Anda di halaman 1dari 8

TUGAS SEJARAH

PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA

Disusun oleh :
1. Fatika anisa p. (13)
2. Marshanda dyah p. (19)
3. Yunita fatikasari (36)
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru)
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) ini lahir pada bulan Desember 1931.
Organisasi ini dipimpin oleh orang-orang yang memiliki gaya yang berbeda
dengan Soerkarno.
Dari sini muncul tokoh baru yaitu Sultan Syahrir (20 tahun) yang waktu itu masih
menjadi mahasiswa di Amsterdam. Walaupun cita-cita dan haluan kedua partai
itu sama, yaitu kemerdekaan Indonesia dan nonkooperasi, tetapi strategi
perjuangannya berbeda. PNI Baru lebih menekankan pentingnya pendidikan
kader.
Mohammad Hatta kemudian membuat kesepakatan dengan Soedjadi Moerad,
untuk menerbitkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan
kader baru. Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama “Daulat Rakjat”, yang
mempertahankan asa kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan politik,
perekonomian dan pergaulan sosial. Kemudian Hatta dan Sjahrir bermufakat agar
Sjahrir pulang ke Indonesia pada bulan Desember 1931 untuk membantu
“Golongan Merdeka” serta membantu “Daulat Rakjat”.
Pada tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan
pada bulan Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk
merampungkan penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok
tersebut diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai
PNI-Baru dengan Soekemi sebagai ketuanya. Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang
Jakarta dan sekretaris cabangnya adalah Djohan Sjahroezah.
Kemudian dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang
berlangsung di Bandung, Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan
Nasional Indonesia menggantikan Soekemi. Dalam kongres itu dirumuskan bahwa
PNI Baru adalah sebagai suatu partai kader politik yang merupakan partai kader.
Keputusan bahwa PNI Baru adalah sebagai partai kader setelah mengalami diskusi
yang cukup panjang dan rumit yang pada akhirnya argumentasi Sjahrir yang cukup
kuat untuk membawa PNI Baru sebagai partai kader dapat diterima oleh sebagian
besar pengurus. Dan dengan pulangnya Hatta pada awal tahun 193, Pimpinan
Umum PNI Baru diserahkan oleh Sjahrir kepada Hatta.
Dimasukkannya kata “Pendidikan” ke dalam nama partai mengandung maksud
yang serius. Sebagian besar kegiatan partai ini adalah menyelenggarakan
pendidikan politik bagi para anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui
halaman-halaman “Daulat Rakjat” dan tulisan-tulisan lain, termasuk risalah
“Kearahan Indonesia Merdeka” (KIM) yang secara khusus ditulis oleh Hatta
sebagai semacam manifesto pergerakan itu.
Arah sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang
mencakup banyak aspek politik, ekonomi, dan sosial. Secar keseluruhan, jawaban-
jawaban itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana, bahwa
kekuasaan politik didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi dalam
suatu masyarakat, bahwa kebebasan politik tanpa persamaan di bidang ekonomi
sangatlah terbatas dan bahwa kemerdekaan Indonesia baru merupakan realita
jika disertai perubahan ekonomi, sebagaimana pernyataan (kunci) sebagai
berikut, “Mengapa demokrasi politik saja tidak cukup?”. Jawabannya, “Demokrasi
politik saja tidak cukup karena ia akan dilumpuhakan oleh otokrasi yang masih
ada di bidang-bidang ekonomi dan sosial. Mayoritas rakyat masih menderita
dibawah kekuasaan kaum kapitalis dan majikan”.
Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional
Indonesia dan kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang
kepada “Workers Education Essocition” (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum
Buruh) yang berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada
akhir abad 19. WEA mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian
dan sebagian kegiatannya adalah memberikan pendidikan sosialis.
Meskipun anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian
besar mereka adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan
suatu pendidikan politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka
melampaui batas-batas gaya agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini,
PNI Baru, dibawah kepemimpinan Hatta dan Sjharir, mengembangkan suatu
pandangan dunia yang khas dan suatu cara yang unik dalam membahas masalah-
masalah yang sedang dihadapi oleh pergerakan kebangsaan.
Malai tahun 1933, dengan meningkatnya tekanan politik dari pemerintah
Belanda, PNI Baru akan menempuh taktik-taktik yang membedakannya dengan
PNI Lama. Para pemimpin PNI Baru kemudian mengembangkan pandangan
bahwa aksi massa benar-benar sulit, jika bukan msutahil, dilaksanakan dalam
lingkungan seperti itu, dan ketergantungan hanya kepada seorang pemimpin saja
dapat mengakibatkan lumpuhnya suatu partai apabila sang pemimpin ditangkap.
Oleh karena itu, PNI Baru lebih bertujuan menghasilkan kader-kader pemimpin
yang dapat menggantikan para pemimpin yang ditangkap.
Yang pasti PNI Baru memiliki pandangan yang berbeda dengan PNI Lama ataupun
Partindo. PNI Baru bersikap kritis dengan terhadap watak PNI Lama dan Partindo
seperti gaya agitasi yang ekspresif dan mempertahankan persatuan nasional
tanpa syarat. Bagi Hatta dan Sjahrir, persatuan tidak ada artinya kecuali apabila
didasarkan pada pengertian atas prinsip-prinsip bersama.
PNI Baru, menurut Benhard Dahm, banyak berhutang kepada tradisi sosial
demokrasi Eropa. Ciri khasnya adalah pengutamaan terhadap teori sosial sebagai
suatu peoman aksi, adanya koherensi pada pandangan dunianya yang merangkul
analisis-analisis tentang kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang
saling melengkapi dan berusaha untuk menempatkan kemalangan Indonesia
dalam suatu gambaran global. Tentu saja harus diakui bahwa sejauh menyangkut
analisis-analisis mengenai imperialisme dan tatanan sosial, PNI Baru tidak
memiliki ideologis.
Kesadaran diri akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme
melalui kegiatan intelektual masih mempunyai arti penting pada tahun 1948
ketika anggota-anggota PNI Baru yang masih hidup, bersama-sama dengan orang
yang sependirian dan generasi yang lebih muda keluar Partai Sosialis untuk
mendirikan PSI.
Disini tampak jelas adanya pengaruh-pengaruh Marxis terhadap PNI Baru, karena
organisasi ini merasa yakin akan perlunya perjuangan melawan kaum borjuis
pribumi, sehingga membuatnya jatuh dari kalangan dagang Islam maupun priyayi
pemerintahan. Dengan demikian, gerakan nasionalis yang tidak bersifat
keagamaan terpecah antara model “aksi massa” dan model “pembentukan
kader”. Sesungguhnya, pada tahun 1930-an, kedua model tersebut sama-sama
tidak mempunyai peluang untuk berhasil, juga karena politiknya yang sangat kolot
dan keras dari Gubernur Jenderal de Jonge. Karena kegiatan aktivitas politik PNI
Baru yang dinilai mulai membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda, maka
pada tanggal 25 Februari 1934 jajaran teras PNI Baru seperti Hatta, Sjahrir,
Bondan, Baurhanuddin, Murwoto Soeka, Hamdani, Wangsawidjaja, Basri,
Atmadipura, Oesman, Setiarata, Kartawikanta, Tisno, Wagiman, dan Karwani
ditangkap. Sekitar bulan Januari 1935, Hatta, Sjahrir dan beberapa pemimpin PNI
Baru lainnya diasingkan ke Boven Digul. Di samping itu, pemimpinnya kemudian di
tangkap dan dibuang ke luar Jawa.

Partindo, PNI Baru, Dan Gerindo


Setelah pergeledahan dan penangkapan terhadap beberapa pemimpin PNI, Mr.
Sortono dan Ir. Anwari mengambil alih pimpinan pusat PNI. Pada tanggal 19
Januari 1930, Sartono dan Anwari mengeluarkan perintah kepada pengurus-
pengurus cabang dan para anggotanya agar menghentikan semua kegiatan politik
dan membatasi kegiatan pada bidang sosial dan ekonomi. Pada tanggal 22
Desember 1930 Landraad Bandung mengeluarkan keputusan terhadap Ir.
Soekarno dkk. Keputusan itu memberikan angin akan rupa langkah baru yang
akan diambil oleh Pengurus Besar PNI. Pada bulan Februari 1931 dilangsungkan
kongres luar biasa PNI di Yogyakarta untuk membicarakan situasi politik waktu itu
dan langkah-langkah yang akan ditempuh. Kongres antara lain memutuskan
memberikan mandat kepada Pengurus Besar PNI tentang sikap selanjutnya yang
akan diambil sesudah putusan dari Raad van Justitie.
Sesudah keluar putusan dari Raad van Justitie, dengan mandat yang diterima
Pengurus Besar itu, pada tanggal 25 April 1931 (seminggu setelah keluar putusan
dari Raad van Justitie) atas putusan kongres luar biasa dinyatakan pembubaran
PNI dengan alasan karena keadaan yang memaksa. Keputusan itu diambil antara
lain atas pertimbangan bahwa putusan hukuman itu tidak hanya menimpa
keempat pimpinan PNI, tetapi juga mengenai organisasi PNI. Kemudian pada
tanggal 29 April 1931, di Jakarta didirikan partai politik baru dengan nama Partai
Indonesia (Partindo). Pada dasarnya, Partindo adalah PNI dengan nama lain. Para
pemimpinnya yakin bahwa cara itu akan mencegah tindakan dari pemerintah
penentang Partindo.
Dalam maklumatnya tertanggal 30 April 1931 dalam majalah Persatuan Indonesia
dinyatakan bahwa Partindo berdiri di atas dasar nasionalisme Indonesia, self help,
dan tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia. Dalam mencapai tujuan itu,
Partindo yang dipimpin oleh Sartono akan mendasarkan pada kekuatan sendiri.
Anggota Partindo sebagian besar berasal dari anggota PNI. Pada permulaan bulan
Februari 1932, Partindo mempunyai anggota sekitar 3.000 orang.
Golongan Merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian
disusul dengan Partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk
mendirikan suatu organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan
Mohammad Hatta yang masih berada di negeri Belanda. Akhirnya, pada bulan
Desember 1931 di Yogyakarta didirikan organisasi baru bagi mereka dengan nama
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru).
Jika PNI-Baru dibandingkan dengan Partindo, pada hakikatnya tidak ada
perbedaan yang besar. Kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh
berbeda, yaitu nasionalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah
kemerdekaan Indonesia yang hendak dicapai dengan kekuatan sendiri tanpa
meminta bantuan siapa pun (self-help) dan tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah kolonial. Perbedaan adalah dalam cara mencapai tujuan. PNI-Baru
berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat dicapai dengan
agitasi belaka, tetapi memerlukan kerja yang terorganisasi. Kemerdekaan hanya
dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik.

Tidak lama sesudah PNI-Baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah
hukuman yang dijatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 Desember 1931
dibebaskan dari penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras
untuk menyatukan partai itu, tetapi tidak berhasil, dan akhirnya ia masuk
Partindo.
Setelah Ir. Soekarno kembali dan memimpin Partindo, partai ini yang sebelumya
kurang berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat.
Jumlah anggotanya dan cabangnya meningkat. Isi pidato-pidatonya makin lama
makin berani. PNI-Baru baru berkembang pesat setelah organisasi ini dipimpin
oleh Sultan Syahrir dan kemudian Mohammad Hatta. Pada tahun 1932, PNI-Baru
sering mengadakan rapat propaganda. Materi yang disampaikan antara lain
tentang riwayat pergerakan nasional Indonesia, kemerdekaan Indonesia,
kedudukan daerah jajahan dan daya upaya untuk mencapai kemerdekaan itu,
persatuan, kapitalisme, dan imperialisme. Jumlah anggota meningkat walaupun
kalah jika dibandingkan dengan Partindo.
Makin meningkatnya perjuangan kedua partai ini, menimbulkan rasa khawatir di
kalangan pemerintah. Kemudian dibuatlah berbagai macam peraturan yang
bermaksud hendak mengekang perkembangannya. Tindakan pertama yang
dilakukan oleh Gubernur Jenderal de Jonge adalah dengan dikeluarkannya
ordonansi pengekangan pers. Sejak berlakunya ordonansi ini tahun 1931 sampai
tahun 1936 (selama pemerintahan de Jonge) sebanyak 27 surat kabar menjadi
korban.
Setelah keluar ordonansi, kebebasan berbicara dalam rapt-rapat menjadi sangat
terbatas. Polisi yang biasa menghadiri rapat-rapat dianjurkan agak bertindak lebih
keras. Atas dasar itu, polisi-polisi dapat bertindak sesuka hati. Mereka dapat
memberhentikan pembicara-pembicara dalam suatu rapat jika sekiranya materi
yang dibicarakan menyinggung pemerintah. Demikian pula jika dalam rapat-rapat
partai diperlihatkan simbol-simbol nasional Indonesia. Tekanan-tekanan yang
demikian itu tidak hanya menimpa Partindo dan PNI-Baru, tetapi juga partai-
partai lainnya.
Usaha pemerintah untuk mematikan Partindo dan PNI-Baru tidak hanya dengan
cara tersebut. Untuk mengurangi jumlah anggota, dikeluarkannya larangan
terhadap para pegawai pemerintah untuk memasuki kedua partai itu. Pegawai-
pegawai pemerintah yang terlibat dalam aksi-aksi golongan nonkooperasi ini
dikenai hukuman. Tindakan pemerintah yang lain untuk menekan kedua partai itu
ialah dengan dilaksanakan exorbitant rechten hak luar biasa yang dimiliki oleh
Gubernur Jenderal untuk mengasingkan seseorang yang dianggap membahayakan
ketentraman umum. Mereka yang dianggap berbahaya diasingkan ke Boven Digul
di Irian Jaya.
Hak luar biasa Gubernur Jenderal tersebut menimpa pemimpin-pemimpin
Partindo dan PNI-Baru. Ir. Soekarno yang baru dibebaskan dari penjara pada akhir
tahun 1931, pada bulan Juli 1933 ditangkap lagi. Tanpa diadili kemudian ia
diasingkan ke Flores, kemudian dipindah ke Bengkulu, Sumatra, sampai
pembebasannya oleh pemerintah pendudukan Jepang pada tahun 1942.

Anda mungkin juga menyukai