XI IPS 3
Sejarah Peminatan
Sukarno muda menilai ada tiga aliran politik yang menjadi pilar pergerakan
nasional dalam kehidupan bangsa pada zaman kolonial Hindia Belanda kala
itu. Pertama adalah kelompok nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP),
kedua golongan muslimin yang mewujud dalam Sarekat Islam (SI), dan
ketiga Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ideologi marxisme. Pada
Februari 1956, Sukarno mengusulkan konsep baru yang disebutnya
Demokrasi Terpimpin dengan berpondasi kepada tiga pilar utama: Nasakom.
Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara kian terpusat
kepada sosok presiden, dan itulah yang memang terjadi. Syafii Maarif dalam
Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996) menyebut,
Hatta mundur dari kursi wakil presiden karena Sukarno semakin otoriter.
Sepeninggal Hatta, Sukarno semakin leluasa mengkampanyekan konsep
Nasakom-nya. Dengan sistem Demokrasi Terpimpin, Bung Karno
menyatukan tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk semakin memperkuat
posisinya.
Nasakom memang menjadi tiga faksi utama dalam perpolitikan Indonesia
kala itu. Ada partai-partai politik berhaluan nasionalis terutama Partai
Nasional Indonesia (PNI) besutan Sukarno, termasuk kalangan militer, ada
kelompok Islam macam Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta golongan
kiri yang dimotori PKI.
Tak berhenti di situ. Sukarno bahkan menyatakan bahwa Nasakom
merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik. Dalam
pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961,
sang penguasa berucap lantang:
“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa
yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada
Pancasila,” seru Sukarno dikutip dari buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan
Islam di Indonesia (2004) yang ditulis oleh Jan S. Aritonang.