Anda di halaman 1dari 98

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang memiliki akal budi dan

mampu berpikir secara rasional sehingga membedakan keberadaannya dengan

mahluk lainnya. Karena itu manusia di anggap mampu membedakan perbuatan

yang baik maupun yang buruk serta menyadari bahwa manusia tidak bisa hidup

sendiri tanpa adanya manusia lainya. Tujuan hidup setiap manusia adalah

kebahagian, oleh karena itu untuk menjamin hak dan kewajiban,

keberlangsungan hidup yang harmonis, kenyamanan, keadilan, atau kesetaraan

antara satu dengan yang lainnya dalam hidup bermasyarakat, sehingga tercapai

tujuan itu, maka hadirlah Negara sebagai organisasi sekaligus institusi yang

telah dipercayai untuk membuat atau mengadakan aturan-aturan maupun

norma-norma berisikan perintah serta larangan didalamnya yang kemudian

diberlakukan kepada setiap manusia, baik secara individu maupun

berkelompok. Aturan atau norma ersebut disebut hukum, maka munculah

istilah Negara Hukum.1

Indonesia merupakan Negara hukum, artinya segala sesuatu perbuatan

serta tindakan dalam pengambilan suatu keputusan haruslah berdasarkan

hukum yang telah ditetapkan. Karena itu hukum merupakan suatu sistem yang

1
Abintoro Prakoso, Kriminologi Dan Hukum Pidana, Laksbang PRESS indo, Yogyakarta,
2017, hal. 100

1 Universitas Bung Karno


2

terpenting bagi suatu Negara yang dapat mengatur hubungan sosial antar

masyarakat sehingga dengan adanya sistem atau hukum itu menjamin setiap

hak maupun keharmonisan hidup manusia antara satu dengan yang lainnya.

Karena hukum mengatur setiap tindakan manusia ataupun tingkah lakunya

dalam hidup secara peribadi maupun berkelompok, maka keberadaanya tidak

untuk dilanggar melainkan untuk dipatuhi. Hal ini bertujuan agar setiap orang

dalam menjalankan hidupnya menyadari bahwa adanya hak dan kwajiban

daripadanya maupun hak dan kewajiban orang lain yang harus dilaksaankan

dan dijaga sehingga dengan demikian terciptanya ketertiban umum.2

Kejahatan atau tindakan kriminalitas adalah suatu perbuatan yang

digolongkan sebagai suatu bentuk penyimpangan yang dilakukan seseorang

atau kelompok terhadap nilai dan norma atau peraturan perundang-undangan

yang berlaku di masyarakat. Kejahatan ataupun tindakan criminal billa

dibiarkan terus-menerus tumbuh di tengah masyarakat maka akan

mempengaruhi dan berakibat buruk bagi keberlangsungan hidupan masyarakat

itu. Maka dari itu, perlu adanya kerjasama antara pemerintah, penegak hukum

dan masyarakat untuk bagaimana mengatasi hal tersebut. Membahas setiap

permasalah tentang kejahatan serta masalah yang melekat padanya berarti

mempelajari sifat maupun bentuk serta perkembangan tingkah laku manusia.

Perilaku kejahatan merupakan suatu tindakan penyimpangan yang

bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku serta melanggar peraturan

perundang-undangan dan merugikan masyarakat baik dipandang dari segi

kesusilaan, kesopanan, dan ketertiban anggota masyarakat. Masyarakat


2
Ibid, hal. 103.

Universitas Bung Karno


3

berharap dan berkehendak untuk mencegah dan memberatas kejahatan, dan

terhadap pelakunya menumpahkan kebencian, sumpah serapah, cacian serta

mengasingkan dari lingkungn pergaulan.

Perubahan dalam bidang teknologi akhir-akhir ini telah berubah dengan

cepat, oleh karena hal itu produk yang dihadirkan semakin berlimpah. Mulai

dari barang-barang rumah tangga, pakaian, teknologi informasi, hingga

otomotif. Untuk masyarakat berpenghasilan besar mungkin tidak menjadi

sebuah masalah untuk membeli produk tersebut, tetapi berbeda halnya dengan

mereka yang berpenghasilan rendah yang harus berupaya agar mampu

memenuhi kebutuhannya yang beragam.

Perkembangan serta pembangunan dalam bidang perekonomian

nasional pada hakikatnya telah terjadi berbagai jenis kemajuan, diantaranya

pada bidang teknologi, industri, ekonomi bahkan dalam bidang perdagangan

seakalipun, hal ini memiliki dampak diantaranya banyak permasalahan timbul

dan terjadi di dalam negara kesatuan kita, khususnya ialah persoalan terkait

perlindungan hukum kepada konsumen di dalam bidang perindustrian dan

perdagangan nasional telah kemudian melahirkan berbagai jenis barang atau

jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.3 Salah satu dari berbagai prinsip

dalam bidang ekonomi ialah mencari laba sebanyak mungkin dengan

pengeluaran yang kecil. Beberapa para pelaku usaha sangat mengedepankan

prinsip ini, akibatnya demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar, mereka

3
Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Kosumen, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015, hal. 1.

Universitas Bung Karno


4

rela bahkan dengan sadar melakukan praktek yang dapat merugikan konsumen

secara langsung.4

Pengertian konsumen terkait rancangan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang telah diajukan Lembaga Konsumen Indonesia, Yakni:

“Konsumen merupakan pemakai barang dan jasa yang tersediadalam

masyarakat, untuk keperluan diri sendiri, keluarga atau orang lain yang tidak

untuk diperdagangkan kembali pada masa yang akan datang.”5 Perlindungan

terhadap konsumen dapat dilihat baik materiil maupun formal semakin terasa

penting mengingat adanya kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi sebagai

bentuk penggerak produsen barang dan jasa yang diproduksi dengan tujuan

mencapai sasaran pada bidang usaha yang dalam prakteknya tidak dapat

terpisahkan dari pada keterkaitan dengan konsumen. Jadi baik langsung

maupun tidak langsung konsumenlah yang akan merasakan dampaknya secara

langsung.6 Pengertian perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 1 angka (1)

UUPK, yang menyatakan bahwa: “Perlindungan konsumen adalah segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumennya.”7

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal

1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang


4
Wibowo Tunardi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jurnal Hukum,
http://www.jurnalhukum.com/hukum-perlindungan-konsumen-di-indonesia/ 8 Februari 2021.
5
Ahmadi Miru, Resume Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, Bandung, 2015, hal. 2.
6
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, 2000,
hal.78.
7
Ahmadi Miru & Suratman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2015, hal. 1.

Universitas Bung Karno


5

menjelaskan tentang “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”,

diharapkan menjadi suatu benteng agar mampu meniadakan suatu tindakan

yang mana bersifat sewenang-wenang sehingga dapat kemudian merugikan

pihak dari pelaku usaha hanya semata-mata agar dapat melindungi kepentingan

terhadap konsumen itu sendiri.

Adanya perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dipahami dari

Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang menjelaskan bahwa pembangunan serta perkembangan suatu

bidang perekonomian terkait di bidang perindustrian dan perdagangan nasional

telah menghadirkan beberapa bentuk variasi serta jenis barang dan/atau jasa

yang dapat langsung dipergunakan oleh konsumen. Selain itu, globalisasi dan

perdagangan bebas yang sangat didukung dengan kemajuan bidang teknologi

telekomunikasi dan informatika akan juga memperlebar ruang gerak arus suatu

transaksi barang dan/atau jasa yang mana mampu melintasi batas-batas wilayah

satu atau juga beberapa negara, dengan demikian maka barang dan/atau jasa

yang akan siap untuk ditawarkan beraneka ragam baik di produksi luar negeri

ataupun produksi dalam negeri sendiri.8 Kondisi ini menguntungkan bagi

konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang

diharapkan dapat dipuaskan dan semakin terbuka kebebasan untuk menentukan

berbagai jenis dan mutu barang dan/atau jasa sesuai dengan dengan keinginan

dan kemampuan konsumen. Di lain sisi diketahui bahwa, kondisi dan

fenomena di atas dapat diterjemahkan ke dalam posisi pelaku korporasi dan

konsumen mereka menjadi tidak imbang dan diketahui juga bahwa konsumen
8
Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Universitas Bung Karno


6

berada di posisi atau keadaan yang lemah. Dalam hal ini konsumen menjadi

objek dari suatu bentuk adanya kegiatan komersial untuk membuat sebagian

besar bisnis melalui kiat promosi, metode penjualan, dan penerapan perjanjian

standar yang dapat merugikan konsumen. Dalam kehidupan sehari-hari kita

banyak mendengar, membaca dan bahkan menyaksikan sendiri berbagai

praktik bisnis yang merugikan konsumen. Praktik bisnis yang merugikan

konsumen bukan hanya dilakukan oleh pelaku usaha berskala besar, melainkan

juga oleh pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.9

Hukum perlindungan konsumen akhir-akhir ini mendapat cukup

mendapat sorotan tajam terkait dengan aturan-aturan yang berguna

mensejahterakan masyarakat, bukan hanya masyarakat selaku pihak konsumen

saja yang berhak atas suatu bentuk perlindungan, namun pelaku usaha juga

mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada

hak dan kewajiban. Pemerintah berperan agar dapat mengatur, mengawasi serta

mengontrol, sehingga kemudian lahirnya suatu sistem yang bersifat kondusif

saling keterikatan satu sama lainnya, dengan demikian maka tujuan dari

mensejahterakan kelompok masyarakat secara luas dapat dengan mudah

tercapai.10

Informasi yang tertera didalam kemasan seharusnya sama dengan

produk yang ada didalam kemasan. Produsen juga harus memperhatikan syarat

standar mengenai produk yang relatif baku dan cederung berlaku universal

untuk suatu jenis barang tertentu. Dari uraian tersebut, secara praktis konsumen
9
H. Mulyadi Nitisusastro, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Kewirausahaan, Cetakan
Kesatu. Alfabeta, Bandung, 2012, hal. 253-254.
10
Ibid. hal, 5.

Universitas Bung Karno


7

atau masyarakat berada pada posisi yang kurang menguntungkan dibanding

dengn posisi pelaku usaha. Konsumen atau masyarakat memanfaatkan barang

tersebut tergantung dengan informasi yang tertera dalam produk tersebut.

Undang-undang memberikan aturan yang tegas mengenai hal-hal yang tidak

boleh dilakukan oleh pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa

kepada konsumen.11

Seperti kasus yang terjadi di wilayah polres Aceh Selatan beberapa

waktu lalu, diketahui pada tanggal 04 maret tahun 2019 sekitar pukul 17.30

saat anggota Opsnal Polres Aceh Selatan sedang melakukan Patroli Rutin

setibanya di Gampong Ujong Bate Kec. Pasie Raja Kab. Aceh Selatan melihat

mobil Kuda Warna Merah dengan muatan berat sehingga Tim Opsnal

memberhentikan mobil tersebut dan setelah diberhentikan tim opsnal merasa

curiga kemudian dilanjutkan dengan penggeledahan terhadap mobil Kuda

merah milik saksi Ridwan Yahya tersebut dan menemukan ROKOK MERK

LUFFMAN warna merah sebanyak 65 (enam puluh lima) selop dan ROKOK

MERK LUFFMAN warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan tanpa

gambar dan tulisan peringgatan, dan berdasarkan keterangan terdakwa rokok

tersebut adalah kepunyaan saksi Ridwan yang didapatkan saksi Ridwan yahya

dengan cara membeli dari terdakwa. Bahwa selanjutnya Tim Opsnal Polres

Aceh Selatan mengamankan terdakwa dan barang bukti yang ditemukan serta

membawa ke Polres Aceh Selatan untuk penyidikan lebih lanjut, diketahui

bahwa terdakwa selama ini telah menjual rokok illegal tanpa dilengkapi

11
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 41.

Universitas Bung Karno


8

gambar dan tulisan peringatan kepada saksi Ridwan Yahya sebanyak 3 (tiga)

kali dan terdakwa telah menjual sebanyak kurang lebih 200 (dua ratus) selop.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan menulis karya tulis dalam kajian ilmiah berupa skripsi

dengan judul: “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA MEMPERDAGANGKAN BARANG YANG TIDAK MEMENUHI

STANDAR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Kasus Putusan

Nomor 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn.)

B. Pokok Permasalahan

1. Bagaimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen mengatur standar barang yang akan diperjual belikan ?

2. Apakah penjatuhan hukuman oleh Majelis Hakim terhadap pelaku tindak

pidana berdasarkan pada Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn telah

mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka

penulisan ini mempunyai tujuan :

a. Untuk mengetahui standar barang yang akan dijual menurut Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999

Universitas Bung Karno


9

b. Untuk mengetahui dan mengkaji pertimbangan hukum Majelis Hakim

terhadap pelaku yang berdasarkan pada Putusan Nomor

60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn telah mencerminkan rasa keadilan bagi

masyarakat

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini untuk perkembangan ilmu hukum dan pengetahuan yang

berkaitan tentang standar barang yang akan diperjualkan sesuai

undang-undang perlindungan konsumen

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan untuk memberikan gambaran

kepada masyarakat tentang perlindungan konsumen terkait standar

barang yang akan di jual.

D. Metode Penelitian

Penelitian hukum pada intinya merupakan suatu bentuk kegiatan ilmiah

yang berdasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang

memiliki tujuan agar dapat mempelajari satu atau beberapa gejala hukum

terkait dengan cara menganalisisnya, kecuali itu, selanjutnya diadakan juga

pemeriksaan mendalam atas fakta hukum yang memiliki tujuan untuk

mengupayakan suatu pemecahan masalah akibat dari persoalan yang timbul

didalam gejala yang bersangkutan.

Metode penelitian hukum dalam penulisan skripsi ini adalah :

Universitas Bung Karno


10

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian/pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah

penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan

pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis,

pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conceptual approach).12 Penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum yang menggunakan data sekunder atau sumber data yang berasal

dari bahan kepustakaan (library research), yakni penelitian yang dilakukan

dengan cara melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti

buku-buku, berbagai literatur, peraturan perundang-undangan serta melalui

media elektronik (internet).13

2. Sumber data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan

perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, putusan pengadilan

dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Data

sekunder yaitu data yang mendukung keterangan atau menunjang

kelengkapan data primer.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh

dari:

a. Bahan-bahan hukum primer

12
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Jakarta, 2005, hal. 30.
13
Ibid.

Universitas Bung Karno


11

Meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan Putusan

Nomor 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn

b. Bahan-bahan hukum sekunder

Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum

primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan

hokum primer, meliputi buku-buku, hasil-hasil penelitian, laporan-

laporan, artikel, hasil-hasil seminar yang relevan dengan penelitian

ini.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup

bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum

primer dan sekunder, seperti kamus umum, yang dapat dipergunakan

untuk melengkapi dari penelitian ini.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini berdasarkan penelitian

kepustakaan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mempelajari serta

memahami data yang ada dan selanjutnya di analisis untuk menjawab

permasalahan dalam skripsi ini.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab yang diuraikan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Universitas Bung Karno


12

Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Pokok Permasalahan,

Tujuan dan Manfaat Penelitian, serta Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA

Bab ini menguraikan tentang Pengertian Hukum Pidana, Jenis-

Jenis Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Teori

Pemidanaan, Tujuan Pemidanaan.

BAB III TINJAUAN YURIDIS TERKAIT PERLINDUNGAN

KONSUMEN DALAM HAL STANDAR BARANG YANG

AKAN DIPERGUNAKAN BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Bab ini menguraikan tentang Pengertian Perlindungan Konsumen,

Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen, Teori Hukum

Perlindungan Konsumen, Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha,

Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn

Bab ini menjelaskan tentang Kasus Posisi Dakwaan Dan Tuntutan

Jaksa Penuntut Umum, Pertimbangan Hukum, Putusan Hakim Dan

Analisis Yuridis Putusan nomor 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi Kesimpulan dan Saran dari penulis.

Universitas Bung Karno


13

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA

A. Pengertian Hukum Pidana

Universitas Bung Karno


14

Pengertian tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) biasa dikenal sebagai istilah Strafbaarfeit, dalam kepustakaan

bidang hukum pidana sering menggunakan istilah delik, sedangkan para

pembuat undang-undang membuat suatu rumusan undang-undang dengan

menggunakan istilah peristiwa pidana atau kejahatan. Tindak pidana ialah

suatu istilah yang didalamnya mengandung suatu pengertian yang menjadi

dasar terhadap ilmu hukum itu sendiri, sebagai istilah yang dibentuk dengan

segenap kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada sebuah peristiwa

hukum pidana. Tindak pidana memiliki pengertian yang bersifat abstrak dari

pada adanya peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam hukum pidana, sehingga

kemudian tindak pidana haruslah kemudian diberikan makna yang mana

bersifat ilmiah serta dapat kemudian ditentukan dengan jelas agar dapat

memisahkan dengan istilah yang sering d gunakan dalam kehidupan sehari-hari

dalam kelompok masyarakat.

Dengan demikian pengertian hukum pidana itu merupakan suatu sistem

norma-norma yang menentukan keharusan terhadap satu tindakan yang

dilakukan atau tidak boleh dilakukan dan dalam keadaan-keadaan bagaimana

dapat dijatuhkan sanksi bagi tindakan-tindakan tersebut. Maka hukum pidana

diartikan sebagai ketentuan hukum atau undang-undang yang menerangkan

atau menjelaskan perbuatan yang dilarang atau pantang untuk dilakukan serta

dikenakan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran larangan tersebut. Tindak

pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diistilahkan

dengan Strafbaarfeit sertaa dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering

Universitas Bung Karno


15

digunakan dengan istilah delik, sedangkan istilah perbuatan pidana tindak

pidana dan pristiwa pidana merupakan istilah yang digunakan parapembuat

undang-undang dalam merumuskan norma maupun aturan yang akan

diberlakukan didalam satu negara.

Beberapa pakar asing hukum pidana menggunakan istiah tindak pidana

atau Perbuatan pidana dengan istilah:

1. Strafbaar feit merupakan peristiwa pidana;

2. Strafbare handlung diterjemahkan sebagai perbuatan pidana, yang

mana dipakai oleh para sarjana hukum pidana di jerman; dan

3. Criminal Act diterjemahkan sebagai bentuk dari perbuatan kriminal.

Delik yang diterjemah menurut bahasa belanda disebut sebagai

Strafbaarfeit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Yang

selanjutnya mempunyai arti sebagi berikut:

a. Straf ialah pidana dan hukum

b. Baar berarti dapat dan boleh,

c. Feit ialah tindak, peristiwa, pelanggaran dan juga perbuatan.

Delik di dalam bahasa asing disebut delict yang mana mempunyai arti

suatu perbuatan yang mana pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).

Andi Hamzah didalam bukunya yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana”

memberikan pengertian mengenai delik, yakni: Delik merupakan “suatu

perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang (pidana).”14

14
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 72.

Universitas Bung Karno


16

Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit “Suatu perbuatan manusia yang

diancam pidana oleh kerena peraturan perundang-undangan.”15 Sementara

Jonkers merumuskan bahwa; Strafbaarfeit sebagai suatu peristiwa pidana

dimana mempunyai arti dimana “Suatu perbuatan yang melawan hukum

berkaitan dengan kesengajaan atau kesalahan yang mana hal itu diketahui

dilakukan oleh seseorang serta dapat dipertanggungjawabkan.”16 Strafbaarfeit

juga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari bukukarya Lamintang,

sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang

dengan sengaja ataupun tidak yang dilaksanakan oleh pelaku, artinya

penjatuhan hukuman terhadap pelaku bertujuan untuk terpeliharanya kaeadaan

yang menjamin adanya kepastian tertib hukum.17

Masih dalam buku yang sama Simons membuat rumusan strafbaarfeit

merupakan tindakan yang melanggar hukum telah dilaksanakan dengan sengaja

oleh seseorang, kemudian dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dan

menurut undang-undang dinyatakan sebagai suatu tindakan yang bisa

dihukum.18 Dalam bahasa belanda istilah delik (delict) dikenal dengan istilah

starfbaarfeeit di mana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh

beberapa sarjana hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis

pengertiannya berbeda. Agar lebih jelasnya, penulis mengelompokkan dalam 5

15
Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hal. 72.
16
Ibid., hal. 75.
17
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007, hal. 34.
18
Ibid.,hal. 35.

Universitas Bung Karno


17

kelompok istilah yang lazim digunakan oleh beberapa sarjana hukum sebagai

berikut:

Ke-1: Peristiwa pidana digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid, Rusli

Efendi, Utrecht;

Ke-2: Perbuatan pidana digunakan oleh Moejanto;

Ke-3: Perbuatan yang boleh di hukum digunakan oleh H.J.Van

Schravendijk (Sianturi 1986 :206) dan lain-lain;

Ke-4 : Tindak pidana digunakan oleh Wirjono Projodikoro (1986 : 55),

Soesilo dan S.R Sianturi, dan lain-lain;

Ke-5: Delik digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1981 :146 dan

Satochid Kartanegara tahun :74) dan lain-lain.

Diketahui bahwa para sarjana hukum di atas, menggunakan istilahnya

masing-masing dengan disertai adanya suatu alasan dan pertimbangannya.

Menurut pandangan Moeljanto, digunakannya istilah ”perbuatan pidana” oleh

karena menurutnya kata ”perbuatan” biasanya dipergunakan dalam percakapan

kehidupan sehari-hari misalnya kata perbuatan cabul, kata perbuatan jahat,

serta kata perbuatan melawan hukum.19 Lebih jauh Moeljanto menjelaskan

terkait perbuatan mengarah ke dalam yang melakukan dan kepada akibatnya,

dan kata perbuatan artinya dibuat oleh orang yang dapat dipidana adalah

kepanjangan dari terjemahan yang merupakan terjemahan dari starfbaarfeit.20

19
Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni,
Jakarta: 2002 hal. 207.
20
Moeljatno. Azas-azas Hukum Pidana. PT. Bina Aksara, Jakarta : 2004, hal. 56.

Universitas Bung Karno


18

1) Kalau utrecht, sudah biasa menggunakan istilah hukum, maka

hukum lalu berarti istilah pidana sebagai singkatan dari “yang

dapat dipidana”.

2) Perkataan perbuatan artinya dibuat oleh seseorang menunjuk

lain pada yang melakukan maupun pada akibatnya, selain dari

pada itu seseorang atau juga hewan, alam dan perkataan tindak

berarti langkah baru dan tingkah laku.21

S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana jelasnya

Sianturi memberikan perumusan bahwa tindak pidana ialah suatu tindakan

pada, tempat, waktu, dan kondisi tertentu yang dilarang atau yang diharuskan

dan diancam dengan pidana menurut undang-undang bersifat melawan hukum,

serta dengan kesalahan yang di lakukan oleh seseorang.22 Sianturi beranggapan

bahwa singkatan dari kata tindakan artinya pada setiap orang yang dikertahui

melakukan tindakan dinamakan sebagai penindak. Apa saja tindakan yang

dilakukan semua orang, tetapi dalam banyak kasus suatu tindakan baru dapat

dilakukan oleh orang-orang tertentu, contohnya menurut golongan dalam

pekerjaan bahkan golongan kelamin. Sianturi dalam penjelasannya mengatakan

bahwa menurut golongan kelamin contohnya wanita atau pria, adapun menurut

golongan dalam pekerjaan contohnya seperti buruh, dan seterusnya, oleh sebab

itulah jenis seorang penindak menurut Sianturi haruslah dicantumkan unsur

barang siapa.23

21
Sianturi, S.R, Op .Cit.,hal. 207.
22
Ibid.,hal 211.
23
Ibid.,hal 209.

Universitas Bung Karno


19

Moeljatno mengomentari penggunaan istilah "tindak pidana" sebagai

berikut; Meskipun kata tindakan lebih pendek dari kata “tindakan”, tetapi

“tindakan” tidak merujuk pada hal yang abstrak seperti tindakan, tetapi hanya

menunjukkan keadaan konkrit seperti halnya peristiwa dengan perbedaan

tindakan adalah perilaku dari tindakan. seseorang, perilaku, gerak tubuh, sikap

fisik, lebih dikenal dari segi tingkah laku, perbuatan dan perbuatan dan

kemudian digunakan “bertindak” sehingga bertindak sebagai kata tidak begitu

dikenal, sehingga peraturan perundang-undangan yang menggunakan istilah

tindak pidana baik dalam pasalnya sendiri maupun penjelasannya hampir selalu

menggunakan kata perbuatan.24Andi Zainal Abidin mengemukakan pada

hakikatnya istilah yang paling tepat adalah delik yang berasal dari bahasa latin

“delictum delicta”25. Demikian halnya dengan pandangan Satochid Kartanegara

bahwa dalam rangkaian perkuliahan di Universitas Indonesia dan

AHM/PTHM, menganjurkan bahwa untuk istilah tindak pidana dikarenakan

istilah tindak (tindakan) berkaitan dengan pengertian melakukan atau berbuat,

(active handling) dan/atau tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan

suatu perbuatan (passive handling).26 Istilah perbuatan menurut pandangan

Satochid ialah melakukan, berbuat (actieve handeling) tidak mencakup

pengertian mengakibatkan/ tidak melakukan, istilah dari suatu peristiwa tidak

serta merta menunjukkan kepada hanya sebuah bentuk tindakan manusia.

24
Moeljatno, Op. Cit., hal. 55.
25
Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan
tentang Delik-delik Khusus). Prapanca, Jakarta, 2007, hal. 146.
26
Sianturi, Op. Cit., hal. 207.

Universitas Bung Karno


20

Sementara terjemahan kejahatan siap digunakan, pilihan akhirnya jatuh

pada istilah "kejahatan" setelah membahas deskripsi arti kejahatan. Berkaitan

dengan pengertian tindak pidana, Bambang Poernomo berpendapat bahwa

susunan kata suatu tindak pidana lebih lengkap jika disusun sebagai berikut:

melanggar larangan frasa dengan frasa “aturan pidana” dimaksudkan untuk

menegakkan keadilan terhadap keadaan hukum. di Indonesia yang masih

mengakui kehidupan hukum tertulis dan tidak tertulis. Bambang Poernomo

juga mendukung kesimpulan delik, yang hanya dimaksudkan untuk

mengungkapkan sifat, perbuatan terlarang dengan ancaman pidana.27

Kejahatan merupakan bagian mendasar dari kesalahan yang dilakukan

seseorang ketika melakukan kejahatan, oleh karena itu untuk suatu kesalahan,

hubungan antara situasi dan tindakan seseorang yang menimbulkan tuduhan

harus disengaja. Kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) disebut sebagai

bentuk perbuatan tercela, sedangkan istilah “kesalahan” dapat mengakibatkan

suatu tindak pidana karena seseorang telah melakukan perbuatan melawan

hukum, sehingga perbuatannya harus berlaku dalam segala bentuk kejahatan

yang dilakukan, dan jika terbukti telah dilakukan suatu kejahatan, hukum

pidana dapat dijatuhkan berdasarkan bunyi pasal yang kemudian telah

mengaturnya.

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana

27
Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 225

Universitas Bung Karno


21

Dalam membahas hukum pidana, tentunya hal ini akan ditemukan

berbagai macam jenis tindak pidana yang terjadi didalam kehidupan

bermasyarakat. Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yakni

sebagai berikut:28

1. Menurut sistem KUHP, dapat dibedakan menjadi kejahatan yang ada pada

buku II dan pelanggaran pada buku III.

Bentuk pembeda diantara kejatan dan pelanggaran ialah jenis

pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan. Persoalan ini dapat dilihat

dari sanksi pidana pada pelanggaran tidak ada ancaman pidana penjara,

tetapi sanksi yang diterapkan dapat berupa pidana kurungan dan denda,

sebaliknya sanksi bagi kejahatan lebih di dominan dengan ancaman pidana

penjara. kesemuan itu merupakan jenis tindak pidana yang telah

dikodifikasikan. Perbedaan yang sederhana dari dua jenis tindak pidana

tersebut terletak dalam jenis sanksi yang akan diterapkan terhadap yang

melanggarnya, dapat dilihat sanksi pelanggaran lebih ringan dari pada

kejahatan. Misalnya ketika seseorang pelanggar diproses hukum, maka

ancaman pidana terhadap pelanggaran hanya pidana kurungan dan denda

tidak dipenjara. Bentuk lain yang membedakan kejahatan dan pelanggaran;

kejahatan merupakan perbuatan pidana yang digolongkan sebagai perbuatan

yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara

28
Samsul Bahtari, Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar. 2007, hal. 51.

Universitas Bung Karno


22

kongkret, sementara pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto

saja..29

2. Menurut cara merumuskannya, dapat dibedakan menjadi tindak pidana

formil dan materil.

Tindak pidana formil merupakan satu tindak pidana dimana

perumusannya menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang, tindak

pidana dikatakan telah selesai ditandai dengan telah dilakukanya perbuatan

seperti yang tercantum dalam undang-undang sehingga pembuat

dipersalahkan. Dapat dilihat pada pencurian misalnya, bahwa untuk

selesainya suatu perbuatan mencurian, dilihat dari perbuatan mengambil

telah selesai dilakukan. Sedangkan tindak pidana materil merupakan tindak

pidana yang dalam perumusannya menitikberatkan pada akibat yang tidak

dikehendaki atau bertentangan dengan undang-undang dikatakan telah

selesainya perbuatan apabila akibat yang tidak dikehendaki undang-undang

telah terjadi.

Maka dari itu, setiap subjek hukum/orang melakukan suatu perbuatan

yang dimana perbuatan itu menimbulkan akibat yang dilarang maka orang

dengan hal tersebutlah yang akan dapat mempertanggung jawabkan serta

dapat dipidana. Untuk dikatakan telah selesainya tindak pidana materil,

tidak semata-mata bergantung pada batas atau luasnya perbuatan yang

dilakukan, tetapi secara keseluruhanya dapat dilihat pada syarat maupun

sebab timbulnya akibat terlarang tersebut. Misalkan dalam hal pembunuhan

telah selesainya tindakan membacok, namun tidak bisa dikatakan


29
Ibid, hal. 52

Universitas Bung Karno


23

pembunuhan telah selesai dilakukan jika belum merenggut nyawa seseorang

atau korban yang terkena bacokan.30

3. Berdasarkan bentuk kesalahan, dapat dibedakan antara tindak pidana sengaja

(dolus) dan tidak sengaja (culpa).

Tindak pidana sengaja merupakan tindak pidana yang di dalam

rumusannya terdapat unsur kesengajaan. Sedangkan tindak pidana tidak

sengaja merupakan tindak pidana yang terkait rumusannya berkaitan dengan

culpa.31

4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan menjadi tindak pidana

aktif/komisi dan tindak pidana pasif/omisi.

Tindak pidana aktif diartikan sebagai suatu tindak pidana yang

digolongkan sebagai suatu perbuatan aktif, dan syaratnya untuk bisa

dikatakan sebagai perbuatan aktif, maka haruslah adanya gerakan dari

anggota tubuh orang yang membuatnya. Maka berbuat aktif digolongan

sebagai seseorang yang melanggar larangan, baik secara formil maupun

materil perbuatan aktif selalu erat kaitan dengan keduanya, artinya

perbuatan aktif mencakupi baik yang dirumuskan secara materil

maupunformil dan dengan demikian tindak pidana aktif merupakan bagian

yang terberas yang ada didalam KUHP. Selain itu, bahwa tindak pidana

pasif yang bersifat tidak murni dapat juga berupa suatu bentuk tindak pidana

yang pada hakikatnya ialah tindak pidana positif, tetapi dapat dijalankan

dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang terkait dengan

30
Ibid, hal, 53
31
Ibid

Universitas Bung Karno


24

adanya suatu akibat terlarang, tetapi kemudian dilakukan dengan tidak

berbuat/atau mengabaikan sehingga kemudian akibat itu benar-benar nyata

adanya.

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dapat dibedakan menjadi

tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama

atau berlangsung lama.

Tindak pidana atau aflopende merupakan tindak pidana yang dimana

untuk terjadinya ataupun terwujudnya tindakan itu hanya dilihat dari jangka

waktu terjadinya, misalnya hanya terjadi dalam waktu yang singkat dan

tidak berlangsung lama atau terus-menerus dan voordurende dellicten

merupakan tindak pidana yang dilihat dari jangka waktu terjadinya

merupakan tindakan yang terjadi terus-menerus atau berlanjud, setelah satu

perpuatan dilakukan perbuatan itu tidak berhenti dan terus berlangsung atau

terus terjadi. Tindak pidana semacam ini disebut juga dengan tindak pidana

yang menimbulkan suatu keadaan yang terlarang.32

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan

khusus.

Sebagaimana yang telah dirumuskan atau dikodifikasikan didalam

KUHP yang ada di dalam Buku II dan Buku III yang masing-masing

merupakan kejahatan dan pelanggaran adalah jenis tindak pidana umum.

Selain itu tndak pidana yang diatur di luar KUHP semuanya merupakan

tindak pidana khusus. Umumnya pembedaan ini dikenal dengan istilah

delik-delik di dalam serta diluar KUHP.


32
Ibid, hlm. 54.

Universitas Bung Karno


25

7. Dilihat dari sudut subjeknya, dibedakan antara tindak pidana communia

(tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana

propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang

berkualitas tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan agar dapat

diberlakukan ke semua orang, akan tetapi, ada suatu atau beberapa

perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dilaksanakan oleh

orang yang berkualitas tertentu, misalnya pegawai negeri, dalam hal ini

terdapat pada kejahatan jabatan atau nakhoda sebuah kapal pada kejahatan

dibidang pelayaran.

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka

dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.

Tindak pidana biasa artinya tindak pidana yang dilakukannya

penuntutan kepada pembuatnya, tidak disyaratkan adanya suatu bentuk

pengaduan dari pihak yang berhak atas itu, selain itu tindak aduan

merupakan tindak pidana dimana dapat dilakukan proses penuntutan pidana

apabila hal itu terlebih dahulu adanya bentuk pengaduan oleh pihak yang

berhak untuk kemudian mengajukan pengaduan tersebut.33

9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat

dan tindak pidana yang diperingan.

Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk

menjadi:
33
Ibid, hal. 55

Universitas Bung Karno


26

a. Bentuk pokok diartikan sebagai bentuk yang sederhana atau dapat juga

disebut sebagai bentuk yang standar;

b. Bentuk yang diperberat;

c. Bentuk ringan.

10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, tindak pidana tidak

terbatas macamnya, sangat bergantung pada kepentingan hukum yang

dilindungi undang-undang.

Pengelompokan tindak pidana dalam KUHP berkaitan pada

kebutuhan hukum yang dilindungi. Berdasarkan pada kepentingan hukum

maka dapat disebutkan contohnya yang terdapat dalam Buku II KUHP.

Untuk dapat melindungi berbagai kepentingan hukum terhadap keamanan

suatu negara, maka dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan

Negara (Bab I KUHP), untuk dapat melindungi kepentingan hukum bagi

kelancaran tugas-tugas penguasa umum, dibentuk juga kejahatan terhadap

penguasa umum yang mana hal tersebut terdapat pada Bab VIII KUHP,

selanjutnya untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan

pribadi maka selanjutnya dibentuk adanya sebutan tindak pidana seperti

pencurian yang terdapat pada penjelasan Bab XXII KUHP, Penggelapan

terdapat dalam Bab XXIV KUHP. Pemerasan dan Pengancaman terdapat

dalam Bab XXIII KUHP dan seterusnya.34

11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan, didapat

bedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.

34
Ibid

Universitas Bung Karno


27

Tindak pidana tunggal merupakan tindak pidana yang telah

dirumusakan agar dapat dipandang selesainya tindak pidana dan dapat

dipidananya pelaku, maka cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, oleh

karena hal itu maka sebagian besar diketahui bahwa tindak pidana dalam

KUHP dapat terkait dengan tindak pidana tunggal. Selain dari pada hal itu

yang diartikan dengan istilah tindak pidana berangkai yaitu tindak pidana

yang dirumuskan sedemikian rupa agar dapat dilihat sebagai selesai dan

dapat dipidananya pelaku, dengan syarat perbuatan itu dilakukan secara

berulang.35

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Ada Perbuatan

Van Hamel mangartikan adanya tiga pengertian terkait dengan

perbuatan (feit), ialah :36

a. Perbuatan (feit) terjadinya kejahatan (delik).

Bahwa pengertian ini memiliki arti yang luas, contohnya dalam

suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu

penganiayaan dilakukan juga pencurian, maka mustahil jika hal ini

dilakukan pula penuntutan salah satunya.

b. Perbuatan (feit) perbuatan yang didakwakan.

Misalnya seseorang di tuntut telah melakukan perbuatan

penganiayaan yang kemudian menagakibatkan adanya kematian,

35
Ibid, hal. 56.
36
Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hal. 175.

Universitas Bung Karno


28

selanjutnya diketahui bahwa ia dengan sengaja melakukan

pembunuhan, artinya masih dapat untuk dilakukannya penuntutan atas

dasar perbuatan yang “sengaja melakukan pembunuhan” karena ini

bentuk lain dari “penganiayaan yang mengakibatkan kematian”.

c. Perbuatan (feit) perbuatan material, jadi perbuatan itu terlepas dari unsur

kesalahan dan terlepas dari akibat.

Dengan pengertian ini, maka ketidak harusan yang ada pada

kedua penjelasan dimuka dapat untuk dihindari. Pada prinsipnya

bahwa seseorang hanya bisa dibebani sebuah bentuk tanggungjawab

pidana bukan hanya karena ia telah melakukan suatu perilaku lahiriah,

yang harus dapat dibuktikan oleh seorang penuntut umum. Dalam

bidang ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu biasa diseburt actus

reus, Dengan kata lain, actus reus merupakan elemen luar.37

Pengertian perilaku bukan saja terbatas pada makna “perbuatan untuk

melakukan sesuatu” melainkan hal ini juga termasuk tidak melakukan

perbuatan tertentu. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan yakni

“tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan

pidana” tidak dapat dikatakan “perbuatan” atau “tindakan” atau “act” atau

“commission”. Namun tetap termasuk dalam bagian perilaku melanggar

hukum yang tidak dapat terpisahkan. Baik commission maupun omission

tentu saja harus tertuang sebagai unsur dalam sebuah rumusan pasal agar

dapat menghindari tidak terjadinya benturan dengan asas legalitas.

37
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawan Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2007,
hal. 34.

Universitas Bung Karno


29

2. Ada Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijk)

Dikenal beberapa pengertian melawan hukum dalam hukum pidana

(wederrechtelijk), yaitu:38

a. Menurut Simons, melawan hukum memiliki artia “bertentangan

dengan hukum”, bukan saja terkait dengan hak orang lain (hukum

subjektif), tetapi juga terkait Hukum Perdata atau Hukum

Administrasi Negara.

b. Menurut Noyon, melawan hukum artinya “bertentangan dengan hak

orang lain” (hukum subjektif).

c. Menurut Hoge Raadm, melawan hukum artinya “tanpa wenang”

atau “tanpa hak” hal ini terkait dengan keputusannya tanggal 18

Desember 1911 W 9263.

d. Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum

Pidana BPHN atau BABINKUMNAS dalam Rancangan KUHPN

memberikan definisi “bertentangan dengan hukum” berarti,

bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau

anggapan masyarakat, atau yang benar-benar dirasakan oleh

masyarakat sebagai suatu bentuk perbuatan yang tidak boleh

dilakukan. Adapun sifat perbuatan melawan hukum suatu

perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:39

1) Sifat melawan hukum formil (Formale wederrechtelijk)

38
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana 1, CV Armico, Bandung, 1990, hal. 151.
39
Ibid, hal 152

Universitas Bung Karno


30

Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan

bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi

rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-

pengecualian yang telah ditentukan dalam undangundang, bagi

pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang,

sebab hukum adalah undang-undang.

2) Sifat melawan hukum materil (materiele wederrechtelijk).

Menurut pendapat ini artinya belum tentu adanya

perbuatan yang dapat memenuhi rumusan undang-undang itu

bersifat melawan hukum. Dalam pandangan ini yang dinamakan

sebagai hukum itu bukanlah hanya undang-undang semata

(hukum yang tertulis), tetapi juga termaksud dengan hukum

yang tidak tertulis, misalnya kaidah-kaidah atau kenyataan-

kenyataan yang berlaku pada masyarakat umumnya. Perbedaan

yang pokok antara kedua pendapat tersebut di atas, adalah:

Pendapat yang formil hanya mengakui adanya pengecualian

(peniadaan) sifat melawan hukum dari perbuatan yang terdapat

dalam undang-undang (hukum tertulis). Seperti: Pasal 48 KUHP

(daya paksa/overmacht); Pasal 49 ayat (1) KUHP (bela

paksa/noodweer); Pasal 50 KUHP (melaksanakan ketentuan

undang-undang; Pasal 51 ayat (1) KUHP (perintah jabatan yang

sah).40

40
Ibid, hal 153

Universitas Bung Karno


31

Pendapat materil, menyebutkan bahwa adanya pengecualian

(peniadaan) tersebut, selain dari itu yang ada dalam undang-undang (hukum

tertulis) juga terdapat dalam hukum yang tidak tertulis. Perbedaan

selanjutnya, menurut pendapat yang formil sifat melawan hukum tidak akan

selalu menjadi unsur tindak pidana itu sendiri, kemudian apabila dinyatakan

dengan tegas dalam rumusan tindak pidana barulah hal itu akan menjadi

unsur tindak pidana. Selain itu menurut pandangan yang bersifat materil

sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak atau wajib dari setiap tindak

pidana, juga bagi semua tindak pidana yang dalam rumusannya tidak

dinyatakan dengan tegas di dalam perundangundangan.

3. Tidak ada alasan Pembenar

Daya Paksa Absolut Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam

Pasal 48 KUHP. Kalimat aslinya berbunyi: Met Strafbaar is hij die een feit

begaat waartoe hij door overmacltt is gedrongen. “Undang-Undang tidak

menjelaskan apakah yang dimaksud dengan keadaan memaksa (overmacht).

Remmelink yang menuliskan buku Hazewinkel-Suringa, menegaskan, pada

cetakan ini ia akan membicarakan sebab yang menjadi dasar tidak dapat

dipidananya overmacht itu.41

Menurut pernyataan (MvT), orang-orang yang tidak dapat diwakili

karena sebab-sebab eksternal, yaitu segala paksaan, dorongan atau paksaan,

tidak dapat dilawan oleh orang-orang. Dalam literatur peradilan pidana,

paksaan biasanya dibagi menjadi dua bagian: pertama adalah paksaan

mutlak atau absolut, yang biasa disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya
41
Ibid, hal 155

Universitas Bung Karno


32

bukan paksaan yang sebenarnya, karena di sini pembuatnya sendiri menjadi

korban dari paksaan fisik orang lain. Jadi dia tidak punya pilihan lain.

Misalnya, seseorang yang digendong oleh pegulat yang kuat kemudian

dilempar ke pegulat lain sehingga yang lain tertekan dan terluka. Yang

dilempar justru menjadi korban sendiri, sehingga tidak bisa dimintai

pertanggungjawaban atas penindasan orang lain. Orang yang terlempar ini

tidak memiliki pilihan.

Daya paksa, sebagaimana disebutkan di atas, bersifat fisik, tetapi bisa

juga bersifat psikologis, misalnya orang yang dihipnotis untuk melakukan

kejahatan. Tidak ada hal lain yang terjadi di sini juga. Disinilah kekuatan

berasal dari luar. Mungkin dari orang-orang seperti tersebut di atas,

mungkin juga dari alam, misalnya dari seorang pilot yang pesawatnya jatuh

di landasan pacu saat gempa dan menabrak pesawat lain, sehingga menjadi

korban yang lain. Menurut Vos, memasukkan vts absoluta dalam paksaan

merupakan suatu kelebihan (berlebihan) karena pelaku yang dipaksa secara

fisik tidak benar-benar bertindak.

Tindakan itu berarti tindakan sadar, dan orang yang memaksanya

bukanlah pelaku tidak langsung, melainkan pelaku. Orang yang dipaksa

tidak termasuk dalam rumusan delik. Jadi jika dia didakwa, dia harus

dibebaskan (sengaja atau lalai adalah konstituen), tidak dibebaskan dari

proses hukum. Kecuali beberapa hal dalam tindak pidana, karena di situ

kesalahan bukan merupakan bagian yang eksplisit dari tindak pidana. (Ini

sebanding dengan pertanggungjawaban ketat. Van Bemmelen mengatakan

Universitas Bung Karno


33

bahwa superioritas adalah makna normatif. Ini juga berlaku untuk kasus-

kasus di mana seseorang dipaksa melakukan kejahatan karena ancaman.

D. Teori Pemidanaan

Teori pemidanaan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan

masyarakat dalam merespon munculnya dan perkembangan kejahatan itu

sendiri yang selalu mewarnai kehidupan sosial Perusahaan dari waktu ke

waktu. Dalam dunia hukum pidana sendiri berkembang beberapa teori

tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif

(deterrence/utilitarian), teori gabungan (integratif). Teori-teori pemidanaan

mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak di capai didalam

penjatuhan pidana.42

a. Teori absolut

Teori ini bertujuan agar dapat memuaskan pihak yang memiliki

dendam baik itu masyarakat sendiri atau juga pihak yang merasa

dirugikan dalam hal ini menjadi korban.43 Meskipun demikian diketahui

bahwa teori ini bersifat primitif, tetapi pada beberapa kesempatan masih

terasa pengaruhnya pada saat sekarang ini. Pendekatan pada teori absolut

ialah meletakkan gagasannya berupa hak agar dapat menjatuhkan pidana

yang berat, dengan alasan bahwa seseorang dapat bertanggung jawab atas

42
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika
Aditama, Bandung, 2009, hal. 22.
43
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2015,
hal.187.

Universitas Bung Karno


34

perbuatannya sendiri, oleh karena hal itu maka sudah seharusnya untuk

bersiap menerima hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya.44

Ciri pokok teori retributif, ialah :

1) Tujuan pidana ialah semata-mata hanya untuk pembalasan.

2) Pembalasan merupakan tujuan pokok dan di dalamnya tidak terkait

dengan sarana-sarana untuk mencapai tujuan lain yang diharapkan

misalnya tujuan untuk kesejahteraan masyarakat.

3) Kesalahan ialah syarat satu satunya agar adanya pidana.

4) Pidana wajib disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar.

5) Pidana melihat ke belakang, ia merupakan suatu bentuk dari

pencelaan murni serta tujuannya tidak untuk memperbaiki,

mendidik atau bahkan tidak memasyarakatkan kembali si pelaku

yang membuat pelanggaran.45

Dari sini dapat diketahui bahwa dasar utama dari pada bentuk

pendekatan absolut adalah pembalasan/balas dendam terhadap pelaku.

Khusus untuk Indonesia, karena KUHP sampai sekarang belum

mengalami revisi dan masih produk peninggalan belanda yaitu wetboek

van strafrecht masih mengadopsi sanksi-sanksi yang berupa teori

pembalasan, yaitu pada Pasal 10 KUHP yang masih membenarkan

pidana mati, walaupun kenyataannya belanda sendiri yang telah merevisi

KUHPnya dan telah menghapuskan pidana mati. tetapi ancaman pidana

44
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 3; Rieka Cipta, Jakrta, 2008, hal. 29.
45
Dwidja Priyanto, Op.Cit, hal. 26.

Universitas Bung Karno


35

mati masih diterapkan di beberapa aturan yang berlaku di Indonesia,

seperti undang-undang teroris dan narkotika.

b. Teori Relatif

Teori ini tidak memandang hukuman sebagai pembalasan atas

kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana untuk tujuan yang berguna untuk

melindungi masyarakat dari kemakmuran. Dari teori ini muncul tujuan

pemidanaan sebagai instrumen pencegahan, yaitu pencegahan yang

bersifat umum, berorientasi pada masyarakat. Menurut teori ini,

pemidanaan dijatuhkan untuk memenuhi maksud atau tujuan

pemidanaan, yaitu untuk meningkatkan ketidakpuasan masyarakat

sebagai akibat dari kejahatan tersebut.

Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu,

tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.46 Adapun

ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :

1) Tujuan pidana ialah pencegahan (prevention).

2) Pencegahan bukan merupakan tujuan akhir melainkan hanya

menjadi sarana agar dapat mencapai tujuan yang lebih tinggi

yakni kesejahteraan masyarakat.

3) Hanya merupakan pelanggaran hukum yang bisa dipersalahkan

kepada si pelaku saja, misalnya karena sengaja atau culpa yang

kemudian memenuhi syarat agar adanya pidana.

4) Pidana harus pula ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat

untuk dapat mencegahan suatu bentuk kejahatan.


46
Leden Marpaung, Op.Cit , hal. 105.

Universitas Bung Karno


36

5) Pidana bersifat prospektif, artinya bahwa pidana dapat terkait

dengan unsur pencelaan, tetapi unsur dari pembalasan tidak dapat

kemudian diterima jika tidak membantu adanya suatu pencegahan

kejahatan dengan tujuan kepentingan kesejahteraan masyarakat.47

c. Teori Gabungan

Secara teori, teori gabungan mencoba menggabungkan pemikiran

dalam teori absolut dan teori relatif. Selain mengakui bahwa sanksi

pidana dijatuhkan sebagai balas dendam atas perbuatan pelaku, juga

dimaksudkan agar pelaku dapat dikoreksi agar dapat kembali ke

masyarakat. Munculnya teori gabungan sebenarnya merupakan

tanggapan terhadap kritik baik teori absolut maupun teori relatif.

Penjatuhan pidana terhadap seseorang bukan hanya untuk membalas

perbuatan orang tersebut, tetapi juga untuk mendidik atau memperbaiki

orang tersebut agar tidak melakukan tindak pidana lain yang merugikan

dan meresahkan masyarakat.48

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua (2) golongan

besar, yaitu :

1) Teori gabungan lebih mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan

dalam teori ini tidak boleh melebihi batas dari pada apa yang perlu

dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib dalam

kehidupan masyarakat.

47
Dwidja Priyanto, Op.Cit, hal. 26.
48
Mahrus Ali, Op.Cit, hal. 192

Universitas Bung Karno


37

2) Teori gabungan yang berat dari pada perbuatan yang dilakukan

terpidana itu sendiri.49

E. Tujuan Pemidanaan

Selain teori pemidanaan, hal yang tidak kalah pentingnya adalah tujuan

pemidanaan. Di Indonesian sendiri hukum pidana positif belum pernah

merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan

pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai

bahan kajian, konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada pasal

54, yaitu :

1. Mencegah agar tidak dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan menghadirkan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna dikemudian hari.

3. Menyelesaikan konflik yang lahir oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan

4. Membebaskan rasa bersalah pada setiap terpidana.

5. Pemidanaan tidak dimaksudkan agar dapat menderitakan dan

merendahkan martabat manusia.50

49
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I (Jakarta: PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005,
hal. 162-163.
50
Mahrus Ali, Op.Cit, hal. 192

Universitas Bung Karno


38

BAB III

TINJAUAN YURIDIS TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN

DALAM HAL STANDAR BARANG YANG AKAN DIPERGUNAKAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Pembangunan ekonomi dan pembangunan pada umumnya menuju ke

arah yang berbeda, kemajuan teknologi, industri, ekonomi dan perdagangan,

yang menyebabkan semakin banyak masalah terutama terjadi di negara kita

adalah subjek perlindungan konsumen di industri dan perdagangan nasional,

Universitas Bung Karno


39

yang telah menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa yang bisa dikonsumsi

oleh masyarakat.51 Salah satu prinsip dalam ilmu ekonomi adalah mencari

keuntungan sebanyak-banyaknya dengan usaha atau biaya yang sesedikit

mungkin. Beberapa pelaku ekonomi memegang prinsip ini sangat tinggi,

sehingga untuk mendapatkan keuntungan besar, mereka melakukan hal-hal

yang merugikan konsumen.52 Rancangan prouk Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang diajukan oleh Lembaga Konsumen Indonesia, ialah:

“Konsumen merupakan pemakai suatu barang dan/atau juga jasa yang terdapat

di dalam kehidupan bermasyarakat, untuk keperluan diri sendiri atau juga

kepentingan keluarga atau bahkan orang lain yang mana tidak diperdagangkan

kembali.”53 Perlindungan konsumen dipandang semakin penting, baik secara

materil maupun formil, karena kemajuan dari bidang ilmu pengetahuan dan

juga bidang teknologi dipandang menjadi motor penggerak terhadap produsen

barang dan juga jasa untuk mencapai tujuan bisnis yang dalam praktiknya tidak

bergantung pada hubungan dengan konsumen dapat dipisahkan. Jadi, baik itu

langsung atau tidak, konsumenlah yang akan secara langsung merasakan

dampaknya.54 Pengertian perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 1 angka

(1) UUPK, yang menyatakan bahwa: “Perlindungan konsumen adalah segala

51
Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Kosumen, GrahaI lmu,Yogyakarta, 2015, hal. 1.
52
Wibowo Tunardi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jurnal Hukum,
http://www.jurnalhukum.com/hukum-perlindungan-konsumen-di-indonesia, 2 April 2021

53
Ahmadi Miru, Resume Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, Jakarta, 2015, hal. 2.
54
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju; Bandung, 2000
hal.78.

Universitas Bung Karno


40

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumennya.”55

Rumusan dari pada pengertian perlindungan konsumen yang terdapat

dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) sudah cukup jelas.

Kalimat yang menjelaskan tentang “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum”, diharapkan menjadi sebuah tameng yang kokoh agar

mampu meminimalisirkan dari adanya tindakan sewenang-wenang yang hal itu

dapat merugikan para pelaku usaha hanya untuk semata-mata kepentingan

perlindungan konsumen. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3

Undang-Undang Perlindungan Konsumen terbilang luas. Cakupan luasnya

pengertian dari pelaku usaha menurut UUPK tersebut mempunyai suatu

persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat eropa terutama

di negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah:

pembuat produk jadi, para penghasil bahan baku, mereka yang sebagai

pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai

produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau

tanda lain yang dapat membedakan dengan suatu produk asli, pada produk

tertentu importir suatu produk dimaksudkan untuk dijualbelikan, disewakan,

atau bentuk dari distribusi yang berbeda bentuk dalam transaksi perdagangan,

55
Ahmadi Miru & Suratman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2015, hal. 1.

Universitas Bung Karno


41

pemasok, dalam hal suatu identitas baik itu dari produsen atau juga dari

importir selanjutnya tidak dapat ditentukan.56

Kamus Umum Bahasa Indonesia, konsumen diartikan sebagai “pemakai

barang-barang hasil produksi, misalnya,bahan pakaian, makanan.” 57 Menurut

pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pengertian

konsumen menegaskan bahwa: “Konsumen merupakan setiap orang pemakai

barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik itu bagi kepentingan

orang lain maupun kepentingan makhluk hidup lain dan selanjutnya tidak

untuk diperdagangkan”. Sementara itu lingkupan yang disarankan oleh para

sarjana ekonomi yang tergabung di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia terkait

dengan pelaku usaha ialah :58

1. Kalangan investor, ialah pelaku usaha yang menyediakan dana untuk dapat

membiayai berbagai keperluan misalnya bank, usaha leasing, tengkulak,

penyedia dana dan lain sebagainya.

2. Produsen, ialah pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau

jasa dari barang dan atau jasa berbeda.

3. Distributor, ialah pelaku usaha yang mampu mendistribusikan atau juga

memperdagangkan barang atau jasa yang dimaksud kepada pihak

masyarakat.

56
Ibid, hal, 8.
57
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Ed.2. Cet. 10, Balai Pustaka, Jakarta. 1999, hal.521.
58
AZ. Nasution, Perlindungan Konsumen; Tinjauan Singkat UU No.8/1999 LN.I999 No.
42, 2002, hal. 117,

Universitas Bung Karno


42

Namun lebih jelas lagi, dalam pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1

angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa: Pelaku

usaha merupakan setiap orang perseorangan atau berbadan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum atupun bukan berbadan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

Indonesia, baik itu sendiri maupun secara bersama-sama melalui suatu bentuk

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi.59

Dari penjelasan tentang pelaku usaha di muka hal itu berarti tidak hanya

para pihak produsen pabrikan saja yang mampu menghasilkan barang dan/jasa

yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, melainkan juga

adanya para rekanan, termasuk didalamnya para agen, distributor, serta juga

jaringan-jaringan yang bersedia untuk melaksanakan fungsi pendistribusian

dan pemasaran suatu barang dan/jasa kepada masyarakat luas selaku pengguna

barang dan/jasa. Dalam penjelasan tentang Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang termasuk sebagi pelaku usaha ialah perusahaan, korporasi,

BUMN, koprasi, impotir, dan lain sebagainya.60

B. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjadi agenda yang

terbilang penting untuk menuju pada perkembangan hidup kedepan, yang

59
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Bab I, Pasal 3.
60
M Syamsuddin, Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha, Balai Pustaka,
Yogjakarta, 2011, hal. 5.

Universitas Bung Karno


43

termasuk didalamnya suatu kebutuhan yang bersifat mendesak ketika adanya

kasus terkait dengan bentuk kerugian baik itu secara langsung atau tidak

langsung yang diderita oleh para konsumen. Berdasarkan pasal 2 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menegaskan

bahwa:61 “Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian

hukum.”62 Dalam penjelasannya diketahui bahwa dalam hal terkait dengan

perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai suatu bentuk dari usaha

bersama menurut 5 asas yang mana relevan terhadap suatu pembangunan

nasional, yaitu :63

1. Asas manfaat diartikan untuk mengamankan segala upaya dalam hal

penyelenggarakan perlindungan konsumen haruslah memberikan

manfaat yang besar untuk kepentingan dari konsumen itu sendiri dan

juga pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan artinya agar keikutsertaan seluruh rakyat dapat

terwujud dengan maksimal dan juga memberikan peluang bagi para

konsumen dan pelaku usaha agar mendapatkan haknya serta

melaksanakan kewajibannya dengan adil dan juga transparan.

3. Asas keseimbangan artinya mampu memberikan suatu

keseimbangan terhadap kepentingan konsumen, pelaku usaha,

pemerintah dalam arti materiil ataupun dalam arti spiritual.


61
Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Kerjasama YLKI dengan Puspa
Swara, PT. Penebar Swadaya, Jakarta. 2006 hal. 10
62
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Bab II, Pasal 2.
63
Suratman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2015, hal. 25.

Universitas Bung Karno


44

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen artinya agar mampu

memberikan suatu bentuk jaminan terhadap keamanan dan

keselamatan konsumen dalam hal penggunaan, pemakaian, dan juga

pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi atau

digunakan di kehidupan sehari-hari.

5. Asas kepastian hukum artinya baik itu pelaku usaha maupun

konsumen harus tunduk pada aturan hukum dan memperoleh

keadilan dalam hal penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta

negara turut serta menjamin adanya suatu bentuk dari kepastian

hukum.

Kelima asas yang telah disebutkan dalam bunyi pasal 2 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, bila mencermati substansinya, maka dapat

dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:64

a) Asas kemanfaatan meliputi adanya asas keamanan dan juga

keselamatan bagi konsumen.

b) Asas keadilan meliputi asas keseimbangan, dan

c) Asas kepastian hukum.

Berdasarkan bunyi dari pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, diketahui bahwa adanya tujuan dari pada

perlindungan konsumen yaitu:65

1) Meningkatkan suatu kesadaran, kemampuan dan juga

kemandirian terhadap konsumen agar mampu melindungi diri.


64
Ibid, hal, 26.
65
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Bab II, Pasal 3.

Universitas Bung Karno


45

2) Mengangkat harkat martabat seorang konsumen dengan cara

menjauhkannya dari akses negatif penggunaan, pemakaian

barang dan/atau jasa.

3) Meningkatkan suatu pemberdayaan konsumen dalam hal

menentukan, menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4) Menciptakan suatu system perlindungan konsumen yang

mengandung unsur adanya kepastian hukum dan juga

keterbukaan suatu informasi serta akses agar mampu

mendapatkan informasi.

5) Menumbuhkan kesadaran dari pelaku usaha terkait dengan

pentingnya suatu bentuk perlindungan konsumen sehingga

melahirkan sikap dan sifat yang jujur, bertanggung jawab dalam

hal berusaha.

6) Meningkatkan nilai kualitas suatu barang dan/atau jasa,

kesehatan, kenyamanan, keamanan, serta juga keselamatan

konsumen.

Dari keenam tujuan diatas yang merupakan tujuan khusus dari

perlindungan konsumen yang dinyatakan didalam Pasal 3 UUPK bila

kemudian dikelompokkan menjadi tiga tujuan hukum secara universal, maka

tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf 3, dan

huruf 6. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam

rumusan huruf 1, dan 2, termasuk huruf 3, dan 4, serta huruf 5. Terakhir tujuan

khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan

Universitas Bung Karno


46

huruf 6. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang

dapat dilihat dalam rumusan pada huruf 1 sampai dengan huruf 6 terdapat

tujuan yang dapat untuk dkategorikan dengan tujuan ganda.66

C. Teori Hukum Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pada

Bagian Pertama Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 menjelaskan bahwa

hak konsumen diantaranya:67

a. Hak atas suatau kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk bisa memilih dan mendapatkan barang yang sesuai dengan

nilai tukar dan kondisi serta juga jaminan yang diinginkan;

c. Hak atas suatu informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapatnya dan keluhannya terhadap barang

dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan adanya upaya

terhadap penyelesaian sengketa perlindungan konsumen;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk dapat diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

66
Suratman Yodo, Op Cit, hal, 34.
67
Ahmadi Miru, Resume Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, Bandung, 2015, hal. 38.

Universitas Bung Karno


47

h. Hak untuk memperoleh kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Memerhatikan hak-hak yang disebutkan di atas, maka secara

keseluruhan pada dasarnya dikenal sepuluh macam hak konsumen, yaitu

sebagai berikut:68

a) Hak atas keamanan dan keselamatan;

b) Hak untuk memperoleh informasi;

c) Hak untuk memilih;

d) Hak untuk didengar;

e) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

f) Hak untuk memperoleh ganti rugi;

g) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

h) Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

i) Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya;

j) Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.

Selain hak konsumen dalam Undang-Uundang Perlindungan Konsumen

diatur juga kewajiban konsumen diataranya:69

68
Ibid, hal, 40.
69
Ibid, hal, 47.

Universitas Bung Karno


48

1) Membaca atau mengikuti petunjuk suatu bentuk informasi dan

prosedur terhadap pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,

demi terciptanya keamanan dan keselamatan;

2) Beritikad baik dalam hal melakukan transaksi suatu pembelian barang

dan/atau jasa;

3) Membayar biaya sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati

bersama sebelumnya;

4) Mengikuti bentuk kegiatan penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut.

D. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha

Diketahui bahwa seperti halnya seorang konsumen, bahwa pelaku usaha

juga mempunyai hak serta adanya kewajiban. Pengaturan tentang hak dan

kewajiban pelaku usaha bersumber dari adanya peraturan perundangan yang

bersifat universal dan juga perjanjian/kontrak yang bersifat khusus.70 Hak dari

pelaku usaha yang diatur berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen menegaskan bahwa :71

1. Berhak untuk menerima pembayaran yang mana pembayaran itu sesuai

dengan kesepakatan terkait kondisi dan juga nilai tukar barang dan/atau jasa

yang telah diperdagangkan;

70
M Syamsuddin, Op. Cit, hal. 9.
71
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 6.

Universitas Bung Karno


49

2. Berhak untuk mendapat suatu bentuk perlindungan hukum dari adanya

tindakan konsumen yang tidak memiliki itikad baik;

3. Berhak untuk dapat melakukan upaya pembelaan diri sepatutnya di dalam

proses penyelesaian hukum terhadap sengketa konsumen;

4. Berhak untuk mendapatkan rehabilitasi nama baik apabila di kemudian hari

terbukti secara hukum dimana kerugian konsumen itu tidak diakibatkan oleh

barang dan/atau jasa yang dia perdagangkan;

5. Hak-hak yang telah jelas diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lain.

Hak pelaku usaha ialah untuk menerima sejumlah pembayaran sesuai

dengan kondisi dan nilai tukar suatu barang dan/atau jasa yang telah

diperdagangkan, hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat untuk

menuntut lebih banyak lagi jika kemudian kondisi barang dan/atau jasa yang

diberikannya kepada konsumen tidak baik kualitasnya atau kurang memadai

menurut harga serta jumlah yang berlaku pada umumnya atas suatu barang

dan/atau jasa yang sama.72

Kewajiban-kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen 1999 menegaskan bahwa :

a. Beritikad baik dalam melaksanakan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang tepat, benar, jelas srta jujur terkait dengan

kondisi dan juga jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

72
Ahmadi Miru & Suratman Yodo, Op Cit, hal. 50.

Universitas Bung Karno


50

c. Memperlakukan konsumen secara baik, benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

d. Menjamin suatu mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan menurut ketentuan standar mutu suatu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta memberi suatu bentuk jaminan dan/atau garansi

atas barang yang dibuat atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian jika barang dan/atau

jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Tanggung jawab pelaku usaha adalah tanggung jawab untuk

melaksanakan kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagaimana tercantum

dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dimana Tanggung Jawab

tersebut adalah “minimal” yang artinya pelaku usaha tidak sekedar yang ada

dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen saja tetapi dapat meliputi

kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan sebagaimana mestinya

sebagai pelaku usaha yang berdasarkan Undang-Undang lain, ketentuan yang

pada akhirnya Tanggung Jawab ini akan berdampak positif kepada konsumen.

Bila diperhatikan secara bersama, maka terlihat bahwa hak dan

kewajiban dari pelaku usaha bersifat bertimbal balik dengan apa yang menjadi

Universitas Bung Karno


51

hak serta kewajiban konsumen. Hal ini berarti hak bagi konsumen ialah suatu

kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak pelaku usaha. Demikian pula

halnya dengan kewajiban konsumen ialah hak yang akan diterima oleh pelaku

usaha.73 Bila dibuat suatu perbandingan menurut ketentuan umum di Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, terlihat dengan jelas bahwa pengaturan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih terperinci, hal itu dikarenakan

bahwa di dalam UUPK pelaku usaha selain wajib melakukan kegiatan usaha

dengan mengedepankan itikad baik, pelaku usaha juga diwajibkan agar mampu

menciptakan suatu iklim usaha yang bersifat kondusif, tanpa adanya persaingan

pasar yang curang antar para pelaku usaha.74

E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang

dan/atau jasa, maka pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun

1999 menegaskan bahwa :75

1) Pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan

suatu barang dan/atau jasa yang;

a) Tidak memenuhi, sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.

73
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
2011, hal. 10.
74
M Syamsuddin, Op Cit, hal. 10.
75
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 8.

Universitas Bung Karno


52

b) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau

etiket barang tersebut.

c) Tidak sesuai dengan ukuran, tarakan, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

e) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses

pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana

dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa

tersebut.

f) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut.

g) Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

h) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.76

i) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,

komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,

76
Ibid

Universitas Bung Karno


53

nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk

penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

j) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

k) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat

atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara

lengkap dan benar atas barang dimaksud;

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar;

3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.77

Menyimak larangan-larangan yang diatur di dalam beberapa Pasal dari

dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

dapat dipahami bahwa :

a) Larangan-larangan itu mempertegas pelaksanaan kewajiban produsen

pelaku usaha.

b) Larangan-larangan itu juga dimaksudkan untuk melindungi dua macam


77
Ibid

Universitas Bung Karno


54

kepentingan, yaitu kepentingan umum yang berkaitan dengan

perekonomian dan pembangunan nasional, dan kepentingan individu, yang

berkaitan dengan hak-hak konsumen.

c) Di samping itu, larangan-larangan itu menunjukkan kepada produsen

bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sebagai produsen-pelaku usaha

sekurang-kurangnya dalam dua aspek, yaitu:

Pertama, bertanggung jawab untuk menciptakan iklim berusaha

sehat, baik antara sesama pelaku usaha maupun antar pelaku usaha dan

masyarakat konsumen. Dengan dipatuhinya larangan-larangan tersebut

maka hal-hal yang menimbulkan distorsi pasar, persaingan tidak sehat, dan

hal lain yang potensial untuk merusak struktur kehidupan perekonomian

nasional dapat berjalan dengan baik. Ini berarti tugas, kewajiban dan

tanggung jawab setiap pelaku usahalah untuk senantiasa mewujudkan

iklim berusaha yang sehat. Kedua, bertanggung jawab untuk melindungi

masyarakat konsumen, baik sendiri-sendiri maupun keseluruhan dari

kemungkinan timbulnya kerugian terhadap diri konsumen ataupun harta

bendanya.78 Dengan ini dimaksudkan pula bahwa tugsa untuk menjaga

kesejahteraan rakyat melalui penyediaan kebutuhan yang baik, sehat, dan

berkualitas juga merupakan tanggung jawab produsen sebagai pelaku

usaha. Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tanggung jawab

terhadap segala bentuk kerugian yang diderita konsumen karena memakai

atau mengkonsumsi produknya yang menimbulkan kerugian.


78
Yudha adian Nur dan Dwi Wahyuniarti Prabowo, Penerapan Pinsip Tanggung Jawab
Mutlak (District Liability) dalam Rangka Perlindungan Konsumen, Buletin Ilmiah Litbang
Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011: hal. 178.

Universitas Bung Karno


55

Secara garis besar perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha

dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1999

dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu :79

1) Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat

dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau

dimanfaatkan oleh konsumen;

2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan tidak

akurat yang menyesatkan konsumen.

Ketentuan pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum,

yang berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha

pabrikan atau distributor. Secara garis besar, larangan yang dikenakan dalam

pasal 8 UUPK dapat kita bagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu :

a) Larangan mengenai produk yang tidak memenuhi syarat dan standar

yang layak untuk dipergunakan, digunakan atau dimanfaatkan oleh

konsumen; Kelayakan produk merupakan “standar minimum” yang

harus dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang

dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk

dikonsumsi/dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

b) Larangan mengenai informasi yang tidak benar dan tidak akurat, yang

menyesatkan konsumen.

Informasi tentang suatu produk merupakan hal yang tergolong penting

bagi konsumen itu sendiri, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dari
79
Wibowo Tunardi, Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, Jurnal
Hukum,http://www.jurnalhukum.com/hukum-perlindungan-konsumen-di-indonesia/ Diakses 6
April 2021.

Universitas Bung Karno


56

informasi tersebut ialah maka konsumen bisa dengan yakin dapat menentukan

pilihan atas suatu barang dan/atau jasa yang ia inginkan dan juga yang sesuai

dengan kebutuhannya. Untuk itu, maka para pelaku usaha wajib untuk

kemudian memberikan suatu informasi yang sebenar-benarnya tentang suatu

produk yang dibuatnya atau diperdagangkan. Hal ini juga terdapat dalam

putusan nomor 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn. Bahwa terdakwa MUHAWIYAH

BIN ABDUL KARIM pada hari Senin tanggal 04 Maret 2019 Sekira Pukul

17.30 wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Maret Tahun

2019 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2019 bertempat di

Gampong Ujong Bate Kec.Pasie Raja Kab. Aceh Selatan bahwa perbuatan

terdakwa diketahui telah memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan

pertimbangan majelis hakim Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Jo. Pasal 62 Ayat (1)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Bahwa jelas dalam penjelasan pasal 8 (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi

dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang; tidak memenuhi atau

tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Universitas Bung Karno


57

BAB IV

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN NOMOR 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn

A. Kasus Posisi

Pengadilan Negeri Tapaktuan yang mengadili perkara pidana dengan

acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan sebagai

berikut dalam perkara Terdakwa:

1. Nama lengkap : Muhawiyah Bin Abdul Karim;

2. Tempat lahir : Pucuk Krueng;

3. Umur/tanggal lahir : 57 tahun/3 Februari 1962;

4. Jenis kelamin : Laki-laki;

5. Kebangsaan : Indonesia;

6. Tempat tinggal : Gampong Ladang Tuha, Kecamatan Pasie Raja,

Kabupaten Aceh Selatan;

Universitas Bung Karno


58

7. Agama : Islam;

8. Pekerjaan : Wiraswasta;

Terdakwa dalam perkara ini ditahan dalam rumah tahanan negara oleh:

Penuntut Umum sejak tanggal 19 Juni 2019 sampai dengan tanggal 8 Juli 2019.

Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 9 Juli 2019 sampai

dengan tanggal 7 Agustus 2019. Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 11

Juli 2019 sampai dengan tanggal 9 Agustus 2019. Perpanjangan Ketua

Pengadilan Negeri sejak tanggal 10 Agustus 2019 sampai dengan tanggal 8

Oktober 2019.

Terdakwa menyatakan tidak akan menggunakan haknya untuk

didampingi oleh Penasihat Hukum dan akan menghadapi sendiri perkara ini;

Pengadilan Negeri tersebut, setelah membaca Penetapan Ketua Pengadilan

Negeri Tapaktuan nomor 60/Pid.Sus/2019/PN Ttn tanggal 11 Juli 2019 tentang

penunjukan majelis Hakim, penetapan majelis Hakim Nomor

60/Pid.Sus/2019/PN Ttn tanggal 11 Juli 2019 tentang penetapan hari sidang,

setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut

Umum menyatakan sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa MUHAWIYAH bIN ALM. ABDUL KARIM

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana

“memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak

memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan “ sebagaimana diatur dan diancam

pidana pasal 8 ayat (1) huruf a jo pasal 62 ayat (1) undang-undang Nomor

Universitas Bung Karno


59

08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana dalam

dakwaan alternatif kedua;

2. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa MUHAWIYAH bIN ALM.

ABDUL KARIM dengan Pidana Penjara selama 3 (tiga) Bulan dikurangi

selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa

tetap ditahan;

3. Menyatakan Barang Bukti :

a. 91 (sembilan puluh satu) slop rokok merek LUFFMAN warna Silver.

b. 137 (seratus tiga puluh tujuh) slop rokok merek LUFFMAN warna

merah DIRAMPAS UNTUK DIMUSNAHKAN.

4. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.5.000,- (dua ribu rupiah).

Setelah mendengar permohonan Terdakwa yang pada pokoknya

menyatakan bahwa Terdakwa memohon keringanan hukuman dengan alasan

Terdakwa merasa bersalah dan menyesal telah melakukan perbuatan pidana,

serta Terdakwa berjanji untuk tidak mengulangi lagi melakukan perbuatan

pidana. Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut

Umum didakwa berdasarkan surat dakwaan sebagai berikut:

Pertama

Bahwa terdakwa MUHAWIYAH BIN ABDUL KARIM pada hari

Senin tanggal 04 Maret 2019 Sekira Pukul 17.30 wib atau setidak-tidaknya

pada suatu waktu dalam bulan Maret Tahun 2019 atau setidak-tidaknya pada

suatu waktu dalam tahun 2019 bertempat di Gampong Ujong Bate Kec.Pasie

Universitas Bung Karno


60

Raja Kab. Aceh Selatan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang

masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tapaktuan yang

berwenang mengadili dan memeriksa perkara ini, telah memproduksi atau

memasukkan rokok kedalam wilayah negara kesatuan republik Indonesia

dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar, Yang

dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

Bahwa pada waktu dan tempat yang telah disebutkan diatas berawal

pada hari Senin tanggal 04 Maret 2019 sekira pukul 17.30 saat anggota Opsnal

Polres Aceh Selatan sedang melakukan Patroli Rutin setibanya di Gampong

Ujong Bate Kec.Pasie Raja Kab. Aceh Selatan melihat mobil Kuda Warna

Merah dengan muatan berat sehingga Tim Opsnal memberhentikan mobil

tersebu dan setelah diberhentikan tim opsnal merasa curiga kemudian

dilanjutkan dengan penggeledahan terhadap mobil Kuda merah milik Saksi

Ridwan Yahya tersebut dan menemukan ROKOK MERK LUFFMAN warna

merah sebanyak 65 (enam puluh lima) Selop dan ROKOK MERK LUFFMAN

warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan tanpa gambar dan tulisan

peringgatan, dan berdasarkan keterangan terdakwa rokok tersebut adalah

kepunyaan Saksi Ridwan yang didapatkan Saksi Ridwan yahya dengan cara

membeli dari Terdakwa. Bahwa selanjutnya Tim Opsnal Polres Aceh Selatan

mengamankan terdakwa dan barang bukti yang ditemukan serta membawa ke

Polres Aceh Selatan untuk penyidikan lebih lanjut;

Bahwa cara Saksi Ridwan Yahya mendapatkan ROKOK MERK

LUFFMAN warna merah sebanyak 65 (enam puluh lima) Selop dan ROKOK

Universitas Bung Karno


61

MERK LUFFMAN warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan tanpa

gambar dan tulisan peringgatan adalah dengan cara Pada hari senin tangggal 04

Maret 2019 sekitar pukul 10.00 Wib Saksi Ridwan Yahya berangkat dari

tapaktuan menuju ke kota fajar sesampai di kec. Pasie Raja tepatnya di Toko

ROZA milik Terdakwa sekira pukul 11.00 Wib Saksi Ridwan Yahya membeli

rokok Merk LUFFMAN warna Silver sebanyak 20 (dua puluh) slop dengan

harga per slop Rp.64.000,- (enam puluh empat ribu rupiah), selanjutnya setelah

itu Saksi Ridwan Yahya membeli rokok di toko ROZA terdakwa melanjutkan

perjalanan ke Kec. Kluet Utara sekira pukul 12.00 Wib sampai di toko saksi

HENDRI dan langsung membeli rokok merek Luffman sebanyak 65 (enam

puluh lima) Slop dengan harga per slop nya Rp.63.000,- (enam puluh tiga ribu

rupiah);

Bahwa terdakwa selama ini telah menjual rokok illegal tanpa dilengkapi

gambar dan tulisan peringatan kepada saksi Ridwan Yahya sebanyak 3(tiga)

kali dan terdakwa telah menjual sebanyak kurang lebih 200 (dua ratus) selop.

Bahwa terdakwa mendapatkan rokok illegal tersebut dari sales Medan yang

singgah di Ruko milik terdakwa namun terdakwa tidak mengenal dengan sales

tersebut. Bahwa setelah mendapatkan rokok tersebut Saksi Ridwan Yahya

langsung pulang menuju ke tapaktuan, sesampai di gampong ujung bate kec.

Pasie raja, terdakwa di tangkap dan diamankan oleh anggota Polres Aceh

Selatan karena kedapatan membawa rokok tanpa gambar dan tulisan

peringgatan;

Universitas Bung Karno


62

Bahwa berdasarkan surat keterangan dari LOKA PENGAWAS OBAT

DAN MAKANAN DI KAB. ACEH SELATAN. Bahwa rokok merek

LUFMAN merupakan rokok yang tidak boleh beredar di Wilayah Republik

Indonesia dan tidak mencantumkan Peringatan Kesehatan berbentuk Gambar

sebagaimana telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan; Bahwa rokok merek Luffman yang ditemukan pada saat

penangkapan terhadap terdakwa adalah rokok yang tidak memenuhi atau tidak

sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam PERMENKES NO. 56 tahun

2017 tentang Perubahan atas Permenkes No. 28 tahun 2013 tentang

Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan

Produk Tembakau. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal

199 Ayat (1) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Atau Kedua

Bahwa terdakwa MUHAWIYAH BIN ABDUL KARIM pada hari

Senin tanggal 04 Maret 2019 Sekira Pukul 17.30 wib atau setidak-tidaknya

pada suatu waktu dalam bulan Maret Tahun 2019 atau setidak-tidaknya pada

suatu waktu dalam tahun 2019 bertempat di Gampong Ujong Bate Kec.Pasie

Raja Kab. Aceh Selatan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang

masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tapaktuan yang

berwenang mengadili dan memeriksa perkara ini, telah memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai

dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-

undangan, Yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

Universitas Bung Karno


63

Bahwa pada waktu dan tempat yang telah disebutkan diatas berawal

pada hari Senin tanggal 04 Maret 2019 sekira pukul 17.30 saat anggota Opsnal

Polres Aceh Selatan sedang melakukan Patroli Rutin setibanya di Gampong

Ujong Bate Kec.Pasie Raja Kab. Aceh Selatan melihat mobil Kuda Warna

Merah dengan muatan berat sehingga Tim Opsnal memberhentikan mobil

tersebut dan setelah diberhentikan tim opsnal merasa curiga kemudian

dilanjutkan dengan penggeledahan terhadap mobil Kuda merah milik Saksi

Ridwan Yahya tersebut dan menemukan ROKOK MERK LUFFMAN warna

merah sebanyak 65 (enam puluh lima) Selop dan ROKOK MERK LUFFMAN

warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan tanpa gambar dan tulisan

peringgatan, dan berdasarkan keterangan terdakwa rokok tersebut adalah

kepunyaan Saksi Ridwan yang didapatkan Saksi Ridwan yahya dengan cara

membeli dari Terdakwa. Bahwa selanjutnya Tim Opsnal Polres Aceh Selatan

mengamankan terdakwa dan barang bukti yang ditemukan serta membawa ke

Polres Aceh Selatan untuk penyidikan lebih lanjut.

Bahwa cara Saksi Ridwan Yahya  mendapatkan ROKOK MERK

LUFFMAN warna merah sebanyak 65 (enam puluh lima) Selop dan ROKOK

MERK LUFFMAN warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan tanpa

gambar dan tulisan peringgatan adalah dengan cara Pada hari senin tangggal 04

Maret 2019 sekitar pukul 10.00 Wib Saksi Ridwan Yahya berangkat dari

tapaktuan menuju ke kota fajar sesampai di kec. Pasie Raja tepatnya di Toko

ROZA milik Terdakwa sekira pukul 11.00 Wib Saksi Ridwan Yahya membeli

rokok Merk LUFFMAN warna Silver sebanyak 20 (dua puluh) slop dengan

Universitas Bung Karno


64

harga per slop Rp.64.000,- (enam puluh empat ribu rupiah), selanjutnya setelah

itu Saksi Ridwan Yahya membeli rokok di toko ROZA terdakwa melanjutkan

perjalanan ke Kec. Kluet Utara sekira pukul 12.00 Wib sampai di toko saksi

HENDRI dan langsung membeli rokok merek Luffman sebanyak 65 (enam

puluh lima) Slop dengan harga per slop nya Rp.63.000,- (enam puluh tiga ribu

rupiah).

Bahwa terdakwa selama ini telah menjual rokok illegal tanpa dilengkapi

gambar dan tulisan peringatan kepada saksi Ridwan Yahya sebanyak 3 (tiga)

kali dan terdakwa telah menjual sebanyak kurang lebih 200 (dua ratus) selop.

Bahwa terdakwa mendapatkan rokok illegal tersebut dari sales Medan yang

singgah di Ruko milik terdakwa namun terdakwa tidak mengenal dengan sales

tersebut. Bahwa setelah mendapatkan rokok tersebut Saksi Ridwan Yahya

langsung pulang menuju ke tapaktuan, sesampai di gampong ujung bate kec.

Pasieraja, terdakwa di tangkap dan diamankan oleh anggota Polres Aceh

Selatan karena kedapatan membawa rokok tanpa gambar dan tulisan

peringgatan;

Bahwa berdasarkan surat keterangan dari LOKA PENGAWAS OBAT

DAN MAKANAN DI KAB. ACEH SELATAN. Bahwa rokok merek

LUFMAN merupakan rokok yang tidak boleh beredar di Wilayah Republik

Indonesia dan tidak mencantumkan Peringatan Kesehatan berbentuk Gambar

sebagaimana telah ditegaskan dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Bahwa rokok merek Luffman yang ditemukan pada saat penangkapan terhadap

terdakwa adalah rokok yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar

Universitas Bung Karno


65

yang dipersyaratkan dalam PERMENKES NO. 56 tahun 2017 tentang

Perubahan atas Permenkes No. 28 tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan

Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau.

Bahwa untuk membuktikan dakwaannya Penuntut Umum telah

mengajukan Saksi-saksi sebagai berikut:

1. Candra Baruna Bin Marzuki

Bahwa Saksi mengerti dihadapkan ke persidangan ini sehubungan

dengan masalah perdagangan rokok ilegal yang didakwakan kepada

Terdakwa. Bahwa bermula pada hari Senin tanggal 4 Maret 2019 sekira

pukul 17.30 WIB, anggota Opsnal Polres Aceh Selatan, yang terdiri dari

Saksi Putra Acvrianda Bin Sugianto, Saksi Riki Hendri, dan Saksi sendiri

sedang melakukan patroli rutin, dan setibanya di daerah Gampong Ujong

Bate, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan, Para Saksi melihat

sebuah mobil Mitsubishi Kuda Warna Merah Hitam dengan Nomor Polisi

BK 1390 FT dengan muatan yang terlihat berat, dan karena merasa curiga,

Para Saksi menghentikan mobil tersebut, yang ternyata dikemudikan

seorang diri oleh Saksi Ridwan Yahya Anak Dari Antoni Yahya Alias

Hawen.

Bahwa setelah memperkenalkan diri sebagai anggota kepolisian, Para

Saksi memeriksa muatan mobil tersebut, dan ditemukan rokok merek

Luffman warna merah sebanyak 65 (enam puluh lima) selop, sertarokok

merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop yang diakui

Saksi Ridwan Yahya sebagai miliknya. Bahwa Para Saksi menduga rokok

Universitas Bung Karno


66

merek Luffman yang dibawa oleh Saksi Ridwan Yahya adalah rokok ilegal,

karena tidak mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi kesehatan

pada kemasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahwa Saksi Ridwan Yahya mendapatkan rokok merek Luffman

warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan cara membeli dari

Terdakwa pada hari Senin tangggal 4 Maret 2019 sekira pukul 10.00 WIB di

toko Roza milik Terdakwa yang terletak di Gampong Ladang Tuha,

Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan dengan harga Rp64.000,00

(enam puluh empat ribu rupiah) per selopnya. Bahwa setelah mendapatkan

informasi tersebut, Saksi bersama Saksi Putra Acvrianda Bin Sugianto,

Saksi Riki Hendri, dan Saksi Ridwan Yahya segera menuju toko Roza milik

Terdakwa untuk pengembangan perkara, dan saat bertemu dengan

Terdakwa, Terdakwa mengakui jika pada siang harinya ia telah menjual

rokok merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop kepada

Saksi Ridwan Yahya;

Bahwa pada saat dilakukan pemeriksaan di toko Roza milik Terdakwa

ditemukan lagi rokok merek Luffman warna merah sebanyak 137 (seratus

tiga puluh tujuh) selop, dan rokok merek Luffman warna silver sebanyak 91

(sembilan puluh satu) selop. Bahwa Terdakwa telah memperdagangkan

rokok merek Luffman tersebut selama lebih kurang 2 (dua) bulan; Terhadap

keterangan Saksi, Terdakwa memberikan pendapat yang menyatakan bahwa

Terdakwa tidak keberatan dan membenarkan keterangan Saksi tersebut.

2. Putra Acvrianda Bin Sugianto

Universitas Bung Karno


67

Bahwa Saksi mengerti dihadapkan ke persidangan ini sehubungan

dengan masalah perdagangan rokok ilegal yang didakwakan kepada

Terdakwa. Bahwa bermula pada hari Senin tanggal 4 Maret 2019 sekira

pukul 17.30 WIB, anggota Opsnal Polres Aceh Selatan, yang terdiri dari

SaksiCandra Baruna Bin Marzuki, Saksi Riki Hendri, dan Saksi sendiri

sedang melakukan patroli rutin, dan setibanya di daerah Gampong Ujong

Bate, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan, Para Saksi melihat

sebuah mobil Mitsubishi Kuda Warna Merah Hitam dengan Nomor Polisi

BK 1390 FT dengan muatan yang terlihat berat, dan karena merasa curiga,

Para Saksi menghentikan mobil tersebut, yang ternyata dikemudikan

seorang diri oleh Saksi Ridwan Yahya Anak Dari Antoni Yahya Alias

Hawen.

Bahwa setelah memperkenalkan diri sebagai anggota kepolisian, Para

Saksi memeriksa muatan mobil tersebut, dan ditemukan rokok merek

Luffman warna merah sebanyak 65 (enam puluh lima) selop, sertarokok

merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop yang diakui

Saksi Ridwan Yahya sebagai miliknya. Bahwa Para Saksi menduga rokok

merek Luffman yang dibawa oleh Saksi Ridwan Yahya adalah rokok ilegal,

karena tidak mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi kesehatan

pada kemasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahwa Saksi Ridwan Yahya mendapatkan rokok merek Luffman warna

silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan cara membeli dari Terdakwa

pada hari Senin tangggal 4 Maret 2019 sekira pukul 10.00 WIB di toko

Universitas Bung Karno


68

Roza milik Terdakwa yang terletak di Gampong Ladang Tuha, Kecamatan

Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan dengan harga Rp64.000,00 (enam

puluh empat ribu rupiah) per selopnya. Bahwa setelah mendapatkan

informasi tersebut, Saksi bersama Saksi Candra Baruna Bin Marzuki, Saksi

Riki Hendri, dan Saksi Ridwan Yahya segera menuju toko Roza milik

Terdakwa untuk pengembangan perkara, dan saat bertemu dengan

Terdakwa, Terdakwa mengakui jika pada siang harinya ia telah menjual

rokok merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop kepada

Saksi Ridwan Yahya.

Bahwa pada saat dilakukan pemeriksaan di toko Roza milik Terdakwa

ditemukan lagi rokok merek Luffman warna merah sebanyak 137 (seratus

tiga puluh tujuh) selop, dan rokok merek Luffman warna silver sebanyak 91

(sembilan puluh satu) selop. Bahwa Terdakwa telah memperdagangkan

rokok merek Luffman tersebut selama lebih kurang 2 (dua) bulan;Terhadap

keterangan Saksi, Terdakwa memberikan pendapat yang menyatakan bahwa

Terdakwa tidak keberatan dan membenarkan keterangan Saksi tersebut;

3. Riki Hendri

Bahwa Saksi mengerti dihadapkan ke persidangan ini sehubungan

dengan masalah perdagangan rokok ilegal yang didakwakan kepada

Terdakwa. Bahwa bermula pada hari Senin tanggal 4 Maret 2019 sekira

pukul 17.30 WIB, anggota Opsnal Polres Aceh Selatan, yang terdiri dari

Saksi Candra Baruna Bin Marzuki, Saksi Putra Acvrianda Bin Sugianto, dan

Saksi sendiri sedang melakukan patroli rutin, dan setibanya di daerah

Universitas Bung Karno


69

Gampong Ujong Bate, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan,

Para Saksi melihat sebuah mobil Mitsubishi Kuda Warna Merah Hitam

dengan Nomor Polisi BK 1390 FT dengan muatan yang terlihat berat, dan

karena merasa curiga, Para Saksi menghentikan mobil tersebut, yang

ternyata dikemudikan seorang diri oleh Saksi Ridwan Yahya Anak Dari

Antoni Yahya Alias Hawen.

Bahwa setelah memperkenalkan diri sebagai anggota kepolisian, Para

Saksi memeriksa muatan mobil tersebut, dan ditemukan rokok merek

Luffman warna merah sebanyak 65 (enam puluh lima) selop, serta rokok

merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop yang diakui

Saksi Ridwan Yahya sebagai miliknya. Bahwa Para Saksi menduga rokok

merek Luffman yang dibawa oleh Saksi Ridwan Yahya adalah rokok ilegal,

karena tidak mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi kesehatan

pada kemasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahwa Saksi Ridwan Yahya mendapatkan rokok merek Luffman warna

silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan cara membeli dari Terdakwa

pada hari Senin tangggal 4 Maret 2019 sekira pukul 10.00 WIB di toko

Roza milik Terdakwa yang terletak di Gampong Ladang Tuha, Kecamatan

Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan dengan harga Rp 64.000,00 (enam

puluh empat ribu rupiah) per selopnya.

Bahwa setelah mendapatkan informasi tersebut, Saksi bersama Saksi

Candra Baruna Bin Marzuki, Saksi Putra Acvrianda Bin Sugianto, dan Saksi

Ridwan Yahya segera menuju toko Roza milik Terdakwa untuk

Universitas Bung Karno


70

pengembangan perkara, dan saat bertemu dengan Terdakwa, Terdakwa

mengakui jika pada siang harinya ia telah menjual rokok merek Luffman

warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop kepada Saksi Ridwan Yahya.

Bahwa pada saat dilakukan pemeriksaan di toko Roza milik Terdakwa

ditemukan lagi rokok merek Luffman warna merah sebanyak 137 (seratus

tiga puluh tujuh) selop, dan rokok merek Luffman warna silver sebanyak 91

(sembilan puluh satu) selop. Bahwa Terdakwa telah memperdagangkan

rokok merek Luffman tersebut selama lebih kurang 2 (dua) bulan; Terhadap

keterangan Saksi, Terdakwa memberikan pendapat yang menyatakan bahwa

Terdakwa tidak keberatan dan membenarkan keterangan Saksi tersebut.

4. Ridwan Yahya Anak Dari Antoni Yahya Alias Hawen

Bahwa Saksi mengerti dihadapkan ke persidangan ini sehubungan

dengan masalah perdagangan rokok ilegal yang didakwakan kepada

Terdakwa. Bahwa bermula pada hari Senin tanggal 4 Maret 2019 sekira

pukul 17.30 WIB, ketika Saksi sedang melintas di daerah Gampong Ujong

Bate, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan, dengan mengendarai

mobil Mitsubishi Kuda Warna Merah Hitam dengan Nomor Polisi BK 1390

FT, tiba-tiba Terdakwa dihentikan oleh 3 (tiga) orang pria yang mengaku

sebagai anggota kepolisian, yang belakangan Saksi ketahui adalah Saksi

Candra Baruna Bin Marzuki, Saksi Putra Acvrianda Bin Sugianto, dan Saksi

Riki Hendri. Bahwa Para Saksi tersebut kemudian memeriksa muatan mobil

Saksi, dan ditemukan rokok merek Luffman warna merah sebanyak 65

Universitas Bung Karno


71

(enam puluh lima) selop, serta rokok merek Luffman warna silver sebanyak

20 (dua puluh) selop yang Saksi akui sebagai milik Saksi.

Bahwa Saksi mendapatkan rokok merek Luffman warna silver

sebanyak 20 (dua puluh lima) selop dengan cara membeli dari Terdakwa

pada hari Senin tangggal 4 Maret 2019 sekira pukul 10.00 WIB di toko

Roza milik Terdakwa yang terletak di Gampong Ladang Tuha, Kecamatan

Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan dengan harga Rp 64.000,00 (enam

puluh empat ribu rupiah) per selopnya. Bahwa rokok-rokok merek Luffman

milik Saksi tersebut akan dijual kembali kepada masyarakat di toko milik

Saksi di Tapaktuan dengan harga Rp 65.000,00 (enam puluh lima ribu

rupiah) per selopnya. Bahwa Saksi telah memperdagangkan rokok merek

Luffman tersebut selama lebih kurang 2 (dua) bulan; Terhadap keterangan

Saksi, Terdakwa memberikan pendapat yang menyatakan bahwa Terdakwa

tidak keberatan dan membenarkan keterangan Saksi tersebut.

Menimbang, bahwa Penuntut Umum juga telah mengajukan seorang

Ahli bernama Darwin Syah Putra Bin (Alm.) Nur As Novi Yerly yang

memberikan pendapat/keterangan sebagai berikut: Bahwa benar Ahli pernah

dimintai pendapat/keterangan di tingkat penyidikan sehubungan dengan

masalah rokok ilegal. Bahwa saat ini Ahli bertugas sebagai Kepala Loka POM

Kabupaten Aceh Selatan di Tapaktuan sejak September 2018, dan latar

belakang pendidikan Ahli adalah dibidang farmasi (apoteker), disamping Ahli

juga merupakan PPNS di Badan POM Republik Indonesia.

Universitas Bung Karno


72

Bahwa terkait dengan rokok yang merupakan produk tembakau, diatur

dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun

2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun

2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan Informasi Kesehatan

Pada Kemasan Produk Tembakau, dimana setiap produk tembakau dalam

wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan berupa gambar

dan tulisan pada kemasan terkecil dan kemasan lebih besar.

Bahwa yang dimaksud dengan kemasan terkecil berupa bungkus yang

berhubungan langsung dengan produk tembakau untuk dijual eceran,

sedangkan kemasan yang lebih besar berupa selop. Bahwa dalam perkara

Terdakwa, barang bukti berupa rokok merek Luffman warna merah sebanyak

137 (seratus tiga puluh tujuh) Selop, dan rokok merek Luffman warna silver

sebanyak 91 (sembilan puluh satu) selop, tidak mencantumkan peringatan

kesehatan berupa gambar dan tulisan, baik pada bungkus maupun selop

sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 56 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan

Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau. Bahwa dengan

demikian rokok merek Luffman tersebut tidak memenuhi atau tidak sesuai

dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Bahwa menurut pendapat Ahli, ketentuan yang dilanggar oleh

Terdakwa adalah ketentuan Pasal 62 Ayat (1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a

Universitas Bung Karno


73

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang

bunyinya antara lain pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai

dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-

undangan, dimana pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp

2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Terhadap pendapat/keterangan Ahli

tersebut, Terdakwa menyatakan telah mengerti.

Menimbang, bahwa Terdakwa di persidangan telah memberikan

keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Bahwa Terdakwa mengerti

dihadapkan ke persidangan ini sehubungan dengan masalah perdagangan rokok

ilegal yang didakwakan kepada Terdakwa. Bahwa peristiwa tersebut bermula

dari penangkapan Saksi Ridwan Yahya Anak Dari Antoni Yahya Alias Hawen

oleh Tim Opsnal Polres Aceh Selatan pada hari Senin tanggal 4 Maret 2019

sekira pukul 17.30 WIB di daerah Gampong Ujong Bate, Kecamatan Pasie

Raja, Kabupaten Aceh Selatan, dimana Saksi Ridwan Yahya didapati

membawa rokok merek Luffman warna merah sebanyak 65 (enam puluh lima)

Selop, dan rokok merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop.

Bahwa Saksi Ridwan Yahya mendapatkan rokok merek Luffman warna silver

sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan cara membeli dari Terdakwa pada hari

Senin tangggal 4 Maret 2019 sekira pukul 10.00 WIB di toko Roza milik

Terdakwa yang terletak di Gampong Ladang Tuha, Kecamatan Pasie Raja,

Universitas Bung Karno


74

Kabupaten Aceh Selatan dengan harga Rp 64.000,00 (enam puluh empat ribu

rupiah) per selopnya.

Bahwa Saksi Ridwan Yahya membeli rokok merek Luffman warna

silver dari Terdakwa dengan tujuan untuk dijual kembali kepada masyarakat di

toko milik Saksi Ridwan Yahya di Tapaktuan. Bahwa selain yang dijual

kepada Saksi Ridwan Yahya, pada saat Tim Opsnal Polres Aceh Selatan datang

ke toko Roza milik Terdakwa setelah penangkapan Saksi Ridwan Yahya,

ditemukan juga 137 (seratus tiga puluh tujuh) selop rokok merk Luffman

warna merah dan 91 (sembilan puluh satu) selop rokok merk Luffman warna

silver yang belum laku terjual. Bahwa Terdakwa telah memperdagangkan

rokok merek Luffman tersebut selama lebih kurang 2 (dua) bulan.

Bahwa Terdakwa memperoleh rokok merek Luffman tersebut dari

salesman yang orangnya tidak terlalu Terdakwa kenal, yang berasal dari luar

maupun dalam daerah Aceh Selatan. Menimbang, bahwa Penuntut Umum

mengajukan barang bukti sebagai berikut:

1) 137 (seratus tiga puluh tujuh) slop rokok merk Luffman warna merah;

2) 91 (sembilan puluh satu) slop rokok merk Luffman warna silver.

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian di dalam putusan ini,

maka segala sesuatu yang termuat di dalam berita acara perkara ini yang belum

termuat dalam putusan ini supaya dianggap termuat selengkapnya dan menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini. Menimbang, bahwa

berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang diajukan diperoleh fakta-fakta

hukum sebagai berikut:

Universitas Bung Karno


75

Bahwa bermula dari penangkapan Saksi Ridwan Yahya Anak Dari

Antoni Yahya Alias Hawen oleh Tim Opsnal Polres Aceh Selatan pada hari

Senin tanggal 4 Maret 2019 sekira pukul 17.30 WIB di daerah Gampong Ujong

Bate, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan, dimana Saksi Ridwan

Yahya didapati membawa rokok merek Luffman warna merah sebanyak 65

(enam puluh lima) selop, dan rokok merek Luffman warna silver sebanyak 20

(dua puluh) selop. Bahwa Saksi Ridwan Yahya mendapatkan rokok merek

Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan cara membeli dari

Terdakwa pada hari Senin tangggal 4 Maret 2019 sekira pukul 10.00 WIB di

toko Roza milik Terdakwa yang terletak di Gampong Ladang Tuha,

Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan dengan harga Rp 64.000,00

(enam puluh empat ribu rupiah) per selopnya.

Bahwa Saksi Ridwan Yahya membeli rokok merek Luffman warna

silver dari Terdakwa dengan tujuan untuk dijual kembali kepada masyarakat di

toko milik Saksi Ridwan Yahya di Tapaktuan. Bahwa selain yang dijual

kepada Saksi Ridwan Yahya, pada saat Tim Opsnal Polres Aceh Selatan datang

ke toko Roza milik Terdakwa setelah penangkapan Saksi Ridwan Yahya,

ditemukan juga 137 (seratus tiga puluh tujuh) selop rokok merk Luffman

warna merah dan 91 (sembilan puluh satu) selop rokok merk Luffman warna

silver yang belum laku terjual. Bahwa Terdakwa telah memperdagangkan

rokok merek Luffman tersebut selama lebih kurang 2 (dua) bulan. Bahwa

Terdakwa memperoleh rokok merek Luffman tersebut dari salesman yang

Universitas Bung Karno


76

orangnya tidak terlalu Terdakwa kenal, yang berasal dari luar maupun dalam

daerah Aceh Selatan.

Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 56 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan

Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, dalam kemasan

terkecil berupa bungkus maupun dalam kemasan yang lebih besar berupa selop

dari produk tembakau yang beredar di Indonesia wajib mencantumkan

peringatan kesehatan dan informasi kesehatan. Bahwa barang bukti berupa

rokok merek Luffman warna merah sebanyak 137 (seratus tiga puluh tujuh)

selop, dan rokok merek Luffman warna silver sebanyak 91 (sembilan puluh

satu) selop, tidak mencantumkan peringatan kesehatan berupa gambar dan

tulisan, baik pada bungkus maupun selop.

B. Pertimbangan Hukum

Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum

dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan

memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut di atas memilih langsung dakwaan

alternatif kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Ayat (1) Jo. Pasal 8 Ayat

(1) Huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Pelaku usaha;

2. Yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa;

Universitas Bung Karno


77

3. Yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim

mempertimbangkan sebagai berikut:

1) Pelaku usaha

Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Menimbang, bahwa unsur pelaku usaha mengacu kepada pelaku

sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang berhubungan

erat dengan pertanggung jawaban pelaku, dan sebagai sarana pencegah

error in persona. Menimbang, bahwa dalam perkara ini Penuntut Umum

telah mengajukan seorang Terdakwa bernama Muhawiyah Bin Abdul Karim

yang setelah diperiksa oleh Majelis Hakim adalah benar bahwa orang

tersebut adalah orang yang dimaksud oleh Penuntut Umum di dalam surat

dakwaannya. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan Terdakwa merupakan orang perseorangan yang

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi,

khususnya perdagangan, sehingga dengan demikian unsur “pelaku usaha”

Universitas Bung Karno


78

ini menurut Majelis Hakim telah terpenuhi. Menimbang, bahwa namun

demikian untuk menyatakan apakah Terdakwa merupakan orang yang harus

mempertanggung jawabkan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan

Penuntut Umum, maka Terdakwa juga harus telah memenuhi semua unsur

tindak pidana yang lain sebagaimana dalam rumusan delik yang didakwakan

kepadanya, sehingga selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan

unsur selanjutnya dari dakwaan Penuntut Umum.

2) Yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa

Menimbang, bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

memproduksi memiliki arti menghasilkan atau mengeluarkan hasil,

sedangkan memperdagangkan memiliki arti menjual belikan secara niaga.

Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa barang

adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,

yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen, sedangkan pada Angka 5 disebutkan bahwa

jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang

disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan, bermula dari penangkapan Saksi Ridwan Yahya Anak Dari

Antoni Yahya Alias Hawen oleh Tim Opsnal Polres Aceh Selatan pada hari

Senin tanggal 4 Maret 2019 sekira pukul 17.30 WIB di daerah Gampong

Universitas Bung Karno


79

Ujong Bate, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan, dimana Saksi

Ridwan Yahya didapati membawa rokok merek Luffman warna merah

sebanyak 65 (enam puluh lima) selop, dan rokok merek Luffman warna

silver sebanyak 20 (dua puluh) selop. Menimbang, bahwa Saksi Ridwan

Yahya mendapatkan rokok merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua

puluh) selop dengan cara membeli dari Terdakwa pada hari Senin tangggal

4 Maret 2019 sekira pukul 10.00 WIB di toko Roza milik Terdakwa yang

terletak di Gampong Ladang Tuha, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh

Selatan dengan harga Rp64.000,00 (enam puluh empat ribu rupiah) per

selopnya.

Menimbang, bahwa Saksi Ridwan Yahya membeli rokok merek

Luffman warna silver dari Terdakwa dengan tujuan untuk dijual kembali

kepada masyarakat di toko milik Saksi Ridwan Yahya di Tapak tuan.

Menimbang, bahwa selain yang dijual kepada Saksi Ridwan Yahya, pada

saat Tim Opsnal Polres Aceh Selatan datang ke toko Roza milik Terdakwa

setelah penangkapan Saksi Ridwan Yahya, ditemukan juga 137 (seratus tiga

puluh tujuh) selop rokok merk Luffman warna merah dan 91 (sembilan

puluh satu) selop rokok merk Luffman warna silver yang belum laku terjual.

Menimbang, bahwa Terdakwa telah memperdagangkan rokok merek

Luffman tersebut selama lebih kurang 2 (dua) bulan.

Menimbang, bahwa Terdakwa memperoleh rokok merek Luffman

tersebut dari salesman yang orangnya tidak terlalu Terdakwa kenal, yang

berasal dari luar maupun dalam daerah Aceh Selatan. Menimbang, bahwa

Universitas Bung Karno


80

jika dihubungkan fakta-fakta tersebut di atas dengan pengertian-pengertian

yang telah diuraikan sebelumnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa

elemen unsur memperdagangkan barang telah terpenuhi, sehingga dengan

demikian unsur “yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa” dengan demikian juga menjadi terpenuhi.

3) Yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan

Menimbang, bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman

Peringatan Kesehatan Dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk

Tembakau, dalam kemasan terkecil berupa bungkus maupun dalam kemasan

yang lebih besar berupa selop dari produk tembakau yang beredar di

Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi

kesehatan.

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan, rokok merek Luffman yang dijual oleh Terdakwa kepada Saksi

Ridwan Yahya Anak Dari Antoni Yahya Alias Hawen, maupun yang

ditemukan toko Roza milik Terdakwa, tidak mencantumkan peringatan

kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan, baik dalam bungkus

maupun selop, sehingga jika dihubungkan dengan ketentuan di atas, maka

rokok merek Luffman tersebut tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan

standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Universitas Bung Karno


81

Menimbang, bahwa dengan demikian maka unsur “yang tidak

memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan” ini menurut Majelis Hakim telah

terpenuhi. Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 62 Ayat

(1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah

dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak

pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua.

Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka

perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang

meringankan Terdakwa;

Keadaan yang memberatkan:

1. Perbuatan Terdakwa dapat merugikan konsumen;

2. Perbuatan Terdakwa dapat menimbulkan kerugian Negara;

Keadaan yang meringankan:

a. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;

b. Terdakwa menyatakan menyesal dan berjanji untuk tidak

mengulangi melakukan perbuatan pidana;

c. Terdakwa bersikap sopan di persidangan;

d. Terdakwa belum pernah dihukum;

e. Terdakwa memiliki tanggungan keluarga;

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka

haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara. Memperhatikan, Pasal

Universitas Bung Karno


82

8 Ayat (1) Huruf a Jo. Pasal 62 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang

bersangkutan.

C. Putusan Hakim

MENGADILI:

1. Menyatakan Terdakwa Muhawiyah Bin Abdul Karim tersebut di atas,

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Memperdagangkan Barang Yang Tidak Memenuhi Atau Tidak Sesuai

Dengan Standar Yang Dipersyaratkan Dan Ketentuan Peraturan Perundang-

undangan” sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 2 (dua) bulan dan 10 (sepuluh) hari;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;

5. Menetapkan barang bukti berupa: 137 (seratus tiga puluh tujuh) slop rokok

merk Luffman warna merah; 91 (sembilan puluh satu) slop rokok merk

Luffman warna silver; seluruhnya dirampas untuk dimusnahkan;

6. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah

Rp5.000,00 (lima ribu rupiah);

Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim

Universitas Bung Karno


83

Pengadilan Negeri Tapaktuan pada hari Selasa tanggal 20 Agustus 2019, oleh

Yudhistira Adhi Nugraha, S.H., M.H., sebagai Hakim Ketua, Rachmansyah,

S.H., M.H. dan Ahmad Hidayat, S.H., M.Kn., masing-masing sebagai Hakim

Anggota, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari dan

tanggal itu juga oleh Hakim Ketua dengan didampingi Para Hakim Anggota

tersebut, dibantu oleh Hasnul Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri

Tapaktuan, serta dihadiri oleh Muhammad Arifin Siregar, S.H., Penuntut

Umum dan Terdakwa.

D. Analisa Kasus

1. Bagaimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen mengatur standar barang yang akan

diperjual belikan?

Membahas setiap permasalah tentang kejahatan serta masalah yang

melekat padanya berarti mempelajari sifat maupun bentuk serta

perkembangan tingkah laku manusia. Perilaku kejahatan merupakan suatu

tindakan penyimpangan yang bertentangan dengan peraturan hukum yang

berlaku serta melanggar peraturan perundang-undangan dan merugikan

masyarakat baik dipandang dari segi kesusilaan, kesopanan, dan ketertiban

anggota masyarakat. Masyarakat berharap dan berkehendak untuk

mencegah dan memberatas kejahatan, dan terhadap pelakunya

menumpahkan kebencian, sumpah serapah, cacian serta mengasingkan dari

lingkungn pergaulan.

Universitas Bung Karno


84

Perubahan dalam bidang teknologi akhir-akhir ini telah berubah

dengan cepat, oleh karena hal itu produk yang dihadirkan semakin

berlimpah. Mulai dari barang-barang rumah tangga, pakaian, teknologi

informasi, hingga otomotif. Untuk masyarakat berpenghasilan besar

mungkin menjadi sebuah masalah untuk membeli produk tersebut, tetapi

berbeda halnya dengan mereka yang berpenghasilan rendah yang harus

berupaya agar mampu memenuhi kebutuhannya yang beragam.

Perkembangan serta pembangunan dalam bidang perekonomian

nasional pada hakikatnya telah terjadi berbagai jenis kemajuan, diantaranya

pada bidang teknologi, industri, ekonomi bahkan dalam bidang perdagangan

seakalipun, hal ini memiliki dampak diantaranya banyak permasalahan

timbul dan terjadi di dalam negara kesatuan kita, khususnya ialah persoalan

terkait perlindungan hukum kepada konsumen di dalam bidang

perindustrian dan perdagangan nasional telah kemudian melahirkan

berbagai jenis barang atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.80

Salah satu dari berbagai prinsip dalam bidang ekonomi ialah mencari laba

sebanyak mungkin dengan pengeluaran yang kecil. Beberapa para pelaku

usaha sangat mengedepankan prinsip ini, akibatnya demi mendapatkan

keuntungan yang lebih besar, mereka rela bahkan dengan sadar melakukan

praktek yang dapat merugikan konsumen secara langsung.

Definisi Konsumen yang diusulkan dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen oleh Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu:

“Konsumen adalah pengguna barang dan jasa yang dan tersedia di


80
Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Kosumen, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015, hal. 1.

Universitas Bung Karno


85

masyarakat, untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain yang

tidak dimaksudkan untuk dijual kembali. "Perlindungan Konsumen

dianggap baik secara material maupun formal, tampaknya bahkan lebih

penting ketika mempertimbangkan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi sebagai pendorong bagi produsen bahan baku dan layanan yang

dihasilkan untuk mencapai tujuan bisnis dipraktikkan tidak lepas dari

hubungannya dengan konsumen. Jadi secara langsung atau tidak langsung

konsumen akan merasakan dampaknya.

Pengertian perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 1 angka (1)

UUPK, yang menyatakan bahwa: “Perlindungan konsumen adalah segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumennya. Informasi yang tertera didalam

kemasan seharusnya sama dengan produk yang ada didalam kemasan.

Produsen juga harus memperhatikan syarat standar mengenai produk yang

relatif baku dan cederung berlaku universal untuk suatu jenis barang

tertentu. Dari uraian tersebut, secara praktis konsumen atau masyarakat

berada pada posisi yang kurang menguntungkan dibanding dengn posisi

pelaku usaha. Konsumen atau masyarakat memanfaatkan barang tersebut

tergantung dengan informasi yang tertera dalam produk tersebut. Undang-

Undang memberikan aturan yang tegas mengenai hal-hal yang tidak boleh

dilakukan oleh pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa

kepada konsumen.

Universitas Bung Karno


86

Menurut penulis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen sudah secara tegas mengatur standar barang yang

akan diperjual belikan. Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa:

“Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.” Didalam

penjelasannya disebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan

sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dengan

pembangunan nasional, yaitu : asas manfaat, asas keadilan, asas

keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen, asas kepastian

hukum.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pada

bagian pertama hak dan kewajiban konsumen Pasal 4 menjelaskan bahwa

hak konsumen diantaranya hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Selain dari pada itu

kewajiban-kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen menegaskan diantaranya bahwa: Pelaku

usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan selanjutnya menjamin mutu

barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan

ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

Menurut penulis ketentuan pasal 8 Undang-Undang Perlindungan

Universitas Bung Karno


87

Konsumen merupakan satu-satunya ketentuan umum, yang berlaku secara

general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha pabrikan atau distributor.

Secara garis besar, larangan yang dikenakan dalam pasal 8 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dapat kita bagi ke dalam dua larangan pokok,

yaitu: Larangan mengenai produk yang tidak memenuhi syarat dan standar

yang layak untuk dipergunakan, digunakan atau dimanfaatkan oleh

konsumen; Kelayakan produk merupakan standar minimum yang harus

dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau

jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi/dimanfaatkan oleh

masyarakat luas. Selanjutnya larangan mengenai informasi yang tidak

benar dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen; Informasi tentang

produk merupakan hal penting bagi konsumen, karena dari informasi

tersebut konsumen bisa menentukan pilihan atas suatu barang dan/atau jasa

yang sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu, para pelaku usaha harus

memberikan informasi yang sebenar-benarnya tentang produk yang

dihasilkan atau diperdagangkan.

Penulis berpendapat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen telah dengan jelas mengatur standar barang yang

akan diperjual belikan, informasi tentang produk merupakan hal penting

bagi konsumen, karena dari informasi tersebut konsumen bisa menentukan

pilihan atas suatu barang dan/atau jasa yang sesuai dengan kebutuhannya.

Akibat hukum yang timbul akibat dari suatu tindak pidana yang

memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan

Universitas Bung Karno


88

standar yang dipersyaratkan menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan. Bahwa jelas dalam penjelasan pasal 8 (1) Undang-Undang

Nomor 8 tahun 1999 pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak

sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2. Apakah penjatuhan hukuman oleh Majelis Hakim terhadap pelaku

tindak pidana berdasarkan pada Putusan Nomor

60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn telah mencerminkan rasa keadilan bagi

masyarakat?

Kekuasaan kehakiman ialah bentuk kekuasaan yang merdeka oleh

karena hal itu kekuasaan ini dituntut agar mampu terbebas dari segala

bentuk campur tangan lembaga yudisial. Seorang hakim yang bebas serta

tidak memihak telah menjadi dasar penegtahuan yang bersifat universal, hal

ini menunjukkan salah satu ciri khas dari suatu bentuk negarayang

berlandaskan pada hukum. Seorang hakim diwajibkan menegakkan hukum

setegak-tegaknya dan menjunjung tinggi keadilan dengan tidak bersedia

untuk memihak. Istilah dari tidak memihak ini artinya seorang hakim tidak

dibenarkan untuk menentukan siapa orang yang akan dibela oleh karena

dalam hal menjatuhkan putusannya harus berpedoman pada kebenaran itu

sendiri. Tidak memihak diartikan sebagai tidak berat sebelah, baik dalam

Universitas Bung Karno


89

pertimbangan serta penilaiannya. Undang-Undang No. 48 tahun 2009 pasal

5 ayat (1) bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membedabedakan orang”. Dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu

perkara yang diadilinya, hakim diwajibkan untuk benar-benar menghayati

dan meresapi arti amanat dantanggungjawab yang telah diberikan

kepadanya sesuai dengan fungsi kewenangannya agar dapat menuju kearah

tegaknya hukum itu sendiri yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum dengan berlandaskan pancasila serta Undang-Undang Dasar tahun

1945. Pertimbangan hakim merupakan argumen atau alasan yang digunakan

oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum

memutus suatu perkara.

Dalam praktik pradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan

yuridis ini dibuktikan. Maka hakim akan mempertimbangkan fakta-fakta

yang ada dalam persidangan dan merupakan konklusi komulatif dari

keterangan pada saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti. Pertimbangan

hakim dapat dibagi menjadi 2 kategori yakni, pertimbangan yuridis dan

pertimbangan non-yuridis. Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan

hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam

persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagaimana yang harus

dimuat dalam putusan seperti dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan

terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, dan pasal-pasal dalam

peraturan hukum pidana. Sedangkan pertimbangan non-yuridis dapat dilihat

dari latar belakang terdakwa, kondisi terdakwa dan agama terdakwa. Fakta-

Universitas Bung Karno


90

fakta persidangan yang dihadirkan, berorientasi dari lokasi kejadian (lokal

delicti) tempat kejadian (tempus delicti), dan modus operandi tentang cara

tindak pidana itu dilakukan.

Menurut penulis, penjatuhan hukuman oleh majelis Hakim terhadap

pelaku tindak pidana berdasarkan pada Putusan Nomor

60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn sudah tepat menurut hukum dan telah

mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Terdakwa telah didakwa oleh

Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga

Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut memilih

langsung dakwaan alternatif kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Ayat

(1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen yang unsur-unsurnya adalah sebagai

berikut: Pelaku usaha; Yang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa; Yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar

yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim

mempertimbangkan sebagai berikut:

1) Pelaku usaha

Bahwa dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa

yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang

perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

Universitas Bung Karno


91

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Menimbang, bahwa unsur pelaku usaha mengacu kepada

pelaku sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang

berhubungan erat dengan pertanggung jawaban pelaku, dan sebagai

sarana pencegah error in persona. Menimbang, bahwa dalam

perkara ini Penuntut Umum telah mengajukan seorang Terdakwa

bernama Muhawiyah Bin Abdul Karim yang setelah diperiksa oleh

Majelis Hakim adalah benar bahwa orang tersebut adalah orang yang

dimaksud oleh Penuntut Umum di dalam surat dakwaannya.

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan Terdakwa merupakan orang perseorangan yang

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi,

khususnya perdagangan, sehingga dengan demikian unsur “pelaku

usaha” ini menurut Majelis Hakim telah terpenuhi. Menimbang,

bahwa namun demikian untuk menyatakan apakah Terdakwa

merupakan orang yang harus mempertanggung jawabkan perbuatan

sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, maka Terdakwa juga

harus telah memenuhi semua unsur tindak pidana yang lain

sebagaimana dalam rumusan delik yang didakwakan kepadanya,

sehingga selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan unsur

selanjutnya dari dakwaan Penuntut Umum.

Universitas Bung Karno


92

2) Yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau

jasa

Bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memproduksi

memiliki arti menghasilkan atau mengeluarkan hasil, sedangkan

memperdagangkan memiliki arti menjualbelikan secara niaga.

Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa

barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,

baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun

tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,

dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen, sedangkan pada

Angka 5 disebutkan bahwa jasa adalah setiap layanan yang

berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat

untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,

bermula dari penangkapan Saksi Ridwan Yahya Anak Dari Antoni

Yahya Alias Hawen oleh Tim Opsnal Polres Aceh Selatan pada hari

Senin tanggal 4 Maret 2019 sekira pukul 17.30 WIB di daerah

Gampong Ujong Bate, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh

Selatan, dimana Saksi Ridwan Yahya didapati membawa rokok

merek Luffman warna merah sebanyak 65 (enam puluh lima) selop,

dan rokok merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh)

selop. Menimbang, bahwa Saksi Ridwan Yahya mendapatkan rokok

Universitas Bung Karno


93

merek Luffman warna silver sebanyak 20 (dua puluh) selop dengan

cara membeli dari Terdakwa pada hari Senin tangggal 4 Maret 2019

sekira pukul 10.00 WIB di toko Roza milik Terdakwa yang terletak

di Gampong Ladang Tuha, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh

Selatan dengan harga Rp64.000,00 (enam puluh empat ribu rupiah)

per selopnya.

Menimbang, bahwa Saksi Ridwan Yahya membeli rokok

merek Luffman warna silver dari Terdakwa dengan tujuan untuk

dijual kembali kepada masyarakat di toko milik Saksi Ridwan Yahya

di Tapak tuan. Menimbang, bahwa selain yang dijual kepada Saksi

Ridwan Yahya, pada saat Tim Opsnal Polres Aceh Selatan datang ke

toko Roza milik Terdakwa setelah penangkapan Saksi Ridwan

Yahya, ditemukan juga 137 (seratus tiga puluh tujuh) selop rokok

merk Luffman warna merah dan 91 (sembilan puluh satu) selop

rokok merk Luffman warna silver yang belum laku terjual.

Menimbang, bahwa Terdakwa telah memperdagangkan rokok merek

Luffman tersebut selama lebih kurang 2 (dua) bulan.

Menimbang, bahwa Terdakwa memperoleh rokok merek

Luffman tersebut dari salesman yang orangnya tidak terlalu

Terdakwa kenal, yang berasal dari luar maupun dalam daerah Aceh

Selatan. Menimbang, bahwa jika dihubungkan fakta-fakta tersebut di

atas dengan pengertian-pengertian yang telah diuraikan sebelumnya,

Majelis Hakim berpendapat bahwa elemen unsur memperdagangkan

Universitas Bung Karno


94

barang telah terpenuhi, sehingga dengan demikian unsur “yang

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa”

dengan demikian juga menjadi terpenuhi.

3) Yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan

Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 56 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman

Peringatan Kesehatan Dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan

Produk Tembakau, dalam kemasan terkecil berupa bungkus maupun

dalam kemasan yang lebih besar berupa selop dari produk tembakau

yang beredar di Indonesia wajib mencantumkan peringatan

kesehatan dan informasi kesehatan.

Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,

rokok merek Luffman yang dijual oleh Terdakwa kepada Saksi

Ridwan Yahya Anak Dari Antoni Yahya Alias Hawen, maupun yang

ditemukan toko Roza milik Terdakwa, tidak mencantumkan

peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan, baik

dalam bungkus maupun selop, sehingga jika dihubungkan dengan

ketentuan di atas, maka rokok merek Luffman tersebut tidak

memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Universitas Bung Karno


95

Bahwa dengan demikian maka unsur “yang tidak memenuhi

atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan

peraturan perundang-undangan” ini menurut Majelis Hakim telah

terpenuhi. Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal

62 Ayat (1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah terpenuhi, maka

Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan

dalam dakwaan alternatif kedua. Bahwa dalam persidangan, Majelis

Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan

pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau

alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggung jawabkan

perbuatannya. Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa mampu

bertanggung jawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi

pidana.

Menurut penulis penjatuhan hukuman oleh majelis hakim terhadap

pelaku tindak pidana berdasarkan pada putusan nomor

60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn telah mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat,

bahwa dalam pertimbangan majelis Hakim mengenai unsur-unsur yang

seluruhnya terdapat dalam putusan ini sudah tepat dan sesuai dengan fakta

persidangan, selanjutnya majelis Hakim menyatakan Terdakwa Muhawiyah

Bin Abdul Karim tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “Memperdagangkan barang yang tidak

Universitas Bung Karno


96

memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan” sebagaimana dalam dakwaan

alternatif kedua.

Penulis berpendapat, penjatuhan hukuman oleh majelis Hakim

terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan pada putusan nomor

60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn sudah tepat sesuai dengan hukum dan benar

menurut hukum sehingga telah mencerminkan rasa keadilan bagi

masyarakat. Bahwa sebelum menjatuhkan putusan ini, majelis hakim telah

memeriksa saksi-saksi serta mempertimbangkan unsur-unsur pasal yang

seluruhnya terdapat dalam putusan nomor 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn untuk

menerapakan hukum.

Universitas Bung Karno


97

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Adapun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen telah mengatur standar barang yang akan diperjual belikan.

Bahwa jelas dalam penjelasan pasal 8 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen pelaku usaha dilarang memproduksi

dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau

tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2. Adapun penjatuhan hukuman oleh majelis Hakim terhadap pelaku tindak

pidana berdasarkan pada Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn menurut

penulis telah sesuai dengan hukum dan benar menurut hukum sehingga

Universitas Bung Karno


98

telah mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Bahwa sebelum

menjatuhkan putusan ini, majelis hakim telah memeriksa saksi-saksi serta

mempertimbangkan unsur-unsur pasal yang seluruhnya terdapat dalam

putusan nomor 60/Pid.Sus/2019/PN.Ttn untuk menerapakan hukum.

B. Saran

1. Peran pemerintah khususya Badan POM sendiri masih diperlukan

pengawasan ketat terhadap sejumlah produk rokok yang terpasang dan

terpampang disejumlah tempat di Indonesia guna menghindari pengaruh

rokok terhadap masyakat seperti produk rokok dengan tanpa gambar dan

tulisan peringatan.

2. Dengan adanya faktor-faktor penyebab tidak maksimalnya peredaran

produk rokok dalam melindungi konsumen diharapkan peran masyarakat

dapat bersosialisasi atau bekerja sama dengan tokoh adat dan instansi untuk

membuat sebuah tim kerja atau organisasi guna mencegah terjadinya

pelanggaran peredaran produk rokok yang tidak memenuhi ketentuan

peraturan yang telah ada.

3. Kepada konsumen agar lebih hati-hati dalam membeli produk-produk rokok

yang tidak adanya standar mutu yang telah dipersyaratkan menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan, karena akan berbahaya bagi

kesehatan masyarakat sebagai konsumen itu sendiri.

Universitas Bung Karno

Anda mungkin juga menyukai