Indonesia (PNI)
Kelompok 6 :
1. Defi Tri Agustina (06)
2. Hanif Yendra Suherman (15)
3. Reza Feby Pratama (24)
4. Sri Lestari (33)
Partai Nasional Indonesia atau dikenal juga PNI adalah partai
politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan pada 4 Juli 1927
[note 1] dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan
ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr.
Sartono, Mr. Iskak Tjokroadisurjo, dan Mr. Sunaryo.
Sejarah
Pada tanggal 26 Oktober 1995, mantan anggota Partai Nasional
Indonesia Supeni membentuk Serikat Nasional Indonesia (PNI).
Dengan jatuhnya Presiden Suharto pada tahun 1998, muncul
kesempatan untuk menghidupkan kembali Partai Nasional Indonesia.
Pada sebuah pertemuan pada tanggal 20 Mei 1998 diputuskan untuk
mengubah nama Serikat Nasional Indonesia, dan pada tanggal 17 Juni
1998, Partai Nasional Indonesia (PNI) diumumkan. Kemudian dikenal
sebagai PNI-Supeni untuk membedakannya dari versi PNI lainnya, yang
semuanya mengklaim sebagai keturunan partai tua, kemudian partai ini
memperebutkan pemilihan legislatif tahun 1999, memenangkan 0,36%
suara, dan namun tidak memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat.
Sesuai dengan UU No. 31 Tahun 2002, maka PNI Soepeni tidak
diperbolehkan mengikuti Pemilu 2004. Oleh karena itu partai ini
memakai nama baru yaitu Partai Nasional Indonesia
Marhaenisme (PNI Marhaenisme) dan mendaftarkan diri untuk
mengikuti Pemilu 2004 dan berhasil lolos dari verifikasi serta
memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Istilah Marhaenisme pertama kali diawali dengan munculnya
istilah Marhaen yang dicetuskan oleh Soekarno dalam pidato-
pidatonya di berbagai tempat ketika memimpin Partai Nasional
Indonesia (PNI) pada tahun 1927, dan semakin sering
dicetuskan oleh Soekarno pada tulisan-tulisannya di beberapa
media cetak saat itu seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran
Rakyat, dan Pemandangan.
Tjipto Mangunkusumo paling tua di antara para aktivis muda yang berkumpul
di sebuah paviliun rumah, di Regentsweg No. 22 (kini Jl. Dewi Sartika),
Bandung, pada malam 4 Juli 1927 itu. Rata-rata umur mereka baru
seperempat abad, sedang Tjipto sudah malang melintang di dalam
pergerakan politik. Keberadaannya di Bandung pun dalam status sebagai
orang buangan, yang dilarang berpolitik praktis. Pemerintah kolonial
menghukumnya atas tuduhan membantu anggota PKI yang memelopori
pemberontakan pada 1926.
Dari tujuh orang yang hadir dalam pertemuan itu, hanya Tjipto yang
menyatakan keberatannya atas rencana enam orang lainnya untuk
membentuk partai politik. Bagi Tjipto, mendirikan partai politik bakal
mengundang reaksi keras pemerintah kolonial yang baru setahun
sebelumnya menumpas perlawanan PKI.
Dalam situasi seperti itu, mendirikan partai politik adalah langkah penuh
resiko. Tapi keputusan sudah bulat. Sebuah partai politik harus didirikan.
Maka, ”Pada tanggal empat Juli 1927, dengan dukungan enam orang kawan
dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan PNI, Partai Nasional
Indonesia,” kata Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung
Lidah Rakyat.
Ideologi Partai
Pilihan untuk menjadikan nasionalisme sebagai haluan ideologi partai
tak lepas dari situasi yang berlaku saat itu. Perpecahan di kalangan
Sarekat Islam sampai pemberontakan PKI 1926 membawa dampak
bagi perkembangan politik di Hindia Belanda. Sukarno, salah satu
pendiri PNI, melalui tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme”, menganjurkan persatuan di kalangan kelompok politik di
Hindia Belanda.
“Di dalam ide-ide mereka Sukarno menemukan pembenaran bagi suatu bentuk
nasionalisme yang tidak mengandung komitmen tertentu terhadap Islam, teori
perjuangan kelas, maupun kaitan formal dengan kelompok etnik tertentu,” tulis MC.
Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.