OLEH
JOANDRY A. LUNMISAY
NIM: 2014-21-014
SKRIPISI
Diajukan untuk memperoleh gelar sarjana pada program strata satu
(S1) Fakultas Hukum Universitas Pattimura
AMBON
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
kekuasaan belaka (maschtstaat), sebagai negara hukum sudah barang tentu pelaksanaan
negara. Dimana hukum hadir untuk menjadi pelindung masyarakat dan negara yang
dimana keadilan dan kepastian hukum itu sendiri harus berjalan dengan seimbang agar
tercapainya stabilitas hukum yang baik dalam berbangsa dan bernegara. Hukum terbagi
atas hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yang berlaku dalam kehidupan
Hal itu berarti bahwa negara, yang termasuk didalamnya pemerintah dan
kehidupan masyarakat.
tentram dan damai maka diperlukan suatu tata. Tata yang berwujud aturan yang menjadi
pedoman bagi setiap tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya lazim disebut
seseorang harus bertindak dalam masyarakat, serta perbuatan mana yang harus
dijalankan dan dihindari. Norma itu dapat dipertahankan dengan sanksi-sanksi, yaitu
ancaman hukuman terhadap siapa saja yang melanggarnya. Sanksi merupakan suatu
legitimasi pengukuh terhadap berlakunya norma tadi dan merupakan reaksi terhadap
hubungan hukum antara orang perseorangan, badan hukum, baik mengenai kecakapan
seseorang dalam melakukan suatu perbuatan dalam lapangan hukum, mengenai hal-hal
perikatan maupun hal-hal yang berhubungan dengan pembuktian melalui waktu atau
kadaluwarsa.2
dengan kebendaan maupun hal-hal yang berhubungan dengan perikatan atau perjanjian,
pada dasarnya telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dapat
menjamin hak-hak dari seseorang bilamana terjadi suatu pelanggaran, seperti perjanjian
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yan didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
1
Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2004. Hal 3
2
Deddy Ismatullah, Pengantar Hukum Indonesia, Pustaka Setia, Hal 152
maupun bersama-sama melalui perjanjian bersama-sama melalui perjanjian
Pengertian pelaku usaha di atas merupakan pengertian yang sangat luas karena
meliputi segala bentuk usaha, sehingga akan memudahkan konsumen, dalam arti
banyak pihak yang dapat digugat, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk
penggunaan produk.
Oleh karena istilah pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK (Undang-
dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:
a. yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut
yang dirugikan;
c. apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka
yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.4
Pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK memiliki kewajiban antara lain:
3
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Hal 23
4
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Hal 23
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
berlaku;
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
diperdagangkan;
dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku
usaha (produsen, dan/atau penjual barang dan jasa), pebisnis, perlu menjual barang dan
jasanya kepada konsumen. Konsumen memerlukan barang dan jasa yang dihasilkan dan
5
Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008), hal. 5
Perlindungan terhadap konsumen kerap kali menjadi masalah dalam dunia
perdagangan, bisnis ataupun ekonomi, yang salah satunya ada dari akibat yang
Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai
“aman”. 6 Kerugian yang dialami oleh konsumen sendiri bukan hanya secara materil,
tetapi juga secara batin yang artinya langsung kepada diri konsumen sendiri. Misalnya
kerugian dari segi fisik yang ditimbulkan dari penggunaan suatu produk yang
mengandung bahan berbahaya. Hal inilah yang membuat terkadang hak-hak yang
seharusnya diperoleh oleh konsumen sesuai dengan pasal 4 UUPK menjadi tidak
Pelaku usaha sebagai pihak yang dalam hal ini memperdagangkan suatu barang
atau jasa memiliki tanggung jawab sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUPK harus
kenyamanan mengkonsumsi suatu barang dan atau jasa dan juga bagi para pelaku usaha
itu sendiri.
Namun perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak dalam hal ini
pelaku usaha dan konumen, tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-
masing pihak puas,7 karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima barang atau
6
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 5
7
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), hal. 1
Pada faktanya masih banyak saja pelaku usaha yang sama sekali tidak
mempedulikan kewajibannya sesuai dengan apa yang tertuang di dalam pasal 7 UUPK
ini, hal ini disebabkan oleh adanya berbagai tuntutan dalam dunia persaingan usaha
yang membuat banyak dari mereka sebagai pelaku usaha yang tidak ingin dirugikan dan
pada akhirnya mereka akan menggunakan cara-cara yang tidak baik agar dapat
Perdagangan kosemetik illegal di Kota Ambon pada sekarang ini sangat marak
mall. Namun disamping beredarnya kosmetik illegal ini tidak luput dari pengawasan
dari lembaga terkait yaitu Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dalam hal
pengawasan dan pengujian terhadap setiap produksi makanan dan obat-obatan yang
pengawasan dan pengujian terhadap setiap produksi makanan atau obat-obatan, yang
Namun pengawasan yang dilakukan oleh BPOM sendiri sampai sekarang ini
dapat dikatakan masih belum efektif atau masih belum adanya efek jera kepada pelaku
usaha tersebut. Hal ini dikarenakan kurang adanya kerjasama dari masyarakat sebagai
penopang dalam membantu terlaksananya pengawasan yang menjadi tugas dari BPOM
itu sendiri, dan juga peranan dari pelaku usaha dalam menyadari apa yang menjadi
tanggung jawabnya.
Larangan terhadap para pelaku usaha dalam mengambil keuntungan-keuntungan
yang diperoleh dengan cara yang tidak baik atau jujur ini juga pada dasarnya telah diatur
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
barang tersebut;
tersebut;
harus di pasang/dibuat;
yang berlaku.
2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi
4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
peredaran.
Walaupun tidak semua pelaku usaha melakukan hal yang menyimpang dari
aturan atau ketentuan sebagaimana di maksud dalam pasal ini, namun jika melihat fakta
yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat, aturan atau ketentuan ini meskipun sudah
jelas keberadaanya, dan telah ada lembaga yang mengawasi setiap produksi atau
peredaran barang atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, tapi tetap saja masih
ada pelaku-pelaku usaha lainnya yang nakal untuk tetap memproduksi, ataupun
memperdagangkan barang atau jasa yang tidak berdasar pada aturan atau ketentuan
dimaksud.
khususnya kaum wanita mempunyai keinginan untuk tampil cantik. Hal tersebut
merupakan sesuatu yang wajar, tidak diherankan lagi banyak wanita rela menghabiskan
untuk memoles wajahnya agar terlihat cantik. Oleh karena itu, wanita banyak yang
memakai jalan alternatif untuk membeli suatu produk tanpa memperhatikan produk
kosmetik yang dibelinya tidak sesuai persyaratan diantaranya tidak adanya nomor izin
edar dari BPOM, tidak adanya label bahan baku kosmetik, dan tidak adanya tanggal
harganya yang murah, dan dapat dibeli dengan mudah sehingga kosmetik tanpa nomor
mengandung bahan berbahaya bisa dijadikan suatu alasan mereka sebagai pelaku usaha
untuk masih tetap menggunakan kosmetik tersebut. Konsumen biasanya tidak meneliti
suatu produk sebelum membeli, ini bisa menjadi salah satu faktor mengapa produk
kosmetik yang tidak memiliki izin edar dan mengandung bahan berbahaya ini masih
diminati oleh para wanita. Mereka umumnya langsung membeli produk kosmetik tanpa
pertimbangan terlebih dahulu mengingat produk yang dibeli memberikan efek samping
secara langsung.
memenuhi kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis untuk pelaku usaha, baik
kosmetik yang memiliki izin edar dari pemerintah sampai yang tidak berizin edar dari
pemerintah. Kegiatan seperti ini seringkali dijadikan lahan bisnis bagi pelaku usaha
yang mempunyai iktikad buruk akibat posisi konsumen yang lemah karena tidak adanya
Peredaran kosmetik ilegall yang tidak memiliki nomor izin edar dari BPOM ini
sama sekali tidak dijamin keamanan dan kenyamanannya, karena masalahnya bukan
hanya mengenai nomor izin edarnya, tetapi juga label, komposisi atau kebenaran
informasi dari kosmetik ini belum tentu sesuai dengan hasil produksi yang sebenarnya.
Hal ini sangat perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh badan-badan atau
lembaga-lembaga terkait untuk memberikan efek jerah bagi para pelaku-pelaku usaha
yang nakal ini, agar dapat menciptakan suatu keseimbangan dalam kebutuhan dari
8
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, Hal. 1.
B. Permasalahan
Dari apa yang diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah
sebagai berikut:
“Tanggung jawab pelaku usaha terhadap peredaran kosmetik illegal ditinjau dari
C. Tujuan Penelitian
2. Dalam rangka memenuhi salah satu syarat akademik guna menyelesaikan studi pada
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, hasil penulisan dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi
berkaitan dengan eksistensi penegakan hukum bagi pelaku usaha terhadap peredaran
kosmetik illegal.
2. Secara praktis, hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut
untuk mengkaji lebih lanjut eksistensi penegakan hukum bagi pelaku usaha terhadap
proses saja, penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada
sehingga akan dapat dicapai kondisi masyarakat yang penuh dengan ketertiban
dan keteraturan.9
perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum
9
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum Dalam Masyarakat, Yogyakarta, Penerbit: Graha Ilmu, `
hlm.15.
10
Kelik Pramudya 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, hlm. 1.
objeknya adalah proses penegakan hukum yang ditinjau dari aspek kepatuhan
Penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek dalam arti yang luas
dan dapat pula diartikan oleh subjek dalam arti terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum. Siapa saja
malakukan sesuatu dengan berdasarkan diri pada norma aturan hukum yang
nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat, sedangkan dalam arti sempit
penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakan
pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada
11
www.pengertianilmu.com > 2015/01 > pengertian penegakan hukum dalam masyarakat
produk tertentu; importir suatu produk atau dengan maksud untuk
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
memiliki arti luas yaitu mencakup produsen dan pedagang perantara (tussen
barang dan jasa. Menurut Agnes Toar, yang termasuk dalam pengertian
(detailer) professional.
3. Konsep Kosmetik
Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan
pada bagian luar badan untuk menambah daya tarik, atau mengubah
penampilan.13
12
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
13
Retno Iswari Tranggono, SpKK. Buku Pegangan Ilmu Kosmetik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta 2007, hlm. 6.
Kosmetik adalah zat perawatan yang digunakan untuk meningkatkan
beberapa terbuat dari sumber-sumber alami dan kebanyakan dari bahan sintesis.
Dengan kata lain Kosmetik adalah obat (bahan) untuk mempercantik wajah,
kulit, rambut, dan sebagainya seperti bedak dan pemerah bibir. Sedangkan
kosmetika adalah ilmu kecantikan, ilmu tata cara mempercantik wajah, kulit
dan rambut.14
tidak termasuk golongan obat. Zat tersebut tidak boleh mengganggu kulit atau
antara kosmetik dengan obat yang dapat mempengaruhi struktur dan faal
tubuh.16
14
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
15
Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok. UI Press, Hlm. 26-27.
16
Artikel Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran,
http;//dokumen.tipd/documents/dasar-ilmu-kosmetika.html/
Definisi kosmetik menurut Peraturan Menteri kesehatan RI No.
sediaan aau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan
(epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi dan
4. Konsep Ilegal
Ilegal artinya tidak sah menurut hukum, dalam hal ini melanggar hukum,
barang gelap, liar, ataupun tidak ada izin dari pihak yang bersangkutan.17
seseorang yang melawan atau menyimpang dari ketentuan yang berlaku, yang
oleh konsumen atau pengguna barang tersebut, dan tidak memiliki izin edar dari
Ilegal adalah produk yang tidak memiliki izin edar dari balai pengawas
obat dan makanan yang dibuat di Indonesia maupun luar negeri dan tidak sesuai
dengan ketentuan baik itu persyaratan mutu, keamanan, kemanfaatan dan dapat
merugikan masyarakat
17
http://febriirawanto.wordpress.com/2012/07/21/pengertian-legal-dan-ilegal
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah sebagai
berikut:
1. Jenis penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
2. Sifat Penelitian
3. Pendekatan Masalah
18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat, Cetakan ke-
11, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal 13
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal 35
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum UI Press, Jakarta, 1986, hal 10.
21
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hal 133-134
Dalam peneitian ini pendekatan yang digunakan penulis yaitu pendekatan
hukum, konsep hukum maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
Konsumen.
22
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 31
23
Peter Mahmud Marzuki, Op, Cit, hal 93
ahli hukum dalam media elektronik seperti internet dengan menyebut
dan sebagainya.
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, bahkan
bahan hukum tersebut juga dapat diperoleh melalui media elektronik seperti
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
dianalisis dengan cara menghubungkan antara satu dengan yang lainnya atau
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
sistematika penulisan.
diambil.
a. Kesimpulan
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum UI Press, Jakarta,
1986
Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2004.
Kelik Pramudya 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Yogyakarta, Pustaka Yustisia
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2005
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama
Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok. UI Press
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif suatu tinjauan
singkat, Cetakan ke- 11, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009
Artikel:
http://febriirawanto.wordpress.com/2012/07/21/pengertian-legal-dan-ilegal