Anda di halaman 1dari 9

Putusan Gugur

Suatu perkara perdata dapat diputus secara contradictoir atau di luar hadirnya salah satu
pihak yang berperkara. Perkara diputus secara contradictoir apabila kedua belah pihak hadir di
persidangan pada hari siang yang ditetapkan, sedangkan kalau salah satu pihak saja yang hadir
maka diputus di luar hadirnya salah satu pihak.

Putusan di luar hadirnya salah satu pihak itu tidak lain untuk merealisir asas audi et
alteram partem, di mana kepentingan kedua pihak harus diperhatikan.

Ada kalanya penggugat yang mengajukan gugatan pada hari siding yang telah ditetapkan
tidak datang menghadap dan tidak pula mengirim wakilnya menghadap meskipun telah dipanggil
dengan patut oleh jurusita. Pasal 126 HIR (ps. 150 Rv) masih memberi kelonggaran untuk
dipanggil sekali lagi.

Diajukannya gugatan merupakan kepentingan daripada penggugat, maka diharapkan


bahwa ia hadir pada sidang yang telah ditetapkan. Kalau penggugat tidak hadir meskipun sudah
di panggil dengan patut, sedangkan tergugat hadir, maka untuk kepentingan tergugat yang sudah
mengorbankan waktu dan mungkin juga uang, haruslah dijatuhkan putusan. Dalam hal ini
gugatan penggugat dinyatakan gugur serta dihukum untuk membayar biaya perkara (ps. 124
HIR, 148 Rbg).

Untuk memutuskan gugur gugatan penggugat, isi gugatan tidak perlu diperiksa, sehingga
putusan gugur itu tidak mengenai isi daripada gugatan, putusan gugur itu dijatuhkan demi
kepentingan tergugat yang hadir dipersidangan. Dengan dinyatakan gugur gugatan penggugat,
maka dianggap selesailah perkaranya. Tetapi kepada penggugat diberi kesempatan untuk
mengajukannya lagi dengan membayar biaya perkara.

Digugurkannya gugatan penggugat tidak hanya apabila pengggugat tidak datang saja,
tetapi juga kalau penggugat tidak mengajukan perkaranya di muka hakim perdamaian desa,
meskipun telah diperintahkan oleh hakim (ps. 135a HIR).

Kalau penggugat pada hari siding pertama datang, tetapi pada hari siding-sidang
berikutnya tidak datang, perkaranya diperiksa secara contradictoir.

Putusan di Luar Hadir (Verstek)

Ada kemungkinannya pada hari siding yang telah ditetapkan tergugat tidak datang dan
tidak pula mengirimkan wakilnya menghadap di persidangan, sekalipun sudah dipanggil dengan
patut oleh jurusita. Tidak ada keharusan bagi tergugat untuk datang dipersidangan: suatu
Einlassungspflicht memang tidak dikenal di dalam HIR.
Kalau tergugat tidak datang setelah di pangggil dengan patut, maka gugatan dikabulkan
dengan putusan diluar hadir atau verstek, kecuali kalau gugatan itu melawan hak atau tidak
beralasan.

Tentang kapan boleh dijatuhkan putusan verstek ada yang berpendapat bahwa putusan
verstek harus dijatuhkan pada hari siding pertama, yang mendasarkan pada kata-kata “ten dage
dienende” dalam pasal 125 HIR (ps.148 Rbg) yang diartikan sebagai hari sidang pertama.
Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa kata-kata “ten dage dienende” dapat pula diartikan
“ten dage dat de zaak dient” yang berarti tidak hanya hari sidang pertama saja.1) pasal 126 HIR
(ps.150 Rbg) memberi kelonggaran untuk dipanggil sekali lagi.

Kata verstek itu sendiri berarti pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang
pertama.

Ada kalanya tergugat tidak datang, tetapi mengirimkan surat jawaban, yang
mengemukakan tengkisan (eksepsi), bahwa pengadilan negri tidak berkuasa memeriksa
perkaranya. Dalam hal ini sekalipun ia atau wakilnya tidak datang, hakim wajib memutuskan
tentang eksepsi itu setelah penggugat didengar. Bila hakim menganggap dirinya wenang untuk
memeriksa perkara yang bersangkutan, maka eksepsi tersebut ditolak dan dijatuhkan putusan
tentang pokok perkara. Eksepsi tidak wenang seperti yang tercantum dalam pasal 133 HIR (ps.
159 Rbg) itu mengenai kompetensi relatif dan harus diajukan pada permulaan sidang sebelum
diajukan jawaban.

Jika gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar
tuntutan tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan dinyatakan tidak diterima (niet
ontvankelijk verklaard). Jika gugatan itu tidak beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-
peristiwa yang membenarkan tuntutan, maka gugatan akan ditolak. Putusan tidak diterima ini
bermaksud menolak gugatan di luar pokok perkara, sedang penolakan merupakan putusan
setelah dipertimbangkan mengenai pokok perkara. Pada putusan tidak diterima, dikemudian hari
penggugat masih dapat mengajukan lagi tuntutannya, tetapi dalam prektek sekarang ini tidak
jarang putusan tidak dapat diterima dimintakan banding, sedang dalam hal penolakan tidak
terbuka kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut untuk kedua kalinya kepada hakim yang
sama (ne bis in idem).

Jadi putusan Verstek tidak berarti selalu dikabulkannya penggugat.

Pada hakekatnya lembaga verstek itu untuk merealisir asas audi et alteram partem, jadi
kepentingan tergugatpun harus diperhatikan, sehingga seharusnya ex officio hakim mempelajari
isi gugatan, tetapi dalam praktek sering gugatan menggugat dikabulkan dalam putusan verstek
tanpa mempelajari gugatan lebih dulu.

1
S.E.M.A. 9/1964 13 April 1964.)
Dalam putusan verstek dimana penggugat dikalahkan, penggugat dapat mengajukan
banding (ps. 8 ayat 1 UU. 20/1947, 200 Rbg).

Putusan Verstek atau luar hadir tergugat ini dijatuhkan kalau tergugat tidak datang pada
hari sidang pertama. Kalau tergugat pada hari sidang pertama datang kemudian tidak datang,
maka perkaranya diperiksa secara contradictoir.

Apabila gugatan dikabulkan diluar hadir, maka putusannya diberitahukan kepada tergugat
(deffailant) serta dijelaskan bahwa tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap
putusan verstek itu kepada hakim yang memeriksa perkara itu juga (ps. 125 ayat 3 jo. 153 Rbg).

Dapat diajukan dalam 14 hari sesudah pemberitahuan putusan verstek kepada tergugat
pribadi. Apabila pemberitahuan itu tidak disampaikan kepada tergugat pribadi, maka perlawanan
dapat diajukan sampai hari ke 8 setelah teguran untuk melaksanakan verstek itu atau apabila
tergugat tidak datang menghadap untuk ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari
ke 8 sesudah putusan verstek itu dijalankan (ps. 129 ayat 2 HIR, 153 ayat 2 Rbg).

Tuntutan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek diajukan dan diperiksakan seperti
perkara contradictoir. Dalam acara perlawanan yang mengajukan perlawanan (pelawan,
opposant) tetap menduduki kedudukannya sebagai tergugat seperti dalam perkara yang telah
diputus verstek, sedang terlawan (goepposeerde) tetap sebagai penggugat.2

Apabila perlawanan diterima oleh pengadilan, maka pelaksanaan putusan verstek


terhenti, kecuali kalau ada perintah untuk melanjutkan pelaksanaan putusan verstek itu (ps. 129
ayat 4 HIR, 153 ayat 5 Rbg).

Dalam pemeriksaan perlawanan (verzetsprocedure) oleh karena kedudukan para pihak


tidak berubah maka pihak penggugatlah (terlawan) yang harus mulai dengan pembuktian.

Kalau dalam acara perlawanan penggugat tidak datang, maka perkara diperiksa secara
contradictoir. Sedangkan kalau tergugat dalam acara perlawanan itu tidak datang lagi, maka
untuk kedua kalinya diputus verstek, terhadap mana tuntutan perlawanan (verzet) tidak diterima
(niet ontvankelijk verklaard, ps.. 129 ayat 5 HIR,153 ayat 6 Rbg).

Jika terdapat beberapa orang tergugat, sedang salah seorang atau lebih diantaranya tidak
datang atau tidak menyuruh wakilnya menghadap meskipun telah dipanggil dengan patut,
perkara diperiksa secara contradictoir.

Bagaimanakah kalau kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat, tidak datang
pada hari sidang yang telah ditentukan, meskipun kedua-duanya telah dipanggil dengan patut ?
tentang hal ini tidak ada ketentuannya. Tetapi demi kewibawaan badan pengadilan serta agar
jangan sampai ada perkara yang berlarut-larut tidak berketentuan, dalam hal ini gugatan perlu
dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada.
2
S.E.M.A. 9/1964 13 April 1964
Perdamaian

Kalau pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus
berusaha mendamaikan mereka (ps. 130 HIR, 154 Rbg). Pada saat inilah hakim dapat berperan
secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk keperluan perdamaian itu sidang lalu
diundur untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari sidang berikutnya
apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan
hasil perdamaiannya, yang lazimnya berupa surat perjanjian di bwah tangan yang ditulis di atas
kertas bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak itu maka hakim
menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk
memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Adapun kekuatan putusan
perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan
lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dimungkinkan. Usaha perdamaian ini terbuka
sepanjang pemeriksaan di persidangan.

“jikalau sipenggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pengadilan negri pada
hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya,
maka gugatannya dipandang gugur dan sipenggugat dihukum membayar biaya perkara; akan
tetapi sipenggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukkan gugatannya
sekali lagi.”

Apa yang diartikan sebagai perkataan “telah dipanggil dengan patut?” artinya ialah
bahwa yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut undang-undang,
dimana pemanggilan dilakukan oleh jurusita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-
pihak, yang dilakukan terhadap bersangkutan atau wakilnya yang sah, dengan memperhatikan
tenggang waktu – kecuali dalam hal yang sengat perlu – tidak boleh kurang dari tiga hari kerja
(pasal 133 HIR).

Sebelum gugatan digugurkan, hakim harus terlebih daulu dengan teliti memeriksa berita
acara pemanggilan pihak-pihak apakah penggugat telah dipanggil dengan patut, seksama dan
seandainya cara pemanggilan telah tidak dilakukan sebagaimana mestinya, hakim tidak boleh
menggugurkan gugatan melainkan akan menyuruh jurusita untuk memanggil pihak penggugat
sekali lagi.

Biaya pemanggilan yang tidak sah tersebut seharusnya menjadi tanggungan dari jurusita
yang telah melakukan pemanggilan secara tidak sah itu, setidak-tidaknya terhadap jurusita yang
tidak cakap itu harus diberikan teguran. Kalau yang bersangkutan melakukan kesalahan
semacam itu berkali-kali, terhadapnya hendaknya diambil tindakan administratif, misalnya
dengan melarang ia, untuk sementara waktu, melakukan panggilan-panggilan.
Juga apabila, meskipun pihak penggugat telah dipanggil dengan patut, pihak penggugat
telah mengirim orang atau surat yang menyatakan bahwa pihak penggugat berhalangan secara
sah (misalnya, oleh karena ia sedang sakit payah) atau pihak penggugat telah mengutus
wakilnya, akan tetapi ternyata surat kuasa yang ia telah berikan kepada wakilnya itu tidak
memenuhi persyaratan (di dalamnya terdapat kesalahan), maka hakim harus cukup bijaksana
untuk mengundurkan sidang.

Dalam hal penggugat sebelum dipanggil telah wafat, maka terserah kepada para ahli
warisnya apakah mereka akan meneruskan perkara tersebut atau akan mencabut perkara yang
bersangkutan. Hendaknya para ahli waris datang menghadap pada ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan untuk mengutarakan maksudnya. Apabila mereka berkehendak melanjutkan
gugatan itu, maka surat gugat harus diubah dengan mencantumkan para ahli waris sebagai
penggugat. Apabila diantara para ahliwaris ada yang tidak mau ikut menggugat, agar gugat tidak
dinyatakan tidak diterima karena kurang lengkap, ahliwaris yang tidak mau menggugat,

Subyektif karena ia dalam hal ini mewakili negara dalam memelihara ketertiban umum.

Jawaban

Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan tergugat untuk menjawab gugatan
penggugat. Pasal 121 ayat 2 HIR (ps. 145 ayat 2 Rbg) hanya menentukan bahwa tergugat dapat
menjawab secara tertulis maupun lisan.

Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan, tetapi dapat juga berupa bantahan (verweer).

Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat, baik untuk sebagian maupun
untuk seluruhnya, sehingga kalau tergugat membantah, penggugat harus membuktikan. 18)
walaupun pengakuan diberikan oleh salah satu pihak yang berperkara, namun merupakan alat
bukti. Oleh karena itu akan dibicarakan lebih lanjut dalam uraian mengenai pembuktian.

Pengakuan harus dibedakan dari referte (referte aan het oordeel des rechters). Kedua-
duanya merupakan jawaban yang tidak bersifat membantah. Kalau pengakuan itu merupakan
jawaban yang membenarkan isi gugatan, maka referte berarti menyerahkan segalanya kepada
kebijaksanaan hakim (“pasrah bongkokan”) dengan tidak membantah dan pula tidak
membenarkan gugatan dalam hal referte tergugat hanya bersikap menunggu putusan. Pada
umumnya hal ini terjadi apabila pemeriksaan perkara itu tidak secara langsung menyangkut
kepentingannya, melainkan kepentingan orang lain. Jadi setengahnya bersikap masa bodooh.
Apabila tergugat menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan hakim, ia di dalam tingkat
banding masih berhak mengajukan bantahan.

Adakah Persyaratannya Mengenai Cara Mengajukan Jawaban?

Meskipun HIR tidak menyebutkan, akan tetapi sudah selayaknya kalau jawaban tergugat
itu disertai dengan alasan-alasan, karena dengan demikian akan lebih jelaslah duduknya perkara.
Tidaklah cukup kalau tergugat hanya sekedar menyangkal gugatan saja, tetapi harus diberi alasan
apa sebabnya ia menyangkal. Sengkalan yang tidak cukup beralasan dapat dikesampingkan oleh
hakim, demikianlah putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 1 April 1938.19).

Pasal 113 Rv mensyaratkan agar bantahan tergugat itu disertai alasan-alasan (“met
redenen omkleed”).

Menurut pasal 136 HIR (ps. 162 Rbg) maka jawaban yang berupa tangkisan (eksepsi),
kecuali tangkisan tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh dimajukan dan dipertimbangkan
terpisah, tetapi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Menurut pendapat
Wirjono Prodjodikoro pasal 136 HIR (ps. 162 Rbg) tersebut diartikan sebagai anjuran saja
supaya seberapa dapat tergugat mengumpulkan atau menyatukan segala sesuatu yang ingin
diajukannya dalam jawabannya pada waktu itu ia member jawaban pada permulaan pemeriksaan
perkara.3) pendapatnya itu disandarkan kepada tidak adanya sanksi pada pasal 136 HIR (ps.162
Rbg) tersebut. Sedang menurut Supomo pasal 136 HIR (ps.162 Rbg) tersebut tidak lain untuik
menghindarkan kelambatan yang tidak perlu atau dibuat-buat supaya proses berjalan lama.4)

Tentang apakah jawaban tergugat itu harus disatukan atau boleh dipisah-pisah ada 3
pendapat,5) yaitu :

1. Jawaban tergugat harus diberikan sekaligus dengan akibat gugurnya jawaban atau
sangkalan apabila tidak diajukan sekaligus (Eventul-maxime). Pendapat ini menghendaki
adanya konsentrasi daripada bantahan. Pasal 114 ayat 1Rv menghendaki konsentrasi
daripada bantahan.
2. Jawaban diberikan dalam kelompok-kelompok. Prinsip ini menghambat jalannya
pemeriksaan, sehingga oleh karena itu terdesak oleh prinsip Eventualmaxime.
3. Demi kepentingan kedua belah pihak yang berperkara, maka sepanjang pemeriksaan
boleh diajukan jawaban-jawaban, akan tetapi hakim dapat mengesampingkannya demi
lancarnya jalannya pemeriksaan.

Kalau tergugat diberi kebebasan untuk mengajukan jawabannya sekehendaknya, hal ini
kemungkinan akan merugikan pihak penggugat, karena jawabannya dapat berlarut-larut. Maka
untuk memudahkan serta mempercepat jalannya pemeriksaan sudah selayaknyalah kalau
jawaban tergugat, baik yang berupa pengakuan maupun bantahan, termasuk tangkisan dan
sangkalan tentang pokok perkara, tidak dipisah-pisahkan, tetapi disatukan dalam satu jawaban
(concentratie van verweer) sedemikian sehingga tidak merugikan pihak tergugat.

Pasal 136 HIR (ps.162 Rbg) menghendaki adanya konsentrasi jawaban. Akan tetapi
penyatua jawaban ini hanyalah menyangkut tangkisan (eksepsi), yang bukan berhubungan
dengan tidak berkuasanya hakim, dan sangkalan (verweer ten principale).
3
Wirjini Prodjodikoro, hukum acar perdata di Indonesia, hal. 45
4
supomo, op.cit., hal.71.
5
Star Bussman, op.cit., hal. 277
Tentang sangkalan yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale) pasal
136 HIR (ps. 162 Rbg) tidak mengharuskan untuk diajukan pada permulaan sidang, maka oleh
karena itu dapat diajukan selama proses berjalan. Bahkan sangkalan mengenai pokok perkara
yang belum diajukan pada Pengadilan Negeri dapat diajukan pada tingkat banding asal saja tidak
bertentangan dengan sangkalan yang diajukan pada tingkat pertama.6)

Bantahan (verweer) pada hakikatnya bertujuan agar gugatan penggugat ditolak. Dan
bantahan tergugat ini dapat terdiri dari tangkisan atau eksepsi dan sangkalan.

Apa yang dimaksdukan dengan tangkisan (exceptief verweer) dan sangkalan (verweer ten
principale) tidak dijelaskan oleh undang-undang.

Pada umumya yang diartikan dengan eksepsi ialah suatu sanggahan atau bantahan dari
pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang
berisi tuntutan batalnya gugatan. Sedangkan yang dimaksud dengan sangkalan (verweer ten
principale) adalah sanggahan yang berhubungan dengan pokok perkara

Faure membagi eksepsi menjadi eksepsi prosesuil dan eksepsi materiil.7)

Eksepsi prosesuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan.
Pernyataan tidak diterima berarti suatu penolakan in limine litis, berdasarkan alasan-alasan di
luar pokok perkara. Hanya dalam hal ketidakwenangan hakimatau batalnya gugatan, hakim
bukannya menyatakan tidak diterimanya gugatan, melainkan menyatakan dirinya tidak wenang
atau menyatakan gugatan batal. Termasuk eksepsi prosesuil ialah tangkisan yang bersifat
mengelakkan (eksepsi declinatoir) seperti eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, eksepsi
bahwa gugatan batal, dan eksepsi bahwa perkara telah diputus serta eksepsi bahwa pihak
penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat (eksepsi disqualificatoir).

Sedangkan eksepsi materiil merupakan bantahan lainnya yang didasarkan atas ketentuan
hukum materiil. Termasuk eksepsi materiil ialah eksepsi yang bersifat menunda (eksepsi dilatoir)
seperti eksepsi bahwa tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan berhubung penggugat
memberi penundaan pembayaran. Dan eksepsi peremptoir yang sudah mengenai pokok perkara,
seperti eksepsi karena lampaunya waktu (kadaluwarsa) atau karena tergugat dibebaskan dari
membayar

HIR hanya mengatur eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim untuk memeriksa gugatan
(ps. 125 ayat 2, 133-136 HIR, 149 ayat 2, 160-162 Rbg).

Tangkisan terhadap kompetensi relative daripada hakim, yaitu bahwa pengadilan negeri
lainlah yang berkuasa, harus diajukan pada permulaan sidang (ps. 125 ayat 2, 133 HIR, 149 ayat
2, 159 Rbg), sedang tangkisan terhadap kompetensi absolut, yaitu bahwa pengadilan Negeri

6
RvJ Jakarta,2 des, 1938, T 150, hal. 207.
7
baca Star Bussman, op.cit., hal. 228
tidak berkuasa dapat diajukan setiap saat, sepanjang pemeriksaan (ps. 134 HIR, 160 Rbg),
bahkan disini hakim wajib secara ex officio memeutuskan berkuasa tidaknya ia memeriksa
perkara yang bersangkutan tanpa menunggu diajukan tangkisan oleh pihak tergugat.

Menurut pasal 356 ayat 4 Rv yang sampai sekarang masih berlaku berdasarkan pasal 3
UUDar. 1/1951, maka dalam tingkat banding tergugat tidak boleh mengajukan eksepsi.
Mengenai soal kompetensi, Pengadilan Tinggi wajib memperhatikan, meskipun yang berperkara
sendiri tidak menyinggung hal itu.25)

Akibat hukum daripada adanya jawaban ialah bahwa seperti yang telah diketengahkan di
muka, penggugat tidak diperkenankan mencabut gugatannya, kecuali dengan persetujuan
tergugat, kecuali itu tidak diperkenankan mengajukan eksepsi serta kesempatan untuk
mengajukan rekonvesi tertutup.

Atas gugatan penggugat tergugat diberi kesempatan untuk member jawabannya di muka
pengadilan, baik secara lisan maupun tertulis. Apabila proses terjadi secara tertulis, maka
terhadap jawaban tergugat, penggugat diberi kesempatan untuk member tanggapannya yang
disebut replik. Dan terhadap replik dari penggugat ini tergugat, dapat memberikan tanggapannya
yang disebut duplik jawab menjawab secara tertulis ini sekurang-kurangnya akan berlangsung
sampai tiga kali sidang. Lain halnya kalau jawab menjawab terjadi secara lisan, maka acaranya
akan lebih sederhana.

Acara jawab menjawab tidak lain dimaksudkan untuk mengetahui dan menentukan pokok
sengketa.

Tidak setiap perkara perdata itu sederhana dan cepat pemeriksaanya, sehingga dapat
diselesaikan pada hari sidang pertama. Sekiranya suatu perkara tidak dapat diselesaikan pada
hari sidang pertama, maka pemarikasaan diundurkan pada hari lain, seberapa dapat tidak lama
sudah sidang pertama dan begitu seterusnya (ps.159 ayat 1 HIR, 186 ayat 1 Rbg). Pada
prinsipnya pengunduran sidang hanya dibolehkan apabila ada alasan yang sangat mendesak
(volstrekte noodzakelijkheid; ps. 159 ayat 4 HIR, 186 ayat 4 Rbg) penundaan sidang atas
permintaan para pihak dilarang, bahkan secara ex officiopun hakim tidak boleh mengundurkan
sidang kalau tidak perlu

Didalam praktek banyak terjadi penundaan sidang atas permintaan para pihak atau secara
ex officio, tanpa adanya alasan yang “sangat mendesak”.

Penundaan sidang atas permintaan para pihak sering merupakan salah satu taktik untuk
mengulur-ulur waktu justru inilah yang hendak dicegah oleh pasal 159 ayat 4 HIR (ps.186 ayat 4
Rbg), tetapi sering juga terjadi bahwa pengunduran sidang tidak dimaksudkan untuk mengulur-
ulur waktu, akan tetapi karena pengacaranya sangat laku, maka terlalu sibuk membela perkara di
pelbagai Pengadilan Negeri, sehingga tidak dapat mewakili client-nya di Pengadilan Negeri
tertentu oleh karena harus menghadap di Pengadilan Negeri lain untuk kepentinganclien lain.
Kewajiban pengacara, sebagai kuasa atau wakil daripada client, ialah melindungi client : ia tidak
boleh merugikan client dengan menunda-nunda perkaranya. Sebaliknya tugas pengadilan adalah
member public service kepada para justiciabel dengan memperlakukan mereka secara fair dan
bukan kepada pengacara, yang pada hakikatnya bukan merupakan pihak. Bahwa pengacara yang
bersangkutan ada saidnag ditempat lain pada hari yang sama bukanlah merupakan “alasan yang
sangat mendesak” bagi pihak materiil yang bersangkutan. Maka oleh karena itu hakim harus
menolak permohonan penundaan sidang dengan alsan tersebut. Agar baik pengacara maupun
pihak yang diwakilinya tidak dirugikan, maka pengacara dapat memberikan perlimpahan kuasa
(substitusi) kepada orang lain. Dengan demikian kepentingan pihak yang bersangkutan
terlindungi dan pengacara yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya di tempat lain.

Kalau dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat telah diketahui apa yang
menjadi pokok sengketa, maka jawab menjawab dianggap cukup dan sinyatakn selesai oleh
hakim dan dimulailah dengan cara pembuktian.

Anda mungkin juga menyukai