Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

TINJAUAN PERATURAN-PERATURAN YANG BERKAITAN

4.1 Landasan Filosofis

Dalam kehidupan bernegara, bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yaitu


sistem demokrasi Pancasila. M. Budiarjo mengatakan bahwa istilah demokrasi menurut asal
katanya berarti “rakyat berkuasa” atau government or rule by the people” Kata pemerintah
daerah dari perkataan Inggris government dan Perancis gouverment, yang kedua-duanya
berasal dari perkataan Latin gubernaculums yang artinya kemudi. Pemerintah merupakan
nama subyek yang berdiri sendiri. Sebagai subyek pemerintah melakukan tugas dan
kegiatan. Untuk menunjukkan adanya subyek tertentu maka di belakang kata pemerintah
ada kata sambungannya misalnya pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sebagainya.
Bertolak dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah daerah adalah
pemegang kemudi dalam pelaksaanaan kegiatan pemerintahan di daerah. Penerapan
desentralisasi yang telah melahirkan daerah-daerah otonom memberikan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah dalam rangka mengatur
rumah tangganya sendiri. 1

Peraturan daerah sebagai suatu bentuk kebijakan publik akan dapat diterima dengan
baik oleh masyarakat jika memiliki landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang baik.
Landasan filosofis setiap peraturan perundang-undangan di negara kita saat ini merujuk
pada recht idée yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar tahun 1945
(Perubahan ke-1, 2, 3 dan 4), Alinea ke-4. Inti landasan filosofis adalah jika landasan
peraturan yang digunakan memiliki nilai bijaksana yakni memiliki nilai benar (logis), baik
dan adil. Menemukan nilai filosofis berarti melakukan pengkajian secara mendalam dalam
rangka mencari hakekat sesuatu hal dengan menggunakan nalar sehat.

Menurut konsep demokrasi modern, kebijakan publik tidaklah berisi cetusan pikiran
atau pendapat dari pejabat negara yang mewaikli rakyat, akan tetapi pendapat atau opini
publik juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk tercermin (terwujud) di dalam
kebijakan-kebijakan publik. Setiap kebijakan publik harus selalu berorientasi kepada
kepentingan publik (public interest).

1
Disadur dari Naskah Akademik Perlindungan Terumbu Karang di Kabupaten Belitung. 23 September
2010.
Menurut M. Oosting sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono, dalam suatu
negara demokrasi, negara dapat dipandang sebagai penyalur gagasan sosial mengenai
keadilan kepada para warganya dan mengungkapkan hasil gagasan semacam itu dalam
undang-undangnya, atau dengan perkataan lain, proses kegiatan negara harus juga
merupakan suautu proses dimana semua warganya dapat mengambil bagian dan
memberikan sumbangannya dengan leluasa.2

Dengan demikian hakikat filosofis dari Peraturan Daerah ini nanti dapat tercapai
yakni menghendaki timbulnya rasa keadilan dalam masyarakat.

4.2 Landasan Yuridis

Landasan Yuridis menunjuk pada adanya peraturan perundang-undangan yang


memberikan kewenangan kepada pihak tertentu untuk membentuk peraturan daerah dan
materi peraturan daerah tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah (Undang-undang Republik Indonesia nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan kemudian dirubah dengan Undang-undang
Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), dan beberapa
peraturan yang mengatur tentang otonomi daerah yang pernah ada sebelumnya,
menunjukkan bahwa memang terdapat peraturan yang memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah dalam rangka mengatur rumah
tangganya sendiri.

Selain itu terdapat pula bebereapa peraturan yang menunjukkan adanya kewenangan
daerah otonom untuk membentuk peraturan daerah yakni: Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat nomor III/MPR/2000, Keputusan Presiden nomor 44 tahun 1999
tentang Teknik Penyususnan Peraturan Perundang-undangan, Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah nomor 21 tahun 2001 tentang Teknik Penyusunan dan Materi Muatan
Produk-produk Hukum Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
nomor 22 tahun 2001 tentang Bentuk Produk-produk Hukum Daerah, Keputusan Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah nomor 23 tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan

2
Bambang Sunggono.1994.Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar Grafika. Halaman. 89
Produk-produk Hukum Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
nomor 24 tahun 2001 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.3

Perihal siapa yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan di negara


kita, dapat dikatakan bahwa sejak masa Hindia Belanda sampai dengan sekarang yang
berwenang membentuk peraturan adalah pemerintah dan parlemen. Di Inggris meskipun
kedaulatan berada di tangan parlemen, namun pemerintah termasuk pemerintah daerah,
perusahaan yang dibentuk atau diatur dengan undang-undang, perusahaan swasta dan warga
negara secara perorangan berhak pula mengajukan rancangan undang-undang yang diajukan
kepada parlemen dalam bentuk petisi. Model ini ditiru oleh Afsel, Irlandia dan Selandia
Baru. Di negara Bulgaria dan Brasil kewenangan mengajukan rancangan undang-undang
diberikan pula kepada badan peradilan. Australia dan Italia memberikan kewenangan
kepada mereka yang memiliki hak pilih dengan syarat harus diajukan oleh minimal 300.000
orang (Australia) dan 50.000 orang (di Italia). 4

Rancangan undang-undang yang mereka susun diberikan kepada parlemen. Di Swiss


hak itu juga dimiliki oleh canton (daerah-daerah otonomi).

Berkaitan dengan kegiatan pemasangan reklame, Pemerintah Daerah (Pemerintah


Kabupaten Sleman) memiliki beberapa landasan hukum sebagai acuan dan rujukan sebagai
bentuk dan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan
penertiban yang lebih baik dan unggul berdasarkan amanat Undang-undang Republik
Indonesia nomor 32 tahun 2004, Pasal 2 ayat (3), yang bunyinya: “ Pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.”.

Maraknya pemasangan reklame liar yang terjadi di Kabupaten Sleman sudah tentu
memiliki konsekuensi logis dan resiko akibat kurangnya pemerintah di daerah untuk
melakukan penertiban tersebut. Pemasangan reklame tentu saja boleh asalkan
pemasangannya telah memperoleh izin dan tidak menggangu jangkauan penglihatan
masyarakat ketika sedang berkendara. Penertiban demi reklame yang rapi dan asri tentu
dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman berdasarkan Undang-undang nomor 32
tahun 2004, Pasal 14 ayat (1) huruf a yang berbunyi: “perencanaan dan pengendalian

3
Maria Farida. 2007.Ilmu Perundang-undangan. Jakarta:Kanisius.
4
www. Legalitas.com. 23 September 2010
pembangunan;” dan huruf b mengamanatkan: “perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan
tata ruang; ” dilanjutkan dengan huruf p yang berbunyi: “urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.”. Selaras dengan itu adalah ayat (2)
dalam Pasal tersebut yang berbunyi: “Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteran masyarakat sesuai dengan kondisi dan kekhasan dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.”, merupakan poin penting lainnya karena potensi
pendirian reklame tentunya memberikan nilai lebih tersendiri serta dapat mendatang
manfaat sosial-ekonomi kepada masyarakatnya jika pemasangannya tidak dilakukan secara
liar melainkan memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah.

Lebih lanjut lagi diharapkan adanya pemasangan reklame yang tertib dan
memperoleh izin ini dapat menambah penambah pemasukan Kabupaten Sleman melalui
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor
28 tahun 2009 (Pasal 43 sampai dengan Pasal 51) sehingga daerah tidak hanya mendapat
efek negatifnya saja dari adanya pemasangan reklame ini.

4.3 Landasan Sosilogis

Suatu peraturan perundang-undangan dinilai memilki landasan sosiologis secara


benar jika peraturan daerah tersebut dibentuk berdasarkan pada realitas dan kebutuhan
masyarakat. Munculnya penolakan terhadap diberlakukannya suatu peraturan daerah
merupakan indikasi bahwa peraturan daerah yang bersangkutan tidak memilki landasan
sosiologis yang baik.

Idealnya, suatu peraturan daerah harus sesuai dengan keadaan masyarakat yang akan
dikenai peraturan tersebut agar tidak terjadi keresahan dan ketidakpuasan. Sebagai
penyelenggara pemerintahan maka pemerintah daerah dituntut unutk memahami dan
mengerti tentang keadaan masyarakat yang diperintahnya. Pemerintah daerah sebagai
pemegang kekuasaan tidak hanya harus memahami dan mengerti tentang keadaan
masyarakat tetapi lebih jauh dari itu adalah mempertimbangkan dukungan (support) dan
tuntutan (demand) yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu sebelum pemerintah
daerah mengajukan prakarsa pembuatan perda, pemerintah daerah mempunyai fungsi yang
sangat penting untuk bisa mempelajari situasi dan kondisi secara tepat.
Bagi masyarakat yang akan mendukung dan menjalankan kebijakan publik tersebut
memperoleh informasi tentang perkiraan resiko dan dampak yang dipersepsikan, baik luas
maupun bentuknya, serta konsep sementara yang ditawarkan berkenaan dengan langkah-
langkah yang dinilai perlu diambil untuk mengatasinya. Keterbukaan pada tahapan ini
memungkinkan masyrakat mempersiapkan diri untuk menghadapinya, membantu
merumuskan usulan alternatif lain, atau menolaknya. Penolakan terhadap kebijakan
pemerintah secara terbuka atau terselubung pada umumnya disebabkan oleh minimnya
komunikasi oleh birokrasi atau ketidaksiapan, atau ketidaksiapan masyarakat memikul
resiko dan dampak yang dipersepsikan. Sikap budaya lama dari “pamong” (birokrasi) yang
merasa memonopoli informasi acapkali muncul kepermukaan dalam bentuk yang
dituduhkan sebagai “kecongkaan kekuasaan”. Hampir semua masalah yang kita hadapi
dewasa ini dapat ditelusuri kembali kepada akar masalahnya, yaitu karena tiadanya
komunikasi yang sehat, atau bahkan karena “salah komunikasi”. Semuanya berlatar
belakang karena ketidaksediaan berbagi privilese, berbagi informasi dengan pihak lain.

Partisipasi rakyat dalam perumusan kebijakan-kebijakan penting yang berdampak


terhadap kepentingan masyarakat luas membutuhkan dialog yang terbuka.

Pemberian ruang yang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam


pembentukan peraturan daerah tidak perlu dinilai sebagai bentuk rongriongan terhadap
kewenangan DPRD. Namun, harus dinilai sebagai suatu bentuk pemberian ruang partisipasi
yang sewajarnya. Kehadiran dewan perwakilan rakyat dalam demohkrasi perwakilan sama
sekali tidaklah dimaksudkan untuk menghapuskan hak-hak rakyat yang diwakilkanya.
Selain itu tidak perlu pula dinilai sebagai bentuk lunturnya kepercayaan masyarakat
terhadap DPRD. Meskipun benar dalam catatan sejarah peraturan perundang-undangan di
negara kita setidaknya sampai dengan tahun 1999, dan juga pada kebanyakan negara, hak
inisiatif DPRD jarang dimanfaatkan. Bahkan sebagai paradoks, sejak pasca 1999
diindikasikan bahwa penggunaaan hak inisiatif DPRD pada daerah-daerah otonom terus
meningkat seiring dengan tumbuhnya dominasi DPRD terhadap pemerintah daerah.

Dengan demikian, memberikan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk ikut
serta dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan merupakan condition sine
quanon dan perlu dijadikan alternatif solusi yang mempunyai makna penting agar peraturan
daerah yang dibentuk mendapatkan dukungan masyarakat serta memiliki kemampuan untuk
diterapkan dan berlaku dalam jangka waktu yang lama karena memang sesuai dengan nilai
moral dan prinsip-prinsip kebaikan serta realitas kebutuhan yang hidup di tengah
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai