Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL TENTANG SEJARAH

PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL KONTEMPORER

Disusun Oleh :

Yeyen Sukelsi Rikardi

(02011181621120)

Mata Kuliah :

HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum

internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua,

yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum internasional

publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan

yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum perdata

internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata

yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum

perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang

berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)

Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum

internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac

Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional

didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan

demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya ”.

Terdapat hubungan yang erat antara hukum internasional dengan masyarakat

internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa untuk menyakini adanya hukum

internasional maka harus ada pula masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis. Pada

bagian lain dikemukakan juga bahwa, Hukum internasional dalam arti luas, termasuk hukum

bangsa-bangsa, maka sejarah hukum internasional itu telah berusia tua. Akan tetapi bila

hukum internasional diartikan sebagai perangkat hukum yang mengatur hubungan antar
negara, maka sejarah hukum internasional itu baru berusia ratusan tahun (Kusumaatmaja,

Mochtar dan Etty R. Agoes; 2003: 25).

Dengan demikian sejarah hukum internasional sama tuanya dengan adanya masyarakat

internasional meskipun dalam taraf tradisional yang berbeda dengan masyarakat internasional

dalam arti moderen.

Dalam penulisan makalah ini mengunkan metode yuridis normatif dengan pendekatan

sejarah. Perkembangan Hukum Internasional Kontemporer mencakup Masa Klasik, Abad

Pertengahan, Hukum Islam, HI Modern, HI Dalam Sistem Baru, Menuju Tata Pemerintahan

Global, dan Peta dan Paradigma lalu baru akan dilanjutkan Hukum Internasional pada masa

kontemporer. Sehubungan dengan pengunaan metode sejarah ini, Jawahir Tontowi dan

Pranoto Iskandar menyatakan bahwa Hukum internasional publik sangat terkait dengan

pemahaman sejarah. Melalui pendekatan sejarah ini, tidak sekedar proses evolusi

perkembangan hukum internasional dapat diruntut secara faktual kronologis, melaikan juga

seberapa jauh kontribusi setiap zaman bagi perkembangan hukum internasional (Tontowi,

Jawahir dan Pranoto Iskandar; 2006: 29).

Oleh karenanya hukum internasional telah mengalami perkembangan baik dilihat secara

teori, sumber hukum internasional dan subyek hukum internasional sendiri.

BAB I

Masa Klasik

Permulaan dari Hukum Internasional dapat kita lacak kembali, mulai dari

wilayah Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 SM. Dimana telah ditemukan sebuah

traktat pada dasawarsa abad ke-20 yang ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin
Lagash, dan pemimpin Umma. Traktat tersebut ditulis di atas batu yang di dalamnya

mempersoalkan perbatasan antara kedua negara kota tersebut. Traktat tersebut

dirumuskan dalam bahasa Sumeria. Tidak ketinggalan Hammurabi, raja Babilon

dengan Kode Hammurabi yang memuat ketentuan mengenai pembebasan tawanan

perang lengkap dengan persoalan pembayaran atau tebusannya.

Selain tersebutkan di atas, banyak bangsa-bangsa lain yang sangat

berpengaruh dalam perkembangan Hukum Internasional kuno, antara lain bangsa

India, Yunani, China dan Romawi. Masing-masing memiliki sumbangsih terhadap

perkembangan Hukum Internasional pada masa klasik. India dengan ajaran-ajaran

Hindu dengan kitabnya Manu menunjukkan pengintegrasian nilai-nilai yang memiliki

derajat-derajat kemanusiaan yang tinggi antara lain:

 India

Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum

yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh

adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara

raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau

Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di

bidang hukum.

 Yunani

yunani kuno dibagi kedalam dua Golongan, yaitu Golongan Orang Yunani dan Luar

Yunani yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Mereka juga sudah mengenal

arbitration (perwasitan) dan diplomat yang tinggi tingkat perkembangannya.

Sumbangan terbesar dari masa ini adalah Hukum Alam, yaitu hukum yang berlaku

mutlak dimana saja dan berasal dari rasio/akal manusia. Menurut Profesor
Vinogradoff, hal tersebut merupakan embrio awal yang mengkristalisasikan hukum

yang berasal dari adat-istiadat, contohnya adalah dengan tidak dapat

diganggugugatnya tugas seorang kurir dalam peperangan serta perlunya pernyataan

perang terlebih dahulu.

Dalam prakteknya dengan hubungan negara luar, Yunani kuno memiliki sumbangan

yang sangat mengesankan dalam kaitannya dengan permasalahan publik. Akan tetapi,

sebuah hal yang sangat aneh bagi sistem arbitrase modern yang dimiliki oleh arbitrase

Yunani adalah, kelayakan bagi seorang arbitrator untuk mendapatkan hadiah dari

pihak yang dimenangkannya.

 China

Cina memperkenalkan pentingnya nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk

kelompok-kelompok yang berkuasa. Cina juga terkenal dengan upaya pembentukan

perserikatan negara-negara Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu yang bisa

dianggap telah sebanding dengan konsepsi Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada masa

modern.

 Romawi

Pada masa ini orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis Hukum, yaitu Ius

Ceville (Hukum bagi Masyarakat Romawi) dan Ius Gentium (bagi Orang Asing).

Hanya saja, pada zaman ini tidak mengalami perkembangan pesat, karena pada saat

itu masyarakat dunia merupakan satu Imperium, yaitu Imperium Roma yang

mengakibatkan tidak adanya tempat bagi Hukum Bangsa-Bangsa. Hukum Romawi

telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam

hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides, juga asas
“pacta sunt servanda” (setiap janji harus disepakati) yang merupakan warisan

kebudayaan Romawi yang berharga.

Bangsa Romawi dalam pembentukan perjanjian-perjanjian dan perang diatur melalui

tata cara yang berdasarkan pada upacara keagamaan. Sekelompok pendeta-pendeta

istimewa atau yang disebut Fetiales, tergabung dalam sebuah dewan yang bernama

collegium fetialum yang ditujukan bagi kegiatan-kegiatan yang terkait secara khusus

dengan upacara-upacara keagamaan dan relasi-relasi internasional. Sedangkan tugas-

tugas fetiales dalam kaitannya dengan pernyataan perang, merekalah yang

menyatakan apakah suatu bangsa (asing) telah melakukan pelanggaran-pelanggaran

terhadap hak-hak bangsa Romawi atau tidak.

BAB II

Masa Abad Pertengahan

Sebenarnya pada masa ini Hukum Internasional kurang mendapatkan

perhatian, bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran. Peran keagamaan secara

berlebih-lebihan mendominasi sektor-sektor sekular. Kemunduran luar biasa ini

berakibat pada terpinggirkannya rasio, karena itu tidak mengherankan apabila zaman

pertengahan disebut sebagai masa kegelapan (the dark age).

Benih-benih perkembangan Hukum Internasional dapat ditemukan di daerah-daerah

yang berada di luar jangkauan kekuasaan Geraja Roma. Negara-negara ini antara lain

Inggris, Prancis, Venesia, Swedia, Portugal, dan Aragon. Perjanjian-perjanjian pada

jaman ini mencerminkan pengaturan mengenai peperangan, meliputi perdamaian,

gencatan senjata, dan persekutuan-persekutuan.


Walaupun menurut anggapan umum selama abad pertengahan tidak dikenal

satu sistim organisasi masyarakat nasional yang terdiri dari pada negara-negara yang

merdeka namun menuntut penyelidikan – penyelidikan yang terakhir beranggapan

tadi ternyata tidak seluruhnya benar. Memang benar selama abad pertengahan ini

Dunia Barat dikuasai oleh satu sistim feudal yang berpuncak pada Kaisar sedangkan

kehidupan Geraja berpuncak pada Paus sebagai kepala gereja katolik roma.

Masyarakat Eropah waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari

beberapa negara yang berdaulat dan tekhta suci. Masyarakat Eropah inilah yang

menjadi pewaris kebudayaan Romawi dan Junani.

Pada akhir masa pertengahan, Hukum Internasional digunakan dalam berbagai

macam isu (politik, pertahanan, dan militer) seiring dengan mulai melemahnya

kekuasaan keagamaan yang ditandai dengan maraknya upaya-upaya sekularisasi yang

tidak terlepas dari proses terbentuknya negara-bangsa-negara-bangsa modern yang

mendasarkan kekuasaannya pada legitimasi faktor-faktor sekular. Keadaan ini

tercermin dengan jelas pada tulisan Machiavelli yang berjudul Il Principe yang

menelanjangi kekuasaan, kemudian ada Martin Luther yang mengingunkan adanya

pemisahan kekuasaan, di satu sisi wilayah spiritual dengan sekular di sisi lain. Lantas

kemudian terdapat Jean Bodin dengan konsep kedaulatannya melalui buku berjudul

Six Livres de la Republique (terbit 1576). Satu lagi tokoh asal Italia Alberico Gentili,

seorang Professor hukum sipil di Oxford Inggris mengabdikan dirinya pada

persoalan-persoalan yang terkait dengan pembentukan traktat, penggunaan kekerasan,

hak-hak budak dan kebebasan di laut dengan karya utamanya yang berjudul De Jure

Belli Libri Tres yang muncul pada tahun 1598.


BAB III

Masa Hukum Internaional Islam

Pada periode ini umat islam terbagi-terbagi pada beberapa Negara dan bangsa,

sehingga tidak dimungkinkannya untuk menyatakan suatu pandangan Islam yang

dapat mewakili semua kelompok yang terdapat didalamya. Beberapa sarjana memiliki

anggapan bahwa hukum internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara

eksklusif warisan Eropa. Sehingga mereka berkesimpulan akan terdapatnya pengaruh-

pengaruh yang indispensable dari peradaban-peradaban lain, yang diantaranya adalah

peradaban Islam, yang pada saat itu merupakan kekuatan ekonomi di atas bangsa

Eropa. Ditinjau dari aspek sejarah, Islam memberikan kontribusi yang signifikan

terhadap perkembangan Hukum Internasional, tidak saja pada tataran teoritis belaka

tetapi juga dalam dimensi praktis hubungan antara negara-negara Islam termasuk

organisasinya dengan negara-negara Barat lainnya. Hukum Internasional modern

tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif warisan dari Eropa, peradaban Islam

memberikan pengaruh juga terhadap perkembangan sistem Hukum Internasional.

Sejarahwan Eropa yang menyatakan hal ini antara lain Marcel Boissard dan Theodor

Landschdeit.

Hukum internasional islam telah muncul jauh sebelum hukum internasional

barat ada. Di zaman Rasulullah, praktek internasional telah diberlakukan dengan

seadil-adilnya. Rasulullah telah membuat pedoman hubungan antara negara Islam

dengan non-Islam dalam perang dan damai. Beliau juga telah mengadakan beberapa

perjanjian-perjanjian internasional dengan bangsa-bangsa lain.

Dr.M.Abu Zahrah mengemukakan sepuluh prinsip dasar tentang kelangsungan

hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum Muslimin di masa lalu, yaitu:
(1) Islam menempatkan kehormatan dan martabat manusia sebagai makhluk

terhormat, ia sebagai Khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. (2) manusia sebagai umat

yang satu dan disatukan, bukan saja oleh proses teori evolusi historis dari satu

keturunan Nabi Adam, melainkan juga oleh sifat kemanusiaan yang universal. (3)

prinsip kerjasama kemanusiaan (ta'awun insani) dengan menjunjung tinggi kebenaran

dan keadilan. (4) prinsip toleransi (tashomah) dan tidak merendahkan pihak lain. (5)

adanya kemerdekaan (harriyah), kemerdekaan menjadi sangat penting sebab

merupakan akar pertumbuhan dan kesempurnaan manusia. (6) akhlak yang mulia dan

keadilan. (7) perlakuan yang sama dan anti diskriminasi. (8) pemenuhan atas janji. (9)

Islam menyeru pada perdamaian, karena itu mematuhi kesepakatan merupakan

kewajiban hukum dan agama. (10) prinsip kasih sayang dan mencegah kerusakan.

Selain itu, kontribusi Islam terhadap perkembangan Hukum Internasional dapat dilihat

pada konsepsi siyar yang merupakan cabang dari shari'ah. Pemahaman siyar dapat

dilihat pada hubungan antara negara-negara Muslim dan non-Muslim dan sesama

negara Muslim. Selain itu konsepsi siyar dapat juga dilihat dalam sikap netralitas dari

satu negara Islam terhadap dua negara yang sedang bertikai.

memiliki sumber-sumber tambahan selain sumber-sumber utama (Al-Quran

dan As-Sunnah), sumber tambahan (subsidiary sources) tersebut adalah praktek-

praktek Empat Khalifah pertama yang diklaim oleh ahli-ahli Hukum Islam dapat

melengkapi Al-Quran, selain itu sumber tambahan ini dapat berupa pendapat-

pendapat sarjana Hukum Islam, putusan Arbitrase, hukum nasional yang terkait

dengan materi siyar, deklarasi unilateral yang terkait dengan siyar, dan kebiasaan. Jika

diperhatikan konstruksi sumber-sumber hukum tersebut terdapat kemiripan dengan

sumber-sumber hukum yang didaftar dalam Statuta ICJ.


BAB IV

Hukum Internasional Modern

Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur

hubungan antara negara-negara lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang

didasarkan atas negara-negara nasional. sebagai titik saat lahirnya negara-negara

nasional yang modern biasanya diambil saat ditanda-tanganinya Perjanjian

Perdamaian West Phalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (thirty Years

War) di Eropa.

Hukum Internasional semakin meluas, karena kenyataanya seperti

bertambahnya kuatnya Negara-negara baru di eropa dan di luar eropa, ekspansi

kebudayaan Eropa, diluar Eropa, modernisasi transport, peperangan modern maha

dahsyat, dan sebagainya. Kejadian-kejadian ini mendesak masyarakat internasional

untuk mendapatkan sistem hukum dan peraturan yang dapat mengatur dengan rapi

jalannya urusan-urusan internasional. Hal ini dapat dilihat dalam pertumbuhannya

hukum perang dan netralitas, bertambahnya arbritrase sesudah Alabama Claims

Award, 1872, yang menghasilkan peraturan dan asas-asas baru; Negara-negara

banyak mengadakan traktat, dan sarjana-sarjana hukum berbagai bangsa dengan

tulisan-tulisan mereka menambah sifat ilmiah penyelidikan Hukum Internasional.

Sarjana-sarjana seperti Kent dan Wheaton (berasal dari Amerika Serikat), De

Martens, seorang Rusia Kluber dan Bluntsschli (Jerman), Phillimore dan Hall

(Inggris), Calvo (Argentina), Fiora seorang Italia dan Pradier-Fodore dari Prancis,

sarjana-sarjana ini cenderung menitikberatkan praktek Negara sudah ada pada waktu

itu dan mengabaikan konsep hukum kodrat. Pada abad ketujuhbelas dan delapan belas

semangat baru memasuki hukum internasional. Hugo de Groot atau Grotius, penulis
dari Belanda merupakan orang yang paling berpengaruh atas keadaan hukum

internasional modern. Buku Grotius yang berjudul On the law of War and Peace yang

diterbitkan di paris pada tahun 1625. Di sisi lain Grotius dianggap sebagai orang yang

paling berjasa dalam upaya sekularisasi hukum internasional yang tercermin dalam

pembukaan bukunya yang menyatakan bahwa ‘hukum alam akan tetap sama

walaupun Tuhan tidak ada’. Dalam pemikiran Grotius, ia menekankan perbedaan

antara hukum bangsa-bangsa tidak lagi dianggap sebagai sub- dari hukum alam. Akan

tetapi, hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri dan mendapatkan kekuatan mengikatnya

berasal dari kehendak negara-negara itu sendiri. Menurut Grotius, hukum ini tidak

terkait dengan persoalan-persoalan yang diluar jangkauan seperti keadaan pikiran,

namun hanya mengikat sikap luar dari Negara-negara dan pemimpinnya. Penulis lain

yakni Samuel Pufendorf dalam karyanya De Jure Nature et Gentium menyatakan

pandangan bahwa hukum Internasional dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal

dan beranggapan bahwa perang sebagai alat yang hanya dapat disahkan setelah

melalui syarat-syarat yang sangat ketat. Dengan kata lain perang hanya dapat

dilakukan dalam hal hukum alam telah dilanggar. Di samping itu, menurut Neff,

secara insidental pula, Pufendorf menjabat sebagai ketua akademik dalam hukum

alam dan bangsa-bangsa di Universitas Heidelberg pada tahun 1660.

Pendekatan yang sama sekali bertentangan dengan yang dimiliki Pufendorf

adalah Richard Zouche, sama-sama menjabat professor hukum sipil di Oxford,

sebagaimana Gentili. Zouche merupakan perintis dari paham positifisme yang

ditandai dengan ketidakpeduliannya terhadap doktrin-doktrin tradisional. Ia lebih

memberikan perhatian terhadap hukum internasional dalam keadaan damai (law of

peace) disbanding dengan hukum perang. Penerus Zouche dapat kita lihat pada
Cornelis van Bynkershoek yang menekankan pada pentingnya kebiasaan atau actual

practice dari Negara-negara disbanding pada hukum alam. Sumbangan yang besar

diberikan oleh Bynkershoek adalah teorinya mengenai hak-hak dan kewajiban yang

dimiliki oleh Negara-negara netral. Positifisme berkembang sejalan dengan makin

jelasnya bentuk Negara-negara bangsa yang bergandengan dengan teori kedaulatan

yang dikemukakan oleh Bodin dan Thomas Hobbes. Teori ini dikembangkan oleh

Emmerich de Vattel yang memperkenalkan prinsip persamaan antara Negara-negara.

Sementara doktrin hukum alam melengkapinya dengan memberikan justifikasi bagi

keabsolutan sifat kedaulatan itu sendiri.

Hukum bangsa-bangsa mulai mendapatkan pengertian yang jelas yakni hukum

yang secara eksklusif mengatur hubungan-hubungan antar Negara. Pada akhir abad ke

delapan belas hukum bangsa-bangsa mendapatkan nama baru ‘hukum internasional’

dari filsuf jenial Inggris, Jeremy Bentham. Pengertian baru ini lebih lanjut

berpengaruh terhadap isi dari hukum Internasional itu sendiri. Hal yang paling

menonjol adalah munculnya pembagian antara persoalan domestik dan internasional.

Pembedaan ini merupakan akibat dari munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian

the Peace of Westphalia yang ditujukan untuk mengakhiri perang antar agama yang

telah berlangsung selam tiga puluh tahun di Eropa. Pada abad kesembilan belas

muncul kelompok dengan paham Positifistik yang bias dikatakan sebagai pewaris dari

paham voluntaris. Perbedaannya positifis lebih doktriner, yang pemahamannya

diungkapkan sebagai ‘hukum yang mengikat negara adalah hukum yang mana negara

tersebut telah memberikan persetujuan’. Kemudian muncul pemahaman bahwa

hukum internasional merupakan hukum antar negara bukanlah hukum yang diatas

negara, sebagaimana yang terdapat dalam pemahaman kelompok naturalis.


Pemahaman positifis ini meninggalkan pemahaman kelompok sebelumnya

yang menekankan pada kesatuan yang terdapat dalam hukum alam pertengahan.

Pemahaman ini lebih jauh, kependekannya, menempatkan hukum sebagai hamba.

Kemudian hukum internasioanal menjadi sangat kaku yang berbeda dengan hukum

alam pada masa sebelumnya oleh karena sangat terkait erat dengan kritik social.

Implikasi pemahaman positifistik ini adalah menempatkan keputusan suatu negara

untuk pergi berperang semata-mata karena persoalan negara bersangkutan merupakan

persoalan negara yang mengkhawatirkan.

Pada abad Sembilan belas, ditandai oleh berdirinya dua organisasi yang menampung

para ahli hukum internasional, the International Law Association dan Institut de droit

International. Perkembangan lain adalah hukum international menjadi objek studi

dalam skala luas dan memungkinkan penanganan persoalan hukum International

secara lebih professional. Penulisan mengenai hukum Internasional makin marak,

yang diantaranya George Friedrich de Martens. Yang berhasil menulis buku yang

semata-mata hanya didasarkan pada praktek dari negara-negara, tidak pada doktrin

hukum alam. Diikuti oleh Henry Wheaton, seorang diplomat dan Sarjana Hukum

Amerika Serikat yang menulis buku berjudul Elements of International Law yang

telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.

Paham hukum alam pada abad kesembilan secara menakjubkan masih dapat bertahan

dalam hal persoalan menggunakan perang sebagai instrument kebijakan. Kategori

yang sangat penting dalam hal ini adalah reprisals yakni suatu metode yang

melibatkan penggunaan kekerasan yang ditujukan pada suatu negara yang dituduh
atas pelanggaran hukum. Kelompok historisis, dengan George Wilhelm Friedrich

Hegel, merupakan versi lanjutan dari hukum alam, memiliki kesamaan pendapat

dengan pemahaman Positifis bahwa fundamental unit dari studi adalah negara-bangsa.

Lebih jauh, pemahaman Hegel ini menuntut individu untuk tunduk pada kehendak

negara, mengingat negara merupakan wujud dari kehendak semua. Pemahaman

kelompok ini lebih dogmatis dibandingkan dengan positifis mengingat mereka

memandang apabila negara-bangsa merupakan satu-satunya alat bagi penyampaian

aspirasi psikologis dan cultural dari suatu bangsa. Kelompok historisis ini hanya

memilki dua orang penulis utama yakni, James Lorimer dari Skotlandia dan Pasquale

Mancini dari Italia. Paham kelompok ini tak lama kemudian dilupakan oleh para ahli

hukum. Paham Historisis tidak terlepas dari nasionalisme yang pada saat itu mencapai

puncaknya. Seiring dengan bangkitnya negara-bangsa (nation states), Negara-negara

baru tersebut memiliki persoalan, yakni dalam hal pelaksanaan hubungan luar

negerinya.

BAB V

Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum Baru

Langkah-langkah penting untuk menuju terciptanya sebuah sistem baru dalam

Hukum Internasional adalah upaya-upaya konkrit melalui kesepakatan-kesepakatan

dan pembuatan Komite Sementara untuk menyiapkan PBB sebagai organisasi

internasional. Peristiwa penting pada masa ini antara lain:

(a) The Inter Allied Declaration (12 Juni 1941-Inggris Raya menyatakan untuk

mendirikan dunia pasca perang yang berlandaskan perdamaian dan keamanan),


(b) Piagam Atlantic (Agustus 1941-Churchill dan Roosevelt bersepakat untuk

menegaskan prinsip-prinsip umum dasar mekanisme internasional pasca perang),

(c) Deklarasi Bangsa-bangsa Bersatu (1 Januari 1942-kesepakatan pembentikan

organisasi internasional baru dengan nama PBB),

(d) Komite London 20 Mei 1943, pembahasan pembentukan ICJ),

(e) Deklarasi Moskow (30 Oktober 1943-AS, Inggris, China dan Uni Sovyet

menandatangani deklarasi pembentukan sebuah badan yang memiliki tanggung

jawab dalam hal perdamaian),

(f) Teheran (November 1943- Roosevelt, Churchill, dan Stalin menyetujui apabila

badan internasional baru memiliki kewenangan perihal persoalan penjaga

perdamaian),

(g) Bretton Woods (1-21 Juli 1944- awal pendirian rezim hukum ekonomi

internasional),

(h) Konferensi Dumbarton Oaks (21 Agustus-Oktober 1944-konferensi awal

pendirian PBB),

(i) Konferensi Yalta (4-11 Februari 1945-pembahasan struktur organisasi pasca

perang), dan

(j) Konferensi San Fransisco (25 April-26 Juni 1945-penandatanganan Piagam PBB

dan draf Statuta ICJ disetujui).


BAB VI

Menuju Tata Pemerintahan Global

Masa dimana PBB telah berdiri dan menjalankan tugasnya pasca perang yaitu

menciptakan kondisi damai dan saling menghormati yang timbul akibat perjanjian dan

terpeliharanya sumber Hukum Internasional lainnya. PBB memiliki peran sentral

untuk berfungsinya dan sekaligus juga promotor bagi pembentukan Hukum

Internasional.

Pada masa ini ditandai dengan munculnya blok-blok kekuatan di dunia yang

dikenal dengan Blok Barat (AS dan negara-negara Eropa Barat-ditandatanganinya

Traktat AtlantikUtara (NATO) pada tahun 1949), Blok Timur (China dan negara

Eropa Timur-kekuatan komunis), dan negara Dunia Ketiga (negara Asia-Afrika pasca

Konferensi Asia-Afrika Bandung April 1955).

Dalam literatur lain, seperti yang terdapat dalam buku yang ditulis oleh Boer

Mauna, disebutkan bahwa dengan prinsip dasar: "Law exists only in a society, and a

society cannot exist without a system of law to regulate the relations of its members

with one another" (Brierly). Hukum Internasional telah ada sejak jaman dahulu. Ini

terbukti pada jaman Yunani kuno atau Romawi kuno, mereka sudah mengadakan

perjanjian-perjanjian dengan negara- negara atau kerajaan lain, seperti perjanjian

damai, persahabatan bahkan perjanjian perang sekalipun. Pada abad ke-15 dan 16, di

city-states Italia, seperti Venice, Genoa dan Florence berkembang praktek pengiriman

duta-duta besar residen ke ibukota masing-masing, yang berakibat dibuatnya

peraturan-peraturan mengenai hubungan diplomatik, khususnya yang mengatur

kekebalan-kekebalan para dubes dan stafnya.

Hukum Internasional dalam arti modern, baru berkembang sejak abad ke-16

dan 17, dimana mulai bermunculan negara-negara dengan sistim hukum modern di
daratan Eropa. Pada saat itu bermunculan pendapat-pendapat atau pemikiran-

pemikiran dari para tokoh/ahli. kenamaan di Eropa, sehingga mengakibatkan

munculnya 2 golongan yang mengiringi perkembangan Hukum Internasional.

Golongan tersebut adalah golongan Naturalis dan golongan Positivis.

1. Golongan Naturalis

Menurut golongan ini, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan

berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara

universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus

dicari dan bukan dibuat. Golongan ini bersumberkan pada ajaran hukum Tuhan atau

bisa disebut sebagai Teori Hukum Alam. Salah satu tokohnya adalah seorang Belanda

bernama Hugo de Groot (Grotius), dimana karyanya yang terkenal dan memberi

sumbangsih yang sangat besar dalam perkembangan Hukum Internasional adalah De

jure belli ac pacis (Hukum Perang dan Damai). Karya tersebut berisikan dasar-dasar

baru yang mengatur hubungan antar negara. Teori hukum alam saat ini hampir jarang

dipergunakan atau mempunyai pengaruh besar, mengingat negara-negara modern

melihat Hukum Internasional sebagai hasil perumusan kehendak bersama yang

disebut sebagai hukum positif.

2. Golongan Positivis

Menurut golongan ini, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-

prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. JJ Rousseau

dalam bukunya Du contract social, La loi c'est I'expression de la volonte generale

Hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Perkembangannya teori ini dikenal

sebagai Teori Hukum Positif. Teori ini mulai berkembang di abad ke -18. Di abad ke-

19, Hukum Internasional berkembang dengan cepat karena beberapa faktor, antara

lain: (a) Negara- negara Eropa sesudah kongres Wina 1815 berjanji untuk selalu
memakai prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain; (b)

Banyak dibuat perjanjian- perjanjian (law-making treaties) seperti di bidang perang,

peradilan, arbitrase dll; (c) Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral

yang sering melahirkan ketentuan- ketentuan hukum baru.

Pertengahan abad ke-20, Hukum Internasional semakin pesat perkembangannya

karena: (a) Banyaknya negara-negara baru yang lahir; (b) IPTEK berkembang pesat

yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama

antar negara di berbagai bidang; (c) Banyaknya perjanjian-perjanjian, baik bilateral,

multilateral, regional atau global; dan (d) Bermunculannya organisasi-organisasi

internasional seperti PBB. Dengan demikian Hukum Internasional sudah semakin

berkembang dan mengatur berbagai aspek-aspek hubungan antar negara demi

tercapainya kesejahteraan dan keserasian dalam kehidupan antar bangsa.

BAB VII

Peta Dan Paradigma Baru

Paradigma dalam Hubungan Internasional

Paradigma merupakan pijakan dasar untuk menjelaskan fenomena-fenomena, masalah-

masalah Hubungan Internasional atau politik tertentu melalui suatu sistem kriteria, standar-

standar, prosedur-prosedur, dan seleksi fakta permasalahan yang relevan.

1. Paradigma Realis (Realism)


Realism berpendapat bahwa sifat dasar interaksi dalam sistem internasional yakni

anarki, kompetitif, kerap kali konflik, dan kerjasamanya dibangun hanya untuk kepentingan

jangka pendek. Ketertiban dan stabilitas hubungan internasional hanya akan dicapai melalui

distibusi kekuatan (power politics). Paham realism ini dapat dilihat dari pelaksanaan politik

luar negeri yang bersifat unilateralis (unilateralism), nationalis (nationalism), dengan strategi

penangkalan, (deterrence), perimbangan kekuatan (balance of power) dan aliansi-aliansi

pertahanan (defence alliances). Tokohnya : Machiavelli, Hegel, Hans Morgenthau, E.H. Carr,

Kenneth N. Waltz, Reagan, Bush, Tratcher, Stalin.

2. Paradigma Idealis (Idealism)

Paham idealis bersifat normatif, apa yang seharusnya terjadi, pentingnya peran

prinsip-prinsip, hukum dan organisasi internasional, dan adanya pengaruh opini publik yang

suka damai, bercita-cita membentuk world goverment. Dengan kata lain negara- negara

bekerja sama dalam berbagai organisasi internasional untuk mencapai tujuan-tujuan global

dan kemanusiaan. Dalam politik luar negeri suatu negara, paham idealis ini dapat dilihat dari

pelaksanaan politik luar negeri yang bersifat multilateralis (multilateralism), internasionalis

(internationalism), liberalis (liberalism), humanis (humanitarianism), dengan strategi utama

diplomasi yang mengedepankan legalitas (legality), moralitas (morality), dan demokrasi

(democracy) melalui perundingan-perundingan (negotiations) untuk mencapai kompromi dan

harmonis.

Tokohnya: Immanuel Kant, Woodrow Wilson, Bertrand Russel, Carter, Clinton, Gorbachev.

3. Paradigma Pluralis (Pluralism)


Kaum pluralis memandang hubungan internasional tidak hanya terbatas pada

hubungan antar negara saja tetapi juga merupakan hubungan antara individu dan kelompok

kepentingan dimana negara tidak selalu sebagai aktor utama dan aktor tunggal.

Empat asumsi paradigma pluralis adalah :

1. Aktor non-negara memiliki peranan penting dalam politik internasional, seperti

organisasi internasional, baik pemerintah maupun non-pemerintahan, MNCs,

kelompok ataupun individu.

2. Negara bukanlah unitary actor/aktor tunggal, karena aktor-aktor lain selain negara

juga memiliki peran yang sama pentinganya dengan negara dan menjadikan

negara bukan satu-satunya aktor.

3. Negara bukan aktor rasional. Dalam kenyataannya pembuatan kebijakan luar

negeri suatu negara merupakan proses yang diwarnai konlik,kompetisi, dan

kompromi antar aktor di dalam negara. Meluasnya pembahasan dalam agenda

politik internasional.

4. Masalah-masalah yang ada tidak lagi terpaku pada power atau national security,

tapi meluas pada masalah-masalah sosial,ekonomi, dan lain-lain.

Tokohnya: Ernst Haas, James N. Rosenau.

4. Paham Liberalis (Liberalism)

Para penganut liberalism berpendapat bahwa negara bukan satu-satunya aktor dalam

hubungan internasional. Selain negara terdapat juga aktor non-negara (non-state actor) yang
mempunyai pengaruh dan legitimasi yang independen dari negara. Istilah lain untuk paham

ini yaitu liberal internationalism, liberal institutionalism, dan transnasionalism. Kemudian

sifat dasar sistem internasional adalah anarki yang tertib dan hirarki yang didukung oleh

aturan-aturan dan hukum internasional. Sifat dasar interaksi antar negara yakni kompetitif

dan kadang-kadang konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama pada bidang ekonomi dan

isu-isu lainnya.

Tokonya: Jerman, Inggris, AS

5. Paradigma Merkantilis (Mercantilism

Paham ini berpandangan bahwa dalam hubungan internasional negara-negara saling

bersaing untuk memenuhi kepentingan ekonominya masing-masing. Istilah lain yang dikenal

untuk paham ini seperti nationalisme ekonomi, ekonomi-

politik,proteksionalisme,isolasionalisme. Pendekatan hubungan internasional yang digunakan

dalam persfektif ini yakni melalui hubungan bilateral.

Dalam pelaksanaan politik luar negeri suatu negara, paham merkantilis kerap memunculkan

kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan proteksi,regulasi,subsidi, dan pengenaan pajak

yang kesemuannya itu diarahkan untuk menghasilkan keuntungan (profit) dan surplus

ekonomi bagi negara tersebut.

Tokohnya: Jepang, China, AS.


6. Paradigma Radikal (Radicalism

Penganut radicalism berpendapat bahwa negara bukan satu-satunya aktor dalam

hubungan internasional. Selain negara terdapat juga aktor non-negara (non-state actors) yang

mempunyai pengaruh dan kekuatannya melalui pertentangan kelas dalam hubungan ekonomi

trans-nasional (transnational economic classes). Istilah lain untuk paham ini yaitu Marxism

socialism, dan socialist internationalism.

Kemudian sifat dasar sistem internasional adalah secara formal anarki, namun berbasis kelas-

kelas trans-nasional, dan hirarki yang bergantung pada tingkat distribusi kekayaan dunia.

Sifat dasar interaksi antar negara yakni kompetitif dan eksploitatif falam hubungan utara-

selatan (dependensi), dan terdapat kerjasama di antara kelas-kelas trans-nasional

(interdependensi). Tokohnya: A. Wendt, Craig N. Murphy.


DAFTAR PUSTAKA

http://mylittlefairy.blogspot.com/2010/11/sejarah-singkat-perkembangan-hukum.html

http://www.negarahukum.com/hukum/sejarah-hukum-internasional.html

http://www.slideshare.net/izzaddict/hukum-internasional-sejarah-dan-perkembangan

Http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional

http://www.academia.edu/5440419/Sejarah_dan_Perkembangan_Hukum_Internasional

http://www.academia.edu/6322038/HUKUM_INTERNASIONAL_Perkembangan_Sejarah_

Hukum_Internasional

Iwayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Mandar Maju : 2003)

Mochtae kusumatmadja. penganatar hukum Indonesia, alumni, bandung 2010

Sefrani, hukum internasioanal, rajawali pers, jakarta2011

Admawira Sam Suhaedi, dan Arthur Nussbaum, Sedjarah Hukum Internasional, 1970, Bina

Tjipta, Bandung.

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Edisi ke-2, Alumni, Bandung.

Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,

Bandung

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: PT Alumni, 2015) hlm.

1-2

.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Justitia Study Group, 1986) hlm 8-9
awahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006) hlm. 39.

http://devitahtgalung.blogspot.com/2017/03/paradigma-dalam-hubungsn-internasional.html

Anda mungkin juga menyukai