Anda di halaman 1dari 24

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP

PEREDARAN KOSMETIK ILEGAL

OLEH
JOANDRY A. LUNMISAY
NIM: 2014-21-014

SKRIPISI
Diajukan untuk memperoleh gelar sarjana pada program strata satu
(S1) Fakultas Hukum Universitas Pattimura

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

TAHUN 2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas

kekuasaan belaka (maschtstaat), sebagai negara hukum sudah barang tentu pelaksanaan

kekuasaan negara harus selalu didasarkan kepada kententuan-ketentuan yang berlaku

dan berdasarkan hukum.

Negara hukum berarti hukum mempunyai suatu kekuasaan tertinggi dalam

negara. Dimana hukum hadir untuk menjadi pelindung masyarakat dan negara yang

dimana keadilan dan kepastian hukum itu sendiri harus berjalan dengan seimbang agar

tercapainya stabilitas hukum yang baik dalam berbangsa dan bernegara. Hukum terbagi

atas hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yang berlaku dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara, bersifat mengikat bagi semua penduduk.

Hal itu berarti bahwa negara, yang termasuk didalamnya pemerintah dan

lembaga-lembaga yang lain di dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus

dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Di dalam masyarakat terdapat berbagai macam kepentingan dimana kepentingan

bersama mengharuskan adanya ketertiban, keadilan serta kepastian hukum dalam

kehidupan masyarakat.

Kepentingan bersama dapat terwujud dalam kebutuhan-kebutuhan dengan aman,

tentram dan damai maka diperlukan suatu tata. Tata yang berwujud aturan yang menjadi

pedoman bagi setiap tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya lazim disebut

kaidah atau norma.


Fungsi norma adalah memberi petunjuk kepada manusia mengenai bagaimana

seseorang harus bertindak dalam masyarakat, serta perbuatan mana yang harus

dijalankan dan dihindari. Norma itu dapat dipertahankan dengan sanksi-sanksi, yaitu

ancaman hukuman terhadap siapa saja yang melanggarnya. Sanksi merupakan suatu

legitimasi pengukuh terhadap berlakunya norma tadi dan merupakan reaksi terhadap

perbuatan yang melanggar norma. 1

Hukum perdata pada intinya merupakan hukum yang mengatur tentang

hubungan hukum antara orang perseorangan, badan hukum, baik mengenai kecakapan

seseorang dalam melakukan suatu perbuatan dalam lapangan hukum, mengenai hal-hal

yang berhubungan dengan kebendaan, mengenai hal-hal yang berhubungan dengan

perikatan maupun hal-hal yang berhubungan dengan pembuktian melalui waktu atau

kadaluwarsa.2

Hal-hal mengenai hubungan hukum antara orang perseorangan, hubungan

dengan kebendaan maupun hal-hal yang berhubungan dengan perikatan atau perjanjian,

pada dasarnya telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dapat

menjamin hak-hak dari seseorang bilamana terjadi suatu pelanggaran, seperti perjanjian

jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yan didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri

1
Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2004. Hal 3
2
Deddy Ismatullah, Pengantar Hukum Indonesia, Pustaka Setia, Hal 152
maupun bersama-sama melalui perjanjian bersama-sama melalui perjanjian

penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.3

Pengertian pelaku usaha di atas merupakan pengertian yang sangat luas karena

meliputi segala bentuk usaha, sehingga akan memudahkan konsumen, dalam arti

banyak pihak yang dapat digugat, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk

menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat

penggunaan produk.

Oleh karena istilah pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK (Undang-

Undang Perlindungan Konsumen) meliputi berbagai bentuk/jenis usaha, maka

sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala

dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:

a. yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut

jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen

yang dirugikan;

b. apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri,

maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup

pelaku usaha di luar negeri; dan

c. apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka

yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.4

Pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK memiliki kewajiban antara lain:

3
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Hal 23
4
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Hal 23
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan

dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang

berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku

usaha (produsen, dan/atau penjual barang dan jasa), pebisnis, perlu menjual barang dan

jasanya kepada konsumen. Konsumen memerlukan barang dan jasa yang dihasilkan dan

dijual oleh pelaku usaha guna memenuhi keperluannya.5

5
Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008), hal. 5
Perlindungan terhadap konsumen kerap kali menjadi masalah dalam dunia

perdagangan, bisnis ataupun ekonomi, yang salah satunya ada dari akibat yang

ditimbulkan oleh para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.

Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai

kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang

“aman”. 6 Kerugian yang dialami oleh konsumen sendiri bukan hanya secara materil,

tetapi juga secara batin yang artinya langsung kepada diri konsumen sendiri. Misalnya

kerugian dari segi fisik yang ditimbulkan dari penggunaan suatu produk yang

mengandung bahan berbahaya. Hal inilah yang membuat terkadang hak-hak yang

seharusnya diperoleh oleh konsumen sesuai dengan pasal 4 UUPK menjadi tidak

terpenuhi secara efektif.

Pelaku usaha sebagai pihak yang dalam hal ini memperdagangkan suatu barang

atau jasa memiliki tanggung jawab sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUPK harus

dilakukan atau dilaksanakan melalui suatu perjanjian, agar bisa menimbulkan

keseimbangan kebutuhan oleh konsumen dalam hal menjamin keamanan dan

kenyamanan mengkonsumsi suatu barang dan atau jasa dan juga bagi para pelaku usaha

itu sendiri.

Namun perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak dalam hal ini

pelaku usaha dan konumen, tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-

masing pihak puas,7 karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima barang atau

jasa sesuai dengan harapannya.

6
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 5
7
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), hal. 1
Pada faktanya masih banyak saja pelaku usaha yang sama sekali tidak

mempedulikan kewajibannya sesuai dengan apa yang tertuang di dalam pasal 7 UUPK

ini, hal ini disebabkan oleh adanya berbagai tuntutan dalam dunia persaingan usaha

yang membuat banyak dari mereka sebagai pelaku usaha yang tidak ingin dirugikan dan

pada akhirnya mereka akan menggunakan cara-cara yang tidak baik agar dapat

memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Perdagangan kosemetik illegal di Kota Ambon pada sekarang ini sangat marak

terjadi di berbagai area-area penjualan kosmetik, baik di toko-toko, pasar, ataupun di

mall. Namun disamping beredarnya kosmetik illegal ini tidak luput dari pengawasan

dari lembaga terkait yaitu Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dalam hal

ini merupakan suatu lembaga yang mempunyai kewenagan untuk melakukan

pengawasan dan pengujian terhadap setiap produksi makanan dan obat-obatan yang

akan diedarkan atau diperdagangkan kepada konsumen itu sendiri.

BPOM merupakan salah satu lembaga yang berfungsi untuk melakukan

pengawasan dan pengujian terhadap setiap produksi makanan atau obat-obatan, yang

akan diedarkan dan diperdagangkan kepada mayarakat atau konsumen.

Namun pengawasan yang dilakukan oleh BPOM sendiri sampai sekarang ini

dapat dikatakan masih belum efektif atau masih belum adanya efek jera kepada pelaku

usaha tersebut. Hal ini dikarenakan kurang adanya kerjasama dari masyarakat sebagai

penopang dalam membantu terlaksananya pengawasan yang menjadi tugas dari BPOM

itu sendiri, dan juga peranan dari pelaku usaha dalam menyadari apa yang menjadi

tanggung jawabnya.
Larangan terhadap para pelaku usaha dalam mengambil keuntungan-keuntungan

yang diperoleh dengan cara yang tidak baik atau jujur ini juga pada dasarnya telah diatur

dalam pasal 8 UUPK:

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket

barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;


h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat

nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan

pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku

usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan

harus di pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang

dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,

dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang

dimaksud.

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang

rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi

secara lengkap dan benar.

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari

peredaran.

Walaupun tidak semua pelaku usaha melakukan hal yang menyimpang dari

aturan atau ketentuan sebagaimana di maksud dalam pasal ini, namun jika melihat fakta

yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat, aturan atau ketentuan ini meskipun sudah

jelas keberadaanya, dan telah ada lembaga yang mengawasi setiap produksi atau
peredaran barang atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, tapi tetap saja masih

ada pelaku-pelaku usaha lainnya yang nakal untuk tetap memproduksi, ataupun

memperdagangkan barang atau jasa yang tidak berdasar pada aturan atau ketentuan

dimaksud.

Seiring dengan perkembangan zaman, dalam kehidupan masyarakat modern

khususnya kaum wanita mempunyai keinginan untuk tampil cantik. Hal tersebut

merupakan sesuatu yang wajar, tidak diherankan lagi banyak wanita rela menghabiskan

uangnya untuk pergi ke salon, ke klinik-klinik kecantikan ataupun membeli kosmetik

untuk memoles wajahnya agar terlihat cantik. Oleh karena itu, wanita banyak yang

memakai jalan alternatif untuk membeli suatu produk tanpa memperhatikan produk

kosmetik yang dibelinya tidak sesuai persyaratan diantaranya tidak adanya nomor izin

edar dari BPOM, tidak adanya label bahan baku kosmetik, dan tidak adanya tanggal

kadaluwarsa produk, serta tidak terdaftar di BPOM.

Kosmetik tersebut mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau karena

harganya yang murah, dan dapat dibeli dengan mudah sehingga kosmetik tanpa nomor

izin edar ini mudah dikonsumsi oleh masyarakat.

Ketidaktahuan konsumen akan efek samping yang ditimbulkan dari kosmetik

mengandung bahan berbahaya bisa dijadikan suatu alasan mereka sebagai pelaku usaha

untuk masih tetap menggunakan kosmetik tersebut. Konsumen biasanya tidak meneliti

suatu produk sebelum membeli, ini bisa menjadi salah satu faktor mengapa produk

kosmetik yang tidak memiliki izin edar dan mengandung bahan berbahaya ini masih

diminati oleh para wanita. Mereka umumnya langsung membeli produk kosmetik tanpa
pertimbangan terlebih dahulu mengingat produk yang dibeli memberikan efek samping

secara langsung.

Hal tersebut memungkinkan beredar luasnya kosmetik-kosmetik dalam

memenuhi kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis untuk pelaku usaha, baik

kosmetik yang memiliki izin edar dari pemerintah sampai yang tidak berizin edar dari

pemerintah. Kegiatan seperti ini seringkali dijadikan lahan bisnis bagi pelaku usaha

yang mempunyai iktikad buruk akibat posisi konsumen yang lemah karena tidak adanya

perlindungan yang seimbang untuk melindungi hak-hak dari konsumen.8

Peredaran kosmetik ilegall yang tidak memiliki nomor izin edar dari BPOM ini

sama sekali tidak dijamin keamanan dan kenyamanannya, karena masalahnya bukan

hanya mengenai nomor izin edarnya, tetapi juga label, komposisi atau kebenaran

informasi dari kosmetik ini belum tentu sesuai dengan hasil produksi yang sebenarnya.

Hal ini sangat perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh badan-badan atau

lembaga-lembaga terkait untuk memberikan efek jerah bagi para pelaku-pelaku usaha

yang nakal ini, agar dapat menciptakan suatu keseimbangan dalam kebutuhan dari

pelaku usaha ataupun konsumen sendiri.

8
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, Hal. 1.
B. Permasalahan

Dari apa yang diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah

sebagai berikut:

“Tanggung jawab pelaku usaha terhadap peredaran kosmetik illegal ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen.”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji dan menganalisis eksistensi penegakan hukum kepada pelaku usaha

terhadap peredaran kosmetik illegal di Kota Ambon.

2. Dalam rangka memenuhi salah satu syarat akademik guna menyelesaikan studi pada

Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, hasil penulisan dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi

pengembangan ilmu hukum terutama hukum perlindungan konsumen yang

berkaitan dengan eksistensi penegakan hukum bagi pelaku usaha terhadap peredaran

kosmetik illegal.

2. Secara praktis, hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut

untuk mengkaji lebih lanjut eksistensi penegakan hukum bagi pelaku usaha terhadap

peredaran kosmetik illegal.


E. Kerangka Konseptual

Konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Konsep Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah upaya untuk tegaknya fungi-fungsi norma

hukum secara nyata dalam masyarakat sebagai pedoman perliaku dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

Penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai suatu

proses saja, penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada

pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi

perilaku manusia. Hukum meruupakan kekuasaan yang dimiliki otoritas untuk

mengontrol masyarakat, sehingga akan dapat dicapai kondisi masyarakat,

sehingga akan dapat dicapai kondisi masyarakat yang penuh dengan ketertiban

dan keteraturan.9

Dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum

mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai

perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum

dan segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar dan

sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.10

Penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek hukum dan objek

hukum. Subjek hukum manusia-manusia yang terlibat dalam upaya

berfungsinya hukum sebagaimana mestinya, sedangkan penegakan hukum dari

9
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum Dalam Masyarakat, Yogyakarta, Penerbit: Graha Ilmu, `
hlm.15.
10
Kelik Pramudya 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, hlm. 1.
objeknya adalah proses penegakan hukum yang ditinjau dari aspek kepatuhan

terhadap aturan hukum itu sendiri atau kepatuhan terhadap keadilan.

Penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek dalam arti yang luas

dan dapat pula diartikan oleh subjek dalam arti terbatas atau sempit. Dalam arti

luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum. Siapa saja

yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak

malakukan sesuatu dengan berdasarkan diri pada norma aturan hukum yang

berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakan hukum.

Penegakan hukum ditinjau dari objeknya, dalam arti luas mencakup

nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunti aturan formal atau

nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat, sedangkan dalam arti sempit

menyangkut penegakan hukum yang formal dan tertulis saja.11

2. Konsep Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang

perlindungan konsumen cukup luas. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha

dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha

dalam masyarakat eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang dapat

dikualifikasi sebagai produsen adalah : pembuat produk jadi (finished product);

penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakan

dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda

pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada

11
www.pengertianilmu.com > 2015/01 > pengertian penegakan hukum dalam masyarakat
produk tertentu; importir suatu produk atau dengan maksud untuk

diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk lainnya.

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai ilmu ekonomi.12

Menurut Abdulkadir Muhammad, pengusaha diartikan orang yang

menjalankan perusahaan maksudnya mengelola sendiri perusahaannya baik

dengan dilakukan sendiri maupun dengan bantuan pekerja. Dalam hubungan

hukum konsumen, pengertian pengusaha menurut Mariam Daruz Badrulzaman

memiliki arti luas yaitu mencakup produsen dan pedagang perantara (tussen

handelaar). Produsen lazim diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan

barang dan jasa. Menurut Agnes Toar, yang termasuk dalam pengertian

produsen adalah pembuat, grosir (whole-saler), leveransir dan pengecer

(detailer) professional.

3. Konsep Kosmetik

Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan

pada bagian luar badan untuk menambah daya tarik, atau mengubah

penampilan.13

12
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
13
Retno Iswari Tranggono, SpKK. Buku Pegangan Ilmu Kosmetik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta 2007, hlm. 6.
Kosmetik adalah zat perawatan yang digunakan untuk meningkatkan

perawatan yang digunakan untuk meningkatkan penampilan atau aroma tubuh

manusia. Kosmetik umumnya merupakan campuran beragam senyawa kimia,

beberapa terbuat dari sumber-sumber alami dan kebanyakan dari bahan sintesis.

Dengan kata lain Kosmetik adalah obat (bahan) untuk mempercantik wajah,

kulit, rambut, dan sebagainya seperti bedak dan pemerah bibir. Sedangkan

kosmetika adalah ilmu kecantikan, ilmu tata cara mempercantik wajah, kulit

dan rambut.14

Menurut Syarif M. Wasitaatmadja, mengemukakan mengenai pengertian

kosmetik, yaitu, Kosmetik dalam bahasa Yunani yaitu “kosmetikos” berarti

keterampilan menghias, sedang “kosmos” berarti hiasan.15

Selanjutnya, menurut Federal Food and Cosmetic Act (1958) pengertian

kosmetik yaitu, Kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk

digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada,

dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan manusia dengan maksud untuk

membersihkan, memelihara, menambah daya tarik dan mengubah rupa dan

tidak termasuk golongan obat. Zat tersebut tidak boleh mengganggu kulit atau

kesehatan tubuh secara keseluruhan. Dalam definisi tersebut jelas dibedakan

antara kosmetik dengan obat yang dapat mempengaruhi struktur dan faal

tubuh.16

14
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
15
Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok. UI Press, Hlm. 26-27.
16
Artikel Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran,
http;//dokumen.tipd/documents/dasar-ilmu-kosmetika.html/
Definisi kosmetik menurut Peraturan Menteri kesehatan RI No.

445/Menkes/Permenkes/1998 adalah sebagai berikut : “kosmetik adalah

sediaan aau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan

(epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi dan

rongga mulut, untuk membersihkan, menambah daya Tarik, mengubah

penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau

badan, dan lain-lain.

4. Konsep Ilegal

Ilegal artinya tidak sah menurut hukum, dalam hal ini melanggar hukum,

barang gelap, liar, ataupun tidak ada izin dari pihak yang bersangkutan.17

Ilegal yang dimaksudkan di sini adalah menyangkut setiap tindakan

seseorang yang melawan atau menyimpang dari ketentuan yang berlaku, yang

berhubungan dengan proses memperdagangkan suatu barang untuk dikonsumsi

oleh konsumen atau pengguna barang tersebut, dan tidak memiliki izin edar dari

lembaga yang berwenang sebagai suatu jaminan terhadap masyarakat bahwa

barang yang akan dikonsumsi tersebut benar-benar aman.

Ilegal adalah produk yang tidak memiliki izin edar dari balai pengawas

obat dan makanan yang dibuat di Indonesia maupun luar negeri dan tidak sesuai

dengan ketentuan baik itu persyaratan mutu, keamanan, kemanfaatan dan dapat

merugikan masyarakat

17
http://febriirawanto.wordpress.com/2012/07/21/pengertian-legal-dan-ilegal
F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah sebagai

berikut:

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka yang ada.18 Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ketentuan-

ketentuan hukum positif, asas-asas hukum maupun prinsip-prinsip hukum, guna

menjawab isu hukum yang sedang dihadapi.19

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan jalan

menguraikan, manjelaskan, dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan

permasalahan yang diangkat dan bahan hukum yang diperoleh.20

3. Pendekatan Masalah

Di dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Menurut

Peter Mahmud Marzuki21 pendekatan tersebut adalah: pendekatan undang-

undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan

pendekatan komparatif (comparative approach).

18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat, Cetakan ke-
11, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal 13
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal 35
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum UI Press, Jakarta, 1986, hal 10.
21
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hal 133-134
Dalam peneitian ini pendekatan yang digunakan penulis yaitu pendekatan

konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan. Pendekatan

konseptual, pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum terkait pengertian-pengertian

hukum, konsep hukum maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

Pendekatan undang-undang adalah pendekatan yang dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang dikaji.

4. Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-

sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier.22

a. Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang diperoleh dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku.23 Dalam hal ini ketentuan

perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yng diteliti yaitu:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

b. Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan-bahan yang diperoleh

melalui buku-buku, jurnal-jurnal hukum atau makalah hukum, karya

tulis hukum atau pandangan-pandangan para sarjana hukum ataupun

22
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 31
23
Peter Mahmud Marzuki, Op, Cit, hal 93
ahli hukum dalam media elektronik seperti internet dengan menyebut

nama situsnya yang berkaitan dengan bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder, antara lain berupa kamus hukum, ensiklopedia

dan sebagainya.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Kegiatan pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini, penulis

tempuh dengan melakukan studi kepustakaan, wawancara dan

observasi/pengamatan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, bahkan

bahan hukum tersebut juga dapat diperoleh melalui media elektronik seperti

internet. Setelah semua bahan hukum dikumpulkan, kemudian akan

diidentifikasi dan dijadikan sebagai bahan analisis terkait dengan

permasalahaan yang sudah dirumuskan sehingga dapat memperoleh jawaban

dan solusi yang tepat terhadap permasalahan tesebut

6. Teknik Analisa Bahan Hukum

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

setelah dikumpulkan dan disusun secara sistematis, kemudian diklasifikasi dan

dianalisis dengan cara menghubungkan antara satu dengan yang lainnya atau

menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Untuk menjawab permasalahan yang ada, maka bahan hukum yang

dikumpulkan dianalisis secara kualitatif. Metode kualitatif sendiri yakni suatu

kajian yang ilmiah berdasarkan urutan bukan jumlah.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini merupakan pengantar untuk masuk ke dalam

permasalahan pokok yang akan dibahas, diawali dengan latar

belakang, rumusan masalah yang terkait dengan judul serta tujuan

dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini merupakan suatu dasar untuk melihat berbagai kajian-

kajian pengertian maupun konsep yang bersumber dari berbagai

literatur-literatur, baik melalui buku-buku, jurnal-jurnal hukum,

Undang-Undang, internet dan sebagainya, yang dapat dipergunakan

dan dimanfaatkan sebagai tinjauan terhadap permasalahan yang

diambil.

BAB III : Hasil dan Pembahasan

Bab ini menunjuk pada suatu hasil penelitian yang dilakukan

oleh penulis terhadap permasalahan yang diambil dan dimuat

menjadi suatu pembahasan yang berdasar pada kajian-kajian pustaka


yang diperoleh melalui berbagai sumber-sumber bahan hukum dan

menjelaskan hubungan yang mencakup hasil analisis untuk

menjawab apa yang menjadi permasalahan dalam penelitian tersebut.

BAB IV : Penutup yang terdiri atas:

a. Kesimpulan

b. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum UI Press, Jakarta,
1986

Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2004.

Kelik Pramudya 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Yogyakarta, Pustaka Yustisia

Deddy Ismatullah, Pengantar Hukum Indonesia, Pustaka Setia

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2005

Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di


Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Banjarmasin: FH Unlam


Press, 2008)

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: Sinar Grafika,


2009)

Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum Dalam Masyarakat, Yogyakarta, Penerbit:


Graha Ilmu

Retno Iswari Tranggono, Sp KK. Buku Pegangan Ilmu Kosmetik, Penerbit PT


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2007

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama
Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok. UI Press

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif suatu tinjauan
singkat, Cetakan ke- 11, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,


(Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Undang-Undang:

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Artikel:

http://febriirawanto.wordpress.com/2012/07/21/pengertian-legal-dan-ilegal

www.pengertianilmu.com > 2015/01 > pengertian penegakan hukum dalam


masyarakat

Anda mungkin juga menyukai