Anda di halaman 1dari 12

KEDUDUKAN PIAGAM MADINAH SEBAGAI KONSTITUSI NEGARA

Oleh: Ardiansah

Mahasiswa Program Doktor (S3) Fakulti Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia


(UKM), Bidang Kajian Comparative Constitutional Law,
Email: ardiansyah2000@yahoo.com

Abstrak
Nabi Muhammad telah berhasil mendirikan Negara Madinah. Untuk
mengatur kehidupan bersama Negara Madinah telah disepakti Piagam
Madinah. Ada dua pendapat yang berbeda mengenai Piagam Madinah
sebagai konstitusi. Pertama, pendapat yang tidak mengakui Piagam Madinah
sebagai sebuah konstitusi. Pendapat kedua ini cukup beralasan bila dilihat
pandangan K.C. Wheare yang menjelaskan bentuk konstitusi yang ideal
adalah konstitusi itu harus singkat untuk menghindari kesulitan para
pembentuk konstitusi memilih mana yang terpenting dan harus dicantumkan
dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat mereka akan
merancang suatu konstitusi, sehingga hasilnya akan dapat diterima, baik oleh
mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh
konstitusi tersebut. Pandangan ini menempatkan kedudukan Piagam Madinah
sebagai konstitusi negara. Memang, pandangan ahli konstitusi
mengisyaratkan keharusan adanya pembagian kekuasaan antara badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sehingga Piagam Madinah tidak dapat
disejajarkan sebagai konstitusi modern. Pandangan ahli konstitusi ini
merupakan syarat ideal sebuah konstitusi. Namun, secara keseluruhan
Piagam Madinah telah memenuhi syarat sebuah konstitusi negara. Di
samping itu, Piagam Madinah dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk
membangun masyarakat yang pluralistik, memiliki relevansi yang kuat
dengan perkembangan masyarakat internasional dan menjadi pandangan
hidup modern berbagai negara di dunia.

Kata kunci: Negara Madinah, Piagam Madinah, Konstitusi Negara

Pembicaraan tentang negara konstitusional kerapkali menarik untuk dicermati. Dalam


konteks sejarah, jauh sebelum para pemikir Barat mengemukakan temuannya mengenai
berbagai konstitusi pada zaman Yunani, ternyata pada zaman Nabi Muhammad sejarah telah
mencatat lahirnya konstitusi tertulis yang pertama di dunia, yang kemudian dikenal dengan
Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah.
Selama kurang lebih 13 tahun di Makkah, Nabi Muhammad dan umat Islam belum
mempunyai kekuatan dan kesatuan politis yang menguasai suatu wilayah. Namun, umat Islam
menjadi komunitas yang bebas dan merdeka pasca hijrah ke Madinah tahun 622 M, kota yang
sebelumnya disebut Yatsrib. Nabi Muhammad membuat suatu piagam politik untuk mengatur
kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh berbagai golongan. Nabi Muhammad
meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah agar terbentuk kesatuan hidup di

1
antara seluruh penghuninya.1 Di tengah kemajemukan penghuni kota Madinah itu, Nabi
Muhammad berusaha membangun tatanan hidup bersama, mencakup semua golongan yang ada
di kota Madinah. Sebagai langkah awal, ia mempersaudarakan antara muslimin pendatang dan
muslimin Madinah. Persaudaraan itu bukan hanya sebatas tolong-menolong dalam kehidupan
sehari-hari, tetapi sangat mendalam sampai pada tingkat saling mewarisi. 2 Kemudian diadakan
perjanjian hidup bersama secara damai di antara berbagai golongan yang ada di Madinah, baik
di antara golongan Islam maupun dengan golongan Yahudi. Kesepakatan antara golongan
Muhajirin dan Anshar, dan perjanjian umat Islam dengan golongan Yahudi, ditulis secara
formal dalam suatu naskah yang disebut Shahifah. Kesatuan hidup yang baru dibentuk itu
dipimpin oleh Nabi Muhammad sendiri dan menjadi negara berdaulat. Dengan demikian, Nabi
Muhammad bukan hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat Kepala
Negara.3
Sejarah perkembangan Negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad hingga
disepakatinya Piagam Madinah sebagai aturan bersama masyarakat Madinah menarik untuk
dicermati. Pertanyannya, bagaimana pandangan para sarjana mengenai Piagam Madinah dan
bagaimana pula kedudukan Piagam Madinah sebagai Konstitusi Negara. Tulisan ini mengupas
secara intens substansi Piagam Madinah dikaitkan dengan konstitusi negara.

Memaknai Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis, constituer, yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah Konstitusi yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara atau menyusun
dan menyatakan suatu negara.4 Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan
terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar. Dalam bahasa Inggris
dipakai istilah constitution, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi.5
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan
statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti, bersama dengan. sedangkan statuere
berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar
itu, kata statuere mempunyai arti, membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menerapkan.
Dengan demikian, bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-
sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.6

1
Penduduk Madinah terdiri dari tiga golongan besar, yaitu Muslimin, Musyrikin, dan Yahudi. Muslimin terdiri dari
golongan Muhajirin dan Anshar. Golongan Muhajirin adalah pendatang yang hijrah dari Makkah. Mereka adalah
orang- orang Quraisy yang telah masuk Islam yang terdiri dari beberapa kelompok, di antaranya Bani Hasyim dan
Bani Muthallib. Kabilah Aus dan Khazraj merupakan unsur utama golongan Anshar yang masing-masing terdiri
dari kelompok atau suku. Golongan Musyrikin adalah orang-orang Arab yang masih menyembah berhala
(paganisme). Golongan Yahudi terdiri dari keturunan Yahudi pendatang dan keturunan Arab yang masuk agama
Yahudi atau kawin dengan orang Yahudi pendatang. Tiga kelompok besar keturunan yahudi pendatang adalah Bani
Nadhir, Bani Qynuqa ’ dan Bani Qurayzah. Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar
1945, (Jakarta: UI Press, 1995), hlm. 2.
2
Ahmad al- ‘Aini, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Cetakan Pertama, Juz 18, (Mishr: Musthafa al-Babi
al- Halabi wa Auladuh, 1972), hlm. 190.
3
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cetakan V, Jilid I, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1985), hlm. 92.
4
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hlm. 10.
5
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 95.
6
Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No. 2, Tahun V, Mei
1987, hlm. 28.

2
Konstitusi dalam ilmu hukum sering menggunakan beberapa istilah dengan arti yang
sama. Sebaliknya, adakalanya untuk arti yang berbeda digunakan istilah yang sama. Selain
konstitusi dikenal juga beberapa istilah lain, seperti Undang- Undang Dasar dan hukum dasar.
Menurut Rukmana Amanwinata, istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia berpadanan
dengan kata contsitution (bahasa Inggris), contitutie (bahasa Belanda), contitutionel (bahasa
Perancis), verfassung (bahasa Jerman), consitutio (bahasa Latin), dan fundamental laws
(Amerika Serikat).7
Pendapat mengenai istilah konstitusi dan Undang-Undang Dasar terbagi dua. Pertama,
pendapat yang membedakan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar. Kedua, pendapat yang
menyamakan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar. Pada saat ini nampaknya pendapat
kedua lebih diterima.
Dalam bahasa Indonesia, konstitusi ditemui istilah hukum yang lain, yaitu hukum dasar.
Dalam perkembangannya istilah konstitusi mempunyai dua pengertian, yaitu pengertian yang
sempit dan pengertian yang luas. Konstitusi dalam arti sempit tidak menggambarkan seluruh
kumpulan peraturan, baik yang tertulis dan tidak tertulis (legal and non legal) maupun yang
dituangkan dalam suatu dokumen tertentu, seperti yang berlaku di Amerika Serikat.8
Konstitusi sebagai kaidah yang tertuang dalam suatu dokumen khusus dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Dasar. Ada juga yang memandang Undang-Undang Dasar itu bukan
kaidah hukum melainkan kumpulan pernyataan (manifesto), pernyataan tentang keyakinan atau
pernyataan cita-cita.9
Dalam kamus Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian konstitusi adalah hukum
dasar dan organik dari suatu bangsa atau negara, menetapkan konsep, karakter, dan organisasi
dari pemerintahannya, juga menjelaskan kekuasaan kedaulatannya dan cara dari
pengujiannya.10
K.C. Wheare membedakan istilah konstitusi dalam dua pengertian. Pertama, istilah
konstitusi dipergunakan untuk menunjukkan kepada seluruh aturan mengenai sistem
ketatanegaraan. Kedua, istilah konstitusi menunjuk kepada suatu dokumen atau beberapa
dokumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan tertentu yang bersifat pokok
atau dasar saja mengenai ketatanegaraan suatu negara. K.C. Wheare menegaskan,
pengklasifikasian konstitusi tertulis dan tidak tertulis harus dibuang. Perbedaan yang lebih baik
adalah antara negara-negara yang mempunyai konstitusi tertulis dengan negara-negara yang
tidak mempunyai konstitusi tertulis.11
Sebagian sarjana politik mengistilahkan konstitusi sama dengan Undang- Undang
Dasar. Kepustakaan Belanda membedakan pengertian konstitusi (constitution) dan Undang-
Undang Dasar (grondwet). Konstitusi adalah peraturan yang tertulis dan tidak tertulis,
sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan bagian tertulis dalam konstitusi. Namun, tidak
ada konstitusi yang memasukkan semua peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara dan pemerintahan.

7
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam
Pasal 28 UUD 1945, sebagaimana dikutip oleh Ellydar Chaidir, Teori Konstitusi: Sebuah Realitas dan Kritik,
Studi Mandiri Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UII Yogyakarta, 2005, hlm. 25-26.
8
Sri Somantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm. 62.
9
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Bandar Maju, 1995), hlm.
7.
10
Bryan A. Garner, Black’ s Law Dictionary, Edisi VII, (St. Paul MN: West Publishing, 1999), hlm. 306.
11
K.C. Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, Terjemahan, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), hlm. 21- 23.

3
Konstitusi merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang
bersifat fundamental. Artinya, konstitusi hanya mengandung hal-hal yang bersifat pokok,
mendasar atau asas-asasnya. Jadi, tidak semua masalah yang dianggap penting bagi negara
dimasukkan ke dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Karena itu, C.F. Strong
mengemukakan, tidak ada konstitusi yang seluruhnya tidak tertulis. Demikian pula, tidak ada
konstitusi yang seluruhnya tertulis.12 Sifat dan karakteristik konstitusi yang demikian, agar ia
tidak selalu diubah karena perkembangan zaman dan masyarakat. Jadi, cukuplah hal-hal yang
bersifat fundamental dan universal saja yang dimasukkan ke dalam konstitusi.
Menurut Miriam Budiardjo, konstitusi adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita
bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.13 Di dalam konstitusi terdapat
berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-
lembaga negara, cita-cita dan ideologi negara, masalah ekonomi dan sebagainya. Namun,
mengenai unsur ketetapannya tidak ada kesepakatan di kalangan ahli.14
Dari berbagai keterangan tentang pengertian konstitusi dan unsur-unsur yang telah
dikemukakan tersebut, maka jelas bahwa suatu konstitusi adalah himpunan peraturan-peraturan
pokok mengenai penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu masyarakat yang berkaitan
dengan organisasi negara, kedaulatan negara, dan pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah di bidang sosial, politik,
ekonomi, agama, budaya, cita-cita dan ideologi negara dan sebagainya.15

Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstutisi


Kedudukan, fungsi dan tujuan konstitusi dalam negara cenderung berubah dari masa ke
masa. Pada masa peralihan negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak
penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah
antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai
alat bagi rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Setelah perjuangan
dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan perannya dari sekedar penjaga
keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi
senjata pemungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem
monarki dan oligarki serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan
kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi, seperti individualisme,
liberalisme, universalisme, dan sebagainya. Selanjutnya kedudukan dan fungsi konstitusi
ditentukan oleh ideologi yang melandasi negara.16
Dalam sejarah ketatanegaraan dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan
batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan
kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu dan dengan kelahiran demokrasi
sebagai paham politik yang progresif dan militan, konstitusi menjamin alat rakyat konsolidasi
kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk mencapai cita-
citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu, konstitusi di zaman modern tidak hanya
memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip
hukum, haluan negara, dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.17
12
C.F. Strong, Modern Political Contitution, (London: Sidgwick and Jackson Ltd, 1963), hlm. 66-67.
13
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ……. Op. Cit., hlm. 107.
14
Dahlan Thaib dkk, Teori Hukum dan Konstitusi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 44-45.
15
Ibid.
16
Ibid., hlm. 17-18.
17
Ibid.

4
Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya demokrasi konstitusional, maka
Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah,
sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian,
diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan
konstitusionalme. Menurut Carl J. Friedrich, konstitusionalisme ialah pemerintah merupakan
suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang
dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang
diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas
untuk pemerintah. Carl J. Friedrich menegaskan, cara pembatasan yang dianggap paling efektif
ialah dengan jalan membagi kekuasaan.18 Pembatasan ini tercermin dalam Undang-Undang
Dasar atau konstitusi. Jadi, konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan
manifestasi dari hukum yang tertinggi (Supremation of Law) yang harus ditaati, bukan hanya
oleh rakyat tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun.19
Pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan
pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan
kekuasaan yang berdaulat. Oleh karena itu, setiap konstitusi senantiasa mempunyai dua tujuan.
Pertama, untuk pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik. Kedua, untuk
membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak penguasa dan menetapkan bagi penguasa batas-
batas kekuasaannya.20
Menurut Komisi Konstitusi MPR RI, ada sebelas kedudukan dan fungsi konstitusi. 21
Pertama, konstitusi berfungsi sebagai dokumen nasional (national document) yang
mengandung perjanjian luhur, berisi kesepakatan-kesepakatan tentang politik, hukum,
pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi tujuan
negara. Kedua, konstitusi sebagai piagam kelahiran baru (a birth certificate of new state).
Ketiga, konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi. Keempat, konstitusi sebagai identitas
nasional dan lambang persatuan. Kelima, konstitusi sebagai alat untuk membatasi kekuasaan.
Keenam, konstitusi sebagai pelindung HAM dan kebebasan warga negara. Ketujuh, mengatur
hubungan kekuasaan antar organ negara. Kedelapan, sumber legitimasi terhadap kekuasaan
negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara. Kesembilan, penyalur atau
pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah
rakyat) kepada organ negara. Kesepuluh, simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan
kebangsaan (identity of nation). Kesebelas, simbolik sebagai pusat upacara (center of
ceremony).22

Materi Muatan Konstitusi


Menurut J.G. Steenbeek, kostitusi berisi tiga hal pokok. Pertama, adanya jaminan
terhadap HAM dan warga negara. Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat
fundamental. Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan tugas ketatanegaraan yang
bersifat fundamental.23
18
Carl J. Friedrich, dalam Dahlan Thaib Dkk, Teori …… Loc. Cit.
19
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ……… Op. Cit., hlm. 97.
20
Korniatmo Soetoprawiro, Konstitusi …..... Op. Cit., hlm. 31.
21
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku I Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi
Konstitusi Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2004, hlm.
12. Lihat dalam Ellydar Chaidir, Teori Konstitusi …………., Op. Cit., hlm. 34.
22
Ibid.
23
J.G. Steenbeek, dalam Sri Sumantri, Prosedur …….. Op. Cit., hlm. 45.

5
Menurut Miriam Budiardjo, setiap Undang-Undang Dasar memuat empat ketentuan.
Pertama, organisasi negara. Misalnya pembagian kekuasaan negara antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah
negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan
pemerintah dan sebagainya. Kedua, Hak-hak asasi manusia. Ketiga, prosedur mengubah
Undang-Undang Dasar. Keempat, adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu
dari Undang-Undang Dasar. Jika dibandingkan pendapat Steenbeek dengan Miriam Budiardjo
tersebut, maka pendapat Miriam ini lebih luas cakupannya, yakni menyangkut perubahan
Undang- Undang Dasar.24
Sa’ad Usfur menyatakan empat unsur yang selalu ada dalam sebuah konstitusi, yaitu
ketetapan tentang lembaga-lembaga negara, administrasi pemerintahan, badan-badan
pengadilan, dan cara pembentukan bangsa yang mendukung Negara.25
Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang mengatakan, konstitusi sebagai suatu
pernyataan bentuk politik dan sistem hukum negaranya. Konstitusi sebagai sebuah dokumen
nasional dan sebagai suatu sertifikat lahir. Bahkan sebagai suatu tanda kedewasaan dan
kemerdekaan.26
Menurut A.A.H. Struycken, Undang-Undang Dasar (Gronwet) sebagai konstitusi
tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi hasil perjuangan politik bangsa di
waktu yang lampau, tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa, pandangan para
tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan
datang, dan suatu keinginan perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin.27
K.C. Wheare menjelaskan adanya dua pendapat yang berbeda mengenai konstitusi.
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa konstitusi semata-mata hanya dokumen hukum
dan isinya hanya berupa aturan-aturan hukum, tidak lebih dari itu. Kedua, pendapat yang
mengatakan bahwa konstitusi tidak hanya berisi kaidah-kaidah hukum, akan tetapi berisi
pernyataan tentang keyakinan, prinsip-prinsip dan cita-cita. K.C. Wheare mengemukakan apa
yang seharusnya menjadi isi dari suatu konstitusi, yaitu the very minimum, and that minimum
to be rule of law.28 K.C. Wheare tidak menjelaskan apa yang seharusnya menjadi materi muatan
pokok dari suatu konstitusi. K.C. Wheare mengatakan, sifat yang khas dan mendasar dari
bentuk konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus sesingkat mungkin untuk
menghindarkan kesulitan-kesulitan para pembentuk Undang-Undang Dasar dalam memilih
konstitusi mana yang penting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak
perlu pada saat mereka akan merancang suatu Undang-Undang Dasar, sehingga hasilnya akan
dapat diterima baik oleh yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh
Undang-Undang Dasar.
Judith S. Levey melengkapi beberapa pandangan tersebut. Levey mengemukakan
bahwa konstitusi sebagai prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental dalam suatu

24
Dahlan Thaib Dkk, Teori …… Op. Cit., hlm. 17.
25
Sa’ad Usfur dalam J. Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
pandangan Al-Qur ’ an, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 116.
26
Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam Dahlan Thaib Dkk, Teori …. Op. Cit., hlm. 14.
27
A.A.H. Struycken dalam Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni,
1987), hlm. 1.
28
K.C. Wheare, Konstitusi ……….. Op. Cit., hlm. 33.

6
atau pernyataan secara tidak langsung mengenai peraturan-peraturan, institusi-institusi, norma-
norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis.29
Para ahli umumnya sepakat naskah Piagam Madinah cukup otentik dilihat dari aspek
muatan, bahasa dan ditinjau ilmu hadis.30 Tidak diragukan kebenaran dan keotentikan piagam
tersebut, mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam
Madinah setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian
pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis
zaman itu.31 Sementara itu, jika dikaji muatan materi Piagam Madinah akan didapati gambaran
tentang karakteristik masyarakat dan negara Islam pada masa-masa awal kelahiran dan
perkembangannya.
Jelaslah bahwa konstitusi merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-prinsip
pemerintahan yang bersifat fundamental. Ini berarti konstitusi hanya mengandung hal-hal yang
bersifat asas atau pokok. Oleh karena itu, tidak semua masalah yang dianggap penting bagi
negara dimasukkan dalam konstitusi suatu negara.

Piagam Madinah Dalam Pandangan Para Sarjana


Para ahli menyebut naskah politik yang dibuat Nabi Muhammad itu dengan nama yang
bermacam-macam. W. Montgomery Watt menamai Piagam Madinah dengan The Constitution
of Medina,32 R.A. Nicholson menyebut Piagam Madinah dengan Charter,33 Anthony Nutting
menamai Piagam Madinah dengan treaty of alliance,34 Philip K. Hitti menyebut Piagam
Madinah dengan agreement,35 sedangkan Shahifat36 adalah nama yang disebut dalam naskah itu
sendiri.
Menurut Ahmad Sukardja, kata Shahifat semakna dengan charter dan piagam.
Charter dan piagam lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu
hal.37 Bentuk dan muatan shahifat itu tidak menyimpang dari pengertian ketiga istilah tersebut.
Dilihat dari pengertian treaty, shahifat itu adalah dokumen perjanjian antara beberapa
golongan, Muhajirin-Anshar-Yahudi dan sekutunya bersama Nabi Muhammad. Dilihat dari segi
pengertian charter, Piagam Madinah ialah dokumen yang menjamin hak-hak semua warga
Madinah dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka serta kekuasaan yang dimiliki oleh
Nabi Muhammad. Kemudian dilihat dari pengertian constitution, Piagam Madinah ternyata
memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Dengan demikian, kandungan
shahifat dapat mencakup semua pengertian ketiga istilah tersebut.
Menurut J. Suyuti Pulungan, Marduke Pickthal, H.A.R. Gibb, Wensinc, dan
Montgomery Watt menyebut Piagam Madinah itu sebagai Konstitusi Madinah (Madinah
Constitution). Alasan-alasan yang menempatkan Piagam Madinah sebagai Konstitusi Madinah

29
Judith S. Levey, The New Columbia Encyclopedia, (New York: Columbia University Press, 1975), hlm. 514.
30
Ahmad Khairuddin, Konstitusi Madinah Latar Belakang dan Dampak Sosialnya, Jurnal AL-BANJARI, Vol. 5,
No. 9, Januari – Juni 2007, hlm. 7.
31
Muhammad Latif Fauzi, Konsep Negara dalam Perspektif Piagam Madinah dan Piagam Jakarta, Jurnal Al-
Mawarid, Edisi XIII, Tahun 2005, hlm. 90.
32
W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statemen, (New York: Oxford University, 1964), hlm. 93. Lihat
juga Ahmad Sukardja, Piagam ….. , Op. Cit., hlm. 37.
33
R.A. Nicholson, A Literary History of The Arabs, (New York: Cambridge University, 1964), hlm. 173.
34
Anthony Nutting, The Arab, (New York: Clarson N. Patter Inc, 1964), hlm. 62.
35
R.A. Nicholson, A Literary History ….. Loc. Cit.
36
Ibn Hisyam, Sirah al-Nabiy, Jilid II, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al- ‘Arabiyyah, t.t), hlm. 147-148.
37
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah ……. Op. Cit., hlm. 3.

7
karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar
sosial politik yang bertujuan untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai
wadah persatuan penduduk Madinah yang bersifat majemuk itu.38
Ahmad Sjafi’i memaparkan Piagam Madinah sebagai konstitusi tertulis dengan istilah
al-Kitab (buku), al-Shahifah (bundelan kertas), yang dalam penelitian modern dokumen ini
dinamakan al-Watsiqah (piagam), dan sekarang disebut al-Dustur (konstitusi). Umar sendiri
menamakannya Watsiqah Madinah (Piagam Madinah), sedangkan Al-Bahansawi
menamakannya al-Dustur a-Madinah (Konstitusi Madinah).39
Menurut Ibnu Hisyam, ulama yang paling awal meriwayatkan Piagam Madinah ini
adalah Muhammad bin Ishaq. Piagam Madinah kemudian diteliti oleh Muhammad Hamidullah
dan hasilnya dipublikasikan ke dalam berbagai jurnal ilmiahnya. Diantara jurnal ilmiah tersebut
yang secara khusus salah satunya membahas konstitusi ini kemudian diterjemahkannya ke
dalam 4 (empat) bahasa dunia. Jurnal tersebut berjudul ”Corpus des documents surladeplomate
musulmane” (Perancis: 1935), atau ”Aqdamu Dustur Musajjal fil ‘Alam” (Arab: 1938), atau
”Dunia Kasab Sie pahla Dustur” (Urdu: 1939), atau ”The First Written-Constitution of the
World” (Inggris: 1941), yang dalam bahasa Indonesia berjudul ”Konstitusi Tertulis/Undang-
Undang Dasar pertama di dunia”. Buku ini kemudian ditulis kembali ke dalam bahasa Arab
yang diartikan sebagai ”Himpunan segala surat-surat dan perjanjian-perjanjian politik di Zaman
Nabi dan Khulafaur Rasyidien”.40
Dalam perkembangannya, Piagam Madinah telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing,
antara lain bahasa Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Belanda dan Indonesia. Terjemahan dalam
bahasa Perancis dilakukan pada tahun 1935 oleh Muhammad Hamidullah, sedangkan dalam
bahasa Inggris terdapat banyak versi, diantaranya seperti pernah dimuat dalam Islamic Culture
No.IX Hederabat 1937, Islamic Review terbitan Agustus sampai dengan Nopember 1941
(dengan topik the first written constitution of the world). Selain itu, Majid Khadduri juga
menerjemahkannya dan memuatnya dalam karyanya War and Pearce in the Law of Islam
(1955), kemudian diikuti oleh R. Levy dalam karyanya The Social Structure of Islam (1957)
serta William Montgomery Watt dalam karyanya Islamic Political Thought (1968). Adapun
terjemahan-terjemahan lainnya seperti dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Wellhausen, bahasa
Italia dilakukan oleh Leone Caetani, dan bahasa Belanda oleh A.J. Wensick serta bahasa
Indonesia untuk pertama kalinya oleh Zainal Abidin Ahmad.41

Kedudukan Piagam Madinah Sebagai Konstitusi Negara


Berdirinya negara Islam pertama di Madinah yang dipimpin langsung Nabi Muhammad
telah mempesona dunia. Negara Islam di Madinah atau sering disebut Negara Madinah berjalan
berdasarkan Piagam Madinah yang menjadi aturan bersama masyarakat Madinah. Kehadiran
negara Islam telah merubah geopolitik dunia. Dua kekuatan adikuasa imperium romawi dan
persia mulai mendapat kompatriot baru. Sejak saat itu, secara bertahap umat Islam berhasil
memimpin dua lebih dari 13 abad.
Piagam Madinah adalah dokumen perjanjian persahabatan antara Muhajirin-Anshar-
Yahudi dan sekutunya bersama Nabi Muhammad yang menjamin hak-hak mereka, menetapkan
38
J. Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip ….. Loc. Cit.
39
Ahmad Sjafi’i dalam Jazim Hamidi dan Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2009), hlm. 134.
40
Ibid., hlm. 135.
41
Juwairiyah Dahlan, Piagam Madinah dan Konsep Ummah, Jurnal Paramedia (Jurnal Komunikasi dan
Informasi Keagamaan), Edisi XV, April-Juni 1999, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, hlm. 64.

8
kewajiban-kewajiban mereka dan memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat
fundamental yang sifatnya mengikat untuk mengatur pemerintahan di bawah pimpinan Nabi
Muhammad.42 Menurut Montgomery Watt, secara umum Piagam Madinah diakui autentik.
Piagam Madinah merupakan sumber ide yang mendasari negara Islam pada awal
pembentukannya.43
Ditetapkannya piagam politik tersebut dimaksudkan untuk membina kesatuan hidup
berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan kebebasan beragama,
hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup dan lain-lain.
Berdasarkan isi Piagam Madinah itulah warga Madinah yang majemuk, secara politis dibina di
bawah pimpinan Nabi Muhammad.
Secara substansial ada tujuh pokok pikiran penting yang terkandung di dalam Piagam
Madinah. Pertama, masyarakat pendukung Piagam Madinah adalah masyarakat majemuk yang
terdiri atas berbagai suku dan agama. Konstitusi Madinah secara tegas mengakui eksistensi
suku bangsa dan agama dan memelihara unsur solidaritasnya. Konstitusi Madinah
menggariskan kesetiaan kepada masyarakat yang lebih luas lebih penting daripada kesetiaan
yang sempit kepada suku, dengan mengalihkan perhatian suku-suku itu pada pembangunan
negara, yang warga negaranya bebas dan merdeka dari pengaruh dan kekuasaan manusia
lainnya (Pasal 1). Adapun tali persatuannya adalah politik dalam rangka mencapai cita- cita
bersama (Pasal 17, 23 dan 42).44
Kedua, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama, wajib saling
menghormati dan wajib kerjasama antara sesama mereka, serta tidak seorang pun yang
diperlakukan secara buruk (Pasal 12, 16). Bahkan orang yang lemah di antara mereka harus
dilindungi dan dibantu (Pasal 11). Ketiga, negara mengakui, melindungi, dan menjamin
kebebasan menjalankan ibadah dan agama bagi orang-orang muslim maupun non muslim
(Pasal 25-33). Keempat, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan
hukum (Pasal 34, 40). Kelima, hukum adat (kelaziman mereka pada masa lalu), dengan
berpedoman pada kebenaran dan keadilan, tetap diberlakukan (Pasal 2, 10, 21). Keenam, semua
warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara. Mereka berkewajiban
membela dan mempertahankan negara dengan harta, jiwa mereka dan mengusir setiap agresor
yang mengganggu stabilitas negara (Pasal 24, 36, 37, 38). Kedelapan, sistem pemerintahan
adalah desentralisasi, dengan Madinah sebagai pusatnya (Pasal 39).45
Secara umum, ada dua pendapat yang berbeda mengenai Piagam Madinah sebagai
konstitusi. Pertama, pendapat yang menyatakan Piagam Madinah adalah piagam biasa yang
berisi mengenai visi negara modern yang untuk ukuran saat itu sudah sangat maju. Pendapat ini
tidak mengakui Piagam Madinah sebagai sebuah konstitusi. Alasannya, pandangan ahli
konstitusi mengisyaratkan keharusan adanya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, sehingga Piagam Madinah tidak dapat disejajarkan sebagai konstitusi
modern. Kedua, pendapat yang secara confidence mengakui Piagam Madinah sebagai sebuah
konstitusi. Alasannya, Negara Madinah telah menetapkan Piagam Madinah sebagai aturan
bersama dan pemegang hukum tertinggi. Di samping itu, dari segi formal dan substansial apa
yang diatur dalam teks-teks Piagam Madinah mencirikan sebagai sebuah konstitusi. Dari dua
pendapat tersebut, kebanyakan sarjana Islam menganggap masyarakat Madinah di bawah

42
J. Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip …… Op. Cit., hlm. 115.
43
W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina , (London: Oxford University, 1972), hlm. 225-228.
44
Dahlan Thaib Dkk, Teori ........ Op. Cit., hlm. 41.
45
Ibid., hlm. 42. LIhat juga Ahmad Sukardja, Piagam ....... Op. Cit., hlm. 5.

9
kepemimpinan Nabi Muhammad telah memenuhi syarat untuk bisa disebut sebuah negara
menurut hukum konstitusi pada zaman modern ini.
Pendapat kedua tersebut cukup beralasan bila dilihat pendapat K.C. Wheare yang
menjelaskan konstitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa
kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur pemerintahan suatu negara. Sifat yang khas
dan mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus sesingkat
mungkin untuk menghindari kesulitan para pembentuk konstitusi memilih mana yang
terpenting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat
mereka akan merancang suatu konstitusi, sehingga hasilnya akan dapat diterima, baik oleh
mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh konstitusi tersebut. 46
Dari pandangan ini jelas bahwa Piagam Madinah semakna dengan Konstitusi Madinah.47
Hamidullah berpendapat bahwa Piagam Madinah dapat disebut konstitusi karena ciri-
ciri lain, misalnya dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat
Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan negara yang dipegang oleh Nabi Muhammad,
dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental, yaitu mengakui
kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan
kewajiban-kewajiban mereka.48
Walau bagaimanapun, prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Piagam Madinah dapat
dikatakan sebagai suatu ide yang revolusioner untuk saat itu. Dalam konteks kekinian, Piagam
Madinah dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang
majemuk. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa bunyi naskah konstitusi Madinah itu sangat
menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern mengagumkan.
Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi
pandangan hidup modern, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur
hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi dan lain-lain. Juga
ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama
menghadapi musuh dari luar.49
Piagam Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok-kelompok sosial di
Madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-hak mereka demi kepentingan bersama
merupakan contoh teladan sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang bercorak
majemuk. Ide-ide dalam ketetapan-ketetapan Piagam Madinah tetap mempunyai relevansi kuat
dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini dan telah menjadi
pandangan hidup modern berbagai negara di dunia. Hal ini dapat dibandingkan dengan isi
berbagai piagam, konstitusi dan deklarasi hak-hak asasi manusia yang lahir puluhan abad
kemudian sesudah lahirnya Konstitusi Madinah. Di samping itu, Piagam Madinah dapat
diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang pluralistik, memiliki
relevansi yang kuat dengan perkembangan masyarakat internasional dan menjadi pandangan
hidup modern berbagai negara di dunia.50

Penutup
46
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi .... Op. Cit., hlm. 34.
47
Ahmad Sukardja, Piagam ....... Op. Cit., hlm. 5.
48
Hamidullah dalam Lukman Thaib, Politik Menurut persprktif Islam, (Kajang, Selangor Darul Ehsan:
Synergymate Sdn. Bhd., 1998), hlm. 80.
49
Nurcholis Madjid dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, (Editor), Aspirasi Umat Islam Indonesia, (Jakarta:
Leppenas, 1983), hlm. 11.
50
Dahlan Thaib Dkk, Teori ….. Op. Cit., hlm. 47.

10
Di dalam Piagam Madinah telah digariskan beberapa prinsip umum negara menurut
kebutuhan ketika itu. Beberapa prinsip yang ditekankan Piagam Madinah, di antaranya: al-
Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber hukum negara; kesatuan ummah dan kedaulatan negara;
kebebasan bergerak dan tinggal di Madinah; hak dan tanggung jawab rakyat dari segi
ketahanan dan pertahanan negara; dasar hubungan baik dan tolong menolong di antara sesama
warga negara; tanggung jawab individu dan pemerintah dalam menegakkan keadilan sosial; dan
lain-lain.
Ada dua pendapat yang berbeda mengenai Piagam Madinah sebagai konstitusi.
Pertama, pendapat yang tidak mengakui Piagam Madinah sebagai sebuah konstitusi. Kedua,
pendapat yang mengakui Piagam Madinah sebagai sebuah konstitusi. Terkait dua pendapat
tersebut, pendapat kedua cukup beralasan bila dilihat pendapat K.C. Wheare yang menjelaskan
sifat yang khas dan mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi itu
harus singkat untuk menghindari kesulitan para pembentuk konstitusi memilih mana yang
terpenting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat
mereka akan merancang suatu konstitusi, sehingga hasilnya akan dapat diterima, baik oleh
mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh konstitusi tersebut.
Pandangan ini menempatkan kedudukan Piagam Madinah sebagai Konstitusi Negara.
Memang, pandangan ahli konstitusi mengisyaratkan keharusan adanya pembagian
kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sehingga Piagam Madinah tidak
dapat disejajarkan sebagai konstitusi modern. Pandangan ahli konstitusi ini merupakan syarat
ideal sebuah konstitusi. Namun, secara keseluruhan Piagam Madinah telah memenuhi syarat
sebuah konstitusi negara. Di samping itu, Piagam Madinah dapat diterima sebagai sumber
inspirasi untuk membangun masyarakat yang pluralistik, memiliki relevansi yang kuat dengan
perkembangan masyarakat internasional dan menjadi pandangan hidup modern berbagai negara
di dunia.

Daftar Pustaka
Ahmad al-‘Aini. 1972. Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari. Cetakan Pertama. Juz 18.
Mishr: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh.
Ahmad Sukardja. 1995. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: UI Press.
Anthony Nutting. 1964. The Arab. New York: Clarson N. Patter Inc.
Ahmad Khairuddin, Konstitusi Madinah Latar Belakang dan Dampak Sosialnya, Jurnal AL-
BANJARI, Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007.
Bagir Manan. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung:
Bandar Maju.
Bosco Carvallo dan Dasrizal (Editor). 1983. Aspirasi Umat Islam Indonesia. Jakarta: Leppenas.
Bryan A. Garner. 1999. Black’s Law Dictionary. Edisi VII. St. Paul MN: West Publishing.
C.F. Strong. 1963. Modern Political Contitution. London: Sidgwick and Jackson Ltd.
Dahlan Thaib dkk. 1999. Teori Hukum dan Konstitusi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ellydar Chaidir. 2005. Teori Konstitusi: Sebuah Realitas dan Kritik. Studi Mandiri Program
Doktor (S3) Ilmu Hukum UII Yogyakarta.
Harun Nasution. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Cetakan V. Jilid I. Jakarta: UI
Press.
Ibnu Hisyam. tt. Sirah al-Nabiy. Jilid II. Beirut: Dar Ihya al-Turas al- ‘Arabiyyah.
Jazim Hamidi dan Malik. 2009. Hukum Perbandingan Konstitusi. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.

11
J. Suyuti Pulungan. 1994. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Judith S. Levey. 1975. The New Columbia Encyclopaedia. New York: Columbia University
Press.
Juwairiyah Dahlan, Piagam Madinah dan Konsep Ummah, Jurnal Paramedia (Jurnal
Komunikasi dan Informasi Keagamaan), Edisi XV, April-Juni 1999.
K.C. Wheare. 2003. Konstitusi-konstitusi Modern. Terjemahan. Surabaya: Pustaka Eureka.
Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No.
2, Tahun V, Mei 1987.
Lukman Thaib. 1998. Politik Menurut persprktif Islam. Kajang, Selangor Darul Ehsan:
Synergymate Sdn. Bhd.
Miriam Budiardjo. 1992. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad Latif Fauzi, Konsep Negara dalam Perspektif Piagam Madinah dan Piagam
Jakarta, Jurnal Al-Mawarid, Edisi XIII, Tahun 2005.
R.A. Nicholson. 1964. A Literary History of The Arabs. New York: Cambridge University.
Sri Soemantri M. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987.
---------------------. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali,
1981.
W. Montgomery Watt. Muhammad: Prophet and Statemen. New York: Oxford University,
1964.
……………………… Muhammad at Medina. London: Oxford University, 1972.
Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat,
1989.

12

Anda mungkin juga menyukai