MODUL 1
KEGIATAN BELAJAR 2
TERMINOLOGI KONSTITUSI
A. Deskripsi Singkat
Pada Kegiatan Belajar 2 ini, peserta kuliah akan mempelajari mengenai
Terminologi Konstitusi. Di Kegiatan Belajar 2 ini akan dijelaskan terkait
Terminologi Klasik Konstitusi yang terdiri Konstitusi Zaman Yunani Kuno,
Konstitusi Abad Permulaan, Konstitusi Abad Pertengahan, dan Konstitusi
Islam. Selain itu juga akan dijelaskan mengenai Terminologi Konstitusi
Modern.
B. Relevansi
Materi dalam Kegiatan Belajar ini berkaitan dengan Terminologi Konstitusi.
Diharapkan bagi peserta mata kuliah mampu menjabarkan terminologi
konstitusi.
C. Capaian Pembelajaran
1. Uraian
a. Terminologi Klasik Konstitusi
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat
dengan pengertian sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan
Yunani kuno politeia dan perkataan bahasa latin constitutio yang juga
berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia dan
constitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan
oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut
dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat
dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah kata politeia yang
berasal dari kebudayaan Yunani.( Jimly Asshiddiqie, 2011:1)
Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya istilah yang
mencerminkan pengertian kata jus ataupun constitutio seperti dalam
tradisi Romawi yang datang kemudian.(Jimly Asshiddiqie, 2011:2)
Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil,
dalam arti belum terbentuk seperti yang dimengerti di zamam modern
sekarang. Namun, perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa
sudah tergambar dalam pembedaan yang dilakukan oleh Aristoteles
terhadap pengertian kata politeia dan nomoi. Pengertian politeia dapat
disepadankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah
undang-undang biasa.
Politeia mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada nomoi
karena politeia mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada
nomoi tidak ada karena ia hanya merupakan materi yang harus
dibentuk supaya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah
konstitusi berhubungan erat dengan ucapan “Respublica Constituere”
yang melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus
Publica Suprema Lex, yang artinya “Rajalah yang berhak menentukan
struktur organisasi negara karena dialah satu-satunya pembuat undang-
undang”. (Jimly Asshiddiqie,2011:72-73)
Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah disusun
melalui dan oleh hukum, yaitu sejak zaman sejarah Yunani, dimana
mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam kitab
hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 S.M.) Athena
pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles
sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai
negara. Pemahaman awal tentang “konstitusi” pada masa itu, hanyalah
merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-
mata.
Kemudian pada masa Kekaisaran Roma, pengertian constitutionnes
memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta
peraturan yang dibuat oleh para kaisar. Termasuk di dalamnya
pernyataan-pernyataan pendapat dari para ahli hukum/negarawan, serta
adat kebiasaan setempat, disamping undang-undang. Konstitusi Roma
mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Di mana
konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para Kaisar
Roma, telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di Perancis,
bahkan kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah
memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham: “Demokrasi
Perwakilan” dan “Nasionalisme”. Dua paham inilah merupakan cikal
bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.
Pada zaman abad pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser
ke arah feodalisme. Sistem feodal ini mengandung suatu pengertian
bahwa tanah dikuasai oleh para tuan tanah. Suasana seperti ini
dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap orang harus mengabdi
pada salah satu tuan tanahnya. Sehingga raja yang semestinya
mempunyai status lebih tinggi daripada tuan tanah, menjadi tidak
mendapat tempat.
Pada abad VII (zaman klasik) lahirlah piagam /konstitusi Madinah.
Piagam Madinah adalah konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada
awal masa klasik Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M.(Dahlan
Thaib,dkk,2003:2-4).
Jauh sebelum pemikir-pemikir Barat mengemukakan temuan mereka
atas berbagai konstitusi di Yunani, sejarah Islam telah mencatat bahwa
sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW telah lahir konstitusi tertulis
yang pertama, yang kemudian dikenal dengan Konstitusi Madinah atau
ada juga yang menyebut sebagai Piagam Madinah.
Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan umat Islam
selama kurang lebih 13 tahun di Mekah terhitung sejak pengangkatan
Muhammad SAW sebagai Rasul, belum mempunyai kekuatan dan
kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi
komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke
Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yasrib.
Tidak lama sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad SAW membuat
suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah
yang dihuni oleh beberapa macam golongan. Ia memandang perlu
meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar
terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Di tengah
kemajemukan penghuni kota Madinah itu, Muhammad SAW berusaha
membangun tatanan hidup bersama, mencakup semua golongan yang
ada di kota Madinah. Sebagai langkah awal, ia “ mempersaudarakan”
antara para Muslim pendatang dan Muslim Madinah. Persaudaraan itu
bukan hanya tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
demikian mendalam sampai ke tingkat saling mewarisi. Kemudian
diadakan perjanjian hidup bersama secara damai di antara berbagai
golongan yang ada di Madinah, baik di antara golongan-golongan
Islam, maupun dengan golongan-golongan Yahudi. Kesepakatan-
kesepakatan antara golongan Muhajirin dan Anshar, dan perjanjian
dengan golongan-golongan Yahudi itu, secara formal ditulis dalam
suatu naskah yang disebut Shahifah. Kesatuan hidup yang baru
dibentuk itu dipimpin oleh Muhammad SAW sendiri, dan menjadi
negara berdaulat. Dengan demikian, di Madinah Nabi Muhammad
SAW bukan saja hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga
mempunyai sifat Kepala Negara.
Para ahli ilmu pengetahuan, khususnya ahli sejarah menyebut naskah
politik yang dibuat Muhammad SAW itu dengan nama yang
bermacam-macam. W.Montgomery Watt menamainya “The
Constitution of Medina”, R.A.Nicholson “charter”, Majid Khadduri
“treaty”, Philip K. Hitti “agreement”, Zainal Abidin Ahmad
“piagam”. Sedangkan “Al-shahifah”, adalah nama yang disebut dalam
naskah itu sendiri. Menurut Ahmad Sukardja kata shahifah semakna
dengan charter dan piagam, di mana kata charter dan piagam lebih
menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang suatu hal.
Ditetapkannya piagam politik tersebut merupakan salah satu siasat
Rasul sesudah hijrah ke Madinah, yang dimaksudkan untuk membina
kesatuan hidup berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam
tersebut dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antar kelompok,
kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan lain-lain. Berdasarkan
isi Piagam Madinah itulah warga Madinah yang majemuk, secara
politis dibina di bawah pimpinan Muhammad SAW. (Dahlan
Thaib,dkk,2003: 33-36).
Para pihak yang diikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian
ini ada tiga belas, yaitu komunitas-komunitas yang secara eksplisit
disebut dalam teks piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah: (i)
Kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekah,
(ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi
dari Bani ‘Awf, (iv)Kaum Yahudi dari Bani Sa’idah, (v)Kaum Yahudi
dari Bani al-Hars, (vi) Bani Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Bani Al-
Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Bani ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Bani al-
Nabit, (x) Bani al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Bani Sa’labah, (xii)
Suku Jafnah dari Bani Sa’labah, dan (xiii) Bani Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah itu berisi 47 pasal ketentuan.
(Jimly Asshiddiqie, 2011:14).
2. Latihan
Dalam latihan ini, peserta kuliah diharapkan menjawab soal berikut ini.
setelah menjawab, peserta kuliah diharapkan dapat menelusuri
jawabannya pada bagian uraian.
3. Pustaka
a. C.F. Strong, 2015, Konstitusi-konstitusi Politik Modern; Studi
Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk (terj.),Nusamedia,
Bandung.
b. Dahlan Thaib, dkk., 2003, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali
Pers, Jakarta.
c. Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia (cetakan kedua), Sinar Grafika, Jakarta.
d. Jimly Asshiddiqie, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
(cetakan ke-3), Rajawali Pers, Jakarta.
E. Tes Formatif
1. Perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar
dalam pembedaan yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian
kata politeia dan nomoi. Pengertian politeia dapat disepadankan
dengan pengertian...
A. Undang-undang biasa
B. Konstitusi
C. Rakyat
D. Lembaga