A. Kongres I pemuda
Perkembangan golongan intelektual di Indonesia pada awal abad XX
ditandai dengan banyaknya pemuda yang berpikiran maju dan
memikirkan nasib bangsanya. Para pemuda mulai menumbuhkan benihbenih nasionalisme yng ditujukan ke arah persatuan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, para pemuda merasa membutuhkan wadah yang
mempu menampung aspirasi mereka dan memerlukan tempat untuk
bersama-sama menyusun rencana guna meraih kemerdekaan bangsa
yang sudah lama dicita-citakan.
Pada tanggal 15 November 1925 beberapa organisasi daerah
mengadakan konferensi. Organisasi tersebut antara lain Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Ambon, pelajar-pelajar Minahasa
(Minahasasische studeerenten), dan
Sekar Rukun. Tokoh yang hadir dalam
kongres tersebut, yaitu Bahder
Djohan, Sumarto, Jan Toule,
Soulehuwij, Paul Pinontoan, dan
Tabrani. Konferensi tersebut berhasil
membentuk sebuah komite untuk
mengadakan kongres pemuda yang
disebut komite kongres dimana Tabani
dipilih sebagai ketua. Tokoh yang hadir
salah satunya adalah Bahder Djohan,
Bahder Djohan merupakan salah satu
pimpinan Jong Sumatranen Bond.
Bahder Djohan dalam kongres ini bertugas sebagai pembicara. Dalam
Kongres Pemuda I, Djohan menyampaikan pidato tentang kedudukan
wanita. Pidatonya yang berjudul "Di Tangan Wanita," dilarang beredar
oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Tugas komite kongres adalah meyelenggarakan Kongres I Pemuda. Pada
tanggal 30 April-2 Mei 1926 para pemuda mengadakan Kongres I Pemuda
di Jakarta. Kongres I Pemuda bertujuan mencapai persatuan pemuda
Indonesia dan menanamkan semangat kerja sama antarperkumpulan
pemuda untuk mewujudkan persatuan Indonesia.
Pada tanggal 15 agustus 1926 para pemuda mengadakan konferensi.
Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan-perwakilan organisasi pemuda
daerah seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Ambonsche
Studeerenten, dan Minahasasische. Konferensi ini memutuskan untuk
membentuk sebuah badan permanen untuk keperluan persatuan Indonesia.
Badan tersebut diberi nama Jong Indonesia. Pembentukan Jong Indonesia
disetujui oleh semua peserta konferensi, kecuali Jong Islamieten Bond.
B. Kongres II Pemuda
Kongres kedua ini diselenggarakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928, dan
keputusannya dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Ketua Kongres Pemuda II
dipimpin oleh Sugondo Joyopuspito (PPPI) dan wakilnya Joko Marsaid (Jong
Java). Dan, penyelenggaraan kongres pemuda hari pertama di gedung
Katholikee jongelingen Bond (Gedung Pemuda Katolik). Hari kedua di gedung
Oost Java (sekarang di Medan Merdeka Utara Nomor 14). Rapat ketiga di
gedung Susunan Panitia Kongres Pemuda II adalah:
Pembantu II : Kocosungkono
Pembantu V : Rohyani
Sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) terus mendapat tekanan dari
Belanda. Sukarno sebagai pimpinan PNI karena aksi-aksi yang dengan radikal
terhadap pemerintah Belanda, akhirnya ditangkap dan diadili. Menjelang vonis
pengadilan dijatuhkan, Sukarno sempat mengucapkan pidato pembelaan untuk
membakar semangat para pejuang. Pidato pembelaan itulah yang kemudian
dibukukan dengan judul: Indonesia Menggugat.
Putusan pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman kurungan kepada
Sukarno. Ia ditahan di Penjara Sukamiskin selama empat tahun terhitung
Desember 1930. Selama Sukarno menjalani masa penahanannya PNI pecah
menjadi dua, Partai Indonesia (Pertindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia
atau PNI Baru. Sukarno masuk dalam Partai Indonesia dan PNI Baru dipimpin
oleh Mohammad Hatta dan Sjahrir.
Partai Indonesia pimpinan Sukarno lebih menekankan pada mobilisasi massa,
sedangkan Hatta dan Sjahrir lebih menekankan pada organisasi kader yang
akan menentang tekanan pemerintah kolonial Belanda dengan keras dan lebih
menanamkan pemahaman ide nasionalisme. Namun demikian kedua strategi
politik itu belum mencapai hasil yang maksimal. Akhirnya ketiga tokoh itu
ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dan ditahan serta diasingkan pada
1933. Kedua organisasi yang didirikan oleh ketiga tokoh itupun dibubarkan oleh
pemerintah kolonial.
Sukarno ternyata tidak hanya diisolasi, sebagai tahanan pemerintah, Sukarno
justru masih harus berjuang untuk menghidupi anggota keluarganya. Inilah
perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan Sukarno di pengasingan.
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi pergearkan
untuk menentang Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran Marxis
mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir
Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung menampakkan faham fasisme
internasional. Di Sumatera Timur, PNI, PKI, Permi, dan Partindo pemimpinnya
berasal dari organisasi-organisasi radikal dari tahun-tahun sebelumnya.
Gerindo sebagai partai yang berpaham marxis lebih menunjukkan sikap anti
kolonialisme, anti-Eropa dan antikapitalisme. Desakan-desakan untuk
kemerdekaan nasional sangat kuat dan radikal. Organisasi itu juga tidak
sepaham dengan sistem feodalisme, nasionalisasi perusahaan-perusahaan
kapital dan restorasi hak-hak tanah pribumi.
Sementara itu Gabungan Politik Indonesia (GAPI) didirikan pada tahun 1939.
Tokoh pendiri GAPI adalah Muhammad Husni Thamrin. Dalam gabungan itu,
Gerindo berada dalam satu arah dengan Parindra yang dipimpin oleh Thamrin
dan sebelumnya oleh Sutomo. Parindra adalah partai politik Indonesia yang
paling berpengaruh di Hindia, karena keberhasilannya dalam pemilihan di
volksraad. Thamrin kemudian memimpin front Indonesia bersatu di dalam
Volksraad yang disebut Fraksi Nasional.
Volksraad sebagai dewan rakyat yang didirikan tahun 1918, menjadi wadah
bagi pemimpin organisasi untuk menyalurkan aspirasi perjuangan tanpa takut
adanya penangkapan dan pembuangan seperti yang diberlakukan pada kaum
pergerakan yang radikal. Ini tidak berarti bahwa di luar volksraad tidak ada
aksi perjuangan. Organisasi pergerakan tetap giat melakukan akitivitas di
berbagai bidang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti
mendirikan Rukun Tani, Rukun Pelayaran, mengusahakan bank, koperasi dan
sebagainya. Walaupun volksraad tidak mempunyai kekuasaan legislatif dan
wewenangnya hanya terbatas memberi advis, sehingga tidak pernah
memuaskan harapan rakyat Indonesia, namun volksraad merupakan satusatunya tempat yang aman untuk mencurahkan kecaman terhadap pemerintah
Hindia Belanda. Untuk itu organisasi pergerakan kooperatif telah membentuk
suatu kesatuan aksi di volksraad yang disebut Fraksi Nasional. Fraksi ini
didirikan pada tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta, berdasarkan ide Muhammad
Husni Thamrin, ketua Perkumpulan kaum Betawi. Berdirinya Fraksi Nasional
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yakni:
A. Sikap pemerintah Belanda terhadap gerakan politik diluar Volksraad
khususnya terhadap partai Nasional Indonesia. Tindakan keras Pemerintah
Kolonial Belanda lebih menonjol setelah terjadi pemberontakan PKI pada
tahun 1926.
B. B.
Anggapan dan perlakuan yang sama oleh Pemerintah belanda
terhadap semua gerakan baik yang non maupun kooperasi. Kejadian ini
sangat menghalangi penggalangan kekuatan pada organisasi yang
moderat. Pada saat terjadi penangkapan terhadap tokoh PNI, ternyata
anggota-anggota perkumpulan yang moderatpun juga ikut diinterogasi.
Dengan demikian tindakan pengawasan politik tidak pandanng bulu.
C.
Berdirinya Vaderlandsche Club (VC) pada tahun 1929 sebagai protes
terhadap pelekasanaan "etsch belied", Gubernur Jendral de Graef. Tindakan
Zentgraaff dengan VC merupakan usaha kearah pengingkaran terhadap
Etthishe Koers dari desakan Fraksi Sosial Demokrat (Troelstra dan kawankawan) dalam Tweede Kamer Parlemen Belanda.
Fraksi Nasional bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia secepatcepatnya, dan untuk mencapai tujuan tersebut dilakukanlah usaha-usaha sebagai
berikut :
A. Berusaha mencapai perubahan ketatanegaraan,
B.
Berusaha melenyapkan semua perbedaan-perbedaan politik, ekonomi,
dan tingkat pendidikan yang diakibatkan oleh antithesis colonial,
C.
Menggunakan semua jalan yang sah untuk mencapai tujuan tersebut.
nggota
Fraksi Nasional berjumlah 10 orang, mereka terdiri dari berbagai perkumpulan
dan suku. Berikut Susunan kepengurusan Fraksi Nasional di dewan rakyat.
1.
Ketua
: Muhammad Husni Thamrin
2.
Wakil ketua
: Kusumo Utoyo
3.
Anggota
: Dwidjosewojo
4.
Anggota
: Datuk Kajo
5.
Anggota
: Muchtar Prabu Negara
6.
Anggota
: Cut Nyak Arief
7.
Anggota
: Suangkopon
8.
Anggota
: Pangeran Ali
9.
Anggota
10. Anggota
: Suradi
: Suroso.
Kegiatan pertama yang dilakukan oleh fraksi ini adalah pembelaan terhadap
pemimpin-pemimpin PNI yang di tangkap di dalam sidang-sidang Volkstraad,
Moh. Husni berpendapat bahwa tindakan penggeledahan dab penangkapan
terhadap pemimpin-pemimpin PNI oleh pemerintah tidak dapat
dipertanggungjawabkan bahkan banyak di antaranya bukan anggota PNI juga
digeledah dan dicurigai. Dengan peristiwa ini terbukti bahwa pemerintah dalam
tindakkannya telah berlaku tidak bijaksana dan tidak adil terhadap pergerakan
rakyat Indonesia.
Petisi sutardjo
Petisi Soetardjo ialah sebutan untuk petisi yang diajukan oleh Soetardjo
Kartohadikoesoemo, pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten
Generaal (parlemen) di negeri Belanda. Petisi ini diajukan karena makin
meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan
akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi
ini ditandatangani juga oleh I.J. Kasimo, G.S.S.J. Ratulangi, Datuk Tumenggung,
dan Ko Kwat Tiong.Usul yang dicetuskan oleh Soetardjo
Kartohadikoesoemo (Soetarjo Kartaningprang) dan beberapa rekannya pada
sidang Volksraad bulan Juli 1936. Soetardjo pada saat itu
menjabat KetuaPersatuan Pegawai Bestuur/pamongpraja Bumiputra (PPBB).
Petisi atau usul tersebut berisi permohonan agar diadakan suatu musyawarah
(konferensi) antara wakil-wakil Indonesia dan negara Belanda (Nederland) yang
anggota-anggotanya mempunyai hak sama dan sederajat. Tujuan
diadakannya konferensi tersebut adalah membicarakan kemungkinan Hindia
Belanda (Indonesia) diberi suatu pemerintahan otonom dalam kerangka
konstitusi Belanda dalam jangka waktu 10 tahun mendatang. Dalam surat
kabar Tjahaja Timoer (3 Agustus 1936) disinggung adanya orangorang Belanda dari kalangan pemerintah Belanda yang menyetujui Petisi
Soetardjo. Tetapi dari kalangan masyarakat Belanda banyak yang tidak
menyetujui petisi tersebut, seperti golongan Vaderlandse
Clubyang berpendapat bahwa Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri
atau mendapat hak otonomi. Di pihak Indonesia juga timbul sikap pro dan
kontra terhadap Petisi Soetardjo.
Saat diperdebatkan kembali dalam Volksraad pada 29 September 1936, petisi
ini mendapat 26 suara setuju dan 20 suara menolak. Dengan demikian tanggal
1 Oktober 1936 petisi itu menjadi Petisi Volksraad dan dikirim kepada
ratu, staten generaal, dan menteri jajahan di negeri Belanda. Pada Februari
1938, Petisi Sutardjo dibicarakan pula dalam Tweede Kamer Nederland.Menteri
jajahan, Welter, sebagai wakil pemerintah Belanda berpendapat bahwa jalan
terbaik untuk perubahan pemerintah Hindia Belanda adalah dengan
menjalankan asas desentralisasi, yakni dengan meletakkan dasar otonomi
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pada tahun 1931. PBI merupakan salah satu
cikal bakal dari Parindra.