh perusahaan yang menghasilakan produk atau pelayanan jasa.
Apabila permasalahan harus diselesaikan secara hukum, maka YLKI akan
bertindak sebagai pendamping terhadap konsumen yang dirugikan. Ketiga, YLKI
menerbitkan majalah bulanan yang berisi berbagai permasalahan perlindungan
konsumen.keempat, berbagai artikel pendidikan terhadap konsumen yang akan
meningkatkan wawasan dan pengetahuan konsumen, sehingga konsumen
mengetahui hak dan kewajibannya dan produsen akan bertanggung jawab
terhadap produk yang dihasilkan.
2.4 Penyelesaian Sengketa
Konsumen memiliki hak untuk mendengar, menyampaikan keluhan, dan
memberitahu. Oleh karena itu, dibentuknya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang berfungsi untuk melindungi konsumen dari segala dampak buruk
dari produk atau hal-hal yang dihasilkan oleh produsen. Selain memberikan dasar
tentang tuntutan pidana kepada pelaku usaha, Undang-Undang tersebut juga
mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui gugatan dan penyelesaian
sengketa diluar pengadilan.
Konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha tertentu dapat mengajukan
gugatan perdata ke lingkugan peradilan umum (Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Mahkamah Agung). Dalam mengajukan gugatan perdata disamping
gugatan konvensional, juga diperkenalkan gugatan kelompok (class action).
Berikut ini merupakan pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan terhadap
pelanggaran pelaku usaha yang telah dituliskan dalam pasal 46 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen:
1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hokum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melakukan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya;
4) Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan
atau korban yang tidak sedikit.
Penyelesaian sengketa sesuai UUPK memberikan manfaat bagi
konsumen,pelaku usaha,serta pemerintah yaitu:
Mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang diderita
Melindungi konsumen lain agar tidak mengalami kerugian yang sama.
Karena,apabila ada satu orang yang mengadu secara prosedural,orang lain akan
tertolong.
Menunjukkan sikap kepada pelaku usaha agar lebih memperhatikan kepentingan
konsumen.
Pengaduan dapat dijadikan tolok ukur dan titik tolak untuk memperbaiki mutu
produk dan memperbaiki kekurangan lain yang ada.
Menjadi informasi dari adanya kemungkinan produk palsu atau tiiruan.
Dalam pasal 23 UUPK disebutkan bahwa dalam hal pelaku usaha pabrikan
dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/tidak memberi tanggapan dan/tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen,maka diberikan hak untuk
menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan cara mengajukan
gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Maka dari itu,jelas bahwa UUPK memberikan alternatif penyelesaian
melalui badan diluar sistem peradilan yang disebut BPSK atau melalui pengadilan
negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen. Pilihan
penyelesaian sengketa melalui BPSK tersebut paralel atau sejajar dengan pilihan
penyelesaian sengketa melalui badan peradilan.
2.5.1 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai BPSK
adalah salah satu lembaga peradilan konsumen berkedudukan pada tiap Daerah
Tingkat II kabupaten dan kota di seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut
Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertugas
utama menyelesaikan persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan
umum, BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen
dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri,
dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki
kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan
keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar,
tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat dan penyelesaian
akhir bagi para pihak. Tugas dan wewenang BPSK adalah sebagai berikut:
1) Melakukan penanganan dan pentelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
Undang-Undang Perlindungan konsumen;
5) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
6) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
7) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan
Konsumen;
8) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
9) Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
10) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
11) Memberikan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen; dan
12) Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Putusan BPSK cukup menjadi momok bagi pelaku usaha yang curang karena
putusan tersebut dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik sehingga
penyelesaian sengketa melalui BPSK tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana menurut ketentuan yang berlaku.
2.5.2 Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK
Dalam penyelesaian sengketa konsumen,BPSK membentuk majelis
dengan anggota yang berjumlah ganjil dan terdiri dari sedikitnya tiga orang yang
mewakili semua unsur,dibantu seorang panitera. BPSK diwajibkan untuk
menyelesaikan sengketa konsumen dalam jangka waktu 21 hari terhitung sejak
gugatan diterima oleh BPSK. Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini
dikhususkan bagi konsumen perorangan yang memiliki perselisihan dengan
pelaku usaha yang ingin cara cepat dan murah.
2.5.3 Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Walaupun putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan
mengikat,pihak-pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri untuk diputuskan dalam waktu 21 hari
dengan waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan ke pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri ini dapat diajukan upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung RI yang akan diputuskan dalam waktu 30 hari,dengan waktu
14 hari untuk mengajukan kasasi.
BAB 3. KESIMPULAN

Dari makalah yang telah kita susun, kita dapat mengambil kesimpulan
sederhana bahwa dalam era globalisasi seperti ini konsumen perlu mendapatkan
perlindungan hukum dari semua kegiatan perdagangan bebas seperti ini. Posisi
konsumen ada pada dua posisi, yaitu posisi konsumen yang diuntungkan dan
posisi konsumen yang dirugikan.
Menjaga kepentingan konsumen sangat perlu didukung peningkatan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggung jawab.
Dalam UUPK, terdapat kewajiban dan hak dari konsumen dan pelaku
usaha yang harus dan perlu diperhatikan dalam kegiatan perdagangan. Disamping
kewajiban dan hak tersebut, pelaku usaha dilarang melakukan tindakan-tindakan
tertentu yang dapat merugikan konsumen sebagaiman diatu pasal 8 sampai dengan
pasal 18 undang-undang tersebut. Selain itu, dalam Pasal 18 diatur mengenai
pembatasan penggunaan klausula baku dalam perjanjian atau dokumen yang
dibuat pelaku usaha. Maksudnya, untuk menempatkan kedudukan konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut menyebabkan perjanjian atau dokumen
menjadi batal demi hukum.
Dalam hal perlindungan terhadap konsumen pada hakikatnya berarti pula
bahwa dorongan terhadap produsen untuk menghasilkan barang yang terjamin
mutunya. Dengan demikian konsumen tidak akan mengalihkan perhatiannya pada
produk luar negeri. Kepercayaan konsumen yang diterima oleh produsen dengan
sendirinya membuat produsen memperbesar volume produksinya. Ini berarti
bahwa produsen akan menambah jumlah tenaga kerjanya yang akan mengurangi
jumlah pengangguran di masyarakat.
Dalam penyelesaian sengketa, terdapat pihak-pihak tertetu saja yang dapat
mengajukan gugatan terhadap pelanggaran pelaku usaha, beberapa pihak tertentu
yang dapat mengajukan gugatan disebutkan dalam pasal 46 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Tentu saja, pengajuan gugatan akibat dari pelaku usaha
yang melanggar hukum perlindungan konsumen memberikan manfaat bagi
konsumen,pelaku usaha,serta pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan & Banusi Bintang. 2000. Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti
Harjono, Dhaniswara K. 2006. Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha. Jakarta: PT
Raja Grafindo
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelesaian_Sengketa_Konsumen
Syawali, Husni & Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung:
Mandar Maju
www.ylki.or.id

Anda mungkin juga menyukai