Anda di halaman 1dari 13

LATIHAN KADER III (LK-III)

Advance training
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) BADKO SULSELBAR
Platfrom HMI di Tengah Ritme Perjuangan Ummat Islam Indonesia

Rahmat H Tais1
HMI Cabang Ternate2
rahmatperwai@gmail.com3

Abstrak : kemerdekaan negara kesatuan republik indonesia yang di bacakan proklamasinya


pada tanggal 17 agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta, tidak diperoleh begitu
saja dari tangan penjajah tetapi, melalui perjuangan yang sangat panjang, dalam konsolidasi
perlawanan terhadap penjajah untuk merebut kemerdekaan negara kesatuan republik
indonesia itu, didalamnya terdapat mayoritas ummat Islam yang berjuang dangan membentuk
organasi politik maupun organisasi masyarakat yang kesemuanya itu diarahkan untuk
melawan penjajah, organisasi-organisasi itu mempunyai basis pemikiran yang berbeda-beda,
yang di kemudian hari ikut mempengaruhi dinamika politik di bangsa ini. Himpunan
Mahasiswa Islam HMI, yang lahir dengan tujuan awal yaitu 1. mempertahankan NKRI 2.
Menegagkan dan mengengbangkan agama Islam, tidak pernah terlepas dari akar sejarah ini
mengingat kehadirannya yang tidak begitu lama setelah kemerdekaan atau berselang 2 tahun
pada 5 februari 1947, kemudian dalam perjalanan selanjutnya HMI mengalami tiga kali
perubahan tujuan, maksud dari tulisan ini adalah, untuk mengetahui bagaimana konsep
pergerakan HMI dalam memperjuangkan kepentingan Ummat di tengah organisasi-organisasi
keislaman lainnya.

Kata Kunci: Pergerakan, Islam, Indonesia, HMI


I. Pendahuluan
Perjuangan ummat Islam indonesia dari sebelum kemerdekaan negara kesatuan republik
indonesia, sampai pada kemerdekaan negara kesatuan republik indonesia, tidak pernah
surut, sebelum kemerdekaan negara kesatuan republik indonesia, ummat Islam
memperjuangkan kemerdekaannya melalui organisasi-organisasi politik maupun organisasi
kemasyarakatan, dalam perjuangan itu kemudian melahirkan organisasi-organisasi seperti,
Jam’iyatul Khair, SDI kemudian berubah nama menjadi SI, Al Irsyad Al Islamiyah, Persis,
Muhammadiyah, NU, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Masyumi dan masih banyak
lagi, masing-masing organisasi ini memiliki basis pemikiran yang berbeda dan konsep yang
berbeda pula mengenai, ekonomi, politik, dan kehidupan bernegara, basis pemikiran
organisasi-organisasi ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh pemikir dunia yang mulai
menyuarakan kebangkitan Islam pada tahun 1800-an, seperti seperti, Jamaludi Al-Afgani,
Mohammad Abduh, Muhammad Bin Abdul Wahab, Mohammad Ikbal, Mirza Ghulam
Ahmad, Syed Ameer Ali, Taba’tabai, Hasan Al-Banna, Syed Qutub, Mohammad Ali, Ali
Abdul Raziq1 dan masih banyak lagi, beberapa organisasi Islam di indonesia memiliki
geneologi pemikiran yang jelas dengan para pimikir ini, yang kemudian sangat
mempengaruhi cara pandang mereka tentang hubungan negara dan agama.

Pejuangan ummat Islam yang diwakili oleh organisasi-organisasi ini kemudian mendapat
tantangan gerakan lain yang mendasarkan diri pada ideologi seperti komunisme, sosialisme
dan nasionalisme sekuler, yang kemudian memaksa ummat Islam terutama tokoh-tokohnya
untuk merummuskan konsep ekonomi, politik pendidikan, kebudayaan dalam kehidupan
kenegaraan yang lebih komrehensif untuk menjawab tantangan yang datang dari
ideologi-ideologi ini, lahirlah konsep Sosialisme Islam nya Tjokroaminoto dan pemikiran
integrasi negara dan agamanya Muhammad Natsir yang puncak perdebatannya, pada
sidang majelis konstituante tentang dasar negara kesatuan republik indonesia, persidangan
majelis konstituante ini di mulai pada november 1956 di Bandung dan berlangsung ± 2,5,
Natsir memberikan pidato kunci tentang konsep negara Islam, baik dari kalangan modernis
(Muhammadiyah dan Partai Masyumi) maupun Kalangan Tradisionalis (khususnya NU
dan Perti). Tampak semua pemimpin Islam sepakat untuk mengusulkan Islam sebagai dasar
dasar negara. Namun yang menolak dari kalangan sekuler lebih

1
M. Dawam Raharjo : Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, (2010 edisi pertama
cetakan ke-i) Hlm-11
banyak lagi, sehingga mencapai jalan buntu yang diselesaikan dekrit presiden 5 juli 1956.
Tetapi, dalam dekrit presiden itu piagam jakarta dinyatakan sebagai “menjiwai dan
merupakan rangkaian kesatuan dengan piagam jakarta”.

Pada awal Orde Baru, sebenarnya sempat muncul romantisme politik Islam, yang telah
mati suri di era Demokrasi Terpimpin. Harapan baru ini terutama dilandaskan pada fakta
tentang jasa-jasa umat Islam ketika bersama-sama dengan TNI-Angkatan Darat dalam
menumbangkan Orde Lama dan kekuatan PKI.

Pada sidang istimewa MPRS tahun 1968, kalangan Islam sepakat mengusulkan kembali
agar Piagam Jakarta diterapkan, tetapi akhirnya gagal, karena usulan mereka ditolak oleh

kalangan Kristen, Partai Sosialis Indonesia dan ABRI. Partai Masyumi yang pernah

dilarang pada era Presiden Sukarno akan dibangun kembali oleh kalangan modernis
Islam. Harapan untuk bangun kembali bagi Partai Masyumi tidaklah mengada-ada, karena
rezim Orde Baru telah membebaskan tokoh-tokoh Masyumi yang telah dipenjarakan oleh
Sukarno, seperti Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem,
Kasman Singodimejo, Prawoto Mangkusasmito dan Buya Hamka.
Sayangnya, suasana romantisme yang terbangun antara umat Islam dan pemerintah Orde
Baru tidak berjalan lama, karena Soeharto sebagai pemimpin baru Indonesia memiliki
pandangan tersendiri terhadap Islam dan telah menyiapkan berbagai kebijakan politik
yang tidak berpihak pada umat Islam Indonesia. Diberlakukannya asas tunggal Pancasila
pada tahun 1985 adalah merupakan puncak deIslamisasi rezim Orde Baru terhadap Islam
sebagai ideology.2
Semenjak reformasi tahun 1998, bisa dikatakan aspirasi politik masyarakat Islam kian
terbuka dan tumbuh dalam peta politik nasional Seiring terus berlangsungnya iklim
perubahan yang dimulai dari era reformasi, nilai-nilai Islam (sebagai ushuliyyah) menjadi
perbincangan dan prinsip yang lebih mengakar dalam masyarakat Islam di Indonesia,
khususnya apa yang selama ini disebut sebagai tumbuhnya gerakan keagamaan yang
cenderung fanatis dan fundamentalistik. Pemahaman yang fundamentalistik kian hari kian
tumbuh dalam idealisme di sebagian masyarakat Islam di Indonesia. Bahkan pemahaman

2
Darmawijaya : Islam Dan Kekuasaan Orde Baru: Membaca Kembali Politik De-Islamisasi Soeharto (Sosiologi
Reflektif, Volume 10, N0. 1 Oktober 2015)
itu kemudian menjadi sebentuk gerakan massif yang melandasi munculnya Ormas-ormas
keIslaman baru.3

Untuk melihat keterkaitan perjuangan HMI dengan dinamika gerakan ummat Islam indonesia, kita
harus menelusuri sejarah berdirinya HMI, dan secara tersurat terformulasikan dalam rumusan
tujuan pertama HMI, yaitu “ 1. mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia
2. Meneggkan dan mengembangkan ajaran Islam. Tentu penegasan tujuan ini adalah sebuah upaya
untuk keluar dari kondisi bangsa, agama dan rakyat saat itu yang mengalami, 1. Penjajahan belanda
atas indonesia dan tuntunan perang kemerdekaan, 2. Kesenjangan dan kejumudan ummat Islam
dalam pengetahuan, pemahaman, penghayatan,dan pengamalan ajaran Islam, 3. Kebutuhan dan
pemahaman dan penghayatan keagamaan, 4 muncul polarisasi politik, 5. Berkemnya faham dan
ajaran komunis, 6. Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis, 7.
Kemajemukan bangsa indonesia, dan 8. Tuntunsn modrnisasi dan tantangan masa depan.4
Kemudian selanjutnya dalam rangka merespon dinamika Ummat dan bangsa HMI merubah
tujuannya Pada kongres dibandung, oktober 1955, tujuan HMI menjadi “ikut mengusahakan
terbentuknya manusia akademis. Pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam”. Dan
pada kongres HMI di palembang, oktober 1971, redaksi tujuan HMI diperbaiki menjadi,
“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi ALLAH SWT”.

Perubahan tujuan itu bukan tanpa alasan, tetapi sebuah kebutuhan yang mendasar terkait
dengan Agama, bangsa dan Negara, yang dimana HMI ikut membentuk kebribadian,
identitas bangsa indonesia ditengah realitas sosial budaya dengan ciri pertumbuhan,
perkembangan dan kemajemukan.

Aktivitas HMI yang berdialektika dengan kehidupan bangsa indonesia yang di dalamnya terdapat
mayoritas ummat Islam, mengharuskan HMI harus berperan secara seimbang antara menciptakan
kader ummat dan kader bangsa.

II. Metode Penelitian


Metode Penelitian menggunakan Mentode penelitian Studi Pustaka, yang sumber informasi dan
datanya diambil dari buku dan karya Ilmiah seperti Jurnal yang berhubungan dengan tulisan ini.

3
Ismatillah A. Nu’ad : Gerakan Islam Konteks Lokal Dan Global; Respon Pemikiran Sosial Politik Dan
Ekonomi Aktivis Gerakan Islam Di Indonesia, (Universitas Paramadina Jakarta: Volume IX Nomor 1 Januari -
Juni 2016)
4
.Agus Salim Sitompul, Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tentang
keIslaman-Keindonesiaan 1947-1997,
Studi pustaka merupakan langkah awal dalam metode pengumpulan data. Studi pustaka
merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada pencarian data dan informasi
melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, foto-foto, gambar, maupun dokumen
elektronik yang dapat mendukung dalam proses penulisan.”Hasil penelitian juga akan
semakin kredibel apabila didukung foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah
ada.”(Sugiyono,2005:83).
III. Hasil Penilitian
Hasil penitian dari tulisan ini menunjukkan bahwa, dalam sejarah pergerakan ummat
Islam Indonesia, selalu terjadi pertentangan antara kelompok Islam dan kelompok yang
menamakan dirinya sebagai sekuler, Kaitanya Himpunan Mahasiswa Islam HMI dalam
pola pergerakannya, HMI selalu berusaha menjaga keseimbangan dan tidak mau
terpolarisasi dalam gerakan Islam tertentu dengan basis ideologi tertentu, dalam konsep
pergerakannya HMI tidak mempertentangkan antara pancasila dan Islam, justru HMI
memandang pancasila sebagai doktrin Islam, sebagaimana yang terdapat dalam
Mukaddimah HMI, kaitannya dengan tujuan HMI dan di Kongritkan pergerkan itu Status,
Fungsi dan Peran HMI.
IV. Pembahasan

1. Gerakan Ummat Islam Indonesia


Abad ke-20 atau abad ke-14 hijriah di proklamasikan oleh ummat islam seluruh dunia
sebagai abad kebangkitan Islam. Proklamasi ini di latarbelakangi oleh persepsi tentang
keterpurukan peradaban Islam di seluruh dunia. Indikatornya adalah pertama, penjajahan
bangsa-bangsa muslim oleh bangsa-bangsa barat. Kedua kemiskinan yang melanda
masyarakat. Keterbelakangan kultural karna tertutupnya pintu ijtihad. Keempat
praktik-praktik penyimpangan perilaku ummat dari ajarannya yang murni atau autentik.

Melihat situasi itu, berhadapan dengan kejayaan Islam pada abad pertengahan, pemikir
modern abad ke-20 asal india, Syed Ameer Ali mempertanyakan: “mengapa ummat Islam
Mundur, sedangkan ummat lain mengalami kemajuan?” Jawabannya adalah: “karna ummat
Islam telah meninggalkan Al-Qur’an.” Persepsi itu di jawab dengan munculnya
pemikir-pemikir, baik dari kalangan ulama maupun cendikiawan didikan barat, dengan
slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah” para pemikir itu melontarkan pandangan
mereka sendiri, seperti Jamaludi Al-Afgani, Mohammad Abduh, Muhammad Bin Abdul
Wahab, Mohammad Ikbal, Mirza Ghulam Ahmad, Syed Ameer Ali, Taba’tabai, dan
belakangan muncul tokoh pemikir yang lebih muda, seperti Hasan Al-Banna, Syed Qutub,
Mohammad Ali, Ali Abdul Raziq.

Awal Gerakan Islam Indonesia berbentuk Aktivisme yang di tandai dengan berdirinya
Serikat Dagang Islam(SDI) pada tahun 1909, di bogor dan jakarta, yang di pimpin oleh
seorang priyayi muslim, Tirtoadisurjo dan tahun 1919 di solo yang di dirikan oleh Haji
Samanhudi. Berdirinya SDI boleh di sebut sebagai gejala indijenus, yaitu karna merupakan
reaksi terhadap dominasi ekonomi oleh kaum tionghoa di indonesia.Tetapi tak lama
kemudian, pada tahun 1913,SDI berganti nama menjadi Serikat Islam (SI), setelah
pimpinan SDI diambil alih oleh H.O.S Tjokroaminoto. Pergantian nama itu bukan sekedar
pergantian nama, meainkan corak gerakan, dari gerakan ekonomi menjadi gerakan politik
yang di arahkan kepada perjuangan membentuk bangsa dan mencapai kemerdekaan. Pada
tahun 1916 Tjokroaminoto melahirkan konsep tentang nation atau bangsa5.

Gerakan kaum muslim Indonesia itu kemudian mendapat tantangan gerakan lain yang
mendasarkan diri pada ideologi. Yang pertama dari soisalisme atau komunisme yang pada
mulanya menyusup ke dalam SI menjadi SI merah dan pada tahun 1923 memisahkan diri
dari menjadi partai komunis indonesia (PKI). Kedua adalah gerakan nasionalisme yang
dipimpin oleh cendikiawan sekuler didikan sekolah dan lembaga pendidikan tinggi belanda
dibawah pimpinan seokarno pada tahun 1927.

2. Pemikiran Ummat Islam Indonesia


Pemikiran Islam yang berkembang secara global telah ikut mempengaruhi perkembangan
pemikiran ummat Islam di Indonesia, diantara adalah Muhammadiyah didirikan pada 1992,
yang menawarkan dua aspek pembaharuan. Pertama pembaharuan teologi, yaitu pemurnian
ajaran Islam dari praktik-praktik tradisional, seperti takhayul, bid’ah dan khurafat, menuju
pada paham tauhid yang semurni-murninya. Kedua pembaharuan sosial, dengan gerakan
pendidikan dan pelayanan sosial. Pemikiran Muhammadiyah yang terpengaruh oleh
Pemikiran Muhammad Abdul Wahab, dengan gerakan purisifikasi menuju Islam autentik
atau Salafiyah ternyata mendapat tantangan dari kalangan tradisional, karna mereka
khawatir terhadap terjadinya penggusuran terhadap tradisi Islam Indonesia yang dinilai
sebagai kekayaan kultural dan intelektual yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.
Pada tahun 1926 lahir Nahdatul Ulama (NU) yang berarti

5
M. Dawam Raharjo : Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kengsaan, (2010 edisi pertama
cetakan ke-i) Hlm-11
“Kebangkitan Ulama”, yang bertujuan untuk mempertahankan doktrin Ahl Al-Sunnah Wa
Al-Jama’ah (Aswaja) yang dilaksanakan dalam lembaga pendidikan tradisional pesantren.

Disisi lain, pada dasawarsa 30-an , Mohammad Natsir seorang pemikir muda murid A.
Hasan Bandung, memberikan kontriusi yang sangat penting dalam pemikiran Islam yang
dihasilkan oleh para filsuf muslim abad pertengahan. Tulisan-tulisan itu memberikan
kontribusi terhadap gerakan renesains Islam sebagaimana telah terjadi pada masa lampau.
Namun Natsir tidak berbicara mengenai aspek politik dan kenegaraan sampai sesudah
kemerdekaan. Agagnya Natsir baru baru berbicara mengenai konsep negara Islam, setelah
mendapat ilham dari filsuf muslim pakistan Mohammad Ikbal yang mengilhami berdirinya
negara Islam pakistan itu. Bahkan dalam ceramahnya di pakistan, Natsir justru berapologi
bahwa pancasila itu adalah sebuah ideologi ummat Islam di Indonesia, walaupun Indonesia
tidak menamakan diri sebagai negara Islam.

3. Perjuangan Politik Ummat Islam Indonesia


Pada belahan kedua dasawarsa 50-an, muncul aspirasi negara Islam, ketika terbuka
kesempatan untuk membicarakannya dalam sidang konstituante. Natsir memberikan pidato
kunci tentang konsep negara Islam, baik dari kalangan modernis (Muhammadiyah dan
Partai Masyumi) maupun Kalangan Tradisionalis (khususnya NU dan Perti). Tampak
semua pemimpin Islam sepakat untuk mengusulkan Islam sebagai dasar dasar negara.
Namun yang menolak dari kalangan sekuler lebih banyak lagi, sehingga mencapai jalan
buntu yang diselesaikan dekrit presiden 5 juli 1956. Tetapi, dalam dekrit presiden itu
piagam jakarta dinyatakan sebagai “menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan
piagam jakarta”. Dalam pemerintahan demokrasi terpimpin dan orde baru kesepakatan
luhur itu ternya dihianati hal ini menimbulkan reaksi berupa tuntutan untuk menghidupkan
kembali piagam jakarta.

Partai-partai Islam, terutama partai PPP, pada dasarnya masih ingin menghidupkan kembali
piagam jakarta tersebut. Namun, terdapat dua pola pendapat. Pertama, yang menghendaki
formalisasi piagam jakarta, yaitu penerapan syariat atau hukum Islam, sebagai keharusan
Konstitusional. Kedua, pemasukan unsur syriat kedalam perundang-undangan dan hukum
posituf, melalui proses demokratis, yaitu proses parlementarian dalam pembentukan
undang-undang, misalnyaUU perkawinan, UU pendidikan, UU pengelolaan Zakat, UU
wakaf, UU Perbankan dan UU moneter, ketentuan
hukum pidana dan hukum perdata. Pola yang kedua tersebut mengharuskan pembentukan
partai-partai Islam untuk mendapatkan posisi formal dalam badan legislatif dan Eksekutif.

Pada dasawarsa 60-an, muncul isu baru yang diformulasikan sebagai persoalan strategi
dakwah yang di picu pertama-tama oleh buya hamka dalam majalah panji masyrakat
dengan serangkayan artikel sehingga menjadi sebuah isu nasional ummat Islam. Dari
perbincangan itu muncul suatu organisasi atau kelompok pembaharu. Pertama, yang
dimotori oleh oleh orang-orang muda, yaitu A. Marwan, seorang tokoh GPII dari solo,
Sudjoko Prasodjo, sularso, dan Widji Saksono, yang berhasil menarik tokoh-tokoh militer,
seperti Letjen Sudirman, Jendral polisi Sutjipto yudodihardjo, dan Letjen Sarbini.
Kelompok ini melahirkan organisai yang bernama PTDI (Pengurus Tinggi Dakwah Islam).
Di satu pihak organisasi ini bisa menjadi penghung ummat Islam dengan pemerintah yang
pada waktu itu memojokkan ummat Islam lewat larangan terhadap masyumi. Dilain pihak,
melairkan konsep baru dakwah yang kemudian di kenal sebagai “da’wah bi hal” (istilah
sebenarnya adalah da’wah bil lisan al-hal), yang menitikberatkan aksi-aksi kemasyarakatan
ke arah perubahan sosial. Pada waktu itu dakwah didefinisikan sebagai “usuha perubahan
masyrakat dari suatu kondisi ke kondisi yang lain yang lebih baik”, melalui pendekatan
sosiologis dan pengembangan masyarakat.

4. Pola Gerakan Ummat Islam


Dari wacana yang berlangsung pada masa pergerakan tersebut, dua pola gerakan Islam,
yaitu gerakan politik yang berorentasi pada pembentukan negara Islam atau formalisasi
syariat Islam dan gerakan kultural yang lebih berorentasi pada pembentukan masyarakat
dan peradaban. Belakangan dua pola itu disebut sebagai “Islam Politik dan Islam Kultural”.
Dua pola itu dapat dibedakan, namun sulit di pisah-pisahkan. Bahkan, lebih tampak sebagai
gerakan total, yaitu pembentukan masyrakat dan peradaban dan negara sekaligus, seperti
tampak dalam pemikiran Natsir.

Dewasa ini ummat Islam menghadapi dikotomi utama yang sudah beranjak dari dikotomi
“Modernis – Tradisionalis”. Pertama. adalah dikotomi Islam politik versus Islam Kultural.
Kedua dikotomi Islam fundamentalis versus Islam Liberal. Ketiga. Dikotomi Islam autentik
atau purifikasi Islam dengan Islam Pribumi. Keempat, dikotomi antara Islam Formalis dan
Islam Substantif. Kelima, dikotomi antara Islam Skriptualis versus Islam substantif.
Seringkali, dengan beberapa isu kelima dikotomi itu sejalan. Misalnya Islam politik sejalan
dengan Islam fundamentalis, sedangkan Islam Liberal sejalan dengan Islam
Kultural. Islam Skripturalis sejalan dengan Islam formalis. Namun, ada juga kelompok atau
kecenderungan Islam politik yang sejalan dengan pandangan Islam Liberal atau masih ada
Islam Liberal yang melakukan gerakan politik, tetapi melalui proses demokratisasi, seperti
tampak ada gejala partai amanat nasional ( PAN ) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
yang menolak paham negara Islam dan formalisasi piagam jakarta umpanya. Sebaliknya,
juga ada kecenderungan fundamentalisme yang menempuh dan mengutamakan jalan
demokrasi, seperti tampak dalam gejala partai keadilan sejahtra (PKS), Partai Bulan
Bintang (PBB), Dan partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang masih memperjuangkan
kembalinya piagam jakarta dalam konstitusi.
5. Kehadiran HMI Dalam Merespon Dinamika Ummat dan Bangsa

Dinamika keummatan dan kebangsaan di indonesia di mulai dari jaman pra-kemerdekaan


sampai pada Kemerdekaan ikut mempengaruhi alasan berdinya HMI, sebagaimana yang
telah dijelaskan diatas dinamika ummat Islam indonesia dari sisi politik, ekonomi
pendidikan dan kebudayaan mengalami kemuduran dengan adanya penjajahan bangsa
eropa pada dunia Islam, dan ummat Islam indonesia tidak terlepas dari penjajahan tersebut,
konsolidasi memperbaiki kehidupan ummat Islam dari sisi politik, ekonomi, pendidikan
dan kebudayaan, telah banyak melahirkan organisasi-organisasi Islam, baik yang bergerak
dalam politik, ekonomi, pendidikan maupun kebudayaan, salah satu organisasi yang ikut
terlibat dalam perbaikan kehidupan ummat adalah, organisasi Himpuanan Mahasiswa
Islam, HMI sejak berdirinya telah menegaskan tujuannya melalui kongres ke-I di
yogyakarta pada november 1947 sebagai berikut: 1. Mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia 2. Menegagkan dan
mengembangkan syariat Islam, dari pernyataan tujuan ini kelihatan, yang dijadikan objek
dan fokus adalah agama, negara, dan rakyat. Dapat dipahami, karna saat ini rupublik masih
dipengaruhi oleh ajaran belanda dan kristenisasi mahasiswa dan rakyat masih terjajah
secara ideologis sehingga mengalami kejumudan intelektual. Gempuran sekularisasi juga
terjadi dalam kehidupan beragama. Pada saat yang sama, rakyat bersiteng dengan belanda,
yang bahkan satu kelahiran HMI masih melakukan Agresi.

Pada kongres dibandung, oktober 1955, tujuan HMI menjadi “ikut mengusahakan
terbentuknya manusia akademis. Pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam”.
Perubahan ini terjadi karna kesadaran bahwa organisasi sepereti HMI yang
anggota-anggotanya adalah mahasiswa atau intelektual, tidak tepat jika berfungsi sebagai
organisasi massa, apalagi sebagai kekuatan politik praktis. Maka disepakati untuk
memfungsikan HMI sebagai organisasi Kader, yang bertujuan membina anggota
anggotanya menjadi kader. Oleh sebab itu, fokus dan objek tujuan HMI adalah pribadi atau
individu anggota.

Pada rumusan selanjutnya mulai terasa bahwa rumusan masih memiliki kekurangan, belum
menyebutkan apa funsi lebih lanjut dari manusi-manusia akademis, pencipta dan pengabdi
yang bernafaskan Islam tersebut, serta dibumi apa insancita ini hidup dan bergerak. Maka
pada kongres HMI di palembang, oktober 1971, redaksi tujuan HMI diperbaiki menjadi,
“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi ALLAH SWT”. Sampai
sekarang.6

Dari perjalanan organisasi dan perubahan tujuan tersebut adalah upaya HMI dalam
merespon tantangan jaman dengan menyediakan kader-kader terbaik dalam rangka
mengabdikan dirinya untuk Agama bangsa dan Negara.

Dinamika politik bangsa indonesia di awal konsolidasi kemerdekaan sampai pada masa
kemerdekaan, terjadi tarik menarik ideogi antra kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis
Islam, menjadikan bangsa ini khususnya ummat Islam berada dalam sebuah dilema besar
antara memilih menjadi ummat ataukah warga negara, dalam situasi itu HMI hadir dengan
pikiran integralnya yaitu keislaman dan keindonesian yang menyatu dalam diri seorang
kader HMI dengan terintegrasinya antara pemikiran keIslaman dan keindonesian HMI
diatas titik temu pancasila dalam kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara yang
harmonis. Tidak terdapat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan, antara Islam
dan pancasila, selaras dengan realitas sosial budaya bangsa Indonesia dengan ciri utama
pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan. Corak pemikiran
keIslaman-keindonesiaan HMI adalah substantif, proaktif, inklusif, integratif, ilmiah dan
modern.7 Pemikiran keIslaman-keindonesiaan adalah ideologi HMI, menampilkan Islam
yang bercorak khas indonesia. Pemikiran itu mampu melakukan perubahan, sesuai dengan
tuntunan kontemporer menuju masyarakat adil makmur yang

6
Said Munurudin; Bintang Arasy, Tafsir Filosofis dan Gnostik Tujuan HMI (di cetak;syah kuala
University Press 2015) Hlm-34
7
. Prof. DR. H. Agussalim Sitompul; 44 Indidkator Kemunduran HMI (2005 Penerbit Cv Misaka galiza)
Hlm-22
diridhoi ALLAH SWT masa depan indonesia baru seba gaimana yang dicita-citakan
seluruh rakyat indonesia.

6. Misi HMI Dalam Integrasi KeIslaman dan Keindonesiaan

Isu pertentangan antara Islam dan negara di indonesia, sudah terjadi sejak bangasa ini di
dirikan sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, kelompok nasionalis Islam yang di
wakili oleh tokoh-tokoh Masyumi, Muhammadiyah, NU dan kelompok nasionalis Sekuler
yang di wakili oleh PNI, PKI, lain-lainnya, dan puncak perdebatannya terjadi pada Majelis
konstituante yang ingin memperjuangkan disahkannya piagam jakarta sebagai
mukaddimah UUD, tetapi tidak menui hasil dan dibubarkan dengan dekrit Presiden,
memori perjuangan ummat Islam ini selalu terrekam secara kolektif.

Hal ini kemudian ikut mempengaruhi dialektika pemikiran ummat Islam antara menerima
Pancasila sebagai dasar negara atau memperjuangkan konsep Islam tentang dasar negara
republik Indonesia, konsekuensi dari dilema itu melahirkan dua pola gerakan Islam, yaitu
gerakan politik yang berorentasi pada pembentukan negara Islam atau formalisasi syariat
Islam dan gerakan kultural yang lebih berorentasi pada pembentukan masyarakat dan
peradaban. Belakangan dua pola itu disebut sebagai “Islam Politik dan Islam Kultural”, dua
pola gerakan ini tidak bisa di lepas pisahkan walaupun berbeda dalam penekanannya,
namun saling melengkapi.

Dalam situasi yang demikan itulah kelahiran HMI menjadi urgensi, semangat perjuangan
HMI yang di landasi dengan nilai Islam yang kemudian itu di pertegas didalam konstitusi
HMI yakni berasaskan Islam, menjadi dasar pijakan, pikiran dan kebijakan organisasi tanpa
melupakan kapan dan dimana implementasi nilai Islam itu di lakukan, kehadiran sebuah
organisasi Islam yang memilih mahasiswa sebagai penggerak dan bereksistensi di negara
kesatuan republik indonesia merupakan sebuah keharusan selain sebagai tanggung jawab
seorang mahasiswa Islam dalam mengimplementasi nilai Islam.

Untuk mengimplentasikan nilai Islam dalam kehidupan bernegara itulah HMI menyusun
pikiran dan kebijakannya dalam sebuah konstitusi, didalam konstitusi HMI sendiri selain
sebagai sebuah aturan yang bersifat internal untuk mengatur anggota HMI, konstitusi HMI
juga memuat petunjuk tentang agenda perjuangan yang harus dilakukan oleh kader HMI
dalam rangka mencapai kehidupan adil makmur yang di ridhoi ALLAH SWT. Konstitusi
HMI juga adalah adalah sebuah peraturan lengkap yang mengimbangi pergerakan ummat
Islam indonesia.

Konstitusi HMI, hubungan antara mukaddimah yang berisi tiga poin penting yaitu Islam,
Indonesia dan Mahasiswa, yang berasaskan Islam terdapat pada pasal 3 dengan tujuan pada
pasal 4 yang berbunyi “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan
Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi
ALLAH SWT”, dengan sifatnya independen, terdapat pada pasal 6 menunjukkan HMI
sebagai sebuah organisasi yang bergerak tanpa kepentingan apapun dan hanya bertanggung
jawab terhadap ALLAH SWT, konsekuensi dari tanggangjawab itu HMI harus membentuk
manusia-manusia insan kamil, dalam usaha membentuk manusia insan kamil itulah HMI
memilih mahasiswa sebagai status atau identitasnya, terdapat pada pasal 7 yang dimana
mahasiswa adalah kelompok elit masyrakat yang menerima pendidikan, dari sinilah HMI
melakukan pengkaderan yaitu sebuah usaha yang yang sadar dan terus menerus di lakukan
dengan cara-cara yang teratur dalam membentuk pribadi-pribadi muslim yang beraadab,
berilmu, dan beramal, sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 8, energi dari itu semua
dilakukan dalam sikap hidup yang berjuang tanpa putus asa, selalu ada dalam semangat
pembaharuan dan selalu memiliki semangat baru, hal ini terdapat pada pasal 9 AD HMI
yaitu berperan sebagai oraganisasi perjuangan.

Hubungan poin-poin kontitusi HMI terintegrasi dalam sebuah agenda pergerakan


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang di tafsirkan dengan metodologi Nilai Dasar
Perjuangan (NDP), dan dengan perumusan Konstitusi itulah HMI menafsirkan kemana
arah geraknnya dan dari mana HMI harus berpijak, di tengah ritme perjuangan ummat.

V. Keseimpulan & Saran


1. Kesimpulan

Dalam mengamati situasi indonesia hari seorang kader HMI tidak boleh tercabut dari akar
sejarah berdirinya bangsa ini, yang dimulai dari masa penjajahan, masa kemerdekaan
sampai pada masa revormasi, sebab di tengah dialegtika itulah HMI hadir dan dengan
rumusan perjuangan nya dalam rangka menjawab berbagai macam tantangangan.

Rumusan HMI itu tertuang dalam konstitusi HMI, dalam konstitusi HMI itulah terdapat
petunjuk bagaimana HMI harus bergerak dan dari mana HMI berpijak.

Hubungan konstitusi HMI secara inetegral adalah sebuah petunjuk perjuang yang
strategis, dan ditafsirkan menggunakan nilai Islam yang tertuang dalam Nialai Dasar
Perjuangan.
2. Saran

Kader HMI dalam perjuangannya ditengah realitas sosial yang semakin komleks, harus
memahami betul terkait dengan identitasnya sebagai kader ummat dan kader bangsa,
sehingga dalam merespon perubahan pergerakan ummat dan bangsa seorang kader tidak
terjebak pada fenomena gerakan yang bersifat temporal dan tidak fisioner, untuk itu
disarankan kepada setiap kader untuk memahami kembali tentang :

a. Memahami misi keislaman HMI kaitannya dengan tujuan HMI dan realitas sejarah
perjalanan ummat Islam Indonesia
b. Memahami misi kebangsaan HMI kaitannya dengan tujuan HMI dan realitas sejarah
perjalanan bangsa Indonesia

c. menafsirkan realitas kebangsaan dan keummatan dengan sejarah perjalanan Ummat dan
bangsa kemudian merekonstrusinya dengan konsititusi HMI, tentang Azas, Tujuan
Status, Sifat, serta Fungsi dan Peran
Daftar Pustaka

Agus Salim Sitompul, Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tentang


keIslaman-Keindonesiaan 1947-1997,

M. Dawam Raharjo : Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kengsaan, (2010 edisi pertama
cetakan ke-i)

Said Munurudin; Bintang Arasy, Tafsir Filosofis dan Gnostik Tujuan HMI (di cetak;syah kuala
University Press 2015)

Prof. DR. H. Agussalim Sitompul; 44 Indidkator Kemunduran HMI (2005 Penerbit Cv Misaka
galiza) Hlm-22

Ismatillah A. Nu’ad : Gerakan Islam Konteks Lokal Dan Global; Respon Pemikiran Sosial Politik
Dan Ekonomi Aktivis Gerakan Islam Di Indonesia, (Universitas Paramadina Jakarta: Volume IX
Nomor 1 Januari - Juni 2016)

Anda mungkin juga menyukai