Anda di halaman 1dari 6

Islam Pada Masa Revolusi (1945-1949)

Selama revolusi, Islam politik untuk sementara mengalihkan fokusnya dari upaya
mendirikan negara Islam. Saat itu, seluruh lapisan masyarakat Indonesia bersatu menghadapi
kembalinya kolonialisme Belanda. Namun, umat Islam bukannya tidak menyadari tujuan
membangun pemerintahan yang baik.

Oleh karena itu, mereka membentuk partai politik untuk mendukung sistem
demokrasi di Indonesia, memfasilitasi penyampaian aspirasi, dan memfasilitasi solidaritas
umat Islam dalam mendukung revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Untuk mencapai tujuan tersebut didirikan partai politik Masyumi. Masyumi didirikan
pada Kongres Islam Indonesia yang diadakan di Gedung Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah Yogyakarta pada tanggal 7–8 November 1945. Dalam pertemuan tersebut
disepakati bahwa Masyumi akan menjadi partai politik Islam satu-satunya di Indonesia yang
diperjuangkan untuk kepentingan politik umat Islam Indonesia.

Dengan resolusi ini, keberadaan partai politik Islam lainnya tidak diakui. Diharapkan
dengan adanya satu partai politik Islam maka pencapaian cita-cita Islam akan lebih mudah.
Partai ini mendapat dukungan yang sangat kuat dari berbagai kalangan, antara lain ulama,
modernis dan tradisionalis, serta tokoh masyarakat non-ulama di Jawa dan Madura. Tokoh
masyarakat di luar Pulau Jawa juga mendukung penuh partai baru ini, meski ada beberapa di
antara mereka yang berhalangan hadir dalam kongres di Yogyakarta karena terbatasnya
transportasi antar pulau saat itu.

Masyumi berperan sebagai wakil yang melindungi kepentingan politik umat Islam.
Dalam anggaran dasar, Masyumi dengan tegas menyatakan tujuannya adalah untuk
melaksanakan ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara
Republik Indonesia, ke arah yang diridhai Tuhan. Lebih lanjut, anggaran dasar menyatakan
bahwa tujuan politik Masyumi adalah mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan prinsip Islam. Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep negara Islam dijelaskan
pada interpretasi anggaran Basar, memberikan gambaran tentang karakter negara yang
berakar pada prinsip Islam. 1

Negara yang diidamkan adalah “Baldatun xoyibatun, wa rabbun ghofur”,


negara yang penuh kebaikan dan rahmat Ilahi. Di negeri ini kekuasaan didasarkan
pada musyawarah wakil rakyat yang dipilih. Prinsip kedaulatan rakyat, kemandirian,
kesetaraan, toleransi, dan keadilan sosial sebagaimana diajarkan Islam akan
dilaksanakan sepenuhnya.
Di negeri ini, umat Islam mempunyai kesempatan untuk mengatur kehidupan
pribadi dan sosialnya sesuai dengan ajaran dan hukum Islam yang terkandung dalam
Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan kelompok agama lain mempunyai kebebasan
menjalankan agamanya dan mengembangkan budayanya, serta masyarakat dari
berbagai latar belakang dapat hidup bersama dalam keberagaman.
Semua warga negara dijamin hak asasi manusianya, termasuk keadilan dalam
aspek sosial, ekonomi dan politik, serta hak atas kebebasan berpikir, berpendapat dan
beribadah, asalkan mereka mematuhi hukum negara dan standar etika. Partai ini
tergolong partai terbesar di NKRI, meski hanya asumsi sampai diadakannya
pemilihan umum.

Pada pemilu 1955, Masyumi hanya meraih peringkat kedua di belakang PNI.
Keberhasilan tersebut tidak terjadi karena partai mempunyai struktur organisasi yang tertata
rapi. Sebaliknya, partai tersebut mengalami perpecahan besar antara pemimpin Muslim
tradisionalis dan modernis. 2

Perpecahan ini sebagian besar terkait dengan persaingan internal untuk mendapatkan
posisi di partai dan pemerintahan. Dalam kontestasi ini, NU (Nahdlatul Ulama) lebih banyak
mengalami kekalahan melawan kaum modernis. Akhirnya NU memutuskan keluar dari
Masyumi pada tahun 1952. Sebelumnya, pada tahun 1947, PSII (Partai Sarekat Islam
Indonesia) juga keluar dari Masyumi. Susunan Dewan Partai (Majelis Syuro) dan Pengurus
Besar Masjumi yang pertama mencerminkan keragaman dalam spektrum Islam.

1
Ben Anderson, Revolusi Pemoeda: Pendudukan dan Perlawanan Jepang di Jawa 1944-1946, trans.oleh Jiman
Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal.253
2
Ricklefs, Sejarah Indonesia, hal. 477. Sebagaimana diketahui, golongan Islam tradisionalis diasosiasikan
dengan NU,
Ketua Majelis Syuro adalah Hasyim Asy'ari, dan salah satu wakil ketuanya adalah
putranya, Wahid Hasyim, keduanya berasal dari NU (Nahdlatul Ulama). Di dalam
kepengurusan juga terdapat tokoh-tokoh seperti H. Agus Salim, Syekh Djamil Djambek, serta
beberapa kiai lainnya. Pengurus Besar Masjumi mencakup politisi berpengalaman seperti
Soekiman, Abikusno, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, dan Kartosuwirjo.

Basis politik Masyumi terdiri dari umat Islam yang taat, termasuk sebagian besar
kaum borjuis lokal, kiai dan ulama, serta anggota kelompok gerilya Hizbullah dan Sabilillah
yang telah didemobilisasi. Oleh karena itu, partai ini mencakup banyak kelompok dan kelas
berbeda dalam masyarakat Muslim Indonesia, mulai dari kelas atas hingga kelompok ulama
dan gerilya yang ikut serta dalam perjuangan.3

Pada masa revolusi, seluruh wilayah Republik Indonesia bersatu melawan upaya
pengembalian Belanda ke Indonesia. Masyumi adalah salah satu peserta aktif dalam
perjuangan ini dan mereka melakukan yang terbaik untuk menghalangi upaya Belanda.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Masyumi menolak ikut serta dalam perundingan dengan
Belanda yang diyakini dapat merugikan rakyat Indonesia. Mereka bertekad untuk terus
berjuang hingga tujuan kemerdekaan Indonesia tercapai.

Dr. Soekiman Wirjosandjoyo, salah satu tokoh Masyumi, mengatakan dalam konteks
ini, tidak dapat dipungkiri bahwa Masyumi adalah kekuatan yang gigih mempertahankan
cita-cita kemerdekaan dan tidak akan mengubah pendirian kepemimpinannya terhadap
partai. sedang mengendalikan pemerintah dan berusaha mendapatkan kekuasaan. jalannya
masing-masing, berbeda dengan semangat patriotik bangsa Indonesia. Masyumi menolak
perjanjian seperti Linggarjati dan Renville, yang dipimpin oleh partai-partai yang pada saat
itu (1959) membanggakan diri sebagai partai revolusioner progresif.

Selama kurang lebih 5 tahun, Masyumi mendirikan kantor pusatnya di kota bersejarah
Yogyakarta dan dengan penuh keikhlasan dan pengabdian membantu bangsa Indonesia
memasuki era baru, yaitu era kemerdekaan berdasarkan UUD 1945. Pertumpahan darah dan
pengorbanan. dari bangsa Indonesia. .

3
Ricklefs, Sejarah Indonesia, hal. 477
Pada masa kembalinya perjuangan melawan Belanda, Masyumi terus
memperjuangkan kepentingan umat Islam, khususnya di bidang pendidikan. Pada tahun
1946, Masjumi berupaya untuk mewujudkan undang-undang wajib belajar bagi seluruh
rakyat Indonesia, dengan minimal pendidikan hingga tingkat sekolah dasar.

Namun prestasi tersebut baru dapat diraih pada masa kabinet Natsir tahun 1950. 4
Upaya tersebut dilakukan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam sehingga
peningkatan pendidikan bagi umat Islam dianggap sebagai langkah penting bagi kemajuan
umat Islam dan Indonesia. total.

Di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), Masyumi juga memperjuangkan


kepentingan kelompok Islam. Pada tanggal 2 Maret 1947 diadakan sidang KNIP untuk
membahas pandangan anggota KNIP terhadap kebijakan pemerintah. Dalam persidangan kali
ini, Masyumi mengecam keras pemerintah yang kurang peduli terhadap madrasah.5

Pada masa revolusi, pemerintahan Republik Indonesia sering mengalami pergantian


kabinet. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan pendapat mengenai perundingan antara
Indonesia dan Belanda. Masyumi, dalam konteks ini, lebih berperan sebagai oposisi terhadap
pemerintah. Meskipun beberapa anggota Masyumi mungkin bertugas di kabinet, mereka
melakukannya atas nama mereka sendiri dan tidak mewakili partai.

Sebagai peserta, Masyumi berperan dalam KNIP. Dalam pertemuan KNIP dengan
pemerintah, Masyumi mengkritik pemerintahan Amir Syarifuddin yang kurang perhatian
terhadap kiai. Selain itu, mereka mendesak agar pendidikan agama diajarkan di militer. PSII
yang menjabat sebagai Menteri Agama di kabinet Amir Syarifuddin membantah tudingan
tersebut dan mengatakan pemerintah tetap memberikan perhatian kepada kiai dan pesantren,
bahkan mendistribusikan 3.000 eksemplar Alkitab, Alquran untuk pesantren.

4
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi
(Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 265. Lihat juga Yudi Latif,
Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, 2005,
hal. 369
5
Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-1950, Jakarta:
Yayasan Risalah, 2005, hal. 115
Pada masa revolusi, Masyumi bersedia masuk dalam kabinet Amir Syarifuddin II
melalui perombakan dengan tujuan mempengaruhi Perdana Menteri Amir Syarifuddin dalam
perundingannya dengan Belanda. Namun upaya tersebut gagal ketika Perjanjian Renville
ditandatangani pada 8 Desember 1947. 6 Setelah perjanjian ini ditandatangani, Masyumi
keluar dari perusahaan. Karena perpecahan internal, Perdana Menteri Amir Syarifuddin
kemudian mengundurkan diri.

Pada tahun 1949, Masyumi juga berjuang untuk memasukkan pendidikan agama ke
dalam kurikulum wajib di sekolah-sekolah Indonesia. Menurut Masyumi, pendidikan agama
harus diajarkan sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.
Namun upaya tersebut gagal karena mendapat tentangan dari PNI dan PKI. Penentangan ini
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran jika pendidikan agama diajarkan di sekolah, maka
ideologi Masyumi akan berkembang pesat.

Pada masa revolusi, umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia konsisten
mendukung perjuangan kemerdekaan. Para pemimpin umat Islam tidak pernah mengusulkan
atau memaksakan gagasan pendirian negara Islam. Mereka tidak memanfaatkan situasi
perjuangan melawan Belanda untuk mencapai tujuannya seperti yang terjadi pada masa
pemberontakan komunis di Madiun pada bulan September 1948. Namun Masyumi
membantah menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan pendirian negara Islam, karena
dalam kasus tersebut pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewirjo
dideklarasikan pada tanggal 7 Agustus 1949. Saat mengumumkan sikap Pengurus Masyumi,
Pak Natsir, Ketua Umum Masyumi saat itu, mengatakan bahwa Partai Masyumi ingin
mencapai tujuannya melalui demokrasi parlementer dan sesuai dengan konstitusi dan bukan
melalui kekerasan.

Pada periode ini, sejarah mencatat peranan Masyumi, terutama beberapa tokohnya,
dalam menyelesaikan revolusi, terutama pada periode aksi militer Belanda kedua hingga
peralihan kepemilikan. Contohnya adalah peran anggota Masyumi Mohamad Roem yang
memimpin delegasi RI dalam perundingan RI-Belanda pada tanggal 14 April 1949 yang
dikenal dengan perundingan Roem-Roijen. Perundingan tersebut merupakan langkah awal
menuju meja bundar di Belanda pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949, yang

6
Kahin, Nasionalisme, hal. 283
pada akhirnya berujung pada penyerahan kedaulatan pada tanggal 29 Desember 1949 dan
berakhirnya revolusi di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai