Anda di halaman 1dari 7

https://ethicsunwrapped.utexas.

edu/case-study/buying-green-consumer-behavior

GREEN CONSUMER BEHAVIOUR


Vitria Susanti | Green Economy & Trade | Semester Genap 2021/2022
GREEN CONSUMER BEHAVIOUR

1. Definisi & Konsep

Seiring munculnya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim


(climate change) secara ekstrim, fenomena pemakaian produk ramah lingkungan
(green product) kian marak dikampanyekan. Di era perdagangan bebas, isu
tersebut lantas dikaitkan dengan tuntutan bisnis. Tanpa menggunakan ”embel-
embel” produk hijau, jangan harap produk akan diterima pasar internasional.

Sementara itu, dari sisi konsumen mulai muncul pula kesadaran untuk melakukan
konsumsi yang ramah lingkungan. Perilaku ini dikenal dengan istilah ‘Green
Consumer Behaviour’. Menurut Mills (2012) Green Consumer Behaviour merupakan
perilaku konsumen yang dalam setiap tindakan konsumsinya menerapkan
wawasan ramah lingkungan.
Konsumen ramah lingkungan (green consumers) adalah konsumen yang lebih
memilih produk yang tidak akan membahayakan kesehatan manusia atau merusak
lingkungan (Tekade & Sastikar, 2015). Sedangkan istilah konsumerisme ramah
lingkungan dipahami sebagai konsep yang lebih luas daripada konsumen ramah
lingkungan.

Konsumerisme ramah lingkungan mencakup kesadaran sosial yang lebih luas


tentang perilaku konsumen ramah lingkungan, di mana konsumen ramah
lingkungan adalah pendorong utama konsumerisme hijau.
Menurut Mills (2012) Green Consumer Behaviour merupakan perilaku konsumen yang
dalam setiap tindakan konsumsinya menerapkan wawasan ramah lingkungan. Ada
beberapa tindakan yang harus dilakukan konsumen sebagai salah satu wujud perilaku
konsumen ramah lingkungan yang sering dikenal dengan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yaitu:

1. Reduce
Reduce atau mengurangi dapat diartikan menggunakan lebih sedikit. Konsumen yang
menggunakan lebih sedikit produk yang mencemari lingkungan.
2. Reuse
Reuse atau menggunakan kembali dapat diartikan menggunakan produk lagi sesuai
dengan kegunaannya. Konsumen yang mengurangi kebutuhan akan produk baru
dapat membantu mengurangi sampah atau limbah yang dapat mencemari lingkungan.
3. Recycle
Recycle atau daur ulang merupakan proses mengolah sampah menjadi bahan atau
produk baru. Hasil daur ulang yang berupa bahan atau produk tersebut dapat menjadi
sumber daya yang berharga dan berguna bagi industri manufaktur.

2
Unilever memperkirakan bahwa hampir 70% dari jejak gas rumah kaca tergantung pada
produk mana yang dipilih pelanggan dan apakah mereka menggunakan dan membuangnya
secara berkelanjutan. Misalnya, dengan menghemat air dan energi saat mencuci pakaian atau
mendaur ulang wadah dengan benar setelah digunakan.

Luzio dan Lemke (2013) menyatakan bahwa terdapat faktor yang relevan yang membantu
untuk memahami green consumer behaviour ini, diantaranya adalah:

a. Reasons to buy green products


Merupakan alasan untuk membeli produk hijau. Konsumen hijau mengkonsumsi
produk bukan hanya untuk alasan terbuat dari bahan alami tetapi juga meliputi
perhatian mengenai masalah lingkungan.
b. Pricing
Harga dan penghematan biaya merupakan hal yang terkait erat dengan proses
konsumsi. Misalnya, ketika sebuah barang masuk dalam kategori mewah seperti mobil
maka konsumen akan menempatkan lingkungan sebagai faktor yang tidak terlalu
penting karena sudah membayar mahal, tetapi ketika sebuah barang masuk dalam
kategori murah maka konsumen lebih bersedia membayar dengan alasan lingkungan.
c. Perceived product confidence
Kepercayaan terhadap green product bahwa informasi mengenai manfaat yang
dirasakan adalah benar dan tidak semata-mata merupakan green washing atau
sekedar praktek bisnis semata.
d. Willingness to compromise
Kesediaan konsumen untuk membayar harga premium dan menerima produk dengan
tingkat yang lebih rendah dari kinerja atau penampilan demi lingkungan.
e. Product characteristics
Karakter dari green product yang mempengaruhi keputusan konsumen dan membuat
konsumen menentukan alternatif dalam memilih produk.
f. Knowledge
Pengetahuan mengenai lingkungan mempengaruhi perilaku konsumen hijau.
Misalnya, konsumen hijau dapat menggunakan pengetahuan lingkungan mereka
untuk tidak melakukan pembelian green product karena mereka mengetahui bahwa
produk tersebut tidaklah sesuai dengan iklannya.
g. Consideration of alternatives
Konsumen mempertimbangkan alternatif mengenai produk hijau dan produk yang
tidak hijau, dimana perusahaan sengaja menggunakan nama produk hijau agar laku
padahal produk tersebut tidak hijau.
h. Product’s point of purchase
Titik pembelian produk dimana konsumen mencari dan membeli produk hijau di
tempat yang mereka rasa nyaman dan memiliki nilai tambah, lebih tepatnya yaitu
pemilihan alternatif untuk tempat membeli green product.
i. Use and disposal
Penggunaan produk dan pembuangan produk dimana green consumer memiliki
pengetahuan tentang bagaimana menggunakan produk hijau, dengan teknologi apa

3
produk hijau dibuat, dan tentang bagaimana desain produk bisa membuat konsumen
tertarik. Dengan demikian, produk hijau tersebut bisa memenuhi kebutuhan didalam
penggunaan dan pembuangan untuk green consumer.

2. Types of Green Consumers

GFK (Growth from Knowledge) telah mendefinisikan tiga segmen konsumen


berdasarkan tingkat kepedulian mereka terhadap masalah lingkungan, dan tingkat
aktivitas ritel berkelanjutan mereka. Segmen tersebut adalah Eco-actives, Eco-
considers, dan Eco-dismissers.

Konsumen hijau ini adalah yang paling berhati-hati, mengambil tindakan untuk
mengurangi limbah mereka, dan merasakan tanggung jawab intrinsik untuk menjadi
lebih berkelanjutan. Dari setiap segmen, mereka memiliki kesadaran paling besar
terhadap isu lingkungan. Eco-active sangat lazim di Eropa, di mana mereka merupakan
18% dari populasi pada 2019, meningkat menjadi 28% pada 2021. Mereka juga
merupakan grup dengan pertumbuhan tercepat secara global, saat ini mencakup 22%
konsumen. Pada tahun 2029 mereka diproyeksikan untuk berkembang menjadi lebih
dari 50% dari seluruh populasi global.
Kepedulian terhadap masalah lingkungan sering dikaitkan dengan kaum muda, tetapi
pembeli yang lebih tua juga merupakan proporsi yang signifikan dari Eco-actives,
berkat daya beli mereka yang lebih besar. Di Eropa, Eco-actives cenderung berusia di
atas 50 tahun, dengan pendapatan dan status sosial yang lebih tinggi, sementara di
negara berkembang, pembeli yang memimpin biasanya lebih muda. Jumlah Eco-
actives juga meningkat lebih cepat di negara maju. Di negara berkembang, mungkin
diperlukan waktu hingga 2035 untuk Eco-actives untuk mencapai 50% dari populasi.
Namun, Eco-actives mewakili peluang langsung: saat ini, mereka bernilai $446bilion
dalam pembelanjaan FMCG, dan nilai itu diproyeksikan mencapai $1,104triliun pada
tahun 2029.

4
Segmen Eco-consider terdiri dari orang-orang yang mengkhawatirkan lingkungan,
tetapi tidak mengambil tindakan sebanyak yang mereka inginkan untuk mengurangi
jejak mereka. Pada saat penulisan, Eco-considers bertanggung jawab atas segmen
pasar terbesar. Di Eropa saja, mereka mewakili 44% konsumen, sedangkan dua
kelompok lainnya masing-masing terdiri dari 28%. Kesenjangan tindakan nilai paling
menonjol di antara para Eco-considers, dengan 62% secara global percaya bahwa
produk berkelanjutan lebih sulit ditemukan atau lebih mahal.
Harga dan kemudahan untuk ditemukan bukanlah satu-satunya hambatan yang
ditemukan oleh Eco-considers untuk membeli sesuai keinginan mereka: 44%
mengatakan prioritas sehari-hari mereka menghalangi, dan 37% mengatakan mereka
terganggu saat berbelanja. Dengan memahami dan kemudian menghilangkan
hambatan ini, merek dapat mengakses potensi segmen yang belum dimanfaatkan.
Eco-considers ingin mengambil langkah untuk menjadi Eco-actives, terserah merek
untuk menunjukkan caranya, dan membuatnya mudah.

Eco-dismissers tidak terlalu tertarik atau tidak tertarik pada lingkungan dan membuat
beberapa langkah untuk mengurangi limbah. Topik tersebut jarang ditampilkan dalam
percakapan dengan teman dan keluarga. Segmen ini ditentukan oleh rasa agensi
pribadi yang rendah tentang masalah lingkungan: 39% Eco-dismissers mengatakan
mereka “merasa saya dapat membuat perbedaan bagi dunia di sekitar saya melalui
pilihan yang saya buat dan tindakan yang saya ambil,” sementara 80% dari Eco-aktif
berbagi keyakinan ini.
Merek yang sejauh ini telah menyaksikan sedikit perilaku pembelian ritel berkelanjutan
dari konsumen mereka harus menyadari bahwa kelompok ini sedang menyusut. Eco-
dismissers sama jumlahnya dengan Eco-considers di Eropa pada 2019, keduanya
merupakan 41% dari populasi global, tetapi dalam dua tahun terakhir, jumlahnya
menurun. Pada tahun 2020 mereka menyumbang 34% dari konsumen dunia, dan pada
tahun 2021, proporsinya semakin menurun menjadi 28%.

3. Peranan Perusahaan dalam mendorong Green Counsumer Behaviour


Perusahaan dapat mendorong tumbuhnya konsumsi yang ramah lingkungan:
menggunakan pengaruh sosial, membentuk kebiasaan yang baik, meningkatkan efek

5
domino, memutuskan apakah akan berbicara dengan hati atau otak, dan lebih menyukai
pengalaman daripada kepemilikan dengan cara berikut:
a. Mengoptimalkan Pengaruh Sosial
Perusahaan dapat meminta influencer untuk mempromosikan elemen positif dari
produk atau tindakan. influencer paling menarik adalah ketika mereka sendiri telah
melakukan perilaku itu.
Satu studi menemukan bahwa ketika seorang influencer memberikan testimoni
mengapa ia telah memasang panel surya rumahnya, 63% lebih banyak orang
mengikutinya daripada ketika influencer tidak benar-benar menginstal panel.
Norma sosial juga dapat mematikan segmen konsumen tertentu. Misalnya, beberapa
pria mengaitkan keberlanjutan dengan feminitas (menunjukkan sifat perempuan),
mengarahkan mereka untuk menghindari opsi berkelanjutan.
Tagline seperti “Dengan segala hormat terhadap kemajuan, dunia dapat menggunakan
lebih sedikit plastik” (With all due respect to progress, the world could use a little less
plastic”) dan tagline “Bahkan limbah Jack Daniel terlalu baik untuk dibuang” (Even Jack
Daniel’s waste is too good to waste) menghubungkan keberlanjutan dengan kualitas
dan rasa yang luar biasa.
Karena perusahaan menjual produk limbah dan sumber daya yang tidak digunakan ke
industri lain, ia tidak perlu mengirim limbah ke tempat pembuangan sampah. Semua
ini menjadi bagian dari dukungan perusahaan untuk etos kerja, tanah dan udara, dan
komunitas di mana Jack Daniel beroperasi. Untuk menghindari kehilangan
kedudukannya sebagai merek yang keras dan maskulin, merek ini telah secara ahli
mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam branding yang dibangunnya.

b. Membentuk Kebiasaan Yang Baik


Manusia adalah makhluk yang terbentuk karakternya oleh berbagai kebiasaan. Banyak
perilaku, seperti bagaimana kita pergi bekerja, apa yang kita beli, apa yang kita makan,
dan bagaimana kita membuang produk dan kemasan, adalah bagian dari rutinitas rutin
kita. Seringkali kunci untuk menyebarkan perilaku konsumen yang berkelanjutan
adalah pertama-tama menghentikan kebiasaan buruk dan kemudian mendorong yang
baik.
Kebiasaan dipicu oleh isyarat atau tanda (cues) yang akrab dijumpai. Sebagai contoh,
menggunakan cangkir kopi sekali pakai (suatu kebiasaan yang berulang sebanyak 500
miliar kali setahun di seluruh dunia) mungkin merupakan respons terhadap isyarat,
seperti bentuk cangkir pada umumnya yang disediakan oleh barista dan tempat
sampah yang diilustrasikan dengan gambar cangkir, keduanya begitu mudah dijumpai
di kedai kopi.

6
Perusahaan dapat menggunakan fitur desain untuk menghilangkan kebiasaan negatif
dan menggantikan yang positif. Pendekatan paling sederhana dan mungkin paling
efektif adalah menjadikan perilaku berkelanjutan sebagai standar aktifitas.

c. Meningkatkan Efek Domino


Salah satu manfaat dari mendorong konsumen untuk membentuk kebiasaan yang
diinginkan adalah bahwa hal itu dapat menciptakan limpahan positif: Orang-orang
suka bersikap konsisten, jadi jika mereka mengadopsi satu perilaku konsumsi
berkelanjutan, mereka sering cenderung membuat perubahan positif lainnya di masa
depan.
Sebagai contoh, setelah IKEA meluncurkan inisiatif keberlanjutan yang disebut Live
Lagom (lagom berarti “jumlah yang tepat” dalam bahasa Swedia), IKEA mempelajari
perjalanan kebiasaan konsumsi berkelanjutan secara mendalam di antara kelompok
inti pelanggannya.
Perusahaan menemukan bahwa meskipun orang hanya memulai dengan satu langkah
tunggal, seperti mengurangi limbah makanan rumah tangga, mereka di masa yang
akan datang sering tergerak untuk bertindak dalam domain lain, seperti mulai
memperhatikan konservasi energi. IKEA juga mengamati efek bola salju: Orang akan
mulai dengan aksi kecil dan melanjutkannya menjadi berbagai aksi yang lebih
bermakna.

References:
https://www.gfk.com
https://indonesiaimaji.com
https://bbs.binus.ac.id

Anda mungkin juga menyukai