Anda di halaman 1dari 11

FIKIH SIYASAH

SISTEM POLITIK ISLAM DI INDONESIA

(Masyumi, DI/TII, Majelis Muhajidin Indonesia, FPI, Partai Politik Islam)

Dosen Pengampu:

Saddam Husain., SPd., M.H

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 13

HAMSINAR

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MAJENE

TAHUN AKADEMIK 2022/2023

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
sistem politik Islam di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang. Islam pertama kali
masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui proses perdagangan dengan pedagang Arab dan
India. Selanjutnya, agama Islam menyebar secara bertahap melalui penyebaran ajaran-ajaran
Islam oleh para wali (sufi) dan ulamaulama lokal.

Selama berabad-abad, Islam menjadi agama mayoritas di sebagian besar wilayah Indonesia,
dan pengaruhnya mulai terlihat dalam sistem politik. Namun, sistem politik di Indonesia tidak
sepenuhnya berdasarkan hukum syariah Islam. Sebaliknya, Indonesia adalah negara dengan
sistem politik yang didasarkan pada Pancasila, yaitu ideologi dasar negara yang mencakup
prinsip-prinsip seperti keadilan sosial, demokrasi, dan persatuan

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem politik Masyumi
2. Bagaimana sistem politik DI/TII
3. Bagaimana sistem politik Majelis Mujahidin
4. Bagaimana sistem politik FPI

BAB II
PEMBAHASAN
A. Masyumi

jika berbicara partai politik Islam di Indonesia, sepertinya dalam ingatan bangsa Indonesia,
Partai Masyumi masih mempunyai tempat yang istimewa dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Partai ini pada awalnya, lahir dari keinginan pemerintah Jepang untuk mengakomodir umat
Islam yang dianggap Jepang sebagai golongan yang anti barat. Terutama Belanda yang telah

2
menjajah selama sekian lama, golongan ini pada mulanya dinamakan Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) yang dikemudian hari berubah naman menjadi Masyumi di akhir 1943.

Tidak lama setelah partai Masyumi berdiri tepatnya pada akhir Nopember 1945, garis-garis
politik Masyumi mulai terbentuk ketika Partai Masyumi bergabung kedalam koalisi oposisi Tan
Malaka. Koalisi oposisi ini bertujuan untuk mengkritisi kepemimpinan kabinet Sjahrir - Amir
Syarifudin I. Langkah Masyumi ini merupakan pilihan yang sangat berani meskipun
kepemimpinan Sjahrir – Amir Syarifudin tergolong lemah tapi dukungan rakyat terhadap
Soekarno Hatta sangat besar. Hal ini berkaitan dengan tujuan politis yang dibangun oleh Tan
Malaka yaitu mengambil alih kekuasaan dari Soekarno Hatta, sebuah langkah yang penuh resiko
yang dipilih oleh Masyumi sebagai partai baru. Pada akhirnya koalisi yang dibangun Tan Malaka
yang mana Masyumi bergabung didalamnya mengalami kegagalan, disamping gagalnya merebut
kekuasaan dari Soekarno Hatta, perwakilan Masyumi dikoalisi bentukan Tan Malaka tidak
menyinggung atau bereaksi menolak terkait dengan seruan Persatuan Perjuangan yang
menghendaki dirumuskannya ulang tujuan koalisi ini dibentuk, bahkan wakil Masyumi menuntut
himbauan agar daerah-daerah yang berpenduduk mayoritas Islam agar dipimpin oleh orang Islam
sendiri.

Dengan demikian, partai Masyumi secara tidak langsung menyatakan diri sebagai oposisi
terbuka terhadap pemerintah meskipun tujuan ini gagal dicapai yang menimbulkan dugaan
internal dikubu Masyumi yaitu tidak adanya ekspresi yang lebih radikal dari tuntutan yang
diajukan oleh Masyumi sendiri. Agenda politik mencari dukungan luas dari kalangan Islam ialah
sewaktu mengkonsolidasikan berbagai organisasi Islam dalam rangka diadakannya Kongres
Umat Islam ke II di Yogyakarta. Hasil kongres ini membuat Masyumi mendapatkan legitimasi
dari golongan Islam semakin menguat karena Masyumi ditetapkan oleh Kongres tersebut sebagai
partai Islam satu-satunya.

Selanjutnya perubahan sikap politik Masyumi secara drastis terjadi ketika organisasi
bentukan Tan Malaka Persatuan Perjuangan, dibekukan oleh pemerintah yang berimbas terhadap
penahanan para pimpinannya termasuk Abikusno Tjokrosoejoso selaku wakil dari Masyumi
yang mengakibatkan melunaknya sikap Masyumi terhadap pemerintah, pada masa ini Masyumi
memilih jalan tengah untuk menghindari pembekuan organisasi. Akan tetapi pada 11 Mei 1946
Masyumi terlibat dalam berdirinya suatu pergerakan politik baru yang bernamakan Konsentrasi

3
Nasional yang tujuannya sendiri tidak jauh dari persatuan perjuangan yaitu sebagai oposisi
pemerintah yang kritis bukan lagi bertujuan untuk merebut kekuasaan. Dinamakan sebagai
politik jalan tengah, karena Masyumi tidak serta merta mendukung politik Sjahrir sepenuhnya
melainkan tetap bersikap kritis namun Masyumi juga menggalang kekuatan dengan organisasi-
organisasi yang pada dasarnya organisasi pendukung Sjahrir

Sebagai gambaran partai Islam bercorak Modernis, Masyumi juga tidak melupakan nilai-nilai
apa yang harus dimiliki oleh masyarakat. Islam sebagai nafas luhur kehidupan dapat berjalan
beriringan dengan unsur-unsur modernitas yang mana modernitas sendiri ialah sebuah fenomena
kehidupan yang mau tidak mau atau suka tidak suka harus kita terima tanpa harus
mengesampikan nilai-nilai Islam dan Budaya. Pada wilayah ini Masyumi berupaya menyadarkan
masyarakat akan pentingnya keseimbangan hidup antara nilai-nilai Islam yang harus berjalan
beriringan antara nilai-nilai Agama, Budaya dan Modernitas. Hal ini supaya masyarakat tidak
mengalami keterkejutan sosial atau spontanitas respon yang mengakibatkan masyarakat merasa
terkejut dan mengalami ketertinggalan didalam menyikapi perkembangan jaman. Bukan hal yang
mudah bagi Masyumi untuk mensosialisasikan fenomena tersebut yang mana masyarakat sendiri
telah terbiasa hidup dengan nilainilai atau kebiasaan yang sudah dijalankan seperti biasanya

B. DI/TII

Lahirnya DI/TII tidak dapat lepas dari peran Kartosuwiryo sebagai pimpinan tertinggi. Garut
yang merupakan wilayah dibawah Propinsi Jawa Barat merupakan basis gerakan DI/TII yang
besar karena didukung oleh penduduk setempat yang mayoritas menganut agama Islam.
Organisasi-organisasi Islam yang sependapat dengan pandangan hidup Kartosuwiryo pun
menjadi sokongan dalam berjalannya gerakan DI/TII.

Perkembangan dan Aktifitas Gerakan DI/TII telah memiliki struktur kenegaraan yang
matang. Struktur tersebut diuraikan dalam Qanun Azasi yang sudah direncanakan setahun
sebelum diproklamasikan berdirinya NII. Dalam Qanun Azasi, terbentuknya DI/TII merupakan
suatu hal yang dikaruniai oleh Allah SWT yang dilimpakan kepada rakyatnya. 29 Terstrukturnya
sistem pemerintahan DI/TII terlihat dari adanya struktur yang sudah dibentuk sebelum berdirinya
DI/TII. Pada bulan Mei 1948 dibentuk suatu Dewan Imamah, sebagai tanda bahwa DI/TII
merupakan negara Islam yang sah dengan undang-undangnya yang tercantum dalam Qanun
Azasi. Struktur lainnya yang dibentuk ialah tiga lembaga konstitusi, yaitu: Majelis Syuro, Dewan

4
Syuro, dan Dewan Fatwa.30 Majelis Syuro memiliki kekuasaan yang berdaulat, tetapi ketika
dalam keadaan mendesak, hak tersebut dapat dialihkan kepada Imam tertinggi dan Dewan
Imamah. Majelis ini menyusun sebuah konstitusi dan menetapkan garis besar kebijakan
pemerintah. Pemilihan pemimpin tertinggi diatur oleh Majelis ini, dengan ketentuan pemimpin
tertinggi atau Imam negara harus warga negara Indonesia dan beragama Islam.

Lembaga Dewan Syuro dinyatakan sebagai Eksekutif Majelis Syuro, lembaga ini bertugas
untuk mengadakan sidang dalam menentukan undang-undang. Lembaga terakhir dari tiga
konstitusi ialah Dewan Fatwa, lembaga ini berperan sebagai penasehat Imam. Anggota Dewan
Fatwa terdiri dari tujuh orang yang diketuai oleh Mufti Agung dan anggotanya dapat diangkat
dan diberhentikan oleh Imam tertinggi.

DI/TII tidak memiliki sebuah parlemen, hal ini membuat semua peraturan kenegaraan
dikeluarkan oleh dewan tertinggi, seperti Imam tertinggi, wakil imam, komandan divisi, majelis
keuangan, majelis penerangan, majelis pertahanan, dan majelis luar negeri. Tugas utama dari
adanya dewan adalah melaksanakan perang gerilya dan mempertahankan wilayah melawan
Belanda yang telah ditinggalkan TNI hijrah ke Yogyakarta. Pada saat itu laskar Hizbullah dan
Sabilillah dilebur menjadi satu dan terbentuklah Tentara Islam Indonesia/TII, serta dibentuk juga
korps khusus seperti BARIS dan PADI yang dimulai pada 30 Oktober 1949.

BARIS yang merupakan singkatan dari Barisan Rakyat Islam, merupakan pasukan
pembantu yang bertugas berada pada wilayah di tingkat kecamatan dan desa. Hal ini dikarenakan
adanya ketetapan dari Dewan Imamah yang meyatakan bahwa di setiap kecamatan harus
memiliki satuan brigade. Sementara PADI merupakan singkatan dari Pahlawan Darul Islam, dan
merupakan organisasi pemuda yang bergabung masuk kesatuan DI/TII pada 30 Oktober 1949.

Garut yang menjadi daerah kekuasaan DI/TII ini memiliki daerah komando pusat, yaitu
Malangbong. Kartosuwiryo yang menikah dengan anak Ardiwisastra, yakni Dewi Kulsum,
membuat warga di daerah Malangbong banyak yang bergabung dengan DI/TII. Malangbong
yang berada di kaki gunung Cakrabuana, membuat pasukan DI/TII menjadikan wilayah ini
sebagai daerah pusat komando. Penduduk di daerah Malangbong yang bergabung dengan DI/TII
sangat mengenal gunung Cakrabuana, sehingga membuat gerakan DI/TII lebih unggul dari
gerakan pasukan Belanda dan TNI. Malangbong juga dikenal sebagai salah satu daerah utama
teritorial DI/TII, sehingga Malangbong disebut sebagai daerah Segitiga bersama Majalengka dan

5
Tasikmalaya. Penduduk setempat yang berada dalam bayang-bayang gerakan DI/TII, seringkali
mendapatkan pengaruh atau propaganda yang dilakukan secara rutin. Propaganda yang
dilakukan ialah tentang keadaan pemerintah yang tidak stabil serta adanya pengaruh komunis
yang mendarah daging dalam tubuh pemerintahan Indonesia dan TNI. Hal ini membuat
penduduk ragu dalam mendukung pemerintahan Indonesia dan TNI. Pergerakan DI/TII di Garut
sangat erat dengan peran Kartosuwiryo. Garut yang masuk dalam kategori wilayah Priangan
Timur dijadikan basis wilayah utama berjalannya pemerintahan DI/TII. Sejak perencanaan dalam
mendirikan DI/TII, Garut sudah diproyeksikan oleh Kartosuwiryo ketika masa kependudukan
Jepang. Saat Institut Suffah di Malangbong merubah sistem pengajarannya yang bermula
memberikan pendidikan umum menjadi pendidikan militer, menjadikan Institut Suffah sebagai
lembaga pengkaderan dalam bidang politik dan ketentaraan DI/TII. Pelatihan militer di Isntitut
Suffah dipimpin oleh Ateng Djaelani

Susunan strategi militer DI/TII di Garut sudah diatur sesuai dengan keadaan negara yang
mengalami perang. Taktik gerilya diterapkan terhadap kesatuan pasukan DI/TII.39 Hal ini
karena jumlah pasukan DI/TII masih terbilang sedikit dan kalah jumlah dengan pasukan TNI
yang sudah ada sejak lama, atau bisa dikatakan kekuatan DI/TII dan TNI merupakan wujud
perlawanan antara si lemah dan si kuat.40 Sistem penyerangan DI/TII dan pertahanannya
disusun secara rapi serta sesuai dengan keadaan negara. Dalam pelaksanaan mempertahankan
wilayah teritorial, telah disusun sebuah konsepsi pertahanan yang berdasar pada pelaksanaan
perang gerilya. Konsepsi pertahanan gerilya, yang dijelaskan dalam siasat dan taktik tersebut,
yaitu:

1. Melemahkan ideologi musuh.


2. Mematahkan urat syaraf musuh.
3. Mengadakan gerakan racun.
4. Mengadakan propaganda.
5. Mengadakan gerakan air, membongkar dan merusak pusat-pusat air dan waduk
6. Mengadakan sabotase secara besar-besaran.

C. Majelis Mujahiddin Indonesia

6
Pasca reformasi tahun 1998 di Indonesia, banyak bermunculan gerakan maupun pemikiran
keagamaan yang memainkan peran dominan dalam isu-isu nasional, baik yang bercorak liberal
seperti Jaringan Islam Liberal, moderat sampai bercorak radikal. Salah satu gerakan kelompok
Islam yang muncul adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dideklarasikan di
Yogyakarta pada penutupan Konggres Mujahidin I pada tanggal 7 Agustus 2000.

Secara sosial dan politis, MMI ini juga merupakan suatu reaksi terhadap kebijakan
“deIslamisasi” pemerintah Orde Lama dan Orde Baru yang sama sekali tidak membuka ruang
bagi pergerakan politik Islam. Maka sejak “pemerintahan reformasi” Presiden B.J. Habibie,
gerakan-gerakan Islam mulai mendapatkan ruang bebas untuk dapat mengartikulasikan
kepentingan-kepentingan umat Islam. Meski umurnya masih muda, pengurus MMI mengklaim
bahwa kehadiran mereka telah dinantikan oleh umat Islam di Indonesia yang merindukan
penerapan syariat Islam dan dengan demikian berkembang cukup cepat. Mereka berambisi untuk
menjadi organisasi basis (tansiq) bagi organisasi, kelompok atau individual muslim yang
mempunyai orientasi dan metode gerakan yang sama untuk memperjuangkan penerapan syariat
Islam di Indonesia. Mereka mengklaim telah mempunyai perwakilan di 8 provinsi di Indonesia
yang meliputi Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,
Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Dalam karakteristik perjuangan, ada 5 (lima) karakteristik Majelis Mujahidin yang menjadi
landasan para mujahid penegak Syari’at Islam, dalam mengayunkan langkah perjuangan
menegakkan Syari’ah Islam, yaitu

1. Persaudaraan Berasas Aqidah Tauhid


2. Terang dengan Kebenaran
3. Kesediaan Berkorban Jiwa dan Harta di Jalan Allah
4. Disiplin Menjalankan Dakwah dan Jihad, meliputi disiplin Shaf (institusi), disiplin dalam
Tugas, disiplin menjalankan Aturan dan disiplin melaksanakan Program
5. Komitmen dan lstiqamah Menegakkan Syari’ah Islam

D. FPI

Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa Islam yang berpusat di Jakarta.
FPI memiliki Laskar Pembela Islam, kelompok paramiliter dari organisasi tersebut yang

7
kontroversial karena melakukan aksi-aksi "penertiban" (sweeping) terhadap kegiatan-kegiatan
yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam terutama pada bulan
Ramadhan.Organisasi ini terkenal dan kontroversial karena aksi-aksinya sejak tahun 1998. Tidak
jarang rangkaian aksi sweeping yang mereka lakukan berujung pada tindak kekerasan
sebagaimana di beritakan oleh media massa

Pada tanggal 17 agustus 1998 (24 Rabiul Akhir 1419) FPI dideklarasikan di halaman Pondok
Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Jakarta Selatan. Tujuan organisasi ini adalah
menjadikan wadah kerja sama antara ulama dalam menegakkan Amar Ma’rufdan Nahi Munkar
di setiap aspek kehidupan yang sudah dibentuk.

FPI di latar belakangi oleh, kehadiran FPI merupakan reaksi dari permasalahan-permasalahan
sosial politik yang terjadi selama ini, di Negara kita Indonesia. Oleh karena ketidakmampuan
Pemerintah Negara dalam menyelesaikan segala persoalan ini. Munculnya FPI ke permukaan
sebagai organisasi yang mengajak masyarakat untuk kembali pada ajaran syari’at yang benar
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.

Indonesia. Oleh karena ketidakmampuan Pemerintah Negara dalam menyelesaikan segala


persoalan ini. Munculnya FPI ke permukaan sebagai organisasi yang mengajak masyarakat untuk
kembali pada ajaran syari’at yang benar berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.

Salah satu tujuan FPI adalah memberantas segala kemaksiatan sampai ke akar- akarnya. Untuk
membantu memuluskan upaya para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melakukan penyucian
terhadap individu-individu Umat Islam.

E. Partai Politik Islam di Indonesia


1. Partai keadilan Sejahtra

Cikal bakal PKS berasal dari gerakan dakwah para mahasiswa dan mahasiswi di kampus-
kampus luar negeri maupun tanah air. Perjalanan dakwah para aktivis kampus dikenal sebutan
gerakan tarbiyah di Indonesia, mulai marak sejak tahun 1990-an. Setelah sukses menjadi gerakan
dakwah kampus dan di masyarakat, gerakan tarbiyah mulai mengenal jati dirinya dan mencoba
mengundi nasib di kancah politik. Lahirlah Partai Keadilan (PK) pada 9 Agustus 1998 sebagai

8
cikal bakal dari Partai Keadilan Sejahtera (berasimilasi jadi PKS pada 20 April 2002/9 Jumadil
Ula 1423 Hijriyah)

Pendiri PKS kebanyakan memang dari kalangan anak muda aktifis masjid kampus,
sehingga wajar bila dimasukkan ke dalam kotak modernis. Namun bila kita perhatikan lebih
cermat, sejumlah pendiri PK jelas-jelas berakar dari kalangan tradisional. Seperti, Salim Segaf al
Jufri tercatat masih cucu pendiri Al Khairat yang cukup dominan di wilayah Indonesia bagian
Timur, KH Rahmat Syafi'i tergolong murid KH. Abdullah Syafi'i (pendiri Asy Syafi'iyah dari
Jakarta), Ahmad Heriawan adalah kader Persatuan Umat Islam (PUI), Daud Rasyid Sitorus
berasal dari lingkungan Jamaah Al Washliyah di Sumatera Utara. Semuanya tercatat sebagai
Dewan Pendiri PK.

2. Partai Kebangkitan Bangsa

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tergolong merupakan partai dengan ideologi yang unik. Meski
secara kelembagaan partai ini secara jelas mencantumkan Pancasila sebagai asas partai, akan
tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kelahiran PKB dibidani oleh organisasi keagamaan terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Kompromi antara identitas sebagai partai politik yang
nasionalis dengan latar belakang historis menjadi kata kunci dalam memahami PKB.

Dalam pasal 3 Anggaran Dasar PKB ditegaskan; bahwa partai ini berasaskan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indondesia. Sementara, pada pasal 4 PKB menegaskan bahwa yang menjadi
prinsip perjuangan partai adalah pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjunjung
tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan
persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilainilai Islam Ahlusunnah Waljama’ah.

Pada 1999, PKB menjadi bagian dari peserta pemilihan umum yang pertama di era reformasi.
Perolehan suaranya cukup signifikan, yakni 13.336.982 atau sekitar 12,61 % dari keseluruhan
suara. Dengan perolehan tersebut, PKB berhasil menempatkan 51 wakilnya di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Sebenarnya, perolehan suara tersebut bukan
merupakan sesuatu yang luar biasa, mengingat PKB mengandalkan suara jam’iyyah NU yang

9
cukup besar. Hanya saja, sebaran suara PKB memang masih sangat dominan di Pulau Jawa,
khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah

Dalam perjalanannya, PKB terus mengalami transformasi. Secara rinci, perjuangan PKB
dijelaskan dalam buku bertajuk ”Khidmat Kami Bagimu Negeri.” Selain pokok-pokok
perjuangan serta misi yang ingin diperjuangkannya, buku ini juga menegaskan posisi PKB
sebagai partai advokasi. PKB mencoba mengkhususkan perjuangannya terhadap kepentingan
masyarakat marginal, seperti masyarakat di pedesaan, petani, guru, nelayan, institusi pesantren
dan lainnya (Ahsanul Minan dkk, 2007).

Dari sisi etika politik, Imam Nahrowi (2006) menegaskan bahwa dalam pandangan PKB, sikap
pragmatis yang semata-mata hanya memperebutkan kekuasaan jelas sangat merugikan
perjuangan. Sikap tersebut hanya berisi intrikintrik politik yang dilakukan orang tanpa ada
kejelasan untuk apa ia ada. Pada titik inilah, menurut Nahrawi, PKB hadir sebagai partai politik
yang lebih mengedepankan moralitas. PKB harus memanfaatkan momen di masa depan dalam
suasana saat pragmatisme politik begitu menguat. Sementara di sisi lain, moralitas partai-partai
politik pun semakin tergerus Formulasi ideal PKB di masa depan adalah meninggalkan model
pengorganisasian partai yang bergaya ”manajemen gardu ronda”. Model seperti ini
mengokohkan eksistensi nalar keroyokan, dengan kata lain, PKB masih terjebak dalam cara
berpikir politik yang berbasis isu, momentum, bersifat jangka pendek, spontan dan tentu saja
tidak terlembaga dalam organisasi partai. Dari aspek manajemen partai, tentu saja model ini
tidak cukup efektif sebagai mesin partai. Kemudian muncul istilah politik korporasi yang
berbasis nalar organisasional sebagai format ideal

BAB III

PENUTUP

10
A. KESIMPULAN

partai Masyumi secara tidak langsung menyatakan diri sebagai oposisi terbuka terhadap
pemerintah meskipun tujuan ini gagal dicapai yang menimbulkan dugaan internal dikubu
Masyumi yaitu tidak adanya ekspresi yang lebih radikal dari tuntutan yang diajukan oleh
Masyumi sendiri. Agenda politik mencari dukungan luas dari kalangan Islam ialah sewaktu
mengkonsolidasikan berbagai organisasi Islam dalam rangka diadakannya Kongres Umat Islam
ke II di Yogyakarta. Hasil kongres ini membuat Masyumi mendapatkan legitimasi dari golongan
Islam semakin menguat karena Masyumi ditetapkan oleh Kongres tersebut sebagai partai Islam
satu-satunya.

Lahirnya DI/TII tidak dapat lepas dari peran Kartosuwiryo sebagai pimpinan tertinggi. Garut
yang merupakan wilayah dibawah Propinsi Jawa Barat merupakan basis gerakan DI/TII yang
besar karena didukung oleh penduduk setempat yang mayoritas menganut agama Islam.
Organisasi-organisasi Islam yang sependapat dengan pandangan hidup Kartosuwiryo pun
menjadi sokongan dalam berjalannya gerakan DI/TII.

B. SARAN

Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yg kami miliki, baik dari segi penulisan
maupun bahasan yg kami sajikan. Oleh karena itu, kami mohon di berikan sarannya agar kami
dapat membuat makalh yg lebih baik kedepannya dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua dan menjadi wawasan kita dalam memahami sistem politik islam di indonesia. harap
dengan makalah ini bisa menambah wawasan mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Hanif Dhakhiri. Struktur Politik Partai Kebangkitan Bangsa The Political Structure of Partai
Kebangkitan Bangs. Universitas Nasional, Jakarta: 2015

Visi Misi (Online) tersedia di www.fpi.or.id “Visi.Misi FPI. Di akses Selasa 28 Mei 2013.

11

Anda mungkin juga menyukai