Anda di halaman 1dari 8

LATAR BELAKANG

Manusia, sebagai makhluk sosial, sangat bergantung pada interaksi dengan


sesama manusia dalam menjalani kehidupannya. Keterbatasan kemampuan
individu mendorong mereka untuk saling bergantung agar kebutuhan mereka
terpenuhi. Fenomena ini mendorong terjadinya pertukaran atau transaksi jual-beli
sebagai bentuk interaksi sosial.

Dalam konteks transaksi jual-beli, peran penjual dan pembeli menjadi


tidak terelakkan. Sayangnya, seringkali pembeli atau konsumen mengalami
kerugian dalam proses transaksi ini. Kerugian yang dialami oleh konsumen dapat
berasal dari faktor internal, seperti kurangnya kesadaran, pengetahuan, dan
kemampuan konsumen untuk melindungi diri sendiri. Di sisi lain, pelaku usaha
yang tidak bertanggung jawab juga dapat menjadi penyebab kerugian konsumen
dalam transaksi jual-beli.

Faktor internal, seperti kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen,


bersama dengan faktor eksternal, yaitu kurangnya tanggung jawab dari pihak
pelaku usaha, memiliki dampak signifikan sebagai pemicu utama kerugian dalam
transaksi jual-beli. Ketidakpedulian dan kurangnya pengetahuan konsumen
terhadap produk yang mereka beli dapat membuka peluang bagi penipuan atau
pembelian barang yang tidak sesuai dengan harapan. Di sisi lain, tanggung jawab
yang kurang dari pelaku usaha dalam memastikan keamanan dan kepatuhan
produk mereka dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah dalam transaksi.

Menghadapi permasalahan ini, peraturan yang komprehensif dan efektif


menjadi suatu kebutuhan mendesak. Peraturan tersebut diharapkan dapat
memberikan perlindungan yang adil kepada konsumen tanpa mengesampingkan
kepentingan pelaku usaha. Dengan adanya regulasi yang kuat, diharapkan dapat
tercipta keseimbangan yang seimbang di antara kedua belah pihak, menciptakan
lingkungan bisnis yang transparan, etis, dan memberikan keamanan bagi
konsumen. Regulasi ini diharapkan mampu memberikan dasar hukum yang kuat
untuk menindak pelanggaran dan memberikan sanksi yang sesuai, menciptakan
kepercayaan dalam transaksi jual-beli, dan melindungi hak serta kepentingan
semua pihak yang terlibat.

Di Indonesia, regulasi terkait Perlindungan Konsumen dijelaskan dalam


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ("UU
Perlindungan Konsumen").1 UU Perlindungan Konsumen ini mengandung
ketentuan bahwa peraturan yang ada mengenai perlindungan konsumen akan tetap
berlaku selama tidak bertentangan dengan undang-undang lainnya, sehingga perlu
memperhatikan peraturan lain yang berlaku. Sebelum UU Perlindungan
Konsumen disahkan, perhatian terhadap perlindungan konsumen sudah muncul
sejak tahun 1972 melalui suatu inisiatif bernama Pekan Swakarya. Inisiatif ini
tidak hanya mendapat tanggapan positif, tetapi juga kritik, terutama dari kalangan
pers yang menekankan perlunya pengawasan terhadap produk industri untuk
memastikan kualitasnya.2

Kemudian, pada tahun 1973, sebuah organisasi bernama Yayasan Lembaga


Konsumen (YLK) didirikan. YLK didirikan dengan tujuan utama untuk
melindungi kepentingan masyarakat konsumen terkait kualitas barang produksi
dalam negeri.3 Setelah pembentukan YLK, Pekan Swakarya II diadakan, dengan
fokus yang lebih mendalam pada memberikan panduan kepada masyarakat agar
dapat menjadi konsumen yang baik dan memiliki kepentingannya terjamin.

Pada tahun 1976, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)


diresmikan setelah mengalami perubahan dari lembaga sebelumnya, YLK 4. YLKI
memiliki tiga bidang utama untuk memberdayakan konsumen, yaitu bidang
pengaduan dan advokasi, bidang penerbitan, serta bidang pendidikan. Organisasi
ini memiliki cabang-cabang di berbagai provinsi dan memiliki pengaruh yang
signifikan, terutama karena didukung oleh media massa. 5 Keberadaan YLKI

1
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Daya Widya, 1999), hal.
30
2
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif
Perlindungan Pasien, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2010), hal. 171
3
Ibid
4
Ibid
5
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2006), hal. 49-50
berkontribusi besar dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak
mereka sebagai konsumen6. Lembaga ini tidak hanya terlibat dalam penelitian,
penerbitan, dan penerimaan pengaduan, tetapi juga aktif melakukan upaya hukum
melalui jalur pengadilan7. Pada tahun 1981, YLKI mengembangkan empat hak
konsumen, yakni hak keamanan, hak informasi, hak memilih, dan hak atas
lingkungan hidup.8

Beberapa tahun belakangan, terjadi perkembangan teknologi yang sangat


pesat. Kemajuan ini memungkinkan adanya transaksi jual-beli antara penjual dan
pembeli tanpa perlu berhadapan langsung, yang dikenal dengan istilah transaksi
atau perdagangan elektronik. Transaksi elektronik atau e-commerce merupakan
kegiatan perdagangan yang dilakukan secara elektronik menggunakan perangkat
komputer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya yang diakui secara
hukum9. E-commerce dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data
elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan pengumpulan data
otomatis.10

Beberapa platform e-commerce yang populer di kalangan masyarakat


Indonesia mencakup Tokopedia, Shopee, Lazada, dan platform lainnya. Melalui
platform e-commerce ini, terjadi kesepakatan jual-beli secara elektronik yang
dikenal sebagai kontrak elektronik. Definisi kontrak elektronik dapat ditemukan
dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, yang menyatakan bahwa kontrak elektronik adalah
perjanjian antarpihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. Rincian unsur-unsur
kontrak elektronik diatur dalam Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

6
Ibid, hal 51
7
Ibid
8
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Op cit. hal 174.
9
Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Menuju Kepastian Hukum di
Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik, (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia, 2007), hal. 11
10
“Perdagangan Elektronik”, https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik , diakses 21
Desember 2023
Dalam transaksi elektronik, seringkali digunakan perjanjian baku 11.
Klausula baku adalah peraturan atau syarat-syarat yang telah disiapkan
sebelumnya oleh pelaku usaha dan diakui oleh konsumen 12, yang tercantum dalam
dokumen atau perjanjian yang mengikat. Klausula baku dalam transaksi
elektronik memberikan keuntungan lebih besar kepada pelaku usaha, tetapi dapat
merugikan konsumen karena ditentukan secara sepihak.

E-commerce platform menyediakan berbagai kebutuhan bagi masyarakat,


termasuk kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan
sekunder dipenuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi, sedangkan kebutuhan
tersier dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi barang-barang mewah.

Berbagai barang ditawarkan oleh penjual melalui e-commerce platform


online ataupun media online lainnya, dari peralatan rumah tangga, pakaian, dan
juga kosmetik perawatan wajah. Tidak jarang obat-obatan seperti obat pelangsing
yang beredar di platform online tersebut tidak memiliki izin edar. Onat-obat
pelangsing itu juga tidak memiliki informasi yang jelas mengenai bahan atau
komposisi yang ada dalam obat-obat pelangsing itu. Para pelaku usaha tersebut
hanya mengandalkan iklan dan promosi yang mendorong konsumen untuk
membeli serta menggunakan produk tersebut.

Pelaku usaha sering menjanjikan hal-hal, seperti berat badan akan turun
hanya dalam sekali pemakaian saja, dan hal ini dipercaya dengn mudahnya oleh
calon konsumen. Salah satu contoh obat pelangsing yang tidak memiliki izin edar
di media sosial ataupun platform online adalah RD Pelangsing botol petak.
Penjual obat pelangsing ini tidak memberikan informasi mengenai kandungan
yang ada dalam krim tersebut dan juga tidak memiliki izin edar. Karena tidak
adanya informasi mengenai kandungan yang ada dalam obat pelangsing tersebut
dan juga tidak adanya izin edar, maka keamanan konsumen tidak terjamin.

11
Muhammad Nur Rahiim, “Studi Perlindungan Hukum dalam Transaksi Jual Beli Online di Situs
Bukalapak.com”, Skripsi, Surakarta: Sarjana Universitas Muhammadiyah, 2018, hal. 2
12
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2014), hal. 20
Problematik Hukum yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah adanya
kesenjangan antara hukum positif terkait perdagangan obat-obatan dan praktik e-
commerce. Kekhawatiran muncul karena hukum yang berlaku mungkin tidak
sepenuhnya memadai untuk mengatasi permasalahan khusus terkait penjualan
obat pelangsing ilegal secara daring. Keberadaan obat-obatan ilegal dalam
platform online dapat memanfaatkan celah hukum yang belum cukup tegas,
memberikan risiko kesehatan yang signifikan bagi konsumen yang kurang
memiliki perlindungan hukum yang memadai.

Pelanggaran hukum dalam transaksi e-commerce yang melibatkan obat


pelangsing ilegal dapat merugikan konsumen secara substansial. Dalam konteks
ini, perlu adanya penyelarasan dan peningkatan ketegasan hukum terkait
perdagangan obat-obatan secara daring untuk melindungi konsumen dari risiko
kesehatan yang tidak terduga. Dengan mengidentifikasi dan mengatasi
kesenjangan hukum ini, dapat diharapkan adanya kerangka hukum yang lebih kuat
dan jelas yang dapat menjamin keamanan dan hak konsumen dalam transaksi e-
commerce, khususnya terkait penjualan obat pelangsing ilegal secara online.

Kekhawatiran terkait kekosongan hukum dan kekaburan norma hukum


positif dalam penjualan obat-obatan pelangsing ilegal secara daring menjadi fokus
penting dalam analisis hukum. Tidak adanya peraturan yang tegas dan spesifik
mengenai penjualan obat pelangsing ilegal secara online menciptakan suatu
kekosongan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab.

Ketidakjelasan norma-norma hukum membuka peluang bagi praktik-


praktik yang merugikan konsumen dan merugikan integritas pasar. Pelaku usaha
yang tidak bertanggung jawab dapat beroperasi tanpa terbatas, mengabaikan
ketentuan-ketentuan yang seharusnya mengatur transaksi jual-beli obat-obatan
pelangsing. Kondisi ini dapat menciptakan lingkungan yang tidak terkendali dan
merugikan, mengizinkan penjualan obat pelangsing ilegal tanpa adanya kendali
atau pembatasan yang jelas.
Dalam mengatasi kekosongan hukum ini, perlu adanya upaya untuk
merumuskan peraturan yang lebih spesifik dan ketat terkait penjualan obat-obatan
pelangsing ilegal secara online. Penegasan norma-norma hukum ini akan
memastikan bahwa pelaku usaha yang beroperasi dalam perdagangan obat
pelangsing online harus mematuhi standar yang ditetapkan dan memastikan
bahwa konsumen dilindungi dari risiko kesehatan dan keamanan. Dengan
demikian, upaya untuk mengisi kekosongan hukum dan menetapkan norma yang
jelas dapat membantu menciptakan lingkungan perdagangan online yang lebih
aman dan terpercaya bagi konsumen.

Notifikasi izin edar untuk kosmetik diberikan oleh Menteri Kesehatan dan
dilakukan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM
merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab atas
pengawasan obat dan makanan. Tugas utama BPOM adalah menyelenggarakan
tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, yang mencakup
obat, bahan obat, obat tradisional, psikotropika, zat adiktif, narkotika, prekursor,
kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan olahan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan13. Dengan kata lain, BPOM memiliki tanggung
jawab untuk melakukan pengawasan terhadap sirkulasi obat dan makanan,
termasuk juga dalam hal notifikasi izin edar kosmetik.14

Adanya fakta hukum dan fakta sosial yang mencolok menjadi indikasi
serius mengenai permasalahan penjualan obat pelangsing ilegal secara online.
Secara hukum, terdapat peningkatan kasus kesehatan yang terkait dengan
konsumsi obat pelangsing ilegal yang dibeli secara online tanpa izin edar. Kasus-
kasus hukum terhadap penjual obat pelangsing ilegal semakin bertambah,
menciptakan dampak kesehatan yang serius bagi konsumen yang terlibat.

Di sisi sosial, fakta menunjukkan tingginya tingkat ketidaktahuan


konsumen terhadap risiko dan peraturan yang terkait dengan obat-obatan
pelangsing ilegal. Meningkatnya jumlah situs web dan platform e-commerce yang
13
Pasal 1 ayat (1), Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan
14
Ibid, Pasal2.
menjual obat pelangsing ilegal tanpa izin menjadi bukti bahwa konsumen
cenderung kurang waspada terhadap risiko kesehatan yang mungkin timbul.
Kondisi ini menandakan kebutuhan mendesak akan peningkatan kesadaran
masyarakat terhadap bahaya obat pelangsing ilegal dan perlunya peraturan yang
lebih ketat untuk melindungi konsumen. Oleh karena itu, integrasi antara fakta
hukum dan fakta sosial menjadi landasan penting dalam mengatasi permasalahan
kompleks ini.

Izin edar merupakan hal yang sangat penting dan harus diperoleh oleh
pelaku usaha sebelum mengedarkan kosmetik kepada konsumen. Izin edar
diperlukan agar kualitas barang yang ditawarkan oleh pelaku usaha kepada
konsumen dapat terjamin keamanannya. Konsumen dapat dirugikan apabila
pelaku usaha menjual kosmetik perawatan kulit yang tidak ada izin edar dan tidak
ada informasi yang jelas mengenai komposisi produk dapat merugikan konsumen.
Adanya informasi yang jelas merupakan salah satu hak konsumen yang diatur
dalam UU Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka Penulis tertarik


untuk menganalisa tentang perlindungan konsumen dengan judul “Perlindungan
Hukum untuk Konsumen dalam Pembelian Obat Pelangsing Ilegal secara Online
Tanpa Izin Edar”

DAFTAR PUSTAKA

Az, Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Daya


Widya, 1999.

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama. Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan
Dalam Perspektif Perlindungan Pasien. Bandung: Karya Putra Darwati,
2010.

Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Menuju Kepastian


Hukum di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta:
Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2007.
Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2014.

Muhammad Nur Rahiim. "Studi Perlindungan Hukum dalam Transaksi Jual Beli
Online di Situs Bukalapak.com." Skripsi, Surakarta: Sarjana Universitas
Muhammadiyah, 2018.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2006.

"Perdagangan Elektronik." https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik


Diakses 21 Desember 2023.

Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Pasal 1 ayat (1).

Anda mungkin juga menyukai