Ke Nu-an IV Siyasah
Kelas A3 - HI 2019
Hubungan Internasional
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang Politik NU pada
masa orde lama.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari
penyusunan hingga tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan
rendah hati menerika saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
Politik Nahdlatul Ulama pada masa Orde lama sangat menarik untuk dipelajari dan diteliti.
Karena pada masa orde lama, para tokoh-tokoh penting NU langsung mengambil bagian dalam
banyak hal, terutama jika ada penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama. Pada masa
awal diterapkannya Demokrasi Terpimpin, Soekarno banyak menuai pro-kontra dari kalangan
aparatur Negara ketika itu; Peristiwa 30 September 1965 benar-benar mengguncang Indonesia.
Upaya kudeta yang dikenal dengan G30S-PKI itu membuat NU harus bertindak cepat. Melalui
pemuda-pemudanya, NU menempati garda terdepan dalam aksi anti PKI.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Islam terbesar dengan jumlah
anggota terbanyak di Indonesia, dan merupakan suatu organisasi yang berbasis massa di bawah
kepemimpinan ulama. Keyakinan yang mendalam terhadap pelbagai pemikiran, gagasan, konsep
di segala hal, serta metode-metode yang diusung NU diyakini sebagai kunci utama NU untuk
dapat eksis dan terus bertahan hingga hari ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Politik Masa Orde Lama
Berakhirnya era demokrasi liberal sejak keluarnya Dekret Presiden 1959 menandai
bermulanya era baru politik Indonesia yang disebut Demokrasi Terpimpin. Ada beberapa alasan
bagi Soekarno mengeluarkan dekritnya. Pertama, anjuran presiden dan pemerintah untuk
kembali ke UUD 1945 pada 22 Juni 1959 tidak memperoleh jawaban dari konstituante; kedua,
sebagian besar anggota konstituante menyatakan walk out dari sidang, sehingga tugas-tugas
mereka tak bisa terselesaikan; ketiga, keadaan demikian menimbulkan bahaya bagi
ketatanegaraan dan keselamatan Negara. Akhirnya pada 5 Juli 1959 Soekarno mengeluarkan
dekrit presiden yang isinya adalah menetapkan pembubaran konstituante, kembali kepada UUD
1945 sebagai konstitusi negara, membentuk Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara (MPRS)
dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
Partai NU bersikap menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno. Mereka bersikap
akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam demokrasi
terpimpinnya Soekarno. NU adalah partai yang paling besar diantara ketiganya. Karena dapat
dianggap sebagai pendukung utama gagasan Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali iklim
politik yang diciptakan Soekarno dengan sistim Nasakomnya. Tokoh-tokoh NU yang ikut ambil
bagian dalam demokrasi terpimpin antara lain adalah KH. Idham Chalid, K.H. Achmad Sjaikhu,
dan K.H. Saifuddin Zuhri.6 K.H. Idham Chalid mengatakan bahwa “masuk dalam sistim
demokrasi terpimpin adalah sesuai dengan hukum Allah”. Sementara K.H. Achmadm Sjaikhu
berpendapat bahwa “masuk dalam sistem demokrasi terpimpin adalah ijtihad politik pihak
pesantren”. Adapun K.H. Saifuddin Zuhri adalah tokoh NU yang bertahan menjadi Menteri
Agama pada era demokrasi terpimpin. Selain pembenaran tersebut, untuk mendukung pandangan
dan pendirian, NU menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh. Diantaranya adalah kaidah “ma laa
yudraku kulluhu laa yutaraku ba’dhuh” (sesuatu yang tidak dapat diperoleh secara utuh “100 %”,
jangan di tinggalkan meskipun hanya diperoleh sebagian saja). Karena itu bagi NU masuk ke
dalam sistim demokrasi terpimpin lebih baik dan akan lebih mudah mewarnainya daripada
berada di luar sistim. Namun demikian antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang
baik sekali. Antara keduanya seakan akan saling membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama
partai Islam lainnya yang mendukung demokrasi terpimpin serta pendukungpendukung Soekarno
dari pihak nasionalis dan komunis. Pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno
menjadi presiden seumur hidup. Ini tentu suatu bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU,
dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama sebagai pembenaran sikap mereka. Dalam hal
ini NU menggunakan paradigma politik sunni klasik untuk mempertahankan pendirian mereka.
Ahmad Sjaikhu menggunakan tiga pertimbangan; pertama, pertimbangan politik. Bagi NU,
betapa luar biasanya jasa Soekarno bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan
prestasi ini, sudah selayaknya Soekarno memperoleh kehormatan tertinggi. kedua, pertimbangan
revolusioner. Dalam hal ini, Sjaikhu membandingkan Soekarno dengan Nabi Muhammad saw,
yang telah memimpin revolusi di Jazirah Arabia. Seperti di kutip Ma’arif, Syaikhu menyatakan :
“Sebagaimana dengan Nabi Muhammad Saw. 13 abad yang lalu dalam memimpin revolusi
bangsa-bangsa Arab yang dahulunya bodoh itu, mengalami rintangan-rintangan dan bahaya-
bahaya yang ditujuakan kepada diri beliau dan umat serta ajaran-ajarannya, begitu pula kini
dalam saat-saat dimana bangsa indonesia di bawah pimppinan Bung Karno sedang
menyelesaikan revolusinya”
Ketiga, pertimbangan Agama. Menurut Sjaikhu, sepanjang sejarah Islam tidak didapati bahwa
kepala negara dipilih dan menjalankan tugasnya dibatasi oleh waktu lima atau sepuluh tahun.
Kepala negara dapat menjalankan tugas-tugasnya selama masih memenuhi syarat-syarat. Ini
berarti bahwa kepala negara boleh berkuasa seumur hidup. Sjaikhu yakin bahwa panglima besar
revolusi presiden Soekarno memiliki syarat-syarat demikian.
Bagi NU sikap melawan kekuasaan Soekarno jauh lebih berbahaya daripada menerima
tanpa protes. Sikap akomodatif ini diambil untuk menekan resiko seminimal mungkin. Adalah
hal yang sia-sia melawan Soekarno yang ketika itu sangat kuat dengan dukungan sepenuhnya
militer (angkatan Darat). Oposisi bukan hanya tindakan yang sia-sia, dalam hal ini NU
menggunakan kaidah agama akhaff al-dhararayn (memilih risiko yang paling kecil diantara dua
resiko). Namun yang jelas, apa pun yang dipilih oleh partai-partai Islam, menolak atau menerima
demokrasi terpimpin, keduaduanya sama-sama hancur. Masyumi lebih dahulu bubar setahun
setelah Soekarno mengeluarkan dekritnya.
Pada periode 1960-1966 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunise, hal ini
dilakukan dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor SerbaGuna),
Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada
tanggal 5 Oktober1965 NU menuntut pembubaran PKI. Sebagai salah satu sikap perjuangan NU
melawan pemerintahan kolonial Belanda adalah menolak berpartisipasi dalam wajib militer,
mendirikan partai politik untuk melawan Belanda, mengadakan perang gerilya, menuntut adanya
pemilihan umum untuk memilih presiden, dan menolak kedatangan Jepang.
KESIMPULAN
Pada kebijakan politik NU masa orde lama, ketika itu Soekarno mengeluarkan dekritnya.
Pertama, anjuran presiden dan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 pada 22 Juni 1959 tidak
memperoleh jawaban dari konstituante; kedua, sebagian besar anggota konstituante menyatakan
walk out dari sidang, sehingga tugas-tugas mereka tak bisa terselesaikan; ketiga, keadaan
demikian menimbulkan bahaya bagi ketatanegaraan dan keselamatan Negara. Akhirnya pada 5
Juli 1959 Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang isinya adalah menetapkan pembubaran
konstituante, kembali kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara, membentuk Majelis
Permusyawaratan rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
Pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno menjadi presiden seumur hidup. Ini tentu
suatu bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil
agama sebagai pembenaran sikap mereka. Dalam hal ini NU menggunakan paradigma politik
sunni klasik untuk mempertahankan pendirian mereka. Ahmad Sjaikhu menggunakan tiga
pertimbangan; pertama, pertimbangan politik, kedua, pertimbangan revolusioner, Ketiga,
pertimbangan Agama.
Bagi NU sikap melawan kekuasaan Soekarno jauh lebih berbahaya daripada menerima tanpa
protes. Sikap akomodatif ini diambil untuk menekan resiko seminimal mungkin. Adalah hal yang
sia-sia melawan Soekarno yang ketika itu sangat kuat dengan dukungan sepenuhnya militer
(angkatan Darat). Oposisi bukan hanya tindakan yang sia-sia, dalam hal ini NU menggunakan
kaidah agama akhaff al-dhararayn (memilih risiko yang paling kecil diantara dua resiko). Namun
yang jelas, apa pun yang dipilih oleh partai-partai Islam, menolak atau menerima demokrasi
terpimpin, keduaduanya sama-sama hancur. Masyumi lebih dahulu bubar setahun setelah
Soekarno mengeluarkan dekritnya.
NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi “Gadis Molek” yang diperebutkan semua
kekuataan politik sejak Orde Lama sampai sekarang. NU mulai berpolitik sejak bergabung
dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain dengan membentuk Masyumi yang diketuai
oleh K.H. Wahid Hasyim. NU menjadi partai pada pemilu 1955.
Sumber :
https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-peran-nu-dalam-perjuangan-kemerdekaan-
indonesia.html
http://makalahunisnu.blogspot.com/2017/12/makalah-strategi-politik-nu-pada-masa.html
335328-islam-dan-politik-orde-lama-dinamika-pol-9a2fae88.pdf
https://www.scribd.com/document/441228501/NU-PADA-MASA-ORDE-LAMA
https://islamaswajablog.wordpress.com/2016/07/12/peran-nu-dari-masa-ke-masa/