Si
COMMUNICATION THEORY
Cultivation Theory, Mass Communication
Berawal dari sejarah hadirnya televisi sebagai salah satu bentuk media massa yang
digemari dan telah menyulap jutaan manusia untuk terpaku dalam menerima pesan-pesan
yang ditayangkan. Dimana media massa adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar
penemuan roda, karena mampu mengubah sistem peradaban dunia. Bahkan Catherine
dinamakan televisi sehingga pada hakikatnya televisi dianggap sebagai sebuah fenomena
kultural, sekaligus medium dimana sepenggal aktivitas budaya hadir dan menjamah kita di
dalam rumah.
Perkembangan televisi berdasarkan periode efeknya mulai hadir tahun 1948 sampai
1990‐an ketika Perang Dunia II selesai sekitar tahun 1945. Televisi disadari telah menjadi
babak baru terbentuknya media massa yang dapat memberikan efek kekuatan media (the
powerful of media) secara dramatis pada khalayak yang diterpa (exposure). Bahkan
kehadiran media televisi telah memberikan pengaruh komersial pangsa pasar dan khalayak
persen rumah tangga di Amerika telah memiliki perangkat televisi (Pavlik, 2004). Efek
tersebut juga telah mengundang banyak kajian-kajian menarik yang membahas masalah
televisi sebagai sebuah pengalaman yang membentuk cara berpikir kita tentang dunia.
dengan dilangsungkannya peristiwa olah raga Asian Games di tahun 1962. Sejak saat itu
embrio penyiaran televisi lahir bersamaan dengan didirikannya TVRI oleh Presiden
Soekarno. Hal ini ditunjang dengan kehadiran Satelit Palapa untuk pertama kalinya ditahun
1976, TVRI bisa diterima hampir seluruh tanah air. Saat itu program siaran yang
Penulis telah menyusun beberapa poin yang akan dibahas dalam makalah ini. Diantaranya
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mendeskripsikan tentang Teori Kultivasi dalam Ilmu Komunikasi agar kita
tahun 1960-an di Amerika. Pada masa itu efek media massa khususnya tayangan kekerasan
di televisi menarik perhatian khalayak umum karena cukup tingginya tayangan yang
mengandung kekerasan yang di tayangkan pada kala itu. Banyaknya jumlah muatan
kekerasaan dalam tayangan TV pada waktu itu mendorong kekhawatiran para orang tua,
guru dan pengkritik TV dari dampak tayangan kekerasaan. Ketika itu khalayak umum,
orang tua dan pengkritik TV menduga bahwa adanya hubungan antara banyaknya muatan
Tentu saja dugaan ini tidak boleh hanya menjadi sekedar dugaan dan memberikan penilaian
hanya berdasarkan perasaan, tetapi harus dibuktikan. Sehingga pada tahun 1976, Presiden
yang disusul dengan pembentukan Komite Penasihat Ilmiah mengenai TV dan Perilaku
sosial pada tahun 1972. Dimana kedua badan yang telah dibentuk itu diberikan tugas untuk
Teori kultivasi (Cultivation Theory) pertama kali dikenalkan oleh Professor George
Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini
untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, Gerbner ingin
mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton
televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih
Menurut Signorielli dan Mogan (1990) dalam (Saefudin & Venus, 2005, p. 83),
Analisis Kultivasi merupakan tahapan lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek
media yang sebelumnya dilakukan oleh Gerbner, yaitu cultural indicators, yang
menyelidiki (1) proses institusional dalam produksi isi media, (2)image(kesan) isimedia,
(3) hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak. Dalam
mengawali apa yang kemudian akan dikenal sebagai analisis kultivasi, mereka sedang
Analisis kultivasi adalah sebuah teori yang memprediksikan dan menjelaskan formasi
dan pembentukan jangka panjang dari persepsi, pemahaman dan keyakinan mengenai dunia
sebagai akibat dari konsumsi akan pesan-pesan media. Garis pemikiran Gerbner dalam
keyakinan tertentu mengenai kenyataan yang dianggap suatu yang umum oleh konsumen
komunikasi massa.
hal ini karena adanya cerita-cerita yang kita lihat dan dengar di media (Ricard West &
Lyn H, 2013, p. 82). Menurut Wood, kata ‘cultivation’sendiri merujuk pada proses
kumulatif dimana televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada
Konsep
Konsep-konsep penting pada teori kultivasi terdiri dari, yang pertama adalah
Diferensial kultivasi, yang kedua adalah mainstreaming dan yang ketiga adalah resonansi.
televisi, yang dibagi menjadi dua yaitu penonton televisi kelas berat (heavyviewer ) dan
juga penonton televisi kelas ringan (light viewer ) (Ricard West & Lyn H,2013). Light
viewer (penonton ringan dalam arti menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan
hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat), menonton rata-rata empat jam
perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu (Infante, D.A.,Andrew S., 2003, p. 65).
masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (TV stabilize and homogenize views within a
society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian
mendominasi sumber informasinya lainnya dan ide mengenai dunia. Karena menonton
terlalu banyak, konstruksi realitas sosial seseorang bergerak ke arah mainstream (Ricard
dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam
kehidupan nyata (Junaidi, 2018, p. 46). Resonasi (resonance) terjadi ketika hal-hal didalam
televisi, dalam kenyataannya, kongruen dengan realitas keseharian para penonton. Dengan
kata lain, realitas eksternal objektif dari penonton beresonansi dengan realitas televisi
Penonton fanatik (heavy viewer) ini ditandai dengan menonton Televisi lebih dari 4 jam
2. Penonton menengah
3. Penonton biasa
Langkah - Langkah
Teori kultivasi menekankan pada sistem makro pengaruh televisi terhadap masyarakat
sebagai sebuah media yang berpengaruh secara budaya, para peneliti kultivasi bersandar
pada 4 (empat) tahapan proses, yaitu analisis sistem pesan, membentuk berbagai pertanyaan
tentang realitas sosial pemirsa, survei khalayak, dan membandingkan realitas sosial dari
Analisis sistem pesan merupakan alat untuk membuat sistematis, reliabel, dan kumulatif
suatu pengamatan tentang isi pesan televisi. Para peneliti kultivasi mengembangkan
sebuah hipotesa tentang apa yang akan orang pikirkan tentang berbagai aspek realitas
jika semua yang diketahui mengenai suatu isu atau fenomena merupakan hasil potret
televisi.
Melakukan survei khalayak dengan tujuan untuk mengetahui atau memahami kehidupan
menonton televisi dan kondisi sosial, ekonomi, dan pandangan politik para partisipan.
ringan dan pemirsa berat. Hal-hal yang diukur adalah jenis kelamin, usia, pendidikan,
oleh Michael Morgan dan Nancy Signorielli. Mereka manyatakan bahwa berbagai
pertanyaan yang disampaikan kepada responden tidak secara khusus menyebut televisi,
dan kepedulian responden terhadap sumber informasi mereka terlihat tidak relevan. Hal
terminologi dominan dan fakta repetitif, nilai-nilai, dan ideologi dunia televisi,
Asumsi
Menurut (Ricard West & Lyn H, 2013, p. 85) dalam bukunya mengemukakan
posisi bahwa realitas yang dimediasi menyebabkan konsumen memperkuat realitas sosial
media mereka. Analisis kultivasi membuat beberapa asumsi. Karena teori ini dari dulu
hingga kini merupakan teori yang didasarkan pada televise, ketiga asumsi ini menyatakan
lainnya.
Televisi membentuk cara berpikir dan membuat kaitan dari masyarakat kita.
Asumsi yang pertama, Analisis Kultivasi menggaris bawahi keunikan dari televisi.
Televisi berada di dalam lebih dari 98 persen rumah di Amerika Serikat. Televisi tidak
membutuhkan kemampuan membaca, sebagaimana dengan media cetak. Tidak seperti film,
televisi pada dasarnya gratis (selain biaya yang dikeluarkan pertama kali untuk pesawat
televisi dan biaya iklan yang ditambahkan para produk-produk yang kita beli). Tidak
seperti radio, televisi mengombinasikan gambar dan suara. Televisi tidak membutuhkan
mobilitas, sebagaimana pergi ketempat ibadah misalnya, atau pergi ke bioskop atau teater.
Televisi adalah satu - satunya medium yang pernah diciptakan yang tidak memiliki
batasan usai- maksudnya, orang dapat menggunakannya dalam tahun - tahun awal dan
akhir dari kehidupan mereka, dan juga tahun - tahun di antaranya. Oleh karena itu, televisi
mudah diakses dan tersedia bagisiapa saja, televisi merupakan “senjata budaya utama” dari
dalam (Ricard West & Lyn H, 2013, p. 87) menyatakan bahwa “Substansi dari kesadaran
yang dikultivasi oleh TV tidak merupakan sikap dan opini yang lebih spesifik dibandingkan
penilaian yang mendasari penarikan kesimpulan”. Maksudnya, televisi tidak lebih berusaha
untuk mempengaruhi kita melainkan melukiskan gambaran yang lebih kurang meyakinkan
mengenai seperti apa dunia. sebenarnya. Gerbner (1998) dalam (Ricard West & Lyn H,
2013, p. 87) mengamati bahwa televisi mencapai orang, rata-rata, lebih dari tujuh jam
sehari. Selama kurun waktu ini, televisi menawarkan “sistem penceritaan kisah yang
terpusat”. Gerbner sepakat dengan Walter Fisher bahwa orang hidup di dalam kisah.
sekarang berasaldari televisi. Fungsi kebudayaan utama dari televisi adalah untuk
adalah medium sosialisasi dan enkulturasi. Gerbner dan koleganya menyatakan bahwa pola
berulang dari pesan dan gambar televisi yang dihasilkan secara massal membentuk
mainstream dari lingkungan simbolis umum yang memperkuat konsepsirealitas yang paling
banyak dipegang. Kita hidup dalam hal kisah-kisah yang kita ceritakan, kisah-kisah
mengenai hal apa yang ada, kisah mengenai bagaimana sesuatu bekerja, dan kisah
mengenai apa yang harus dilakukan dan televisi menceritakan semua kisah tersebut
melalui berita, drama, dan iklan kepada hampir semua orang - Gebner, 1978 dalam (Ricard
West & Lyn H, 2013, p. 87). Analisis Kultivasi memberikan cara pemikirn alternative
mengenai kekerasan dalam TV. Beberapa teori seperti pembelajaran sosial (Social Learning
Theory) Bandura, 1977 dalam (RicardWest & Lyn H, 2013, p. 88) mengasumsikan bahwa
Asumsi Ketiga, menyatakan bahwa dampak dari televisi terbatas. Hal ini mungkin
terdengar aneh, apalagi melihat fakta bahwa televisi tersebar sangat luas. Tetapi, kontribusi
kepada budaya yang dapat diamati, diukur, dan independen relatif kecil. Gerbner
dampak terbatas. Analogi zaman es (ice age analogy) menyatakan bahwa “sebagaimana
pergeseran temperature rata-rata sebanyak beberapa derajat dapat mengakibatkan zaman es,
atau hasil akhir pemilihan umum dapat ditentukan dengan batas yang tipis, demikian
pula dampak yang relatif kecil namun tersebar luas dapat membuat perbedaan besar.
‘Ukuran” dari “dampak’ jauh lebih tidak penting dibandingkan dengan arah dari
kontribusinya yang berkelanjutan”Gerbner, dkk. 1980dalam (Ricard West & Lyn H, 2013,
p. 88). Argument ini tidak menyatakan bahwadampak dari televisi tidak memiliki
konsekuensi.
independen pada satu titikwaktu tertentu mungkin terlihat kecil, dampak ini tetap saja ada
dansignifikan. Lebih jauh lagi Gerbner dan koleganya dalam (Ricard West & Lyn H,
2013, p. 88) menyatakan bahwa ini bukan merupakan kasus dimana menonton tayangan
program televisi tertentu akan menyebabkan suatu perilaku tertentu (misalnya menonton
Without a trace akan menyebabkan seseorang menculik orang lain) tetapi menonton
televisi secara umum memiliki dampak yang kumulatif dan menyebar luas
terhadap pandangan kita mengenai dunia.Sedangkan dalam (Saefudin & Venus, 2005, p.
1. Televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik
televisi yang bersifat Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga),
Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal),
4. Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima
/documents/short/cultiv.html)
Isi Teori
Epistimologis dari cultivation adalah penanaman. Cultivation Theory atau Teori
Kultivasi adalah sebuah teori dalam konteks keterkaitan media massa dengan penanaman
terhadap suatu nilai yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak, atau bisa
disebut salah satu teori dalam komunikasi massa yang mencoba menjelaskan keterkaitan
antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Melalui kaca
mata kultivasi, cara pikir masyarakat di konstruksi sedemikian rupa sehingga leading
opinion yang dilakukan televisi (media massa) dapat diterima oleh khalayak, meski
seringkali proporsionalitas dari pemberitaan amat minim. Berikut teori kultivasi oleh
Gebner :
Menurut teori kultivasi, media, khususnya televisi, merupakan sarana utama proses belajar
anda tentang masyarakat dan kultur anda. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat
televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan.
Rata-rata pemirsa menonton televisi empat jam sehari, pemirsa “berat” menonton lebih
lama lagi. Gerbner menyatakan, terhadap pemirsa “berat”, televisi memonopoli dan
keterbukaan ke pesan-pesan yang sama menghasilkan apa yang oleh para peneliti disebut
kultivasi, atau pengajaran pandangan bersama tentang dunia sekitar, peran-peran bersama,
dan nilai-nilai bersama. Jika teori kultivasi benar, maka televisi mungkin mempunyai
dampak yang penting tetapi tidak tampak di masyarakat. Televisi mungkin menyebabkan
Kekejaman di media sangat sulit untuk didefinisikan dan diukur. George Gerbner yang
mendefinisikan tindakan kejam atau `violence act` (atau ancaman) dari melukai atau
membunuh seseorang, tergantung dari metode yang digunakan secara sendiri-sendiri atau
dari konteks keadaan sekitar tayangan tersebut. Bertalian ragam penyajiannya, media
massa khususnya audio visual, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pengelolanya agar
mencapai sasarannya, antara lain dengan menjawab pertanyaan: Who (siapa); Says what
(mengatakan apa); In which channel (dengan melalui saluran apa); To whom (ditujukan
kepada siapa); With what effect (menimbulkan efek apa). Tetapi kenyataannya tayangan
tentang kekerasan dan kesadisan baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan
masyarakat menjadi salah satu primadona tayangan yang sering disiarkan di media televisi
tanpa mempertimbangkan kepada siapa ditujukan dan bagaimana efek yang akan
ditimbulkan. Contohnya adalah efek jangka panjang yang ditimbulkan televisi seperti yang
Tujuan awal dari analisis oleh George Gerbner ini adalah menghasilkan suatu indeks
tahunan pada minggu-minggu tertentu pada tayangan televisi yang menampilkan adegan
kekerasan. Kultivasi sendiri adalah hasil dari menonton tv secara umum, hal itu bukan
- Substansi dari penanaman nilai kesadaran oleh televisi adalah tidak banyak pendapat
- Efek penegasan ulang sebagai sesuatu yang melebihi perubahan tingkah laku diamati
- Meneliti penonton
kelompok repowerfull media, teori ini ada kemiripan dengan pandangan awal Bullet
Theory atau Hypodermic needle theory ( teori jarum hipodermik) Perbedaan mendasar
antara Cultivation Analisist yang dikembangkan Gerbner dengan Bullet Theory atau
Hypodermic needle theory adalah : Jika Cultivation Analisist mampu membangun suatu
pandangan dan mainstreaming dalam jangka panjang, artinya efek dari penayangan
gambaran realita yang terus dan sering ditayangkan di media televisi dapat menimbulkan
Efek dalam jangka waktu yang relatif lebih panjang. Misalnya saat media sering
menampilkan berita kejahatan seksual di televisi maka dalam jangka waktu yang relatif
lama orang akan berasumsi bahwa dunia sekarang ini tidak aman, padahal kenyataannya
tidak seperti itu. Jika Bullet Theory atau Hypodermic needle theory lebih pada pengamatan
pengaruh media dalam jangka pendek. Berdasarkan pengamatan spekulatif dan belum
berdasarkan penelitian empiris seperti penelitian yang dilakukan oleh Lazarsfeld dkk,
adanya pengaruh yang kuat dari media. Menurut Lazarsfeld jika khalayak diterpa peluru
komunikasi mereka tidak jatuh terjerembab. Kadang-kadang peluru itu tidak menembus,
dan sering juga efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak.
Jika dilihat dari apa dan bagaimana penelitian yang dikembangkan Gerbner maka penelitian
ini, ilmu yang didapat, berasal dari masyarakat yang diteliti dan peneliti tidak boleh
mengubah apapun dari manusia yang diteliti. Hal itu dikarenakan manusia yang diteliti
tidak ditempatkan sebagai obyek penelitian tetapi ditempatkan sebagai subyek penelitian
yang unik. Dan karena manusia tidak ditempatkan sebagai obyek maka peneliti hanya
postmodernisme kebanyakan tidak memperhatikan teori-teori yang besar yang ada. Salah
satu contoh dari paradigma postmodernisme dapat dilihat dalam kajian cultural studies.
Kajian dalam postmodernisme lebih banyak menelaah budaya dari masyarakat kapitalis
sedangkan Gerbner masih dalam kajian media effect, yang tidak secara khusus
Ringkasnya, Gerbner meringkas teori kultivasi dalam enam proposisi sebagai berikut:
Televisi merupakan suatu media yang unik yang memerlukan pendekatan khusus untuk
diteliti.
Pesan-pesan televisi membentuk sebuah sistem yang koheren mainstrem dari budaya
kita.
Analisis kultivasi memfokuskan pada sumbangan televisi terhadap waktu untuk berpikir
dan bertindak dari golongan golongan sosial yang besar dan heterogen.
televisi
Analisis kultivasi menfoluskan pada penstabilan yang meluas dan penyamaan akibat-
di televisi. Semakin sering kita menonton suatu program televisi, kita akan semakin
terpengaruh oleh program itu. Jika kita menonton acara seperti Buser, Patroli atau Sergap di
televisi swasta Indonesia akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan
masyarakat. Dalam acara itu diketengahkan tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap.
Dalam pandangan kultivasi dikatakan bahwa adegan yang tersaji dalam acara-acara itu
bahwa sinetron itu adalah suatu realitas. Jika kita sering melihat tokoh ibu tiri yang kejam
di sinetron, maka di dunia nyata kita akan beranggapan bahwa ibu tiri itu kejam dan kita
akan benci jika ayah kita menikah lagi.Hawkins dan Pingree (1982) menemukan model
proses kultivasi, yaitu bahwa proses kultivasi dalam pikiran kita terbagi dua, yaitu learning
dan constructing. (J. Bryant and D. Zillman (Eds), 2002). Apa yang dilihat oleh audiens
kemudian akan melalui tahap belajar dan diikuti tahap mengkonstruksi dalam pikiran
audiens tersebut. Efek tayangan televisi, seperti yang dilakukan oleh Leonard Eron dan
Rowell Huesman mengenai efek jangka panjang dari televisi dengan memfokuskan
risetnya pada anak-anak yang tumbuh dari 8-22 tahun. Tontonan yang dinikmati pada 8
tahun akan mendorong kriminal pada usia 30 tahun. Sedangkan pernyataan dari Journal of
Youth and Adolescence, memuat bahwa bentuk kegemaran, tema-tema antagonis, dan
sosok keperkasaan para lelaki yang menginspirasikan musik heavy metal, ternyata sangat
digandrungi remaja lelaki yang berprestasi rendah dan tidak mampu belajar dengan baik di
sekolah.Selanjutnya temuan-temuan riset yang dilakukan oleh Baron dan Byrne yang
menemukan bahwa terdapat tiga fase dalam riset kultivasi, antara lain pertama : fase Bobo
Doll, kedua adalahfase penelitian laboratorium dan ketiga adalah fase riset
lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 2005). Fase ini dirintis oleh Bandura dan
kawan-kawannya yang mencoba meneliti apakah anak-anak yang melihat orang dewasa
melakukan tindakan agresi juga akan melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat.
Hasilnya kelompok pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, hasilnya sebanyak 80-
90 persen dari jumlah kelompok tersebut. Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba
mengganti obyek perilaku agresif secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik
melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja
yaitu film serial televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian
generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok yaitu
kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan kekerasan,
dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan kekerasan
sama sekali.Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang
dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok pertama
lebih banyak dan lebih lama menekan tombol merah dari pada kelompok kedua.
Sedangkan Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975.
Perilaku agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka
waktu yang lama, kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali.Mereka
dibagi kedalam dua kelompok, dimana kelompok pertama menonton lima film berisi
adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua menonton lima film tanpa adegan
kekerasan.Selama seminggu itu pula perilaku mereka diamati secara intens, dan ternyata
kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 2005 ).Nancy
Signorielli (Littlejohn, 1996) melaporkan studi tentang sindrom dunia kejam.Pada aksi
kekerasan di program televisi bagi anak, lebih dari 2000 program termasuk 6000 karakter
utama selama prime time dan akhir pekan (weekend) dari tahun 1967-1985, menganalisis
dengan hasil yang menarik, 70% prime time dan 94% akhir pekan (weekend) termasuk
aksi kekerasan.
dibandingkan dengan orang yang jarang menonton televisi. Tidak salah jika kemudian
Gerbner dan kawan-kawan melaporkan bahwa heavy viewers melihat dunia lebih kejam
dan menakutkan seperti yang ditampilkan televisi dari pada orang-orang yang jarang
menonton.Contoh yang lain, para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap
bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku
kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi akan mengatakan sebab
utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang ditonton sering
menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan
kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena keterkejutan budaya (cultural
shock) dari tradisional ke kehidupan modern. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu
berat televisi membentuk suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Sebagai
contoh pencandu berat televisi menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban
kejahatan adalah 1 berbading 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50.
Pecandu berat televisi mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam diri di
Amerika. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan
dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%. Kenyataannya hanya 5% (Devito,
1997, lihat juga Nurudin, 2004, Ardianto dkk, 2004). Bagi pecandu berat televisi, apa yang
terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.Di indoenasia sendiri,
program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia nyaris seragam. Misalnya
Paris Falling in Love, Janji Suci, ABG, dan lain-lain. Masing-masing sinetron tersebut
membahas konflik antar orang tua dan anak serta hamil di luar nikah. Para pecandu berat
televisi akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang banyak gejala hamil di luar nikah,
karena televisi lewat sinetronnya banyak atau bahkan selalu menceritakan kasus tersebut.
Bisa jadi pendapat tersebut tidak salah, tetapi itu terlalu menggeneralisasi kesemua lapisan
masyarakat. Bahwa ada gejala hamil di luar nikah itu benar, tetapi mengatakan bahwa
semua gadis hamil di luar nikah itu salah. Para pencandu sinetron itu sangat percaya bahwa
apa yang terjadi pada masyarakat, itulah seperti yang dicerminkan dalam sinetron-
sinetron.Termasuk di sini konflik antara orang tua dan anak. Kognisi penonton akan
mengatakan saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara
keduannya, seperti “orang tua kuno, ketinggalan zaman.” Mereka yakin bahwa televisi
adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat, tidak sedikit
anak-anak yang masih hormat atau bahkan masih mengiyakan apa yang dikatakan orang
tua mereka.Pada kateori aplikasi teori kultivasi dalam kaca mata kekerasan, Gerbner juga
berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan
simbolik tentang hukum dan aturan, alih-alih perilaku kekerasan yang diperlihatkan di
televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu
merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi, seperti yang digambarkan
dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga demikian. Jadi, kekerasan
yang ditayangkan di televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di
dunia ini.
Televisi terkait efek tayangan kekerasan yang cukup tinggi. Teori kultivasi(Cultivation
Theory) pertama kali dikenalkan oleh professor George Gerbner. Televisimerupakan media
realitas sosial, Light Viewers (penonton ringan) cenderungmenggunakan jenis media dan
televisi sebagai sumber informasi mereka, Terpaan pesan televisi yang terus menerus me
memperkuat pengaruh televisi. Sedangkan konsep penting yang ada pada teori kultivasi
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjabaran tentang teori kultivasi dan beberapa
contoh dampak dari teori kultivasi ialah bahwa teori kultivasi menitikberatkan pada media
Televisi sebagai media yang paling berpengaruh dan pada program kekerasan yang paling
banyak menyebabkan dampak yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu atau
merupakan audiens yang biasanya menonton TV lebih dari 4 (empat) jam setiap harinya
kejadian yang sebenarnya yang terjadi di kehidupan nyata. Hal tersebut kemudian dapat
menyebabkan perubahan sikap, opini dan perilaku individu tersebut dalam kehidupan yang
sebenarnya.
Daftar Pustaka
Infante, D.A., Andrew S., R. & D. F. . (2003). Building Communication Theory. LongGrove:
Massa. Malang: Cespur.Ricard West & Lyn H, T. (2013). Pengantar Teori Komunikasi Analisis
H. Lynn. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta. Salemba
Humanika. http://nurudin-umm.blogspot.com/2008/11/cultivation-theory-teori-kultivasi.html