Anda di halaman 1dari 6

Nama : Iqbal Dwi Raharjo

NPM : 190404010074
Kelas : Manajemen 2019 B

Contoh kasus hukum bisnis 1 :

Produsen es krim Aice dikecam, karena kasus keguguran buruh


perempuan dan berbagai tudingan pelanggaran UU
ketenagakerjaan lain.

Pengakuan Elitha Tri Novianty, salah satu buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan
produsen es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau biasa dikenal dengan merek dagang
Aice, mengungkap kondisi memilukan yang dia alami selama bekerja di sana.

Perempuan berusia 25 tahun ini sudah berusaha mengajukan pemindahan divisi kerja karena
penyakit endometriosisnya kambuh. Tapi apa daya, perusahaan justru mengancam akan
menghentikannya dari pekerjaan.

Elitha terdesak dan tidak punya pilihan lain selain terus bekerja. Akhirnya, dia pun
mengalami pendarahan hebat akibat bobot pekerjaannya yang berlebihan. Elitha terpaksa
melakukan operasi kuret pada Februari 2020, yang berarti jaringan dari dalam rahimnya
diangkat.

Elitha hanya satu dari banyak buruh perempuan yang hak-haknya terabaikan oleh Aice.
Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang
mewakili serikat buruh Aice, menyatakan bahwa sejak 2019 hingga saat ini terdapat 15 kasus
keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh
buruh perempuan pabrik Aice.

Pihak Aice membantah tuduhan tersebut. Perwakilan Aice, Simon Audry Halomoan Siagian,
menyatakan pihaknya sudah melarang perempuan yang sedang hamil untuk bekerja di shift
malam. Terlepas dari penjelasan yang diberikan, Aice tetap mendapat kecaman dari berbagai
pihak dan bahkan menghadapi aksi boikot.

Tapi upaya perjuangan hak-hak buruh perempuan tampaknya masih jauh panggang dari api,
karena masih banyak perusahaan yang menelantarkan hak-hak buruh-buruh perempuan
mereka demi mengejar efisiensi dan efektivitas produksi perusahaan.

Para pengamat buruh dan gender berargumen praktik penindasan hak buruh perempuan
merupakan akibat dari pelanggengan budaya patriarki di sektor ketenagakerjaan di Indonesia.
Data Organisasi Buruh Internasional atau ILO pada 2018 menunjukkan bahwa hanya
setengah dari populasi perempuan Indonesia yang memiliki pekerjaan dan jumlahnya tidak
pernah bertambah. Sedangkan pada laki-laki, tingkat ketenagakerjaan mencapai hampir 80
persen populasi.
Stigma yang melekat pada perempuan—seperti perempuan itu lebih lemah sebagai pekerja
ketimbang laki-laki—menjadi satu alasan mengapa pihak perusahaan enggan
memperkerjakan mereka.

Stigma itu, menurut Suci Flambonita, staf pengajar di Fakultas Hukum, Universitas
Sriwijaya, muncul dari budaya patriarki yang dilanggengkan. Suci menjelaskan budaya
patriarki ini termanifestasi dalam hubungan industrial yang timpang antara buruh dan
pemberi kerja di mana buruh perempuan selalu berada pada posisi yang lemah.

"Buruh perempuan dianggap hanya sebagai second-person [tenaga kerja yang lebih rendah],"
ujarnya.

Akibatnya buruh perempuan sering diperlakukan semena-mena. Di banyak perusahaan, buruh


perempuan dipersulit untuk mendapatkan cuti haid yang sebenarnya sudah dilindungi dalam
Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003.

Izin cuti haid baru bisa terwujud ketika mendapatkan surat keterangan dokter (SKD) yang
dikeluarkan oleh klinik pabrik atau klinik tingkat I yang tercantum dalam kartu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Proses yang rumit ini membuat buruh perempuan
terpaksa memilih menahan sakit saat bekerja.

Dari 773 buruh perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 437 di antaranya pernah
mengalami pelecehan seksual, dengan rincian 106 mengalami pelecehan verbal, 79
mengalami pelecehan fisik, dan 252 mengalami keduanya. Dari angka tersebut, hanya 26
orang yang berani melapor. Alasan para buruh perempuan tidak melapor karena mereka
merasa malu, takut, dan khawatir jika melapor pekerjaan mereka akan terancam.

Buruh hamil di KBN Cakung ini juga mengalami tekanan saat bekerja. Mereka wajib lembur
meski sedang hamil dan sering kali tidak dibayar. Hal yang serupa juga terjadi pada buruh
perempuan di Aice. "Buruh perempuan yang sedang hamil baru bisa non-shift [tidak bekerja]
kalau usia kandungan sudah tujuh bulan. Sebelum itu, masih harus angkat barang berat dan
dapat shift [waktu kerja] malam," ujar Sarinah.

UU Ketenagakerjaan Indonesia sebenarnya sudah cukup melindungi hak pekerja dan buruh
perempuan Indonesia. Aturan tersebut dengan jelas mengatur jam kerja dan fasilitas untuk
tenaga kerja perempuan serta menetapkan sanksi pidana dan denda bagi perusahaan yang
tidak mengabulkan hak ini.

Sayangnya, minimnya pengawasan dari pemerintah terkait perlindungan tenaga kerja


perempuan membuat perusahaan melaksanakan peraturan ini dengan seenaknya. "Seperti
gunung es, kasus buruh perempuan di pabrik Aice ini hanya memperlihatkan sedikit
permasalahan. Kita belum tahu bagaimana kondisi kerja yang dialami oleh buruh perempuan
di pabrik-pabrik lain, pasti banyak yang tidak dibuka kepada publik," ungkap Palmira
Permata Bachtiar, peneliti SMERU Research Institute.

Pemerintah juga berperan penting untuk menaruh perhatian pada evaluasi peraturan ini.
"Kalau tidak ada pengawasan, kita tidak pernah tahu sebuah permasalahan sampai level
grassroot. Pemerintah harusnya bisa melakukan monitor dan enforcement [penegakan
hukum] ke perusahaan hingga menjadi mediator antara perusahaan dengan tenaga kerja," kata
Ruri..
Terbatasnya jumlah pengawas ini berpengaruh pada lambatnya respons pemerintah dalam
menanggapi permasalahan yang menimpa buruh. Para ahli melihat peluang bagi lembaga
bantuan hukum, lembaga swadaya masyarakat, advokasi, dan organisasi masyarakat untuk
ikut berperan dalam membantu pengawasan terhadap pemenuhan hak buruh.

Ancaman UU Sapu Jagat Cipta Kerja

Perlindungan terhadap buruh perempuan akan semakin terancam dengan rencana pemerintah
untuk mengesahkan Undang Undang Cipta Kerja. Banyak pihak mengecam aturan yang
diharapkan pemerintah dapat menarik lebih banyak investor masuk ke Indonesia karena
berpotensi merugikan hak tenaga kerja, khususnya perempuan.

Jika dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, pekerja perempuan yang tidak masuk kerja
karena cuti haid tetap wajib dibayarkan upahnya, maka dalam draf Omnibus Law, hak ini
tidak disebutkan secara eksplisit. Satu celah lagi yang belum diakomodasi oleh UU yang baru
tersebut adalah perlindungan buruh nonformal.

Tenaga kerja nonformal seperti asisten rumah tangga, pekerjaan yang mayoritas dilakukan
pekerja perempuan, tidak memiliki payung hukum untuk melindunginya. Hal ini membuat
hak dan keselamatan kerja mereka menjadi bias pada pekerja sektor formal.

“Perlindungan pekerja itu seharusnya termasuk perlindungan pekerja perempuan dan anak
baik dalam sektor formal dan non formal. Sektor formal relatif sudah baik, tetapi
persoalannya ada di perlindungan terhadap pekerja perempuan nonformal yang tidak
dilindungi sama sekali oleh hukum," kata M Nur Sholikin, peneliti Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK).

Contoh hukum bisnis 2 :

Kasus Hak Merk Tupperware VS Tulipware Bandung

DART INDUSTRIES INC., Amerika Serikat adalah perusahaan yang memproduksi berbagai
jenis alat-alat rumah tangga, di antaranya yaitu ember, panci, toples dan botol, sisir-sisir dan
bunga-bunga karang, sikat-sikat, perkakas-perkakas kecil dan wadah-wadah kecil yang dapat
dibawa untuk rumah tangga dan dapur dari plastik untuk menyiapkan, menyajikan dan
menyimpan bahan makanan, gelas-gelas minum, tempayan, tempat menyimpan bumbu,
wadah-wadah untuk lemari es dan tutup daripadanya, wadah-wadah untuk roti dan biji-bijian
dan tutup daripadanya, piring-piring dan tempat untuk menyajikan makanan, cangkir-cangkir,
priring-piring buah-buahan dan
tempat-tempat tanaman untuk tanaman rumah dan main-mainan untuk anak-anak dengan
berbagai jenis desain yang terbuat dari plastik yang bermutu tinggi. Merek TUPPERWARE
sudah terdaftar di Indonesia dibawah no. pendaftaran 263213, 300665, 300644, 300666,
300658, 339994, 339399 untuk jenis-jenis barang seperti tersebut diatas, sedangkan merek
TULIPWARE baru mengajukan permintaan pendaftaran merek pada Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual. Produk produk rumah tangga yang diproduksi oleh DART
INDUSTRIES INC. telah dipasarkan di lebih dari 70 negara dengan memakai merek
TUPPERWARE. TUPPERWARE juga telah dipasarkan di luas di Indonesia melalui
Distributor Nasional sekaligus penerima lisensi, yakni PT. IMAWI BENJAYA.
PT. IMAWI BENJAYA selaku Distributor Nasional sekaligus penerima lisensi produk
TUPPERWARE di Indonesia, menemukan produk-produk dengan menggunakan desain-
desain yang sama dengan disain-disain produk-produk TUPPERWARE yang menggunakan
merek TULIPWARE yang diproduksi oleh CV. CLASSIC ANUGRAH SEJATI yang
berlokasi di Bandung.
Bentuk Pelanggaran :
Dengan membadingkan antara produk-produk yang menggunakan merek TUPPERWARE
dan produk-produk dengan merek TULIPWARE, maka terlihat secara jelas bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang memproduksi produk TULIPWARE, sebagai
berikut :
1. Terdapat persamaan pada pokoknya antara merek TULIPWARE dengan
TUPPERWARE untuk produk-produk yang sejenis
2. Penempatan merek pada bagian bawah wadah dan bentuk tulisan yang sama lebih
dominan, sehingga menonjolkan unsur persamaan dibandingkan perbedaannya.
Keberadaan produk-produk sejenis yang menggunakan merek TUPPERWARE dan
TULIPWARE membingungkan dan mencaukan konsumen mengenai asal-usul
barang.
3. Merek TULIPWARE yang dipergunakan pada barang-barang berbeda dengan etiket
merek yang diajukan permohonannya pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual.
Catatan :
DART INDUSTRIES INC. selaku pemilik merek telah memasang iklan pengumuman di
beberapa surat kabar, untuk mengingatkan kepada konsumen tentang telah beredarnya
produk-produk TULIPWARE, yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan produk-
produk TUPPERWARE.
Kesimpulan :
Kasus tersebut sebaiknya diselesaikan dengan beberapa undang-undang yang telah ada. CV.
CLASSIC ANUGRAH SEJATI sebaiknya juga tidak melakukan plagiat akan merek
TULIPWARE yang merupai merk TUPPERWARE. Maka dari itu, berikut ini merupakan
beberapa undang-undang yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus hak merek
tersebut :
1. Pasal 90, UU No. 15 tahun 2001 :
“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
kesluruhnnya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis yang
di produksi dan atau di perdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Dan atau denda paling banyak Rp1 M.”
2. Pasal 91, UU No. 15 tahun 2001:
“ Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya
dengan merek yang terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa yang di produksi
dan atau diperdagangkan, dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling
banyak Rp.800 juta.”

3. Pasal 92, (1), UU No. No. 15 tahun 2001:


“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada
keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis
dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 Tahun dan atau denda paling
banyak Rp1 M.”
4. Pasal 92, (2), UU No. No. 15 Tahun 2001:
“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya
dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan
barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak
Rp800 Juta.”
5. Pasal 93,UU No. No. 15 Tahun 2001:
“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi
berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau
menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana penjara
paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp800 juta.”
6. Pasal 94, UU No. 15 Tahun 2001:
“Barang siapa memperdagangkan barang dan atau jasa yang diketahui atau patut diketahui
bahwa barang dan atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam pasal 90, 91, 92, dan 93 dipidana kurungan  paling lama 1 tahun atau denda paling
banyak Rp200 Jt.”

Anda mungkin juga menyukai