Deskripsi Textural
- Saya waktu itu biasa lebih sering ke peristiwa kriminal dan kejadian-kejadian
yang ada di wilayah, kriminal, keributan, sama…
- Ya intinya dia nggak pengin gambar itu tayang di tv
- Ya saya masih bertahan, saya nggak mau hapus gambar waktu itu. Akhirnya
gambar saya hapus, baru mereka udah
- Ada setengah jam saya dikerumunin sama mereka, walaupun ada polisi di situ,
mereka tetap maju juga
- Saya sih kan waktu itu lagi live sama kantor ya, kemudian saya ada telepon, saya
pake headset. Ketika habis kejadian, pas saya duduk, saya langsung lihat
handphone saya, handphone masih nyambung dengan kantor. Jadi selama 40
menit sampai saya selesai di sana, itu kantor masih dengar, yang saya
dikerumunin segala macam. Di sana kan monitor saya, HP saya masih konek ke
sana. Dan kantor langsung nyuruh saya pergi dari situ, ‘Udah kamu geser aja dari
sana, pindah ke TIM’. Tapi saya nggak mau pindah, masih bertahan di situ.
Waktu itu saya kalau liputan memang biasa bawa dua kamera, saya punya kamera
pribadi sendiri, kamera yang ini saya taruh, saya pakai kamera saya, cadangan
yang ada di tas itu, saya keluarin. Akhirnya ketika bentrok saya ambil gambar
dengan kamera saya cadangan itu
- Itu dari massa, kan massa banyak, ada yang orang pribadi, segala macam gabung.
Dari instansi sih nggak. Tapi mereka karena teriakan itu langsung pada kepancing
semua
- Saya sih kan waktu itu lagi live sama kantor ya, kemudian saya ada telepon, saya
pake headset. Ketika habis kejadian, pas saya duduk, saya langsung lihat
handphone saya, handphone masih nyambung dengan kantor. Jadi selama 40
menit sampai saya selesai di sana, itu kantor masih dengar, yang saya
dikerumunin segala macam. Di sana kan monitor saya, HP saya masih konek ke
sana. Dan kantor langsung nyuruh saya pergi dari situ, ‘Udah kamu geser aja dari
sana, pindah ke TIM’. Tapi saya nggak mau pindah, masih bertahan di situ.
Waktu itu saya kalau liputan memag biasa bawa dua kamera, saya punya kamera
pribadi sendiri, kamera yang ini saya taruh, saya pakai kamera saya, cadangan
yang ada di tas itu, saya keluarin. Akhirnya ketika bentrok saya ambil gambar
dengan kamera saya cadangan itu
- Iya, lihat Muhammad Interviewee, dia langsung ke massa, ‘Ini saudara, Muslim,
Allahuakbar’. Yaudah saya ikutin, sambil jalan, kan jaraknya sekitar 100 meter
dari lampu merah ke tengah itu. Saya dibawa ke belakang sambil diuber-uber
- Iya, itu kan kejadian saya dirampas itu sebelum yang chaos malam itu
- Kalau saya diintimidasi, disandera, kalau dipukul itu baru dua kali, yang Bonek
itu sama yang kemarin demo itu. Tapi kalau cara verbal itu udah sering
- Ya kan massa juga nggak terlalu ini lagi, kecuali yang kemarin terakhir, yang
sempat mobil Kompas diusir, yang di Istiqlal. Itu kan karena katanya depred kan
dari sore udah bolak-balik ke sana antar tim, dan malamnya antar teknik ke sana,
dia lewat situ, tiba-tiba ada ibu-ibu teriak, ‘Huu, Kompas’. Yaudah yang lain
langsung nyambar, ‘Huu, usir, usir, usir’.
- Drivernya sempat diguyur kopi mukanya sama massa, untung kopinya nggak
panas, kalau panas, panik, digas itu mobil
- Itu hari yang pertama dia diusir juga. Jadi siangnya Metro TV diusir dari Istiqlal,
SNGnya itu waktu kejadian pertama
- Cuma dipukul dua kali bagian belakang, dari belakang itu dipukul kepalanya
- Iya, karena sambil jalan kan beda antara dipuk diam dan dipukul sambil jalan, jadi
nggak terlalu keras. Terasa diuber-uber gitu, dari belakang dikejar-kejar
- Bonek, ditendang aja dari belakang. Itu nggak ada laporan kepolisian
- Kalau saya sih pada saat liputan pilkada, ada yang berhubungan dengan pasangan
yang, misalkan salah satu nomor urutnya nih, mereka ada juga kegiatannya
keagamaan, melihat media ini yang datang. Ada sih beberapa orang yang nanya
dari mana, atau ‘Kalau beritain yang ini dong, jangan beritain yang macam-
macam’. Pasti ada aja dari massa yang jawab kayak gitu. Iya, secara verbal,
omongan mereka ya masih nggak saya tanggapi kalau begitu
- Kemarin sih waktu kantor minta saya wawancara orang mengenai masalah
kenaikan tarif haji, ketika saya wawancara, dapat narsum dua, ada ibu-ibu yang
jalan, ‘Bu, saya boleh wawancara sebentar nggak?’ ‘Tentang apa?’ ‘Masalah
kenaikan tarif haji’ ‘Oh, nggak deh, Mas’. Suaminya nanya, ‘Emang masalah apa,
Mas? Kalau masalah Ahok, sayan mau ngomong’, dia nyeletuk gitu, dengan
semangatnya dia ngomong gitu
- Iya, ada yang diludahi juga
- Ada pokoknya, kemnarin ada yang cerita
- Iya, ketika salah satu mobil SNG media mana yang kabelnya diputusin
- Itu banyak, tapi cuma saya yang lapor ke polisi, yang lainnya nggak ada yang mau
laporan
- Waktu itu kalau nggak salah RCTI deh, di depan istana itu
- Hari yang 411 itu
- Ada juga, itu cewek, di Balai Kota, diintimidasi sama mereka, Kompas.com atau
apa ya
- Nggak, nggak ada perintah untuk pindah kerja sih
- Ketika itu, ada dari AJI yang menhubungi saya, dan dia nawarin untuk dampingan
hukum dari advokasinya dampingi saya laporan ke kantor polisi pusat
- Kemarin nggak ada yang ini saya, cuma AJI aja yang kasih support kemarin
- PJTI nggak ada
- Yang saya tau, statement (peringatan) saya kemarin nggak ini
- Kalau di kita (kompas tv) memang nggak boleh punya stringer
- Ada beberapa sih yang melarang kontributornya menggunakan stringer, tapi
ketika di lapangan, tetap aja kontributornya banyak yang menggunakan, walaupun
kantornya melarang, mereka tetap menggunakan orang itu. Kalau saya sih, masuk
Kompas, memang dibilangin kalau nggak boleh ada yang namaya stringer itu,
karena kantor nggak mau ketika kejadian, stringernya mati dibunuh orang, itu
siapa yang tanggung jawab, kan nggak ada, pasti lepas tangan
- Iya, kalau sekarang kan udah ada streaming ya, kontributornyanggak tau pun, dia
udah bisa kirim ke kantornya, pakai email IP kantor kan, misal kodenya sekian
- Demo masih, cuma kalau yang berhubungan dengan aksi yang kemarin itu, kantor
yang menghindari dulu
Deskripsi Structural
- Kalau di tim sering, dulu juga pernah, waktu masih kayak tawuran, kita hampir
dibacok, diancam macam-macam itu sering. Pertama di Kompas itu juga saya
pernah kejadian, yang Koperasi Langit Biru itu, yang penipuan, itu juga saya
pernah sempat disandera dulu. Jadi kan awalnya saya ada undangan untuk liputan
di situ, lokasi di Taman Kota Cengkareng, ada undangan untuk liput mereka, saya
ketemu sama yang ngundang itu. Awalnya mereka rapat sama pemilik yang
ngumpulin uang ini, awalnya nggak malah saya liputan di situ, saya liputan
gambar udah dapat, satu jam kemudian ya… Akhirnya saya tengah, salah satu
orang bilang bahwa kalau sampai ini diliput media, nanti uangnya nggak akan
balik. Ya mereka yang ada di situ langsung ‘Mana orang yang tadi?’ Jadi intinya
nggak mau diliput dulu, karena kalau mereka masuk tv, uang mereka nggak akan
balik. Mereka langsung nyari saya, nyuruh saya untuk menghapus gambar, saya
langsung dikerumunin. Telepon kantor, saya langsung kasih Mas Alex, saya
dikerumunin, terus diancam suruh hapus gambar, dan teleponnya nyambung ke
kantor. Di sana juga panik kan, ‘Ini kenapa dikerumunin ramai-ramai?’
Disandera, disuruh hapus gambar sama mereka. Waktu kedua, untuk masalah
Bonek juga, waktu Bonek ke Jakarta juga sempat dipukul juga
- Di Stadion Tugu. Jadi waktu itu kan Bonek ditaruh di Stadion Tugu, di Pekoja
sana kan. Awalnya saya liputan, dari sore saya live itu nggak masalah. Ketika
udah jam 7 malam, lapangan sepi, itu tiba-tiba ada orang dikejar-kejar. Saya
reflek langsung ambil kamera, saya rekam gambarnya, ada satu orang dikejar, dia
langsung belok ke kiri. Media lain ambil yang satu orang lari. Di luar ada orang
yang digotong berdarah-darah, saya mabil yang digotongnya itu. Tiba-tiba dari
belakang saya, ‘Ngapain ada kamera ambil-ambil gambar?’ Saya ditendang
langsung, dan itu langsung diancam juga. Saya diuber-uber sampai saya minggir,
pas saya mau masuk mobil, disamperin sama mereka, diancam gambar suruh
hapus, kalau sampai gambar itu tayang, Kompas bakal dihancurin sama Bonek.
Akhirnya saya tunjukkin gambarnya, udah saya hapus, yaudah saya pulang
- Ya itu, kantornya butuh kinerja dia karena butuh link dia. Saya pernah dulu,
waktu sama Hilman, waktu Marzuki Alie sakit, waktu sidang di DPR itu, saya
langsung denar di HP, polisi bilang ‘Nih Ketua DPR dibawa ke Harapan Kita’.
Saya tanya tim yang di DPR, waktu ituOkky atau Lucky gitu, saya telepon,
‘Marzuki Alie udah mulai sidang belum?’ ‘Belum’ katanya. Ya saya kerja ke
Harapan Kita, benar katanya dia ada di situ. Saya nunggu sendirian kan di situ,
orang nggak ada yang tau. Hilman datang, pakai seragam itu, dan dia masuk ke
dalam IGD. ‘Wah dia bisa ambil gambar di dalam nih’. Ternyata dia cuma
nengokin, bukannya ambil gambar. Begitu Marzuki Alie-nya dibawa keluar pakai
tabung oksigen gitu, adiknya Marzuki Alie langsung bilang sama saya
‘Gambarnya jangan diambil’. Nah Hilman di depan Metro juga tangannya begini
begini ke kamera, ‘Jangan, jangan, jangan’. Saya udah ambil berapa detik kan,
saat dibawa ke ambulans pun saya ambil terus. Dan itu ditayangin Kompas TV,
dan Hilman lagi begini begini. Harusnya kalau dia mau larang, minggir aja dari
samping, jangan di depan kamera. Itu kan gambar saya doang yang dapat, dari
orang kita, Marzuki lagi mau dibawa ke DPRD kan. Udah gitu dia telepon,
stringernya minta gambar, “Lah tadi bos lu larang gua ambil gambar di depan’.
Akhirnya saya nggak kasih gambar, saya langsung ke kantor
- Saya bercerita sejak pagi liputan di Bareskrim, Gambir dari pagi sampai jam 5 di
situ. Saat jam setengah 6, ada telepon, suruh geser ke Istana. Nah saya waktu itu
berdua sama reporternya. Saya geser ke sana, pas saya lewat depan Istiqlal, massa
udah banyak, dijaga sama polisi kan, dibikin 3 lapis gitu. Jalan kaki di Jalan
Veteran situ, sampai di tengah, pas jam setengah 7, kantor nyuruh naikin gambar,
saya waktu itu bawa live view kan. Saya hidupin, ‘Nih kondisinya, kalau di Jalan
Veteran tengah begini gambarnya, cuma suasana polisi duduk-duduk aja, nggak
ada massa. Kalau mau ada massa, adanya di ujung, lampu merah Jalan Veteran’.
Saya maju ke depan kan, antara barikade polisi dengan massa. Saya sambil bawa
live light, bawa kamera, reporter saya nggak ajak ke depan karena kata saya ini
belum, ‘Reporter nggak usah, gambar aja’, yaudah saya maju ke depan. Pas saya
sampai di depan itu, saya ambil gambar di situ, nggak masalah. Saya ambil
gambar suasana di situ, orang pada ngeliatin, mereka biasa aja, nggak melarang
kita ambil gambar di situ. Pas tiba-tiba di seberang itu dari arah gedung MA, ada
yang ngelempar air mineral ke arah polisi. Pas botol itu dilempar, massa yang dari
Jalan Veteran dorong-dorong polisi. Saya refleks, saya ambil gambar mereka
yang dorong-dorong polisi itu. Tiba-tiba ada yang samperin saya, ‘Kamera
ngapain ambil gambar?’ Karena satu orang teriak ya yang lain langsung fokus ke
saya, yaudah saya langsung ditarik sama kamera. Begitu ditarik, ditanya’ ‘Dari
mana?’ ‘Kompas TV’, udah makin dikerumunin. Pas mereka banyak gitu, tiba-
tiba di kiri-kanan saya ada yang mengapit saya, bawa saya balik ke arah polisi
yang di tengah itu. Sambil jalan, saya diuber-uber, sampai kepala saya dipukul
dua kali dari belakang. Pas sebelum saya sampai ujung, ada yang nyamperin saya,
‘Kamu ngapain ke depan? Provokator?’ ‘Nggak Pak, saya lagi liputan, Pak.’ ‘Dari
mana?’ Kompas TV.’ ‘Emang provokator itu’ katanya. Saya pas hampir mau
sampai ke ujung itu, ada lagi yang nyamperin saya, dia langsung teriak, ‘Saya
ustad’ buat tenangin massa. Dia langsung nanya saya, ‘Kamu dari mana?’
‘Kompas TV.’ ‘Emang Kompas TV sama Metro provokator itu’. Tiba-tiba satu
orang suruh langsung hapus gambarnya. Yaudah kamera saya hidupin, lalu dia
nyuruh keluarin memorinya, saya keluarin memorinya satu. ‘Keluarin satu lagi,
gua ngerti kamera, gua tau ada dua tuh memorinya’ dia bilang. Yaudah saya kasih
satu lagi memorinya. Terus datang lah reporter saya, si Mutiara, dia lihat saya lagi
dikerumunin gitu, dia bilang, ‘Bapak, itu memori saya diambil, itu punya kantor,
Pak’. Dia ditanya’ Kamu siapa?’ ‘Saya temannya, Pak.’ Yaudah, si ustadnya
langsung bilang ke massa sambil angkat memorinya, ‘Umat, ini memori mau
diapain? Mau dibakar atau dipatahin?’ Dia balik ke arah massa, saya langsung
diserahin ke polisi. Kejadiannya kayak gitu. Pas saya lihat, kabel alat saya putus,
ditarik gitu
- Sudah tau, jadi kan kita sudah mengenal bahwa ada beberapa media yang mereka
anti, dan media itu jangan datang liputan. Tapi ketika saya di sana, saya nggak
merasa takut, karena saya pikir kan mereka orang Muslim. Makanya pas saya
maju, saya nggak ada rasa takut, biasa aja. Saya posisi kan memang lagi kerja.
Dan yang ramai itu karena saya taunya setelah saya diundang. Waktu habis
kejadian itu, saya pulang kantor jam 12 malam. Saya bikin laporan ke polisi jam 1
malam, jam 3 itu divisum di RSCM, saya balik ke kantor jam setengah 5. Ketika
itu produser bilang, ‘Besok jadi narsum di Sapa Pagi ya’. Jam setengah 7 pagi
saya jadi narsum di situ. Pas pulang saya kaget, ternyata ramai di medsos, bahwa
inilah provokator yang saat demo dia yang lempar pakai air mineral dan dia
sendiri yang merekam. Ada yang bilang, ‘Orang ini kan provokator, kok di
Kompas jadi pahlawan’. Bos saya kaget ternyata banyak viral kayak gitu, dan itu
sampai disuruh ulang lagi yang kirim itu. Sebenarnya kejadian yang sama alami
kemarin itu biasa aja sih, dan banyak dari wartawan lain juga mengalami
kekerasan, secara fisik maupun verbal dari massa. Cuma yang saya ini ramai
karena medsos itu, jadi viral, bahwa ini provokatornya
- Ada, dua orang itu yang ngerangkul, yang mengapit saya kiri-kanan, dan mereka
juga yang mengambil ID saya. Saya dengar, sambil di jalan dia tanya, ‘ID lu
mana?’ Dia ambil dari kiri. Dan itu ada dari salah satu ormas Islam. Ketika saya
tanya kantor, memang orang mereka yang nolongin saya katanya. Jadi kalau
nggak ada dua orang itu, saya mungkin dikeroyok di massa itu
- Kalau saya lihat kemarin, itu profesi jurnalis dilecehin banget sama massa.
- Ya polisi intinya cuma pengamanan, jangan sampai mungkin dikeroyok aja.
Ketika saya memorinya diambil, polisi ada, tapi mereka nggak mencegah untuk
supaya memori itu nggak diambil, mereka biarin aja memori itu diambil massa.
Intinya mungkin jangan sampai aja orangnya yang dikeroyok, barangnya diambil
nggak apa-apa. Tapi jiwa si orang ini bisa diselamatin.
- Sama seperti kejadian saya itu, saya saya ingat, ketika orang yang ambil memori
saya itu ngakunya ustad, dan kedua yang posting pertama saya adalah provokator
itu adalah sama, orang itu adalah orang yang pemuka agama juga di daerah
Jember.
- Kalau secara ormas sih sering, dteriakkin, dianggapnya udah jadi media yang
memihaknya beda dari yang lain. Dan saya sih, karena ini ada momen pilkada kan
ya kemarin, sebenarnya kejadian sebelum kemarin pun, seperti Pak Ahok ke
Pulau Seribu, itu saya yang meliput, waktu Al-maidah saya yang liputan ke sana
juga
- Mungkin kalau orang itu membantah, saya yang melempar, yaudah nih buktinya
ada saya lagi dikerumunin sama mereka, memori saya lagi diambil itu ada
fotonya, cuma saya videonya nggak ada
- Kalau dari kantor saya sih, habis udah kasih pendampingan hukum segala
macam,kan tinggal nunggu dari polisi, kita kasih info, ‘Pak, ada info ini ini’ ‘Ada
saksinya nggak?’ Maksud saya tuh ada info begini, langsung selidiki lah, jangan
tanya saksinya siapa. Intinya sih kemarin karena kerjaannya begitu, jadi mereka
sedikit ribet buat ngurusinnya, jadi dibiarin aja. Beda lah dibanding kasus-kasus
lain
- Ada. Saya juga ada. Makanya ada yang bilang, ‘Kenapa nggak laporin masalah
IP-nya kan yang masalah di medsos itu?’ Ya, saya nggak pengin, biarin aja lah,
dosanya dia sendiri yang tanggung, saya nggak usah melaporin. Padahal kalau
saya mau laporin, saya tau orangnya yang mana, yang posting foto-foto itu. Saya
masih ada data-datanya nih orang-orang yang itu. Ini kejadian waktu saya
dikerumunin itu, yang jenggotan ini yang ambil memori saya
- Kalau pelaku sih gampang, orang yang nggak tau pelakunya siapa aja bisa
ditangkap kok, apalagi yang ini sudah ketauan orangnya dan gampang lah buat
selidikin siapa massanya. Ini karena memang dari petugasnya nggak serius aja
buat tanganin. Perampok yang nggak ketauan mukanya aja bisa ditangkap, apalagi
ini
- Kalau sedang kayak kejadian kemarin itu, latar belakang pendidikan sih buat saya
kayaknya nomor dua ya, karena mereka orang berpendidikan pun, ketika merasa
‘Gua nggak suka dengan orang ini, atau kejelekan gua bakal di tonjolin, gua bakal
nggak suka’. Mereka nggak melihat ke situ, kode etik tuh nggak ada lagi buat
mereka. Sama aja kayak TNI atau Polri, ketika mereka lagi mukul pengunjuk
rasa, kita ambil gambarnya, pasti mereka nggak akan suka juga. Jangankan yang
masih pangkat rendah, yang pangkatnya perwira pun bakal hajar kita, larang kita
untuk ambil gambar
- Kan yang mereka liat itu medianya, bukan personal orangnya
- Kan sekarang karena udah baca medsos, kalau media ini begini, orang akan
langsung terpancing, akhirnya imej orang udah ikutan kebawa jeleknya aja,
mereka nggak lihat bagus-bagusnya kan, walaupun cara Kompas itu nggak pernah
beritakan masalah SARA, moneter, segalam macam, ya dibandingkan media lain
yang punya orang parpol ya mungkin jauh lebih netral daripada pemilik parpol itu
sendiri
- Kalau Undang-Undangnya kan ada ya, wartawan kan dilindungi sama Undang-
Undang, Undang-Undang nomor 40 tahun 59, bahwa kerja jurnalis dilindungi
sama Undang-Undang kan. Tapi kenyataannya itu belum sepenuhnya dirasakan.
Dan saya mengalami ketika aksi kemarin itulah, saat itu puncaknya media
dilecehin banget sama para demonstran, itu pertama kalinya-
- Ya itu udah resiko pekerjaan, saya udah anggap itu biasa aja. Yang beda yang
kemarin saya alami itu kan yang viral di medsos aja yang bikin heboh. Kalau
kejadian secara langsung sih saya anggap itu udah resiko kerjan aja
- Orangtua paling wanti-wanti kalau memang liputan itu ya lebih hati-hati aja,
karena mereka lihat apalagi medianya yang diincar sama orang itu, bukan
pribadinya kan kemarin
- Kalau yang saya alami kemarin, kalau di perusahaan saya, ya perusahaan sih
cukup positif yan nanggapin hal ini, dan dia kasih support kan. Kayak kemarin
saya lapor polisi juga, dari wapemred dan manajemennya juga ikut dampingi
untuk ikut ke Polres itu, tapi kalau dari Dewan Pers sendiri saya melihat
gregetnya memang kurang, sama dari pihak kepolisian, walaupun mereka tau ada
Undang-Undang, ya ketika di lapangan kan nggak semua aparat mengetahui
bahwa itu ada Undang-Undangnya kan
- Kalau menurut saya sih, dengan mereka membiarkan adanya stringer, mereka ya
membiarkan, karena stringer itu memang nggak ada perlindungannya dan
memang nggak kerja, ketika mereka kena sasaran atau dihajar massa, atau jadi
korban massa, siapa yang mau tanggung jawab, kan nggak ada, jadi mereka
membiarkan itu terjadi. Kalau mereka melarang stringer itu berarti mereka
mendukung untuk nggak membiarkan stringer itu ada. Kalau mereka ada, berarti
mereka membiarinin. Dan kalau ada kejadian dibunuh orang atau apa, ya mereka
pasti nggak mau tanggung jawab juga, karena nggak ada ikatan dengan mereka