Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Di era globalisasi yang diiringi dengan kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi
terus mengalami perkembangan. Pengaruh globalisasi dengan arus komunikasi dan informasi
yang meluas dengan cepat meyebabkan munculnya salah satu efek sosial yang memuat
perubahan nilai sosial dan budaya pada masyarakat global. Media massa seperi media cetak,
radio dan televisi ikut serta memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Kehadiran
televisi menjadi faktor pendorong dala berkembangnya media massa. Kemunculan media televisi
dalam kehidupan masyarakat menghadirkan suatu peradaban dalam proses komunikasi dan
informasi secara massa. Setelah media cetak dan radio, adanya televisi sebagai media
memberikan nilai-nilai yang luar biasa mempengaruhi sisi interaksi masyarakat pada saat ini.
Media televisi memiliki daya tarik yang sangat besar sehingga pola-pola rutinitas masyarakat
sebelum kehadiran televisi mengalami perubahan yang signifikan.

Televisi sebagai salah satu media komunikasi massa mempunyai fungsi yaitu memberi
informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Akan tetapi menurut pengamatan para ahli,
televisi lebih mengutamakan fungsi menghibur daripada fungsi yang lainnya. Setiap bentuk dari
media massa memiliki karakteristik khas dengan berbagai kekuatan dan kelemahannya masing-
masing. Diantara bentuk media massa, Televisi dengan berbagai progamnya menjadi paling
kontroversial. Hal ini karena kehadiran televisi tidak hanya memasuki ruang publik namun juga
memasuki ruang-ruang pribadi masyarakat seperti ruang kantor, ruang keluarga, bahkan kamar
tidur. Televisi membawa berbagai kandungan informasi beserta pesan yang menyebar dengan
sangat cepat ke seluruh pelosok di setiap belahan bumi. 1 Televisi menjadi alat yang digunakan
untuk oleh berbagai kelompok masyarakat untuk menyampaikan pesan dan informasi bagi
khalayak ramai. Televisi dapat menjadi wahana belajar bagi siapa saja melalui berbagai program
tayangannya baik yang berdasarkan realita maupun rekaan.

Tayangan kekerasan dalam program televisi seringkali membawa dampak negative bagi
para penontonnya terutama anak-anak. Berbagai program tayangan yang sangat beragam
termasuk didalamnya tayangan yang bertema kekerasan. Tayangan televisi di Indonesia
seringkali menampilkan tayangan kekerasan. Contohnya sinetron yang menayangkan tawuran
antar geng motor atau tayangan berita yang memberitakan aksi demo dengan bentrok massa,
1
Ahmadi, D., & Yohana, N. (2007). Kekerasan di Televisi: Perspektif Kultivasi. Mediator: Jurnal Komunikasi, 8(1), 91-
102.
tawuran pelajar, kerusuhan antar etnis, aksi massa penghakiman pencuri, konflik sosial, dan
sebagainya. Tayangan televisi terkait dengan kandungan kekerasan bukanlah fenomena baru.
Namun hal ini tentu saja memberikan dampak buruk salah satunya perubahan perilaku kea rah
negative karena mencontoh tayang kekerasan tersebut. Perubahan perilaku ke arahmnegatif itu
dikhawatirkan akan menyebabkan pergeseran moral di kalangan masyarakat Indonesia. 2Selain
itu, audiens juga berpotensi mencontoh cara-cara dari perilaku kejahatan yang ditayangkan
televisi tersebut sehinggaakhirnya diasumsikan timbul niat jahat untuk melakukan tindakan
kekerasan yang sama seperti yang mereka lihat di tayangan televisi. Berdasarkan penjelasan
tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis sekaligus menjelaskan permasalahan kekerasan
dalam tayangan di media televisi dengan menggunakan teori kultivasi beserta konsep turunannya
yang relevan dengan tulisan ini.

KAJIAN TEORI

Teori Kultivasi teori tentang penanaman atau bisa juga disebut dengan penyuburan.
Gagasan tentang cultivation theory atau teori kultivasi dikemukakan oleh George Gerbner
bersama dengan rekan-rekannya pada tahun 1969. Awalnya, Gerbner melakukan penelitian
tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton
televisi. Dengan kata lain, Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan,
dipersepsikan oleh penonton televisi itu Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang
dilakukannya lebih menekankan pada “dampak.”3 Menurut Wood, kata ‘cultivation’ sendiri
merujuk pada proses kumulatif dimana televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas
sosial kepada khalayaknya.4 Teori kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara
kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects
model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model),
dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifaangsung
dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi
muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif
dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual. 5

2
Ibid
3
Junaidi, J. (2018). Mengenal Teori Kultivasi dalam Ilmu Komunikasi. JURNAL SIMBOLIKA: Research and Learning in
Communication Study, 4(1), p. 42
4
Wood, J.T., (2000), Communication Theories in Action”, California: Belmont.
5
Op,cit, p. 43-44
Pada awal perkembangannya fokus kajian dalam teori ini pada studi televisi dan
audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia
juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Gerbner bersama beberapa rekannya
kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak
media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis.6 Dari analisis tersebut
diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisional yang kemudian banyak mengubah
keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang
menyertainya. Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara
kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian
ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi. Teori ini berasumsi media
massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku
penontonnya (behavior effect). 7
Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat
kumulatif dan tidak langsung. Tahapan proses analisis kultivasi yaitu:8

1. Message system analysis yang menganalisis isi program televisi


2. Formulation of question about viewers social realities yaitu pertanyaan yang berkaitan
seputar realitas sosial penonton televisi.
3. Survey the audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka
konsumsi dari media
4. Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton
televisi.

Konsep penting dalam Teori Kultivasi

a. Diferensial kultivasi merupakan presentase perbedaan dalam respons antara penonton


televisi, yang dibagi menjadi dua yaitu penonton televisi kelas berat (heavy viewer) dan
juga penonton televisi kelas ringan (light viewer). Light viewer (penonton ringan dalam
arti menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan
heavy viewer (penonton berat), menonton rata-rata empat jam perhari atau lebih dan tidak
hanya tayangan tertentu.9
6
.Gerbner, G., Gross, L., Morgan, M., & Signorielli, N. (1994). Growing up with television: The cultivation
perspective.
7
Ibid
8
Ibid
9
Ricard West & Lyn H, T. (2013). Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
b. Konsep penting yang kedua teori kultivasi adalah mainstreaming. Mainstreaming
diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di
masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (TV stabilize and homogenize views within a
society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian
membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam
menjadi pandangan mainstream tersebut. Mainstreaming terjadi ketika, terutama bagi
penonton kelas berat (heavy viewer), symbol-simbol televisi mendominasi sumber
informasinya lainnya dan ide mengenai dunia.10 Karena menonton terlalu banyak,
konstruksi realitas sosial seseorang bergerak ke arah mainstream.
c. Konsep penting yang ketiga adalah resonance. Resonance memiliki pengertian yaitu
mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa
yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata
Resonasi (resonance) terjadi kerika hal-hal di dalam televisi, dalam kenyataannya,
kongruen dengan realitas keseharian para penonton. Dengan kata lain, realitas eksternal
objektif dari penonton beresonansi dengan realitas televisi 11

PEMBAHASAN

Kehadiran media massa tidak dapat dipandang dengan sebelah mata dalam proses
pemberian makna terhadap realitas yang terjadi di sekitar masyarakat, salah satunya melalui
media televisi. Produk-produk media telah berhasil memberikan dan membentuk realitas lain
yang dihadirkan di masyarakat, yaitu realitas simbolik, yang mana bahaya dari hal ini yakni
banyak diterima secara mentah-mentah oleh masyarakat sebagai bentuk kebenaran. Namun yang
jelas, televisi sebenarnya memiliki kekuatan bujukan atau persuasi yang sangat besar.

Media televisi merupakan salah satu saluran atau media komunikasi massa.
Perkembangan televisi sebagai salah satu media komunikasi massa di Indonesia mengalami
pasang surut yang cukup berarti, namun media televisi di Indonesia tercatat mampu memberikan
efek yang signifikan dalam proses penyampaian pesan.12 Tayangan berita di media televisi

10
Ibid
11
Ibid
12
River, William L & Teodor Petersen, Jay, W Jesen. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern, ed.2, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
menyajikan realitas semu, karena segala berita yang disajikan media televisi merupakan
konstruksi dari realitas yang ada.

Semakin menjamurya stasiun televisi baik lokal maupun nasional, terlebih dengan adanya
konsep jurnalisme warga ini menimbulkan persoalan baru. Terlebih berita-berita yang dinilai
paling memiliki nilai jual engan cepat adalah berita-berita kasus kekerasan. Akibatnya hal ini
relatif sulit bagi KPI untuk mengontrol berita-berita yang tayang, karena bisa saja stasiun televisi
berdalih itu semua kiriman jurnalisme warga. Ketika berita kekerasan sudah menjadi komoditas
yang tumpang tindih bergantian muncul di televisi mengakibatkan terabainya aspekaspek
kekerasan tersebut; seperti apa penyebab terjadinya kekerasan, apa akibat dari tindak kekerasan,
serta hukuman apa yang akan dijatuhkan, itu semua sering terlewatkan.13

Terlepas dari banyaknya variabel yang memberikan pengaruh terhadap pola hubungan
televisi dengan kekerasan. Masyarakat tidak bisa mengabaikan efek penanaman realitas seperti
yang dikemukakan Garbner dalam teori kultivikasi. Hal ini karena bagaimana pun dalam
masyarakat kontemporer, televisi menjadi salah satu kekuatan yang dapat membentuk opini
14
publik atau bahkan menciptakan citra baru dalam masyarakat. Proses penanaman efek
kultivasi dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut antas meyakini bahwa sajian itu
sebagai realitas yang sebenarnya. Melalui berbagai program siaran yang salah satunya berita
dengan muatan tindak kekerasan yang berdasarkan realitas ataupun konstruksi, media televisi ini
bisa menjadi second mother dimana setiap anak bisa belajar melalui tayangan berita televisi. 15
Tayangan berita kekerasan di media televisi memiliki pengaruh terhadap perilaku khalayak
khususnya anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh/efek penanaman kultivasi
pada heavy viewer. Penonton televisi khususnya yang digolongkan sudah kecanduan relatif akan
menyamakan realitas yang dilihat di televisi adalah realitas yang sebenarnya. Dampak dari
kultivasi ini akan semakin besar dan kuat.

Kehadiran media televisi relative besar pengaruhnya terhadap perubahan perilaku


khalayaknya terutama anak-anak dan remaja. Beberapa fakta menunjukkan kebenaran akan teori
13
Surahman, S. (2016). FENOMENA BERITA KEKERASAN di MEDIA TELEVISI (Perspektif Teori Kultivasi) NEWS MEDIA
PHENOMENON OF VIOLENCE IN TELEVISION (Cultivation Theory Perspective). LONTAR: Jurnal Ilmu Komunikasi,
4(2).
14
Yuliati, N. (2005). Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi. Mediator: Jurnal Komunikasi, 6(1),
159-166.
15
Ibid
kultivasi, ketika penonton terlebih usia anak-anak atau remaja menyaksikan tayangan televisi
dalam waktu yang relatif lama lebih dari 4 jam dalam sehari. Melihat fenomena yang seperti itu,
maka remaja akan lebih mudah terpengaruh oleh tayangan televisi. Menjadi lebih mengerikan
lagi dampaknya apabila tayangan televisi memuat perilaku tindak kekerasan. Raja usia 11 – 14
tahun merupakan usia produktif dan relatif labil, sehingga akan mudah meniru. Pada usia
tersebut remaja cendurung banyak bereksplorasi dan mencoba hal baru untuk meningkatkan
kepercayaan diri.

Deskripsi efek penanaman realitas dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang luput dari
dari perhatian dapat ditunjukkan dengan deskripsi berikut: bisa dibayangkan seandainya dalam
satu film atau sinetron yang ditayangkan dalam televisi menampilkan tiga puluh kali adegan
kekerasan sedangkan dalam setiap hari anak-anak menonton dua atau bahkan tiga film maka
setiap harinya berarti mereka menyaksikan sebanyak 30-90 adegan kekerasan. 16 Jika kemudian
dihitung dalam satu minggu, hal ini berarti terdapat 630 adegan kekerasan yang mereka tonton.
Lalu jika dihitung dalam satu bulan maka ada sekitar 18.900 adegan kekerasan dan bahkan jika
dihitung dalam satu tahun maka terdapat sekitar 1.927.800 adegan kekerasan. 17
Hal ini
menunjukkan anak-anak hidup dalam wilayah pesona dengan atmosfer kekerasan yang telah
menjadi bagian dari hidupnya, mereka “diajarkan” dan seolah-seolah mereka “diminta”
menyelesaikan segala persoalan hidup dengan kekerasan. Deskripsi tersebut menunjukkan media
televisi memberikan efek penanaman realitas yang luar biasa terhadap anak-anak.

Berita kekerasan di media televisi dengan begitu mudah bisa mendikte cara penonton
berfikir. Secara tidak langsung penonton perlahanlahan sudah diarahkan oleh konstruksi berita
yang disajikan. Ketika penonton sudah terpikat oleh tayang berita tersebut, maka dengan
sendirinya penonton akan menjadi pengikut yang setia dalam hal ini mengikuti produk siaran
berita kekerasan. Teori kultivasi mengelompokan tipe penonton ke dalam tipe; yang pertama
adalah jenis penonton ringan (light viewer) yaitu tipe yang selektif dan biasanya hanya menonton
televisi selama kurang lebih satu hingga dua jam saja dalam sehari. Kedua adalah tipe penonton
berat (heavy viewer) yaitu kelompok penonton yang dalam seharinya bisa menghabiskan waktu
empat hingga enam jam untuk menonton acara televisi. Tipe penonton inilah yang menganggap

16
Amirudin. 2000. Industri Media dan Wacana Budaya Kekerasan. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi. Pt. Remaja
Rosdakarya.
17
Ibid
realitas tayangan televisi adalah realitas yang sebenarnya. Teori kultivasi mengemukakan
pecandu berat televisi ini membentuk sebuah Citra realitasnya sendiri yang tidak konsisten
dengan kenyataan. Contohnya pecandu berat televisi menganggap kemungkinan besar seseorang
untuk menjadi korban kekerasan/kejahatan adalah 1 berbanding 10, sedangkan dalam
kenyataannya adalah 1 berbanding 50.

KESIMPULAN

Maraknya tayangan berita kekerasan di televisi, memang sudah semestinya menjadi perhatian
dari berbagai pihak terutama bagi orang tua pada anak- anak mereka. Televisi sebagai media
mainstream dengan massanya yang heterogen menjadi salah satu sumber utama sistem
pembentukan simbol yang sangat repetitif, mampu secara massal menanamkan kesadaran umum
dan membentuk kesadaran umum tentang realitas dunia. Berita kekerasan atau tayangan
kekerasan banyak muncul di media massa khususnya televisi, hal ini karena berita atau tayangan
kekerasan tersebut telah menjadi komoditas yang dianggap laku keras oleh stasiun televisi.
Kekerasan di media televisi akan sulit untuk ditiadakan, karena tayangan kekerasan itu sendiri
dianggap mempesona bagi para penontonnya. Adanya relasi dialektis antara kekerasan dan
keindahan. Satu sisi kekerasan dianggap tabu, tetap di sisi lain kekerasan dijadikan sebagai
magnet untuk menarik penonton sebanyak-banyaknya yang tentu hal ini dapat memberikan
keuntungan bagi industri media televisi. Semua bentuk tayangan kekerasan baik berupa berita
ataupun tayangan lain dapat menciptakan keacuhan terhadap korban kekerasan. Banyak media
hanya mementingkan tayangan siarannya untuk menjadi yang pertama menyiarkan. Media
televisi telah memberikan dampak yang signifikan terhadap realitas kehidupan manusia. Banyak
pengaruh yang positif dan negatif yang ditimbulkan oleh media ini terhadap masyarakat luas
terutaman anak-anak dan remaja. Melalui teori kultivasi yang dikemukakan oleh Gerbner telah
memberikan dan menyadarkan masyarakat untuk mewaspadai pengaruh yang diakibatkan oleh
keseringan menonton televisi.

REFERENSI
Ahmadi, D., & Yohana, N. (2007). Kekerasan di Televisi: Perspektif Kultivasi. Mediator: Jurnal
Komunikasi, 8(1), 91-102.

Amirudin. 2000. Industri Media dan Wacana Budaya Kekerasan. Jurnal Ikatan Sarjana
Komunikasi. Pt. Remaja Rosdakarya.

Gerbner, G., Gross, L., Morgan, M., & Signorielli, N. (1994). Growing up with television: The
cultivation perspective.

Junaidi, J. (2018). Mengenal Teori Kultivasi dalam Ilmu Komunikasi. JURNAL SIMBOLIKA:
Research and Learning in Communication Study, 4(1), p. 42

River, William L & Teodor Petersen, Jay, W Jesen. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern,
ed.2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Surahman, S. (2016). FENOMENA BERITA KEKERASAN di MEDIA TELEVISI (Perspektif


Teori Kultivasi) NEWS MEDIA PHENOMENON OF VIOLENCE IN TELEVISION
(Cultivation Theory Perspective). LONTAR: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(2).

Wood, J.T., (2000), Communication Theories in Action”, California: Belmont.

Yuliati, N. (2005). Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi. Mediator:
Jurnal Komunikasi, 6(1),

Anda mungkin juga menyukai