http://www.isai.or.id/?q=node/24
Ada banyak metode dan analisis media dalam penelitian komunikasi yang khususnya berkaitan
dengan media konvensional maupun media pers mahasiswa. Beberapa
definisi dalam menganalisis isi media antara lain, sebagai metode
pembelajaran dan menganalisa komunikasi secara sistematis, secara
objektif, dan bersifat kuantitatif. Adapun beberapa alternatif dalam
menganalisa (terutama teks) media, yakni analisis wacana, hermeneotik,
semiotika, dan analisis isi.
Seorang wartawan dalam penyampaikan suatu isu beranika ragam dalam menentukan suatu
anglenya. Oleh sebab itu pulalah berita yang disampaikan kepada pembaca
jauh berbeda walaupun satu isu dan satu fokus. Memang ulasan atas suatu
peristiwa yang disampaikan wartawan atau media massa tidak terlepas dari
unsure-unsur yang baku yaitu 5 W + 1 H. akan tetapi, yang banyak di
tekaknkan oleh wartawan biasanya unsure “why” mengapa? Dan “how”
bagaimana? yang di telusuri apalagi dalam jurnalistik investigative.
Dalam sebuah media, paling tidak dua hal yang terpenting 1) fakta, ini disajikan dalam bentuk
berita walaupun dalam pemberitaannya kadang sangat subjektivitasnya
tinggi. 2) opini, ini di tampilkan dalam bentuk karikatur, tajuk, surat
pembaca, kolom, surat pembaca dan artikel.
Kembali ke pokok bahasan, dalam menganalisis media massa ada tiga yang sering di lakukan
oleh banyak peneliti alias analis media yaitu:
1. Positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan
kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan
kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan
pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) analisis ini dinamakan “Analisis
Isi”(kuantitatif)
2. Konstruktivisme. Bias juga disebut analisis wacana sebagai suatu analisis untuk
membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya
pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu
pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang
pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. Analisis ini
biasa disebut “Analisis Framing” (bingkai)
3. Paradigma kritis. mengoreksi pandangan konstruktivitis yang tidak sensitif terhadap
proses produkski dan reproduksi makna. Bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan membentuk subyek tertentu, tema wacana tertentu, dan strategi di dalamnya.
Bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan.
Dalam kesempatan ini saya lebih mefokuskan ke analisis framing, Hal yang membedakan
analisis framing dengan analisis isi kuantitatif dan analisis paradigma
kritis, antara lain:
1. Analisis Framing lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya
bersifat kuantitatif. Analisis framing menekankan pada pemaknaan teks daripada
penjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar yang dipakai adalah
interpretasi, karena analisis framing merupakan bagian dari metode interpretative yang
mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti.
2. Analisis isi kuantitatif umumnya membedah muatan teks komunikasi yang bersifat nyata,
sedangkan analisis framing berpretensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi.
Proses pemaknaan suatu pesan tidak hanya bisa hanya menafsirkan apa yang tampak
nyata dalam teks, namun harus menganalisis dari makna yang tersembunyi. Pretensi
analisis wacana adalah pada muatan, nuansa, dan makna yang laten dalam teks media.
Unsur penting dalam analisis framing adalah penafsiran dimana tanda dan elemen yang
ada dalam teks ditafsirkan secara mendalam oleh peneliti, sebagai sesuatu yang tidak
terdapat dalam analisis isi kuantitatif dan analisis pragmatis.
3. Analisis isi kuantitatif hanya mempertimbangkan ‘apa yang dikatakan’, tetapi tidak dapat
menyelidiki ‘bagaimana ia dikatakan’. Dengan demikian, analisis framing tidak hanya
bergerak dalam level makro (isi dari suatu teks), namun juga bergerak dalam level mikro
dalam penyusunan sustu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris.
4. Analisis framing tidak berpretensi melakukan generalisasi. Penekanan analisis framing
adalah bentuk interaksi. Berita berfungsi sebagai suatu pernyataaan, pertanyaan, tuduhan,
atau ancaman. Bahkan dapat mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain.
5. Analisis framing termasuk dalam pendekatan konstruksionis, dimana ada 2 karakteristik
penting, yakni proses pemaknaan dan penggambaran tentang suatu realitas (secara aktif),
dan kedinamisan dalam proses kegiatan komunikasi.
Elemen-elemen struktur wacana antara lain (menurut van Dijk), Tematik (apa yang dikatakan),
Skematik (bagaimana pendapat disusun dan dirangkai), Semantik ( makna
yang ingin ditekankan), Sintaksis (bagaimana pendapat disampaikan),
Stilistik (pilihan kata apa yang dipakai), dan Retoris (bagaimana dan
dengan cara apa penekanan dilakukan).
Pada kesimpulannya, menganalisis isi media dan analisis pragmatis dengan analisis framing
lebih menekankan pada kedinamisan membuat penelitian dan
penggambaran dari suatu teks berita dan pada akhirnya memberikan suatu
pemaknaan secara lebih mendalam.
Cara Tepat dalam Memulai Analisis Media Massa
Periksa fakta yang dibeberkan media, lakukan koreksi bila tidak valid
Perhatikan struktur penyajian fakta, lakukan kritik kronologis atau spatiologis atau
hubungan sebab akibat.
Teliti interpretasi atau konklusi yang ingin diarahkan media, mendukung atau membantah
argumentasi yang tersembunyi.
Ungkap sisi atau perspektif lain, tawarkan konteks baru untuk menyajikan fakta atau
menangkap pemahaman atas fakta
Terakhir bagaimana kita menganalisis media massa dari sudut mana, terpenting lagi kemampuan
kita sendiri dalam menganalisis suatu media massa. Bukan begitu kawan-
kawan blogger?
Tulisan ini dikirim pada pada Sabtu, Maret 14th, 2009 3:05 am dan di isikan dibawah Opini. Anda dapat
meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website
anda.
Konteks
Kognisi Sosial
Teks
Teks
b. Sistem Ketransitifan
Menurut Fowler bahasa dipandang sebagai model yang mengubungkan antara
objek dan peristiwa. Terdapat tiga model transitifitas yaitu transitif,
intransitifdan relasional. Dalam model transitif berhubungan
dengan proses melihat suatu tindakan dan bagian-bagian lain
sebagai akibat suatu tindakan. “Polisi memukul mahasiswa” adalah
bentuk transitif. Polisi sebagai aktor yang menyebabkan suatu
tindakan melakukan sesuatu “memukul”. Model intransitif seorang
aktor dihubungkan dengan suatu proses tetapi tanpa menjelaskan
atau menggmbarkan akibat atau objek yang dikenai. “Polisi
menembak”, “Polisi mengamankan”. Sedangkan model relasional
menggambarkan sama-sama kata benda. “Korban Polisi itu adalah
seorang ayah dari seorang balita”. Hubungan juga bersifat atributi,
benda dihubungkan dengan kata sifat untuk menunjukkan kualitas
atau penilaian tertentu. Misalnya “Polisi itu sangat garang”
Bentuk transitif memasukkan suatu pandangan dan sikap penulis yang berbeda
tentang peristiwa yang dilaporkan, Berikut disajikan klausa yang
memiliki berbagai perspektif.
(10) Polisi menembak mati enam demonstran
(11) Enam demosntran ditembak mati
(12) Enam demosntan tewas
(13) “Enam demosntran ditembak mati” Ujar saksi
mata
(14) Saksi mata melihat enam demosntran mati
tertembak
(15) Enam mahasiswa yang tewas itu diantaranya
Elang Mulya
Lesmana, Hendriawan Sie, dan Hafidin R…
c. Struktur Nominalisasi
Nominalisasi adalah transformasi sintaksis secara
radikal dalam suatu klausa, yang memiliki konsekuensi struktural
yang luas dan memberikan kesempatan menyampaikan ideologi.
Dalam bahasa Indonesia predikat verba direalisasikan secara
sintaksis menjadi nomina. Salah satunya dilakukan dengan
memberi imbuhan “pe-an”. Kata memperkosa menjadi perkosan,
membunuh menjadi pembunuhan, menembak menjadi
penembakan. Contoh berikut ini memiliki perspektif berbeda
(16) Seorang ayah memperkosa anak gadisnya
sendiri yang berusia
12 tahun.
(17) Perkosaan menimpa anak gadis yang beru
berumur 12 tahun.
(18) Polisi menembak secara membabi-buta dalam
insiden
Semanggi.
(19) Penembakan secara membabi buta terjadi
dalam insiden
Semanggi.
d. Modalitas
Modalitas diartikan sebagai komentar atau sikap yang berasal dari teks, baik
secara eksplisit atau implisit diberikan oleh penulis terhadap apa
yang dilaporkan, yakni keadaan, peristiwa, dan tindakan. Modalitas
memiliki peluang besar untuk digunakan jurnalis dalam membangun
perspektif pemberitaan yang mempengaruhi opini pembaca.
Dengan modalitas, penulis dapat memasukkan pandangan pribadi
atau institusinya ke dalam proposisi yang ditulisnya melalui pilihan
modalitas[12]. Modalitas sebagai komentar atau sikap penulis yang
tertuang dalam teks dibagi menjadi empat yaitu (1) kebenaran, (2)
keharusan, (3) izin, (4) keinginan. Contoh berikut modalitas yang
menyiratkan pespektif pemberitaan.
(20) Tommy Soeharto harus ditangkap
(21) Tommy Soeharto seharusnya ditangkap
(22) Tommy Soeharto bisa ditangkap
(23) Tommy Soeharto mungkin ditangkap
(24) Tommy Soeharto tidak akan tertangkap
(25) Tindakan penangkapan Tommy Soeharto dinilai sangat tepat
Pemakaian modalitas harus, seharusnya, dan sangat tepat pada (20), (21), dan
(25) menunjukkan dukungan tindakan yang tercermin dalam proposisi. Sementara (22)
dan (23) memperlihatkan sikap netral bila dibandingkan dengan (20), (22) dan (25)
e. Tindak Tutur
Bentuk ekspresi bahasa yang dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan
perspektif adalah elemen-elemen interpersonal seperti tindak tutur (Speech acts)[13].
Pandangan yang melandasi tindak tutur, jika orang mengatakan sesuatu, orang akan
melakukan sesuatu untuk tuturan itu. Hal itu merupakan aspek dalam fungsi
interpersonal bahasa. Contoh (26) dan (27) berikut dapat menjelaskan tindak tutur
yang dapat menimbulkan perspektif berbeda.
(26) Ada unjuk rasa
(27) Kongres Umat Islam merekomendasikan presiden dan wapres
mendatang harus pria, beriman, dan bertaqwa (Jawa Pos, 7/11/98).
Pada tuturan (26) dituturkan oleh seorang polisi, tidak sekedar
menginformasikan sesuatu,tetapi juga berfungsi sebagai perintah ke lokasi untuk
pengamanan. Hal itu berbeda maknanya jika dituturkan oleh mahasiswa di kampus,
ujaran itu bukan informasi tetapi ajakan. Demikian pula dalam (27), bagi mereka yang
mengikuti perkembangan pasca Pemilu 1999, maka dengan cepat dapat menangkap
bahwa ilokusi yang tersirat yang menghambat megawati Soekarno Putri maju menjadi
presiden,.
f. Metafora
Menurut Aristoteles seperti yang dikutib Abdul Wahab[14]
metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang menyatakan
uangkapan kebahasaan yang menyatakan hal-hal yang bersifat
umum untuk hal-hal yang bersifat khusus dan sebaliknya. Metafora
digunakan sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak
bisa dijangkau secara langsung dari lambang karena makna yang
dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu.
Artinya, metafora merupakan pemahaman pengalaman sejenis hal
yang dimaksudkan untuk perihal lain. Metafora digunakan jurnalis
untuk membangun perspektif dalam surat kabar. Berikut adalah
contoh metafora yang dapat menimbulkan perspektif berbeda
(28) Gelombang mahasiswa mendatangi Gedung DPR Senayan mendesak agar anggota dewan
ikut mengusut 4 mahaiswa yang ditembak di Universita Trisakti
(29) Ibarat pemain sepakbola, saat ini penyelesaian utang PT Garuda
Indonesia sduah memasuki injury time, tinggal menunggu peluit panjang.
Metaforik gelombang untuk menggambarkan laut yang bergulung-gulung dan
menakutkan (28) metaforik injury time menggambarkan sedikitnya waktu PT Garuda
Indonesia untuk melunasi utang.
(30) Debitor Nakal Perlu Dicekal
(31) Amin, Gus Dur, Hamzah, dan Nur Mahmudi Bertemu
Mereka Bahas “Buah Simalakama” Mega
Kata nakal dalam (30) memiliki adanya tiga kesamaan sifat nakal yaitu (1) masih
kanak-kanak, sehingga kurang mampu membedakan mana yang benar dan mana yan
salah, (2) sudah tahu aturan yang sudah disepakati tetapi tetap saja melanggar, (3)
sudah dinasihati tetapi tidak memperbaiki. Demikain dengan “buah simalakama”, jika
Megawati terpilih menjadi presiden keadaan belum tentu bertambah baik. Sebaliknya
jika Megawati tidak terpilih akan berpotensi buruk. Bagi partai berbasis massa Islam
perempuan memang tidak diijinkan menjadi pemimpin.
Process of production
Process of interpretation
Discourse Practice
text
han Kata
Berikut dicontohkan pilihan kata tentang “penyeldidikan harta mantan Presiden
Soeharto Rp 120 triliun di Bank Swiss”
(32) Pakar hukum pidana dari Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof.
Dr. Bam,bang Purnomo, S.H. menilai langkah Habibie mengirim Jaksa
Agung dan Menteri Kehakiman ke Swiss dan Austria untuk menyelidiki
kebenaran harta Soeharto tidak akan efektif karena diumumkan secara
terbuka.
(33) Ketua Gempita (Gerakan Peduli Harta Negara_ Dr. Albert Hasibuan,
S.H. merasa pesimis pemerintah sekarang bisa mengusut dan mengadili
mantan Presiden Soeharto.
(34) Berbagai kalangan pesimis, dengan hasil yang bakal dicapai oleh Tim
yang dipimpin oleh Jaksa Agung Andi Ghalib yang akan berangkat ke
Swiss dan Austria.
(35) Pesimisme seperti itu juga dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi VIII
DPR-RI Syaiful Anar Hussein
(36) Di Ujung Pandang , Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien
Rais menyatakan tidak percaya upaya Muladi-Ghalib ke Austria dan
Swiss untuk melacak kekayaan Soeharto dapat membuahkan hasil
(37) Perjalanan Andi Ghalib dan Muladi ke Swiss dan Austria adalah
sandiwara politik dan hampir tidak ada maknanya.
(38) Upaya tesebut hanya sia-sia dan merupakan lelucon politik selama
Soeharto belum dijadikan tesangka)
b. Struktur Informasi
Pengaturan struktur informasi atau organisasi isi proposisi dalam
kalimat atas informasi latar dan informasi baru dapat dipergunakan menandai
perspektif pemberitaan. Perspektif pemberitaan akan telihat dari memilihan bagian
proposisi tertentu sebagai informasi baru dan bagian proposisi lain sebagai
informasi latar. Berikut contoh fenomena pengaturan informasi.
(39) Sebelum bentrok sebenarnya sempat dilakukan negosiasi dengan tawaran 50
wakil PRD berdialog dengan KPU di ruang sidang, dengan catatan yang lain
menunggu di jalan.
(40) Sebelum terjadi bentrokan, aparat keamanan yang menjaga pintu masuk kantor
KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, sempat membiarkan pengunjuk rasa
dengan atribut PRD lengkap di sekujur tubuh mereka membaswakan orasi 50
menit..
ri struktur proposisi pada data (39) dan konteks data sebelumnya (41) terlihat bahwa proposisi Demo
PRD merupakan informasi latar.Kedua informasi itu dapat ditemukan rujukannya
dalam data (41) yakni penembakan massa PRD pada hari Bhayangkara makin
memperburuk citra polisi . Sementara itu , proposisi demonstrasi fanatik sekira 500
massa PRD berubah berdarah tidak ditemukan dalam rujukannya. Perbdaan
Proposisi pengisi informasi latar baru dapat dilihat dalam tabel berikut
Dari tabel tesebut dapat disimpulkan bahwa proposisi yang mengisi informasi
latar sama yaitu Bentrok di KPU antara PRD dan Polisi, namun informasi baru yang
dimunculkan oleh wartawan berbeda yaitru Negosiasi 50 perwakilan PRD berdialog
dengan anggota KPU (Suara Pembaruan)dan Polisi membiarkan PRD berorasi 50
menit (Media Indonesia).
Berdasarkan struktur dan dan konteks kedua data, serta praanggapan masing-
masing pengisi informasi latar dan informasi baru disimpulkann bahwa surat kabar
Suara Pembaruan pro masyarakat. Seharusnya polisi tidak perlu bentrok dengan
PRD, apalagi dengan menembak, menendang, memukul,d an menginjak-inkal.
Kesimpulan
Analisis wacana berdasar perspektif sosiokultural pada dasarnya menggunakan pola analisis teks,
preses produksi teks, dan konteks. Analisis teks digunakan untuk melihat struktur
teksnyan untuk memahami struktur kata, kalimat, dan makna. Pada langkah
selanjutnya penganalisis memahami proses produksi teks dengan menganalisis
struktur tema dan konteks sosial budaya teks itu dihasilkan.
Baik van Dijk maupun Fairclouch masih sepakat memahami wacana dari teks. Namun keduanya
masih melengkapi pemahaman teks itu dengan memahami kognisi sosial dan
konteks (van Dijk) dan proses produksi dan proses interpretasi bedasarkan konteks
sosial budaya .
Dalam hubungannya dengan aspek prouksi kekerasan oleh media sangat tergantung bagaimana
teks tersebut dikonstruksi oleh orang-orang di belakangnya berkait dengan sistem
politik, ekonomi, dan struktur budaya media.
Daftar Bacaan
Brown, Gillian and Yule, George, Discourse Analysis. (Cambridge: Cambride University Press.
1983)
Eryanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKiS, 2001)
Fairclough, Norman, Critical Discourse Analysis (New York: Longman Publishing, 1995)
Fowler, Roger. Language in the News: Discourse and Ideology in the Press (London: Routledge,
1991)
Halliday, M.A.K, and Hassan, R., Language, Context and Text. Geolong Victoria: Deakin
University Press, 1985)
Leech, Geoffrey. Prinsip-Prinsip Pragmatik (Terj. MDD Oka) (Jakarta: UI Press, 1993)
Van Dijk, Teun A (ed), “Structures of News in the Press” Discourse and Communication New
Approachs to the Analysis of Mass Media Discourse and Communication (New York:
Walter de Gruyter, 1985)
Suroso , ”Bahasa Propaganda Pers Rejim Orde Baru” dalam Menuju Pers Demokratis
(Yogyakarta, LSIP, 2001)
Suroso, Bahasa Jurnalistik Perspektif Berita Utama Politik dalam Surat Kabar Indonesia pada
Awal Reformasi (Jakarta: UNJ, 2002)
Van Dijk, Teun A (ed), “Structures of News in the Press” Discourse and Communication New
Approachs to the Analysis of Mass Media Discourse and Communication (New York:
Walter de Gruyter, 1985)
Wahab, Abdul. Isu Lingtuistik dan PengajaranBahasa dan Sastra (Surabaya: Airlangga
University Press, 1995).
http://suroso.web.id/?p=68
Perspektif Teori Kritis dan Kultur Komunikasi Massa
(AG. Eka Wenats Wuryanta)
Perkembangan perspektif kritis dan budaya dalam memahami komunikasi massa, akhir-akhir ini, menjadi penting
dan menjadi perspektif alternatif. Akar perspektif kritis berangkat dari asumsi-asumsi teori Marxis selain bahwa juga
dipengaruhi dengan kritisisme bahasa. Argumentasi teoretisi menyatakan bahwa media massa selalu mendukung
status quo dan mencampuri usaha gerakan perubahan sosial. Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman
akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi
intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi
keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh
kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam
titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang
berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.
Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari
paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun
dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari
paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi
bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian
atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan
paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas.
Beberapa teoretisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bisa bertahan dari gempuran pengaruh media dan bahwa
media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite domina mampu secara efektif dikritisi secara
maksimal. Dalam perdebatan teoretis ini memang harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini
dibandingkan dengan penelitian yang bersifat empirik positivistik.
Teori kultural dalam posisi tertentu merupakan juga teori kritis. Sistem nilai kurang lebih menjadi dasar dari posisi
epistemologis tersebut. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyaraakt dipakai untuk mengkritisi institusi sosial
yang ada dan praktik tindakan sosial. Institusi dan tindakan sosial meminggirkan beberapa nilai penting yang
dikritisi. Alternatif-alternatif institusi atau tindakan sosial ditawarkan. Teori digunakan untuk melakukan tujuan
praksis. Teori dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses
legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum
kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya
distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang
dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria.
Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media
dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan,
walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi
yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.
Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola
secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan
bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik.
Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan,
benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretatif. Oleh sebab
itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas
yang disimbolkan.
Politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol
dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak
melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi.
Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan
saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya - tempat di mana makna
hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik
wacana dengan dimensi politik ruang. Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana
yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh
kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.
Salah satu ciri kajian budaya adalah menempatkan teori kritis sebagaim basis analisa. Pengertian teori kritis
di sini mencakup metode metadisiplin atau mengabaikan satu ilmu alat ketika analisa dirasakan telah mencapai
upaya membangun perspektif yang lebih baru. Sebagaimana galibnya sebuah tujuan penelitian ilmu, ia tidak
diharapkan hanya mengisi ulang alasan-alasan yang telah ada, tetapi bagaimana memunculkan dan mematikan
alasan-lasan lama bila dianggap tidak berbasis pada teks yang dituju. Kearifan cultural studies akan menggiring kita
kepada pemahaman bahwa setiap waktu atau satuan era, lokalitas, dan konteks masyarakat memiliki hasrat sosial
yang tidak sama. Pencapaian pemahaman tinggi dapat terjadi jika kita dengan lunak mencerdasi setiap fenomena
sosial melalui sebuah format ingin tahu, meneliti, dan berbicara sebagai subyek pelaku.
Catatan Kritis
Namun demikian yang lebih penting untuk diuraikan berikutnya tentu saja adalah teori-teori media dan
kritisisme sosio-kultural yang mampu menyediakan wacana kritik dan telah memungkinkan suatu praksis politik.
Disamping beberapa konsep dan metode yang diderivasi dari wacana filosofis tersebut, teori media dan teori kritik
media juga tak mungkin di cerai-beraikan dari teori budaya. Perjumpaan perspektif yang eklektif itu bisa dimengerti
jika kita menelisik pengertian budaya. Pengertian yang cukup representatif diusulkan oleh Raymond Williams dalam
Keywords (1983:87) yang mengoleksi tiga definisi untuk kata ‘budaya’; pertama, budaya dapat digunakan untuk
menunjuk pada proses umum intelektualitas, spiritualitas dan perkembangan estetika.
Kita dapat, misalnya, berbicara tentang perkembangan budaya Aceh dan hanya menunjuk pada faktor-
faktor intelektual, spiritual, dan estetikanya -- ulama’-ulama’, para seniman, dan sajak-sajak. Kedua, kata ‘budaya’
untuk menunjuk pada cara pandang tertentu, apakah itu suatu masyarakat, jaman maupun suatu kelompok. Ketiga,
Williams menyarankan bahwa budaya dapat digunakan untuk mengacu pada karya-karya dan praktik-praktik
intelektual khususnya aktivitas artistik. Dengan kata lain, ‘teks-teks’ dan ‘praktik-praktik’ yang fungsi utamanya
adalah untuk menandakan dan untuk memproduksi makna. Definisi ketiga inilah yang memiliki persinggungan
dengan apa yang biasa disebut oleh para strukturalis dan pasca-strukturalis sebagai ‘praktik-praktik penandaan’.
Berbicara tentang budaya, kiranya wilayah antropologi dan sosiologi tidak bisa dikesampingkan begitu
saja. Dalam pemahaman antropologis, budaya adalah “suatu sistem simbolik yang terbentuk secara internal, khas
secara sosio-historis. Dengan demikian -berlawanan dengan definisi diatas- untuk merengkuh budaya tidak mungkin
dengan mereduksinya pada praksis, struktur sosial atau ‘impuls-impuls kemanusiaan dasar”.