Anda di halaman 1dari 10

Konflik DI/TII dengan TNI: Gerakan DI/TII untuk Mendirikan Negara Islam

Indonesia di Jawa Barat (1949 1962)


Oleh: Grady Nagara, 1106022686
Pendahuluan
Pasca kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia dihadapkan pada sejumlah
persoalan gerakan pemberontakan yang bersifat ideologis. Salah satunya adalah usaha
pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiryo. Gerakan yang disebut sebagai Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
ini memiliki pengaruh yang luas di berbagai wilayah Indonesia. Selain pemberontakan di
Jawa Barat, wilayah dimana NII dideklarasikan, pemberontakan juga terjadi di Aceh
(dipimpin oleh Dauh Bereuh), Jawa Tengah (dipimpin oleh Amir Fatah), dan Sulawesi
Selatan (dipimpin oleh Kahar Muzakkar). Pengaruh yang kuat dari DI/TII menjadi tantangan
bagi pemerintah Indonesia untuk menjaga kesatuan Negara.
Situasi tersebut bagi Clifford Geertz adalah persoalan yang muncul di Negara-Negara
yang baru meraih kemerdekaannya.1 Geertz meyakini bahwa persoalan tersebut merupakan
manifestasi dari kebangkitan primordial yang dipengaruhi oleh ikatan atas dasar ras, etnis,
bahasa, daerah, budaya dan agama. Jika merujuk pada keyakinan Geertz tersebut, usaha
untuk mendirikan Negara Islam Indonesia ini dapat dikategorikan dalam ikatan primordial
berdasarkan agama. Munculnya konflik antara pihak DI/TII dengan pemerintah Indonesia
juga atas dasar ikatan agama tersebut. Namun dalam hal ini sumber konflik tersebut perlu
dilihat apakah ikatan agama yang menjadi penyebabnya, atau mungkin ada sumber lain yang
menjadi faktor paling menentukan.
Konflik yang dimaksudkan merupakan konflik bersenjata dimana pihak NII sendiri
menggunakan kekuatan militernya (Tentara Islam Indonesia) melawan pemerintah Indonesia
(Tentara Nasional Indonesia). Konflik bersenjata yang muncul setelah NII dideklarasikan,
merupakan usaha bagi Kartosuwiryo untuk meluaskan pengaruhnya diseluruh wilayah
Indonesia. Sedangkan bagi pemerintah Indonesia, usaha Kartosuwiryo ini menjadi ancaman
bagi kesatuan Negara yang baru saja meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, melihat lebih
dalam konflik yang terjadi diantara keduanya menjadi penting mengingat hal ini merupakan
catatan penting bagi sejarah Republik Indonesia.
1 Clifford Geertz, Ikatan-Ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di NegaraNegara Baru dalam Juwono Sudarsono (ed.), Pembangunan Politik dan
Perubahan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1976).
1

Penyebab terjadinya konflik akan ditelusuri lebih dalam dengan melihatnya secara
khusus pada wilayah Jawa Barat, tempat dimana Kartosuwiryo mendeklarasikan NII.
Rentang waktu yang dilihat adalah tahun 1949 sampai dengan 1962. Tahun 1949 adalah
tahun dimana NII dideklarasikan sedangkan tahun 1962 merupakan tahun kematian
Kartosuwiryo selaku tokoh utama NII. Meskipun pengaruh DI/TII juga terjadi setelah
kematian Kartosuwiryo, namun peristiwa kematian Kartosuwiryo adalah akhir dari babak
konflik antara DI/TII dengan TNI.
Kerangka Konseptual: Sumber-Sumber Konflik
Konflik merupakan keniscayaan yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat dari
adanya interaksi didalamnya. Mencari sumber konflik menjadi satu bahasan penting untuk
memahami lebih dalam penyebab terjadinya konflik. Salah satu teoritisi yang mengkaji hal
tersebut adalah Maurice Duverger dengan pendekatan sosiologi politik. Meskipun pandangan
Duuverger ini merupakan pandangan klasik, tetapi konsepnya mengenai konflik masih
relevan untuk menjelaskan fenomena konflik yang terjadi didalam masyarakat.2
Duverger melihat kekuasaan politik seperti dua muka dewa Janus dimana kekuasaan dapat
menjadi penyebab konflik sekaligus integrasi. Dengan kata lain penguasa politik dapat
menjadi penindas sekaligus pelindung. Konsepsi ini melihat bahwa dalam berbagai
situasi, konflik politik dapat terjadi akibat dari perbuatan negara itu sendiri. Namun, disatu
sisi, negara dapat menciptakan situasi masyarakat yang kondusif dan damai. Tentu hal ini
bergantung pada bakat penguasa politik. Sedangkan yang dimiliki oleh penguasa politik
adalah otoritasnya mengenai penggunaan kekerasan dan juga otoritas untuk mengendalikan
konflik. Dengan kata lain, konsep Duverger ini melihat bahwa dalam lanskap kekuasaan
politik, akan ada situasi konflik dan integrasi.
Duverger sendiri melihat dalam kekuasaan politik, ada tiga bentuk konflik; (1) konflik
yang berkaitan dengan masalah-masalah praktis, bukan bersifat ideologis baik individu
maupun kelompok, (2) konflik yang berkaitan dengan kepentingan partai politik atau hal-hal
yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat, dan (3) konflik yang berkaitan dengan
persoalan ideologi. Sedangkan berdasarkan jumlahnya, Duverger melihat bahwa penyebab
terjadinya konflik dapat berupa sebab-sebab individual dan juga sebab-sebab kolektif. Pada
pembahasan ini, konflik yang terjadi disebabkan oleh persoalan kelompok.
2 Secara umum, konsep konflik Maurice Duverger diolah dari buku Maswadi Rauf,
Konsensus dan Konflik Politik. Sebuah Penjajagan Teoritis, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hal. 42 - 52
2

Terkait dengan konflik politik dan ideologi, Duverger ketika itu melihat dua ideologi
besar dunia yang saling bersifat antagonis: komunisme dan liberalisme. Pertentangan diantara
kedua ideologi tersebut sangat terlihat dikarenakan kedua ideologi tersebut memiliki
karakteristik yang bertentangan. Meskipun demikian, menurut Duverger yang bermasalah
dalam pertentangan diantara kedua ideologi tersebut adalah persoalan caranya, sedangkan
tujuan dari kedua ideologi tersebut sama. Kedua ideologi tersebut sama-sama membayangkan
situasi masyarakat yang ideal dan sejahtera. Liberalisme melihat adalah pentingnya
kebebasan bagi individu untuk mencapai hal tersebut, berbeda dengan komunisme yang
justru tidak sepakat dengan ide kebebasan individu.
Persoalan ideologi dalam melihat konflik politik menjadi relevan untuk melihat
antagonisme antar ideologi yang pernah terjadi di dunia. Seperti yang terjadi pada masa awal
kemerdekaan di Indonesia, antagonisme antara kubu islamis dan sekuler sangat terlihat tajam
dengan berbagai bentuk konflik hingga konflik bersenjata. Islam memang sebuah agama,
namun dalam praktik kekuasaan politik, islam dapat menjadi sebuah ideologi politik. Islam
menurut beberapa orang harus dioperasionalisasikan dalam kehidupan politik, termasuk
bernegara. Hukum islam sejatinya menjadi konstitusi (hukum tertinggi) negara dan dipatuhi
secara penuh oleh masyarakatnya. Tentu pandangan ini akan berbeda dengan kubu sekuler
yang justru melihat agama tidak sepatutnya menjadi landasan dalam politik. Antagonisme ini
yang akan terlihat dalam wacana islam versus sekuler pada masa awal kemerdekaan
Indonesia, termasuk persoalan DI/TII yang menjadi pembahasan pada kali ini.
Kartosuwiryo dan Ideologi Islam
Kartosuwiryo merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan
Republik Indonesia. Pemikirannya terhadap ide islam dan politik terlihat dari aktivitas dan
organisasi yang telah diikuti jauh sebelum Negara Islam Indonesia dideklarasikan. Aktivitas
politik yang pertama kali digelutinya adalah bergabungnya Kartosuwiryo dalam Sarekat
Islam dibawah kepemimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada 1927. Karirnya di
Sarekat Islam terus berlanjut hingga organisasi ini menjadi sebuah partai politik bernama
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dengan menjadi Sekjen partai.
Corak pemikiran Kartosuwiryo terlihat saat pertentangan pendapat terjadi di tubuh
PSII. Kartosuwiryo memaksakan satu kebijakan partai yang disebut sebagai Hijrah Policy.
Intinya kebijakan ini merupakan sikap partai untuk tidak bersikap koordinatif dengan
kolonial Hindia-Belanda baik secara politik maupun ekonomi. Kehendak Kartosuwiryo ini
bertentangan dengan ketua dewan partai yang menjabat saat itu, Haji Agus Salim. Haji Agus
3

Salim tidak sependapat dengan kebijakan tersebut yang memunculkan faksi ditubuh PSII. 3
Kebijakan tersebut pada akhirnya resmi menjadi kebijakan partai disebabkan oleh Lajnah
Tanfiziyah (eksekutif partai) didominasi oleh orang-orang pendukung Kartosuwiryo.
Selain di PSII, Kartosuwiryo juga mendirikan pesantren Safwa (Suffah Institute) di
Malangbong, Jawa Barat. Pesantren yang didirikan oleh Kartosuwiryo ini tidak hanya
mengajarkan agama saja, melainkan tentang politik. Kartosuwiryo memiliki keyakinan
bahwa ajaran islam mencakup semua aspek kehidupan termasuk politik, sebagai sarana untuk
mencapai kesempurnaan islam. Pesantren ini juga menjadi cikal-bakal pendidikan militer
dengan terbentuknya Hizbullah dan Sabilillah. Pendidikan militer ini yang menjadi latar
belakang sayap militer NII yang dikenal sebagai Tentara Islam Indonesia (TII). 4
Aktivitas politik Kartosuwiryo yang lain adalah menjadi anggota Pusat Pimpinan Besar
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) mewakili Jawa Barat. Masyumi sendiri
merupakan gabungan dari organisasi-organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII
yang kemudian menjadi partai politik islam terbesar Indonesia dimasanya. Pada 1947,
Masyumi cabang Jawa Barat dibawah Kartosuwiryo mengkonsolidasikan beberapa sayap
Masyumi yang berada dibawah pengaruh Kartosuwiryo seperti Hizbullah dan Sabililah,
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Muslimat. Setelah itu Masyumi cabang Jawa
Barat berubah menjadi Majelis Umat Islam, yang kemudian menjadi embrio pemerintahan
Negara Islam Indonesia.5
Gambaran diatas menjadi penting untuk melihat sumber konflik yang terjadi setelah
Negara Islam Indonesia dideklarasikan. Islam dalam penafsiran Kartosuwiryo adalah sebuah
ideologi politik, lebih dari sekedar agama yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga bagi Kartosuwiryo, sebuah Negara sudah sepatutnya hadir dengan menjadikan
Islam sebagai hukum tertinggi. Pidato Kartosuwiryo setahun setelah kemerdekaan Indonesia
dalam Haloean Politik Islam, menyebutkan secara eksplisit prinsip tersebut. Kartosuwiryo
mengatakan:

3 S.Soebardi, Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia Journal


of Southeast Asian Studies, (Vol.14, No.1, 1983), hal. 111 112
4 Ibid, hal. 113 114
5 Ibid, hal. 118
4

Sari daripada suara jiwa umat islam yang serupa itu mengalir kesatu jurusan yang
tetap dan tentu, ialah: Cita-Cita Islam, atau Ideologi Islam.6
Makna kalimat diatas adalah keyakinan Kartosuwiryo bahwa ideologi islam berbeda
dengan ideologi-ideologi lainnya yang hanya mengutamakan kepentingan dunia. Bagi
Kartosuwiryo, hanya ideologi islam yang mampu membawa manusia pada keselamatan
akhirat. Bahkan secara lebih operasional, Kartosuwiryo menjadikan ideologi islam sebagai
dasar-dasar kehidupan bernegara. Pidato Kartosuwiryo menyebutkan bahwa ideologi islam
diterjemahkan sebagai berikut7:
(1) Hendaklah Republik Indonesia menjadi republik yang berdasar Islam, (2)
Hendaklah pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum syara Agama Islam;
dalam arti seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya, (3) Kiranya tiap-tiap
muslim dapat kesempatan dan lapangan usaha, untuk melakukan kewajibannya, baik
dalam bagian duniawi maupun dalam urusan ukhrowi, (4) Kiranya rakyat Indonesia,
teristimewa sekali umat islam, terlepaslah daripada tiap-tiap penghambaan yang
mana pun jua.

Pidato tersebut merupakan ide dasar terbentuknya Negara Islam Indonesia. Negara Islam
yang memiliki dasar hukum islam (Kanun Asasi), yang sangat bertentangan dengan situasi
pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan yang sekuler (dibawah pemerintahan Soekarno).
Pertentangan ideologis ini yang kemudian menjadi sebab konflik antara DI/TII dan TNI
setelah Negara Islam Indonesia dideklarasikan.
Deklarasi Negara Islam Indonesia dan Konflik Setelahnya
Telah disebutkan bahwa ideologi islam yang diyakini oleh Kartosuwiryo menjadi dasar
pemikiran Negara Islam yang hendak didirikannya. Termasuk saat Indonesia mencapai
kemerdekaannya, menjadi momentum yang tepat bagi Kartosuwiryo untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara Islam. Ada dua hal yang menjadi dorongan kuat bagi Kartosuwiryo
6 Sekarmadji Maridjan Kartosuwiro, Haloean Politik Islam, (1946), dalam
http://www.empirisnetwork.net/2008/05/haloean-politik-islam.html diakses pada
2 Mei 2016
7 Ibid
5

untuk mendeklarasikan Negara Islam Indonesia. Pertama, kekecewaan Kartosuwiryo karena


tidak digunakannya Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD 1945. Kedua, sikap pemerintah
Indonesia yang menuruti kesepakatan dalam perjanjian Renville.8
Pertama, terkait dengan penghapusan Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD 1945.
Ketegangan yang terjadi antara islam sekuler menjadi wacana penting dalam perumusan
dasar negara. Piagam Jakarta yang merumuskan dasar negara Indonesia secara jelas
menempatkan islam sebagai dasar negara dalam salah satu poinnya. Namun, setelah
Indonesia merdeka, justru konsep dasar negara dalam Piagam Jakarta tidak digunakan dalam
pembukaan UUD 1945.9 Terkait dengan ini, salah satu tokoh islamis, KH. A. Wahid Hasyim,
mengatakan bahwa kompromi ini dilakukan untuk menjaga persatuan karena Indonesia baru
saja merdeka.10 Tentu saja pendapat ini tidak semua kalangan islamis sependapat. Salah satu
yang menentangnya adalah Kartosuwiryo.
Kedua, terkait dengan sikap pemerintah Indonesia yang mematuhi perjanjian Renville yang
disepakati pada 17 Februari 1948. Salah satu dampak dari perjanjian yang paling penting
adalah demarkasi wilayah RI dengan kekuasaan Belanda. Kekuasaan RI di pulau Jawa
setelah perjanjian Renville hanya di wilayah Jawa Tengah dan Banten, sedangkan sisanya
adalah wilayah kekuasaan Belanda. Atas dasar itu, wilayah non-RI harus dikosongkan yang
menyebabkan pindahnya divisi Siliwangi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jawa Barat
berpindah ke Jawa Tengah. Kartosuwiryo tidak mengikuti kemauan Belanda dalam perjanjian
Renville dan memanfaatkan kekosongan ini untuk menjadi medan jihad fii sabilillah bagi
pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Gerilyawan Hizbullan dan Sabillah melakukan
pemberontakan di wilayah kekuasaan Belanda di Jawa Barat untuk menentang perjanjian
8 Dewi Setyawati, Siapakah Kartosuwiryo? dalam
http://www.slideshare.net/Dewi_Sejarah/tugas-sni-5-dewi-setyawati diakses pada
2 Mei 2016.
9 Poin yang dimaksudkan adalah pernyataan Ketuhanan yang maha esa dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pengikutnya. Pada pembukaan UUD
1945 pasca kemerdekaan, tujuh kata kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pengikutnya dihapuskan. Hal ini menjadi perdebatan serius dalam merumuskan
dasar negara antara kalangan islamis dengan nasionalis (sekuler). Pada masa
berikutnya, poin ini menjadi perdebatan kembali dalam sidang konstituante
sampai dengan Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 1959 yang
membubarkan konstituante.
10 Saoki, Islam Sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan
Konstituante) dalam http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764 diakses pada 2 Mei 2016
6

Renville. Pada situasi ini pula, Kartosuwiryo menjadikan pasukan militernya menjadi Tentara
Islam Indonesia (TII).
Meskipun kedua alasan tersebut bukan satu-satunya alasan Kartosuwiryo mendirikan
Negara Islam, namun kedua hal tersebut menjadi dorongan yang kuat bagi Kartosuwiryo.
Pada 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo mendklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII)
yang secara politik berusaha mengubah konsep tata negara republik menjadi tata negara
islam.11 Sedangkan dalam hal pertahanan Negara, Tentara Islam Indonesia (TII) adalah sayap
militernya. Sehingga secara istilah, pendeklarasian NII dan usaha setelahnya dikenal sebagai
gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Perlu kita pahami bahwa gerakan DI/TII ini bukanlah sebuah gerakan separatisme seperti
gerakan-gerakan yang berupaya untuk memisahkan diri dari sebuah negara. Gerakan
separatisme bersifat kewilayahan. Meskipun ide separatisme dapat terjadi dengan berbagai
alasan, namun gerakan separatisme memisahkan dirinya dari negara utama yang sebelumnya
menaunginya. Cita-cita NII dalam bayangan Kartosuwiryo justru ingin menjadikan Indonesia
sebagai negara islam, bukan memisahkan diri menjadi negara tersendiri. Oleh karena itu
pengaruh pemikiran Kartosuwiryo ini tersebar diberbagai wilayah Indonesia. Poin penting
lainnya adalah antagonisme ideologi yang terjadi disebabkan karena respon Kartosuwiryo
menghadapi situasi pemerintahan yang tidak menerapkan hukum islam dalam kehidupan
bernegaranya.
Pendirian NII ini mendapat respon dari pemerintah pusat. Pada masa menjelang
deklarasi (25 Januari 1949), konflik bersenjata sempat terjadi antara DI/TII dengan TNI saat
TNI melakukan pengosongan wilayah Jawa Barat dan berpindah ke Jawa Tengah. Hingga
pada akhirnya NII berhasil dideklarasikan oleh Kartosuwiryo. Kemudian, pemerintah pusat
meresponnya dengan usaha konsensus untuk membujuk Kartosuwiryo kembali ke Republik
Indonesia. Usaha ini diusulkan oleh Masyumi melalui Mohammad Natsir, dengan
membentuk komisi khusus dimana Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga tergabung
didalamnya. Namun usaha ini pun tidak membuahkan hasil, Kartosuwiryo tetap menolak
proposal komisi tersebut. Hingga akhir Desember 1949 dan awal 1950, pemerintah melalui
Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan, Hamengkubuwono IX berupaya untuk menyurati
Kartosuwiryo. Namun, surat tersebut tidak mendapatkan jawaban dari Kartosuwiryo.12

11 Cornelis Van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka


Utama Graffiti, 1983), hal. 2
7

Setelah melalui jalur kompromistis tidak menemukan hasil, pemerintah pusat mengirimkan
TNI untuk menyelesaikan persoalan DI/TII. Pada masa awal tahun 1950-an, konflik-konflik
bersenjata sempat terjadi antara TNI dengan DI/TII, meskipun DI/TII tidak dapat sepenuhnya
ditumpaskan. Kondisi ini disebabkan oleh tempat tinggal pasukan DI/TII yang berada
didaerah pegunungan dan kemampuan DI/TII untuk bergerilya, pasukan DI/TII yang
bergerak di lingkungan pemukiman penduduk dan suasana politik dimana pemerintah pusat
juga dihadapkan dengan konflik-konflik lainnya yang terjadi pasca kemerdekaan.
Pada rentang 1950 hingga 1959, tidak banyak yang dilakukan oleh TNI untuk kembali
melawan DI/TII. Konflik antara TNI dan DI/TII terjadi secara sporadis, ditambah pengaruh
DI/TII yang juga menyebar di berbagai wilayah. Pasca pemilu 1955, dibuatlah badan
konstituante yang merumuskan UUD 1945 menggantikan UUD RIS tahun 1950. Wacana
perdebatan ideologis terjadi kembali antara kubu islamis dengan kubu sekuler terkait dasar
negara. Wacana piagam Jakarta kembali muncul dalam perdebatan tersebut. Namun, dalam
situasi ini, Kartosuwiryo tidak lagi terlibat dalam perdebatan tersebut. Mengingat hal ini
Kartosuwiryo telah mengubah Masyumi cabang Jawa Barat menjadi Majelis Oemat Islam
(MOI) yang kemudian menjadi Negara Islam Indonesia. Kartosuwiryo meyakini bahwa
perjuangan ideologi islam sudah seharusnya dioperasionalisasikan dalam bentuk negara yang
konkrit, bukan lagi partai politik. Oleh karena itu konflik-konflik fisik terjadi antara DI/TII
dengan TNI (mewakili pemerintah) dengan alasan bahwa pemerintahan Republik Indonesia
digolongkan oleh Kartosuwiryo sebagai Darul Harb.13
Akhir dari gerakan DI/TII di Jawa Barat terjadi pada tahun 1960 hingga 1962. Pada 1960,
TNI divisi Siliwangi melancarkan operasi pagar betis atau yang dikenal sebagai operasi
Baratayudha. Operasi militer ini dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat Jawa Barat
untuk bekerja sama dengan TNI. Hal ini untuk mencegah kebuntuan TNI karena pasukan
DI/TII yang bersembunyi di daerah pegunungan dan wilayah pemukiman penduduk. Operasi
ini pada intinya melakukan pengepungan terhadap wilayah persembunyian DI/TII dan
menangkapnya. Pada 1962, telah diketahui oleh TNI persembunyian Kartosuwiryo. Pada
12 Chiara Formichi, Islam and the Making of Nation: Kartosuwiryo and Political
Islam in 20th Century Indonesia, (Leiden: KITVL Press, 2012), hal. 149
13 Pandangan fundamentalis Kartosuwiryo menjadi penyebab panjang konflik
antara DI/TII dengan TNI. Bagi Kartosuwiryo, Republik Indonesia adalah Darul
Harb atau negara yang harus dipenrangi. Hal ini berkaitan dengan pemikiran
Kartosuwiryo tentang ideologi islam yang kemudian berpengaruh pada konsep
negara ideal menurut Kartosuwiryo.
8

tanggal 4 Juni 1962, operasi Baratayudha berhasil mengepung dan menangkap Kartosuwiryo
di tempat persembunyiannya, Gunung Geber, Malajaya, Jawa Barat. Kartosuwiryo kemudian
dihukum mati dan semua pasukan DI/TII berhasil ditangkap oleh TNI. Pada saat inilah,
gerakan DI/TII di Jawa Barat telah berakhir.

Kesimpulan
Duverger dalam menjelaskan konflik politik dan ideologi, berkesimpulan bahwa
tujuan dari semua ideologi pada prinsipnya sama, yaitu mencapai kemakmuran masyarakat.
Antagonisme politik antar ideologi terjadi karena adanya perbedaan cara menempuh
kemakmuran tersebut. Selain itu antagonisme merupakan akibat dari perbedaan point of view
dari setiap ideologi. Tesis Duverger ini paling tidak membantu menjelaskan fenomena konflik
DI/TII dengan TNI yang terjadi karena bersumber pada persoalan perbedaan ideologi.
Kartosuwiryo dan DI/TII menganggap bahwa islam adalah ideologi yang sudah
sepatutnya diaplikasikan dalam negara. Pandangan ini bertentagan dengan pemerintah
Republik Indonesia yang secara resmi meresmikan Pancasila sebagai ideologi negara.
Persoalannya adalah, akhir dari perdebatan mengenai Pancasila ternyata bernafaskan
sekularisme yang ditentang oleh Kartosuwiryo. Singkat cerita, Kartosuwiryo memilih untuk
mengambil jalan ekstra parlementer dengan mendirikan Negara Islam Indonesia dengan
cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Antagonisme ideologi ini yang
akhirnya menyebabkan konflik antara DI/TII dengan pasukan TNI yang mewakili
pemerintah.
Daftar Pustaka
Dewi Setyawati. Siapakah Kartosuwiryo?. dalam
http://www.slideshare.net/Dewi_Sejarah/tugas-sni-5-dewi-setyawati diakses pada 2
Mei 2016.
Dijk, Cornelis Van. Darul Islam, Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti,
1983.
Formichi, Chiara. Islam and the Making of Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in 20th
Century Indonesia. Leiden: KITVL Press, 2012.
Geertz, Clifford, Ikatan-Ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-Negara Baru,
dalam Juwono Sudarsono (ed.), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta:
Gramedia, 1976
9

Kartosuwiro, Sekarmadji Maridjan. Haloean Politik Islam. 1946. dalam


http://www.empirisnetwork.net/2008/05/haloean-politik-islam.html diakses pada 2
Mei 2016
Rauf, Maswadi. Konsensus dan Konflik Politik. Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, 2001
Saoki. Islam Sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Konstituante). dalam
http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764 diakses pada 2 Mei 2016
S.Soebardi. Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia. Journal of Southeast
Asian Studies, Vol.14, No.1, 1983.

10

Anda mungkin juga menyukai