Anda di halaman 1dari 3

GUCHEV KHAIRUL FITHRIYANA / 1124050057

Prodi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik III B


Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Mata Kuliah Komunikasi Massa

TEORI PELURU ATAU JARUM SUNTIK (Hypodermic)


Teori peluru ini merupakan konsep awal sebagai efek komunikasi massa yang
oleh para teoritis komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula hypodermic needle
theory yang diterjemahkan sebagai teori jarum hipodermik. Teori ini ditampilkan
pada tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleidioskop stasiun radio CBS di
Amerika berjudul The Invasion From Mars.
Wilburn Schramm pada tahun 1950an menatakan bahwa seorang komunikator
dapat menmbakan peluru komuikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif
tidak berdaya. Model ini mengasumsikan bahwa dia merangsang langsung dan cepat
serta mempunyai efek yang amat sangat kuat atas mas audience. Teri ini sepadan
dengan efek yang ditimbulkan teori S-R yang populer antara tahun 1930 dan 1940.
Teori S-R mengajarkan bahwa setiap stimulus (rangsangan) akan menghasilkan
respons (tanggapan) secara spontan dan otomatis bagaikan gerak refleks.
Peristiwa komunikasi menurut model jarum suntik (hypodermic needle),
media massa diibaratkan sebagai sebuah jarum suntik besar yang memiliki kapasitas
sebagai perangsang (S) yang amat kuat dan menghasilkan tanggapan (R) yang kuat
pula, bahkan secara spontan, otomatis serta reflektif.
Model Hypodermic Needle selain diparalelkan dengan konsepsi S-R yang
mekanistis, juga diibaratkan dengan teori peluru (bullet theory) yang memandang
pesan pesan media bagaikan melesatnya peluru-peluru senapan yang mampu
merobohkan tanpa ampun,siapa saja yang terkena peluru.
Model hypodrmic needle timbul pada periode dimana komunikasi massa telah
digunakan secara luas, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat, yaitu sekitar Tahun
1930-an dan mencapai puncaknya menjelang Perang Dunia II. Pada periode ini
kehadiran media massa, baik media cetak maupun elektronik telah mendatangkan
perubahan-perubahan

besar diberbagai masyarakat yang terjangkau oleh All-

Powerful media massa. Penggunaan media massa secara luas untuk keperluan

komunikasi telah melahirkan gejala-gejala mass society. Individu-individu tampak


seperti telah distandarisasikan, diotomatisasikan dan kurang keterkaitannya hubungan
antar pribadi (interpersonal relations). Keterpaan media massa (mass media
eksposure) tampak di dalam a kecenderungan adanya homogenitas cara cara
berpakaian, pola pola pembicaraan, nilai nilai baru yang timbul sebagai akibat
keterpaan media massa tadi, serta timbulnya produksi massa yang cenderung
menunjukkan suatu kebudayaan massa.
Model hypodermic needle cenderung sangat melebihkan peranan komunikasi
massa dengan media massanya. Para ilmuan sosial mulai berminat terhadap gejala
gejala tersebut dan berusaha memperoleh bukti bukti yang vaild melalui penelitian
penelitian ilmiah. Serangkai an penelitian itu menghasilkan suatu model lain tentang
proses komunikasi massa dan sekaligus menumbangkan model hypodermic needle.
Di Indonesia, contoh penerapan propaganda ini bisa dilihat pada iklan-iklan
produk kecantikan yang ditayangkan di TV. Sang pemasang iklan banyak menyajikan
keunggulan-keunggulan yang terdapat dalam produknya untuk menarik perhatian para
penonton. Walaupun pada kenyataannya, dari pesan keunggulan yang disampaikan
tidak memberikan efek secara langsung dan hanya berdampak pada sebagian orang
dengan jenis kulit yang cocok. Dari sinilah, iklan meluncurkan peluru atau
propaganda berupa pesan keunggulan produknya dan diterima para penonton yang
mungkin sebagian dari mereka terkena pengaruhnya dengan cara membeli produk
kecantikan tersebut.
Pertelevisian Indonesia saat ini memasuki zaman digital. Kebutuhan akan
informasi yang cepat dan aktual membuat sebagian masyarakat Indonesia haus akan
berita, baik berita politik, budaya, maupun hiburan. Pertelevisian Indonesia mewarnai
program-program acara yang lebih fresh dan berintelektual. Jika kita flashback ke era
90-an hingga memasuki millenium, tayangan televisi mulai disuguhkan dengan drama
sinetron, hingga saat ini di beberapa stasiun televisi masih tetap menayangkan drama
sinetron di primetime. Namun, ada beberapa stasiun televisi mulai menyuguhkan
acara yang bermanfaat dan mendidik kepada para pemirsa.
Saat ini keberhasilan sebuah program televisi diukur oleh tingkat konsumsi
program tersebut oleh pemirsa. Tidak heran jika tayangan televisi memberikan
pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Jika kita melihat berita,
terkadang tayangan tersebut sering menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat.
Pada satu sisi, masyarakat dipuaskan oleh kehadiran program acara yang

menayangkan hiburan dan memberikan informasi. Di sisi lain acara tersebut tidak
jarang menuai kecaman dari masyarakat karena tayangan-tayangan mereka kurang
bisa diterima oleh masyarakat ataupun individu tertentu. Sudah menjadi rahasia
umum KPI (Komite PenyiaranIndonesia) yang sering kali memberikan kecaman
terhadap tayangan yang tidak mendidik.
Tidak hanya itu, kehadiran televisi banyak memberi pengaruh positif sebagai
hiburan tersendiri bagi masyarakat luas. Pengaruh tersebut berkaitan dengan
kemampuan untuk menyebarkan informasi yang cepat dan dapat diterima dalam
wilayah yang sangat luas pada waktu yang singkat serta dapat menambah wawasan
dan informasi. Mengetahui fakta bahwa siaran televisi memberikan dampak positif
bagi penonton, tentu saja merupakan sebuah nilai tambah bagi siaran televisi tersebut.
Dampak negatif tayangan televisi adalah tayangan yang berisikan perilaku keras atau
moralitas negatif, tentu sangat berpengaruh bagi penonton yang masih di bawah umur.
Jika tidak mendapat pengawasan yang cukup, mereka akan meniru segala hal yang
dilihatnya di televisi.
Kesuksesan dunia pertelevisian swasta memberikan angin segar bagi sektor
daerah. Mereka kini mampu berkembang dan menjangkau daerahdaerah terpencil
secara geografis. Televisi daerah dapat menyajikan berita dan program acara hingga
ke ranah publik secara global.

Anda mungkin juga menyukai