Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kelahiran ICMI bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Tetapi erat
kaitannya dengan perkembangan global regional didalam dan luar negeri.
Menjelang akhir 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan
berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi, keruntuhan komunisme
sebagai salah satu idiologi yang kuat didunia mengakibatkan terjadinya
perpecahan dan disintregasi di negaranegara yang diperintah oleh rezim
komunis, khususnya di Eropa Timur.
Ketika kemudian Uni Soviet sebagai negara adikuasa juga runtuh, peta
politik dunia juga berubah secara drastis. Barat dan khususnya Amerika yang
memegang hegemoni kekuatan, tidak lagi memiliki “lawan tanding” yang
tangguh dalam perebutan pengaruh. Sementara itu, disisi lain diberbagai
belahan dunia tertentu muncul semangat kebangkitan agama (religius revival)
yang membawa implikasi bagi adanya resistensi terhadap arus kekuatan
sekuler sebagai produk dari peradaban barat (Azyumardi, 1999:21).
Kebangkitan agama itu secara mencolok juga ditandai dengan
tampilnya Islam sebagai idiologi peradaban dunia dan kekuatan alternatif bagi
perkembangan peradaban dunia. Bagi barat, kebangkitan Islam ini menjadi
masalah yang serius karena itu berarti hegemoni mereka menjadi terancam.
Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban. Lahir dari perasaan
terancam barat yang subjektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban
dunia yang sedang bangkit kembali. Tetapi bagi umat Islam sendiri,
kebangkitan yang muncul justru memberikan motifasi untuk mencari alternatif
bagi munculnya nilai-nilai kultur yang membebaskan manusia dari
kegelisahan batin dan ketidakpastian tujuan hidup, sebagai akibat
perkembangan peradaban yang terlalu berorientasi pada materialistis.
Manusia, termasuk manusia Indonesia, terus mencari-cari pegangan agar tidak
goyah oleh perubahan apapun

1
Meningkatnya peran serta umat Islam itu ditunjang dengan adanya
ledakan kaum terdidik (Intelektual Booming) dikalangan kelas menengah
kaum santri Indonesia. Dikalangan mahasiswa peningkatan minat dan
apresiasi terhadap ajaran Islam juga merupakan gejala yang umum. Dasawarsa
1980 menyaksikan kemunculan banyak kelompok-kelompok studi Islam
dikalangan mahasiswa, baik universitas negeri maupun swasta, dan umum
atau agama. Kelompok-kelompok studi keislaman ini dalam aktifitas mereka
lebih lanjut memusatkan kegiatan bukan hanya pada pengkajian pemikiran dan
ajaran Islam, tetapi juga pada kegiatan kegiatan yang sekarang populer dengan
termasuk dakwah bil al hal.
Banyak diantara mereka terjun langsung kemasyarakat melalui aksi-
aksi sosial yang mencakup bukan hanya pendidikan keagamaan sepert
pemberatasan buta huruf Al-Quran, tetapi juga penyantunan ekonomi,
kesehatan lingkungan dan lain-lain. Panen besar kaum terpelajar muslim itu
semakin bertambah ketika dunia pendidikan makin memberikan peluang
kepada mereka untuk bisa meneruskan pendidikan kejenjang yang lebih
tinggi, baik dalam maupun luar negeri. Berkat kecakapan dan kemampuan
akademik yang tinggi. Kelas menengah “ neo santri “ yang terpelajar itu dapat
memasuki dan mengisi lapisan birokrasi, dunia kampus, dunia usaha, dan
lembagalembaga masyarakat dengan profesionlisme yang teruji (Azyumardi,
1999:24).
Kelahiran ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Se-Indonesia) menjelang
akhir 1990, menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, juga dimotifasi
semangat untuk membendung ekspansi kristenisasi pada berbagai sektor
masyarakat. Namun demikian disadari bahwa motivasi kelahiran ICMI juga
tidak dipisahkan dari kehendak kalangan cendekiawan muslim untuk
menciptakan keadaan yang lebih adil dan proposional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kehendak ini wajar karena dimasa lalu, umat Islam oleh karena
kondisi objektif yang dimilikinya, ataupun karena rekayasa pihak-pihak
tertentu, berada dalam posisi yang marginal, bahkan pernah diidentifikasikan
sebagai kekuatan–kekuatan distruktif yang anti pembangunan. Melalui ICMI

2
sebagai agregat kaum cendekiawan muslim, diharapkan muncul perubahan-
perubahan yang dinamis dalam Indonesia yang merdeka, maju, bersatu,
berdulat, adil, makmur dan lestari berdasarkan Pancasila (Makmur, 1996: 86).
Berdirinya ICMI yang didukung penuh oleh Suharto selanjutnya
membuat hubungan antara umat Islam dan pejabat menjadi semakin terbuka
dan bahkan para pejabat yang pada awalnya takut untuk mempraktekkan
Islam menjadi semain terbuka untuk menampakkan keislamannya.
Kemunculan ICMI sebagai organisasi yang menyatukan seluruh kaum
cendekia di bawah satu organisasi di Indonesia ini bukannya tanpa kritik.
Beberapa kritikan muncul sebagai akibat dari rivalitas politik yang ada dalam
lingkaran kekuasaan Suharto yang berorientasi Katolik-sekular, mapun dari
tubuh umat Islam sendiri. Abdurrahman Wahid misalnya mengatakan bahwa
ICMI justru membuat Islam menjadi eksklusif dan kontra produktif di tengah
usaha Abdurrahman Wahid dan organisasinya yang bernama Forum
Demokrasi dalam mengkampanyekan pluralisme dan demokarasi. Kritik juga
datang dari petinggi militer yang memandang berdirinya ICMI sebagai
ancaman terhadap legitimasi Pancasila sebagai ideologi negara.
ICMI sebagai sebuah organisasi memiliki kepengurusan di tingkat pusat
(Orpus), wilayah (provinsi) disebut dengan Orwil, kepengurusan di tingkat
Kabupaten/Kota disebut dengan Orda (Organisasi Daerah), dan kepengurusan
di tingkat kecamatan atau kampus yang disebut dengan Orsat. Pada than 1997
anggota ICMI sudah mencapai 10.501 anggota yang tersebar di seluruh
Indonesia dengan beragam tingkat pendidikan. Tahun berikutnya,
keanggotaan ICMI mencapai angka 18.377 anggota yang tertera dalam data
base ICMI.
Kepengurusan ICMI terutama di tingkat pusat terdiri dari beragam
kaum cendekiawan yang memiliki latar belakang sosial dan pendidikan yang
tidak homogen. Hal ini mengakibatkan corak pemikiran yang beragam.
Douglas Ramage misalnya membagi pengurus ICMI dalam tiga kategori;
kelompok ulama-sarjana yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Nurcholis
Madjid dan Dawam Rahardjo, kelompok aktivis Muslim-politisi yang
diwakili oleh Amin Rais, Imaduddin Abdul Rahim, Nasir Tamara, Dien

3
Syamsuddin, Sri Bintang Pamungkas, dan Adi Sasono, dan kelompok
birokrat yang diwakili oleh Wardiman Djojonegoro, Harjanto Dhanutirto, dan
Moenawir Sjadzali.
Untuk membatasi pergerakan politik Muslim di Indonesia, pemerintah
Orde Baru menjalankan beberapa kebijakan seperti menolak kembalinya
Piagam Jakarta ke dalam konstitusi, melarang partai Masyumi dan tokoh-
tokoh Masyumi untuk berperan dalam partai Muslimin Indonesia (Pasmusi),
dan memfusikan partai-partai Islam menjadi satu partai yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) setelah Pemilu tahun 1971. Kebijakan Pemerintahan
Orde Baru semakin memperlebar jarak dengan umat Muslim di Indonesia
ketika para tahun 1973 sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
menaikkan status para penganut Kepercayaan menjadi sama dengan penganut
agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pada masa persidangan MPR tahun 1973 ini juga sidang berusaha untuk
menyatukan hukum pernikahan dan perceraian dengan membatasi peran
pengadilan Islam. Belum lagi seluruh partai politik dan organisasi sosial yang
ada diwajibkan oleh pemerintah untuk mencantumkan Pancasila sebagai asas
tunggal. Sikap dan kebijakan Orde Baru terhadap umat Islam dan politik
Islam menjadikan umat Muslim mengganggap bahwa Orde Baru yang
dipengaruhi oleh kelompok Ali Moertopo dan Cina Katolik merupakan
penghalang utama bagi pelaksanaan kepentingan umat Islam.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang akan
dibahas diantaranya:
1. Bagaimana Latar Belakang Berdirinya ICMI?
2. Bagaimana Peran ICMI dalam Kepentingan Pemerintah?
3. Bagaimana kondisi ICMI Pasca Orde Baru (1998-2003)?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Adapun Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Latar Belakang Berdirinya ICMI.
2. Mengetahui Peran ICMI dalam Kepentingan Pemerintah.
3. Mengetahui kondisi ICMI Pasca Orde Baru (1998-2003).

4
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Secara teoritis dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang

sejarah ICMI serta keterlibatannya dalam politik Islam, serta hasil

makalah ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai matei

ICMI.

2. Secara praktis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Orde Baru

dan Reformasi.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyelesaian dari penulisan makalah ini, maka


penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

1. BAB I PENDAHULUAN, berisi tentang latar belakang, rumusan


masalah, tujuan, manfaat penulisan, serta sistematika penulisan.
2. BAB II KAJIAN PUSTAKA, Pada bab ini membahas tentang kajian
atau awal pembahasan dari berbagai sumber dan penelitian yang
relevan.
3. Bab III METODOLOGI PENELITIAN, membahas mengenai
metode yang digunakan dalam penyusunan makalah.
4. Bab IV PEMBAHASAN, membahas tentang pembahasan
pengembangan materi dari rumusan masalah.
5. BAB V PENUTUP, membahas mengenai kesimpulan dan saran
dalam penyusunan makalah.
6. DAFTAR PUSTAKA, berisi tentang sumber-sumber yang digunakan
dalam penyusunan makalah ini.
7. LAMPIRAN-LAMPIRAN

5
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cendekiawan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Cendekiawan
adalah orang cerdik, pandai, orang intelek, dan orang yang memiliki sikap
hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk
mengetahui atau memahami sesuatu.
Cendekiawan atau intelektual adalah orang yang menggunaakan
kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas, dan
menjawab persoalan tentang berbagai gagasan.

2.2 Definisi Cendikiawan Muslim


Cendekiawan muslim adalah dua kata kunci yang sarat makna dan
menuntut peran nyata bagi yang menyandangnya. Kata “cendekiawan”
dalam al-Quran dikenal dengan istilah ulul albab, yang merupakan
perwujudan aktifitas akal dan hati. Kepribadian ulul al-bab menempati
posisi penting dan terhormat dalam al-Quran dan hanya layak bagi seorang
yang berilmu dan berhikmah.
Kata kunci “muslim” menunjukkan bahwa berislamnya seseorang
menuntut adanya totalitas. Karakter Islam yang syumul mewarnai seluruh
aspek kehidupan sehingga pola fikir, emosi, perasaan dan juga fisik
terwarnai dengan Islam. Dengan syahadah, seorang muslim meyakini dia
memang diciptakan hanya untuk beribaah kepada Allah, bahwa tidak ada
yang dapat memberinya kemudharatan kecuali atas izin Allah, sehingga
dengan demikian tidak ada satupun yang ditakutinya.

2.3 Hasil Penelitian Yang Relevan


a. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Makmur Makka yang
tertuang dalam Jurnal yang berjudul “Peran ICMI
Pada Masa Reformasi” memuat bahwa ICMI telah
menjadi aset umat Islam Indonesia dalam memenuhi kebutuhan akan

6
wadah yang terbuka. Pembentukan ICMI merupakan tonggak
terpenting dalam hubungan akomodatif antara Islam dan negara,
karena dalam organisasi ini bertemu para tokoh Islam yang ada dalam
birokrasi dengan tokoh Islam yang ada di luar birokrasi. ICMI telah
menunjukan eksistensinya di pentas sejarah perpolitikan nasional,
bahkan B.J. Habibie menjadi pemain utama di dalam menentukan
kebijakaan pada era orde baru.
b. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azyumardi yang
tertuang dalam Jurnal yang berjudul “ICMI:
Pertumbuhan dan Perkembangan” memuat tentang
fenomena keterlibatan ICMI dalam dinamika politik Islam di
Indonesia sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa keberadaan
ICMI telah memberikan fenomena baru bagi umat Islam khususnya
dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Namun sebagai upaya
untuk meningkatkan kualitas ICMI diperlukan suatu kajian untuk
mengkaji dan mengkritiknya tanpa mengurangi rasa hormat atas
semua yang disumbangkan kepada umat Islam.
c. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dawan Raharjo yang
tertuang dalam Jurnal yang berjudul “ICMI; Antara Status Quo dan
Demokratisasi” tentang ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Se-
Indonesia) bukan organisasi dengan basis intelektual Muslim pertama
yang berdiri di Indonesia. Beberapa organisasi intelektual Muslim
pernah dilahirkan dan dibentuk pada periode pemerintahan yang
berbeda.

7
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Penentuan Lokasi dan Sasaran Penelitian


Lokasi penelitian ini dilaksanakan melalui studi literatur buku-buku
yang penulis miliki serta studi literatur perpustakaan di lingkungan
Universitas Galuh khususnya di perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan serta di perpustakaan Universitas Galuh.
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini ialah
metode sejarah atau historis. Dimana menurut Kuntowijoyo (2013:94)
metode sejarah atau metode historis ini mengandung empat langkah penting
yaitu sebagai berikut :
1. Heuristik
Tahap ini merupakan tahap awal bagi penyusunan makalah yaitu proses
mencari dan mengumpulkan bahan-bahan informasi yang diperlukan
dan berhubungan dengan permasalahan dalam penyusunan makalah.
2. Kritik atau Verifikasi
Kritik sejarah dalam penulisan ialah kegiatan memilih atau
memverifikasi secara kritis terhadap data dan fakta sejarah yang ada.
Data dan fakta sejarah yang telah diproses melalui kritik sejarah ini
disebut bukti sejarah. Bukti sejarah adalah kumpulan fakta-fakta dan
informasi yang sudah divalidasi, dipandang terpercaya sebagai dasar
yang baik untuk menguji dan menginterpretasi permasalahan.
3. Interpretasi
Pada tahap ini, penyusun makalah mengadakan interpretasi (penafsiran)
dan analisis terhadap data fakta fakta yang terkumpul. Prosedur ini
dilakukan dengan mencari data dan fakta, menghubungkan berbagai
data dan fakta serta membuat tafsirannya.
4. Historiografi
Setelah melalui teknik pengumpulan data melalui studi literatur atau
kajian pustaka, dalam hal ini ialah penyusunan makalah dengan

8
mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan
yang dibahas, kemudian membaca, menelaah, menyeleksi, dan
menuangkannya ke dalam karya ilmiah. Itulah yang disebut proses
historiografi.

9
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Latar Belakang Berdirinya ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Se-


Indonesia)

Pada masa Orde Lama, Demokrasi Terpimpin, umat Islam yang


diwakili Masyumi telah tersingkir dari gelanggang politik, tetapi bukan berarti
partai Islam tidak ada, karena NU, PSII dan Perti masih terlibat pada masa itu.
Meskipun ketiga partai Islam itu ikut bermain didalamnya, tetapi peluang bagi
cendikawan muslim untuk ikut kedalam partai tidak mudah, mengingat kader
asli partai yang akttif akan keberatan. Sedangkan bagi cendikawan muslim
sendiri tidak merasa at home dengan parpol yang ada, karena sosial orogin
(latar belakang sosial)nya tidak berakar pada ketiga parpol tersebut (Raharjo,
1995:78).
Mengingat cendikiawan muslim membutuhkan jalur mobilitas vertical
mereka, maka dibentuklah Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia)
pada tahun 1964 yang diketuai oleh salah seorang tokoh NU H. M. Subchan
Z.E. pada tahun 1967, cendikawan muslim terpecah, karena H. M. Subchan Z.
E. keluar dari Persami dan membetuk ISII (ikatan Sarjana Islam Indonesia)
pada tahun 1967, salah seorang tokoh NU. Meskipun demikian Persami masih
tetap berjalan sampai pada tahun 1970. Dari latar belakang tersebut muncul
ICMI sebagai sebuah wadah untuk penyaluran aspirasi cendikawan muslim.
Sebelum ICMI dilahirkan pada tanggal 7 Desember 1990 di Malang,
sebenarnya telah muncul pemikir Islam. pada tahun 1984 yang diketuai
Moechtar Boehori dari lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kelompok ini bukan semacam ICMI, namun hanya semacam dapur bagi
Departemen Agama. Setelah diadakan pertemuan cendikawan muslim yang ,
organisasi di pelopori Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan penerangan
Ekonomi Dan Sosial (LP3ES), Universitas Ibnu KHaldun, dan Universitas
Islam As-Syafi’iyah Jakarta. Selain itu organisasi Muhammadiyah sendiri
berkeinginan membentuk ikatan cendikawan. Dan terakhir muncul nama

10
Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKIP) pada tahun 1986 diketuai
oleh Ahmad Tirto Sudiro.
Pada bulan Januari 1983 di Surabaya juga telah terbentuk Cendikiawan
Muslim Indonesia (ICMI) yang diprakarsai oleh sebelas (11) orang
cendikiawan sepeerti : Fuad Amsyari dari Universitas Surabaya, Usman
Affandi, Suaknto, D. Sungkono, Rahmat Djatmika dari IAIN Bandung, Hanafi
Pratomo, Muhammad Usman dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya,
Ika Rochdjatun S. dari Institut teknologi Surabaya (ITS) Surabaya, Achmad
Syahrial Alim dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Syamsuddin
Manaf dari ITS Surabaya, Muhammad Thahir dari Rumah Sakit Islam
Surabaya.
Selain itu, M. Imaduddin salah satu anggota Dewan pakar ICMI pernah
berkeinginan untuk membentuk semacam ICMI dengan mengundang
beberapa pakar atau cendikiawan muslim Yogyakarta pada tahuun 1989,
karena pada saat itu
M. Imaduddin, melihat banyak cendikiawan muslim Indonesia yang
telah meraih pendidikan S3 (doktor), tetapi tdak pernah bersatu secara
harmonis dan terdapat perpecahan, seperti kelompok Paramadina di Jakarta,
Al-Falah di Surabaya, Salman di Bandung dan Shalahuddin di Yogykarta.
Ternyata undangan M. Imaduddin mendapat sambutan dari para
cendikiawan dari Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta. Meskipun
begitu, ada pula yang tidak bersediahadir seperti Amien Rais dari Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, karena Imaduddin masih dicurigai
pemerintah Indonesia. Pada acara tersebut, Imaduddin tidak membawa konsep
hanya untuk melepas kerinduan (kangen-kangenan) dengan membuat acara
simulasi, yang kebetlan bidang ini dikuasainya, sebagai seorang pakar
manajemen. Dari hasil simulasi tersebut, disimpulka bahwa diantara para
cendikiawan merasa dirinya tidak sempurna dan saling membutuhkan.
Keesokan harinya, Minggu 19 Januari 1989, para cendikiawan tersebut
berkeinginan membentuk semacam organisasi dengan para pengurusnya,
tetapi pertemuan itu segera dibubarkan pihak kemanan dengan alasan belum
mendapat izin (Raharjo, 1995:80).

11
Pengamatan Imaduddin terhadap kondisi umat Islam dan keinginan
untuk mempersatukannya ternyata menjadi obsesi akhirnya didiskusikan
dengan para mahasiswa yang tergabung dalam jamaah Teknik, Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya Malang. Kelahiran ICMI tidak terlepas dari
perjuangan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas brawijaya yang
mempunyai kelompok diskusi yang tergabung dalam jamah teknik Mushalla
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang yang sering mengadakan
kegiata n keislaman seperti Maulid dan Isra’ mi’raj.
Pada tanggal 28 Oktober 1990 diadakan pertemuan antara
cendikiawan Muslim dengan pihak MUI (Majelis Ulama Indonesia)
bertempat di Departemen Agama. Hadir pada saat itu antara lain ialah KH.
Hasan Basri ketua MUI, H. Munawir Sadzali Menteri Agama, Harmoko
Menpen, B.J. Habiebie Menristek dan rapat dipimpin oleh M. Amin Aziz.
Kemudian diteruskan dengan pertemuan pada 19 November 1990 di gedung
BPPT, yang dipimpin oleh H.S. Prodjokusumo. Pertemuan selanjutnya
diadakan di pusat pengkajian Strategi dan kebijakan (PPSK) Yogyakarta.
Selain itu 25-26 Nopember 1990.139 Sekitar 22 orang cendikiawan yang
akan membentuk wadah ICMI berkumpul di Tawangmangu, Solo untuk
merumuskan beberapa usulan untuk GBHN 1993 dan pembangunan Jangka
Panjang tahap kedua tahun 1993-2001 serta rancangan Program kerja dan
Struktur Organisasi ICMI.
Ada dua faktor pendukung yang dapat menjelaskan kelahiran ICMI.
Adapun kedua faktor adalah faktor dan eksternal. Masalah internal ini
berkaitan dengan : Pertama, kebutuhan nasional atau keinginan dari kaum
terdidik muslim yangn rata- rata telah menempuh pendidikan doktro (S3),
terutama dari luar negeri, untuk membawa misi Islam dalam Negara. Pada
saat kelahiran Orde Baru, umat Islam yang dulu didominasi oleh kelompok
Masyumi dan NU terdesak dan berada di pinggiran. Untujk mengantisipasi
masa yang akan dating, umat Islam mengusahakan anak-anaknya
memperoleh pendidikan sebaik mungkin, karena pendidikan adalah masa
depan.
Sejalan dengan itu, pembangunan ekonomi yang dilancarkan

12
pemerintah Orde baru memungkinkan pula pembangunan di bidang
pendidikan, sehingga anggaran penidikan menjadi naik terus, baik secara
kualitif maupun secara kuantitiatif yang melahirkan tenaga-tennaga terdidik,
dan kelompok-kelompok professional.
Kesempatan itu, tentu saja tidak disia-siakan oleh umat Islam, dengan
kepandaian dan kemampuan intelektual yang dimiliki, maka banyak di
antaranya mendapat kesempatan belajar ke luar negeri, sehingga muncullah
kaum terdidik. Dengan kepulangan kaum terdidik dari luar negeri, timbul
kesadaran bahwa harus ikut memikirkan pembinaan umat Islam di Indonesia
yang kini sedang giat membnagun dalam rangka mengisi alam kemerdekaan.
Untuk itu mereka harus bersatu dalam satu wadah untuk memudahkan
komunikasi.
Kesadaran ini muncul dan sebagian umat Islam yang mendapat
kesempatan pendidikan dan wawasan yang luas. Kesempatan yang diterima
sebagian umat Islam tersebut merupakan hal yang amat langka, mengingat
umat islam saat kelahiran Orde baru berada pada posisi yang masih
dipinggirkan, sehingga bagi yang benar-benar berootak cemerlang yang
mendapat kesempatan mencicipi pendidikan ke luar negeri. Dengan
demikian, wajar-wajar saja jika kaum terdidik Muslimin tersebut ikut
meratakan pentingnya pendidikan dan pembinaan bagi umat Islam Indonesia.
Kedua, ada kesadaran dari pihak pemerintah terutama presiden
Soeharto sebagai pemegang pucuk pimpinan kekuasaan di Indonesia untuk
menerima Islam. Pada masa awal Orde Baru,Masyumi ABRI salah faham
terhadap Masyumi (Islam) yang dianggap terlibat dalam peristiwa PRRI.
Pada saat itu pula Islam mulai terdingkir dari pentas politik, dan saat itu
pemegang tampuk kekuasaan dipihak militer lebih percaya kepada kelompok
non muslim dan Cina. Kini pemerintah telah merestui Islam dengan
diterimanya kelahiran ICMI oleh Presiden, karena lambat laun pemerintah
mulai menyadari bahwa generasi Islam pada masa Orde Lama dan generasi
Islam pada masa Orde Baru berbeda yang signifikan. Hal ini ditandai
aspirrasi umat Islam generasi terdahulu berbeda dengan aspirasi sekarang.
Ketakutan pemerintah terhadap masa lalu itu, karena kesalahan fahaman saja.

13
Sehingga wajar apabila pemerintah berubah sikap dengan merestui pendirian
ICMI.
Ketiga, adalah kelompok birokrat, Pada dekade tahun 1980, banyak di
antara anak-anak santri yang memasuki lapangan pekerjaan sebagai pegawai
negeri, karena lapanngan pekerjaan itu dianggap yang paling menjanjikan
masa depan bagi putra-putrinya. Setelah pemerintah Orde baru
mencanangkan pembangunan di bidang ekonomi, maka lahan perdagangan
bagi para santri menjadi terdesak, sehingga jalan pintas yang diambil orang
tua adalah membekali pendidikan bagi anak-anaknya dan berkompetensi
memasuki birokrasi, baik sebagai pegawai di departemen, dosen, guru dan
lain-lain. Dengan demikian, ramailah birokrasi dengan anak-anak santri tua.
Keterdesakan yang dialami pedagang muslim, sebenarnya berbarengan
dengan ketidak mampuan Islam dalam menghidupkan aspirasi untuk
formalisasi Islam dalam kehidupan Negara. Dan ketidakmampuan itu
merupakan konsekuensi dari pembaharuan Dewan Konstituante akibat gagal
meratifikasi UUD 1945 sebagai kerangka dasar hukum di Indonesia, pada
masa demokrasi Parlementer.
Dengan demikian, kemunculan ICMI ke permukaan, tidaklah asing
bagi putra-putri santri tua untuk ikut bergabung di dalamnya dan mendukung
sepenuhnya, mengingat label Islam yang terpatri dalam ICMI sesuai dengan
nilai- nilai Islam yang telah tersosialisasi dalam lingkungan keluarga. Selain
itu, lingkungan keluarganya yang memang santri tersebut pernah
berkecimpung dalam arena perpolitikan di Indonesia melalui partai politik
Islam masa lalu.
Dengan demikian, ICMI diharapkan mampu menjadi wadah untuk
mengaktualisasikan diri sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dianut Apabila
mengacu pada kategori kelompok kepentingan, maka ICMI dapat dikatakan
sebagai kelompok kepentingan yang dikategrikan jenis kelompok
kepentingan associational, karna ICMI adalah suatu organisasi yang bersifat
ormas, memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, terorganisir
berdasarkan agama dan kecendikiawanan, memiliki program kerja dan tujuan
yangjelas, memiliki keanggotaan yang tetap, ada daftar dan kartu

14
anggota, serta keberadaannya ditetapkan melalui prosedur yang telah
ditetapkan secara fomal.
Penunjukkan atau pemilihan pimpinan melalui prosedur resmi seperti
Muktamar. Meskipun sebelumnya, ketua ICMI telah ditetapkan, tetapi
pemilihannya tetap melalui prosedur yang ada (sidang) dalam simposium di
Malang yang telah disepakati bersama sebagai Muktamar ICMI. Yang
dinamakan kelompok kepentingan, mempunyai tujuan kepentingan dan
keinginan tertentu. Dan sasarannya secara langsung atau tidak, memang
berhubungan dengan sistem politik dimana kelompok kepentingan tersebut
berada. Dengan kata lain, ikut mewarnai sistem politik yang ada, cara
mewarnai tentu saja berbeda-beda. Ada yang secara langsung bermain
didalamnya, dengan menduduki posisi-posisi penting, ada pula yang berada
di luar, tetapi mampu mempengruhi sistem tersebut dengan berbagai
sumbangan pemikiran (memberikan input).
ICMI lebih cenderung ke cara yang kedua yaitu ikut mewarnai sistem
politik dengan cara memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah.
ICMI mencoba mewarnai sistem politik dengan cara memberikan masukan-
masukan (input) kepada pemerintah berupa pemikiran-pemikiran atau
konsep-konsep, contohnya dalam penyusunan Garis-Garis Haluan Negara
(GBHN). Selain itu, secara tidak langsung memberikan kontribusi kepada
pemerintah dan juga secara pribadi, anggota ICMI dari kalangan birokrat ikut
mewarnai sistem.
Terlepas dari posisi ICMI sebagai kelompok kepentingan, program
atau kegiatan ICMI dikaitkan dengan pengalokasian nilai-nilai dalam arti
luas, ICMI seperti halnya dengan organisasi-organisasi yang lain juga
memberikan pemikiran- pemikirannya kepada pemerintah, baik melalui
rakornas, maupun silaknas. Misi ICMI adalah dakwah Islamiyah secar
komprehensif, maka untuk mencapai sasaran dakwah tersebut, otomatis
harus menyentuh seluruh kehidupan masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Secara langsung memberikan masukan mengenai konsep
pembangunan kepada departemen -departemen dan penyusunan GBHN.

15
Sedangkan yang secara tidak langsung, mendukung program-program
pemerintah dalam hal pendidikan yang sesuai dengan program-program
ICMI, tanpa mendirikan sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan
baru. Dilakukan ICMI melalui metode pendekatan yang telah dicanangkan
yaitu pendekatan institusional.
Selain itu, melalui program-program kerja, ICMI juga berusaha
membantu pemerintah terutama pada bidang pendidikan. ICMI
menyelenggarakan perpustakaan, pesantren, penayangan program
peningkatan sumber daya manusia melalui televisi Pendidikan Indonesia,
pemberian beasiswa Orbit (Orang Tua Bimbingan Terpadu), dan
pengembangan Cendekiyawan muda. Sejalan dengan program pemerintah
tentang peningkatan sumber daya manusia, ICMI juga mendukung dengan
menunjukkan kesungguhannya dengan memprakarsai diselenggarakannya
Seminar Sumber Daya Manusia. Yang diikuti oleh lima kelompok
cendikiawan dari lima anggota yang ada di Indonesia seperti ISKA (Ikatan
Sarjana Katholik), PIKIP (Persatuan Intelegnsia Kristen Indonesia Protestan,
KBCI (Keluarga Cendekiyawan Buddhis Indonesia), FCHI (Forum
Cendikiawan Hindu Indonesia), dan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia). Namun terakhir, ISKA mengundurkan diri dengan alasan, karena
belum siap dengan pembicaranya (nara sumber) dan waktu yang diberikan
ICMI terlalu sempit.
Di bidang ekonomi, dalam rangka membantu perekonomian rakyat,
khususnya umat Islam, ICMI menyalurkan kredit bagi para pedagang kecil di
Tanjung Priuk dan Pasar Minggu dan ikut mendirikan Bank Muamalat
dengan pembagian keuntungan sebagai pengganti bunga bank. Menyinggung
masalah program ICMI yang lebih diwarnai oleh ICMI pusat alasannya
bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan, integralistik dan sentralistik, tetapi
bukan berarti baik, kata Bachtiar, sehingga wajar-wajar saja. Pengurus pusat
yang lebih menentukan (dominan), dan mendapat fasilitas.
Dengan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ICMI menyalurkan
aspirasinya dengan cara memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran, ide-
ide atau gagasan-gagasan kepada pemerintah (kontribusi) yang tercermin

16
melalui program- program kerjanya. ICMI melakukan politik alokatif
(allocative Polities) yaitu alokasi otoritatif nilai-nilai tertentu dalam suatu
masyarakat untuk kepentingan masyarakat tersebut secara keseluruhan.
Ramlan Surbakti mengartikan politik alokatif (the authoritative allocation of
value for a society) yaitu suatu kegiatan yang mempengaruhi (mendukung,
mengubah, menentang) proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam
masyarakat. Tujuannya untuk kepentingan si pelaku politik itu sendiri
dengan para pengikutnya.

4.2 Peran ICMI dalam Kelompok Kepentingan


4.2.1 Peran ICMI Dalam Birokrasi Pemerintahan
Kelahiran ICMI juga tidak terlepas dari dukungan birokrasi, dan
setelah lahir, birokrasi tidak dilupakan begitu saja, karena di dalam
kepengurusan ICMI tetap merangkul birokrasi dengan duduknya para
birokrat dalam kepengurusan ICMI. Ini memperlihatkan bahwa birokrasi
diperlukan sebagai mitra bagi kelancaran program-program ICMI, mengingat
birokrasi memiliki sumber-sumber kekuasaan yang tidak dimiliki lembaga
lain, sehingga peran birokrasi di dalam Negara, khususnya di Indonesia
sangat dominan. Untuk melihat peran birokrasi begitu besar, maka berikut ini
penulis paparkan perlunya birokrasi, sejarah munculnya birokrasi di
Indonesia dan menguatnya birokrasi pada masa Orde Baru.
Semakin besar perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan
warganegaranya, maka semakin meningkat pula campur tangan pemerintah,
terutama di bidang ekonomi (masyarakat). Dengan demikian pungsi
pemerintah akan bertambah luas. Fungsi-fungsi yang begitu luas,
mengharuskan pemerintah menciptakan suatu jaringan struktr-struktur yang
bisa menjamin terlaksananya fungsi-fungsi tersebut secara efektif dan efisien.
Pelaksanaan secara efektif dan efisien ini, hanya mampu dilakuukan oleh
birokrat, karena birokrasi memiliki beberapa karakteristik ideal seperti
pembagian kerja, jenjang hirarki, pengaturan prilaku pemegang jabatan
birokrasi (ada aturan formal), hubungan yang bersifat impersonalitas,
memiliki kemampuan teknis, dan karier.

17
Dengan demikian, birokrasi sangat dibutuhkan dalam masyarakat,
sehingga seringkali peran birokrasi tampak berlebihan, jika dibandingkan
dengan pejabat eksekutif sendiri. Idealnya birokrasi hanya sebagai pelaksana
kebijakan pemerintah tetapi, dalam prakteknya, terlibat dalam pembuatan
proses kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan informasi dan penguasaan
teknis yang dimilikinya, sehingga hampir seluruh kehidupan masyarakat
dimasuki birokrasi, tidak terkecuali di Indonesia.
Duduknya Birokrasi Dalam Kepengurusan ICMI. Duduknya para
birokrat dalam kepengurusan ICMI seperti Harmoko, Azwar Anas, Beddu
Amang, Saleh Afif, Muslimin Nasution, Wardiman Djojonegoro, Haryanto
Danutirto dan lain-lain sebagai pengurus, menurut Imanuddin Abdullah
bahwa praktis manajemen saja. Sedangkan menurut Sri Bintang Pamungkas,
salah seorang pakar Dewan ICMI pusat, bahwa hal itu hanya untuk
memudahkan jalannya ICMI, dan juga ICMI bukan hanya diperuntukkan
bagi golongan atau sekte tertentu, sehingga wajar-wajar saja orang-orang dari
kalangan birokrasi masuk di dalamnya menjadi anggota atau pengurus.
Nasir Tamara, salah seorang pengurus ICMI pusat mempunyai
pandangan yang senada menurut Nasir, birokrasi di Negara Indonesia sangat
menentukan sehingga wajar saja ICMI menempatkan orang-orang birokrat
dalam kepengurusannya. Dan tentu saja tujuan akhirnya, agar ICMI
melangkah dengan mudah, karena sebagian besar kegiatan ICMI akan
berhubungan dengan masalah perizinan yang dikuassai birokrasi. Pendapat
yang dikemukakan Sri Bintang Pamungkas dan Nasir Tamara mencerminkan
bahwa birokrasi di Indonesia sangat menentukan di dalam pengambilan suatu
kebijakan, termasuk menentuikan hidup matinya sebuah organisasi seperti
ICMI, sehingga wajar saja ICMI berggandengan tangan dengan birokrasi.
Anggota ICMI dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Pertama, kelompok sarjana dan pemikir Islam. Kedua, kelompk politisi dan
aktifis Islam. Dan ketiga, birokrat pemerintah. Kelompok pertama diwakili
oleh Nurchlis Madjid dan M. Dawam Rahardjo (juga Abdurrahman Wahid
yang berada diluar ICMI), kelompok kedua diwakili oleh Amin Rais,
Imaduddin Abdulrahim, Sri Bintang Pamungkas, Nasir Tamara, Adi Sasono,

18
Din Syamsuddin, dan juga M. Dawam Rahardjo. Sedangkam kelompok
ketiga diwakili oleh Wardiman Djojonegoro, Haryanto Dhanutirto, Soetjipto
Wirosardjono dan Habibie sendiri. Posisi ketiga kelompok ini terlihat
seimbang dalam kompoosisi pengurus pusat ICMI periode 1995-2000.
Kelompok pemerintah mendominasi pada dewan Pembina, dewan penasehat
dan sebagian lagi di majelis pengurus (ketua-ketua, asisten dan pendukung,
sekretaris dan bendahara).
Dominasi ini memperlihatkan bahwa birokrasi sangat diperlukan
untuk menunjang kelancaran aktifitas ICMI. Selain itu, dapat dikatakan
bahwa birokrasi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kelangsungan
hidup sebuah organisasi seperti ICMI. Meskipun banyak gagasan yang
muncul, agar kepengurusan ICMI melepaskan diri ketergantungannya kepada
birokrasi, tetapi hal ini tidak mungkin, mengkingat Negara Indonesia adalah
Negara pejabat atau Negara birokrasi. Dominasi ini terlihat pula pada
penunjukkan ketua majelis formatur yang diserahkan kepada kelompok
birokrat yaitu Haryanto Dhanutirto. Dengan demikian, di satu pihak ICMI
memanfaatkan posisi birokrasi untuk kelancaran kegiatan-kegiatannya, di
pihak lain, birokrasi memanfaatkan ICMI untuk mendukung program-
program pemerintah. Jadi keduanya saling memanfaatkan. ICMI Sekarang
dan Masa Depan Habibie bisa pergi, ICMI boleh ganti namun kenyataannya
yang tak terelakkan ialah muncul kelas menengah muslim (Hafner, 1995: 50).
Kadang-kadang orang melihat ICMI dari kacamata politik dan
melupakan gerakan sosial, karena itu ICMI muncul dan tenggelam dalam
situasi dan kondisi yang sangat kekurangan. Karena ICMI mementingkan
Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi sumber daya manusia sangat
kurang sehingga semangat baru belum tercapai. Kenyataan ini kadang tidak
sesuai dengan Habibie yang memiliki peran ganda di satu pihak sebagai
leader di pihak lain sebagai fasilitator. Dengan demikian ICMI berhasil atau
tidak sangat tergantung pada figure Habibie, sehingga setelah Habibie sudah
tidak menjadi orang penting (presiden) maka ICMI kehilangan pamor.
ICMI telah menjadi sebuah terobosan baru kemacetan perjuangan
umat, dengan ICMI suasana segar telah dialami umat Islam Indonesia dalam

19
kurun masa Orde Baru yang sebelumnya umat Islam selalu dicurigai.
Pengalaman ini terbukti sejak pembentukan panitia persiapan kemerdekaan
Indonesia, di zaman Orde lama, dan diawal Orde Baru. Melihat kepada
perkembangan setidaknya ada tiga pendapat terhadap ICMI yaitu: pertama,
pendapat yang menaruh harapan, kebanyakan mereka dari generasi tua, yang
telah mengalami pahit getirnya Islam sebagai agama kaum pinggiran.
Kelompok ini terbagi kepada (a) kelompok yang memandang ICMI sebagai
organisasi dakwah seperti Muhammadiyah, NU, DDII, MUI. (b) kelompok
yang memandang ICMI sebagai organisasi agama. (c) kelompok yang
memandang ICMI sebagai organisasi politik. Orang yang berpendapat
menaruh harapan ini adalah Anwar Haryono.
Kedua, pendapat yang meragukan, kelompok ini memandang ICMI
sebagai kooptasi Negara atau umat. Kelompok ini terbagi kepada (a) mereka
yang relatif pasif seperti Deliar Noer, Ridwan Saidi dan Emha Ainun Nadjib,
tetapi mereka membiarkan ICMI bekerja. (b) mereka yang agresif, seperti
Abdurrahman Wahid yang mengatakan bahwa ICMI sektarian dan primordial
baik diluar maupun dalam negeri. (c) mereka yang tidak puas yang terdiri
dari orang-orang lama yang tidak setuju dengan peran Islam politik dan
generasi muda yang menganggap ICMI sebagai penghalang proses
demokratisasi.
Melihat kepada pendapat diatas, maka perkembangan ICMI sekarang
berada pada masa kemunduran. Hal ini disebabkan karena, dalam perannya
pada masa lalu ICMI terlalu agresif, sehingga sukar antara memilahkan
antara kepentingan dan program kerja. Disamping itu ICMI tidak memiliki
kejelasan kader dan tujuannya masuk ICMI dan ini terbukti pada terjadinya
kelompok-kelompok dalam ICMI. Kelompok tersebut adalah; pertama,
kelompok idealis, yaitu kelompok yang kelompok yang benar-benar memiliki
cita-cita untuk menegakkan Islam, tetapi kelompok ini tidak berpengaruh.
Kedua, kelompok yang ikut-ikutan karena takut ketinggalan atas kemajuan
yang dicapai ICMI di birokrasi, politik dan sebagainya.
Ketiga, kelompok yang punya kepentingan untuk menjaga
kedudukan, karir dan usaha serta promosi jabatan umumnya mereka dari

20
kalangan pegawai negeri sipil, ABRI dan termasuk pegawai BUMN.
Kelompok - kelompok tersebut diatas, dalam kiprahnya mengembangkan
ICMI seringkali terjebak oleh logika kekuasaan Orde Baru didalam merespon
persoalan keumatan. Ternyata persoalan ini terbawa kedalam zaman
reformasi, pasca Soeharto dan Habibie tidak berada pada panggung politik
(kekuasaan). Hal ini dapat dilihat ketidakberdayaan ICMI dalam menyarakan
serta memperjuangkan kepentingan nasib masyarakat yang tertindas,
tergusur, yang dilakukan oleh penguasa. Sehingga isu-isu yang lebih direspon
ICMI adalah isu-isu elitis, dibandingkan isu-isu kerakyatan yang sebenarnya
harus menjadi komitmen ICMI di dalam melakukan kerja-kerja
kecendikiawanannya.
Bahkan peran ICMI di zaman Megawati, ternyata elit ICMI masih
menggunakan metode lama yaitu pendekatan pemerintah namun responnya
sangat kecil karena masa Megawati lebih bersifat nasionalis. Ditambah lagi
dengan tokoh- tokoh teras ICMI telah berserakan dengan partai baru yang
azas partai tidak Islam (nasionalis) seperti PAN ini merupakan beban dan
tantangan ICMI yang cukup berat. Karena di Indonesia, tidak ada satupun
organisasi independen yang lepas dari campur tangan pemerintah termasuk
ICMI. Jika ada pandangan ICMI bisa independen, itupun tidak mutlak benar.
Karena ia berdiri setelah ada lampu hijau dari pemerintah. Ini suatu fakta
sejarah yang objektif bahwa setiap organisasi yang ada dipanggung
kehidupan nasional, apakah itu partai politik, organisasi massa, organisasi
cendikiawan, atau siapapun tidak bisa ditabrakkan dengan prinsip- prinsip
dasar kebijakan nasional (pemerintah). Karena itu ICMI harus sebanyak
mungkin harmonis dengan kebijakan pemerintah sehingga ICMI bisa subur
kalau tidak ICMI akan jadi oposan.
4.2.2 Peran ICMI Dalam Partai Politik
Posisi-posisi strategis dalam pemerintahan merupakan incaran orang
atau kelompok yang berkecimpung dalam dunia politik. Biasanya sesuatu
dapat dikatakan sebagai kelompok kepentingan, akan terkait dengan
masalah tersebut memperoleh jabatan-jabatan publik (politik) atau jabatan-
jabatan dalam pemerintahan. ICMI sebagai kelompok kepentingan apabila

21
dikaitkan dengan masalah itu, duduk di kursi pemerintahan baik sebagai
menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maupun birokrat, bukan
atas jasa ICMI atau karna program ICMI sebagai suau institusi, melainkan
karena hubungan pribadi yang telah lama dirintis, dan sebelumnya memang
mereka telah menduduki posisi-posisi tersebut.
Wardiman Djojonegoro sebagai menteri Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Harianto Danutirto sebagai menteri Perhubungan, dan B.
Judono, karena mereka adalah orang-orang kepercayaan Habibie di Badan
Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT). Habibie adalah salah seorang
menteri (Pembantu Presiden) yang mempunyai akses (kesempatan) kepada
pemerintahan dan pada saat itu diberi kepercayaan untuk berperan
menyusun komposisi menteri kabinet pembangunan kabinet VI oleh
presiden.
Sedangkan anggota ICMI yang duduk sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat seperti Sri Bintang Pamungkas berasal dari Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), karena dipilih oleh Buya Ismail Hasan
Metareum, Marwah Daus, Fadel Muhammad dan Harmoko dari Golkar.
Memang banyak fungsional ICMI yang menonjol sebagai publik figur dan
aktor politik, walaupun dilakukan atas nama pribadi, bukan atas nama ICMI.
Berkaitan dengan masalah ICMI sebagai kelompok kepentingan
politik, jika pengertian politik dikaitan dengan semua kelompok masyarakat
atau keberkumpulan masyarakat, karena setiap keberkumpulan tersebut
mempunyai implikasi politik, apalagi yang berhimpun adalah cendikiawan
yang pada dasarnya mempunyai potensi, loyalitas dan kapasitas tertentu atau
dengan kata lain bahwa cendikiawan itu memiliki sumber power ilmu
pengetahuan dan professional. ICMI sebagai kelompok kepentingan politik
memang melakukan kegiatan-kegiatan politik, baik secara individu, maupun
institusi, tetapi hanya terbatas sebagai alat untuk mendukung program-
program di ICMI, bukan politik untuk “struggle for power” (menempatkan
orang-orang dalam posisi kekuasaan).
Kalau ada kegiatan yang mengarah ke struggle for power, sebagai
aktifitas-aktifitas yang dilakukan perorangan bukan ICMI sebagai

22
kelembagaan. Contohnya, seperti manuver-manuver Habibie, itu telah
dilakukan Habibie sejak dulu sebelum habibie masuk ICMI. Keikutsertaan
Habibie di dalam menyusun komposisi menteri kabinet pembangunan VI
dan undangan Habibie kepada para anggota Petisi 50 ke Perseorangan
Terbatas Angkatan Laut (PT. PAL) di Surabaya, harus dilihat kapasitas
Habibie sebagai pembantu Presiden dan selaku direktur di PT. PAL.
Sedangkan dalam Musyawarah Nasional V (MUNAS) Golkar,
posisi tawar menawar (bargaining position) yang dilakukan Habibie
dianggap berhasil,175 sehingga menjadi Harmoko menjadi ketua Umum
Golkar pengganti Wahono, harus dilihat Habibie sebagai wakil Pembina
Golkar. Memang kiprah Habibie saat itu seringkali dikaitkan dengan ICMI,
sehingga perubahan Wahono ke Harmoko dianggap suatu tindakan politis
yang dapat melancarkan Habibie plus Islam (ICMI) ke pucuk pimpinan
nasional di masa datang, karena baru kali ini Golkar di pegang oleh
kalangan sipil biasanya dari kalangan militer.
Antara Habibie selaku menteri dan Habibie selaku ketua umum
ICMI harus dapat dipisahkan, realita tidaklah demikian, karena seorang
public pigursering dikaitkan dengan lembaga-lembaga publik figur tersebut
berperan sebagai anggota atau pengurus. Apabila seperti ICMI yang baru
saja dilahirkan, dan telah mendapat sambutan hangat dari pemerintah dan
masyarakat, sehingga wajar saja dicurigai (Hafner, 1995:142).
Meskipun demikian tidak bisa dikatakan bahwa ICMI sebagai
kelembagaan, berpolitik dan bukan pula berarti ICMI buta politik, karea di
Negara Indonesia, politik adalah pilar utama atau bisa dikatakan sebagai
panglima atau juga muara, karena seluru bidang kehidupan, seperti sosial,
ekonomi, budaya dan lain- lain akan berkaitan dengan masalah politik,
demikian pula dengan ICMI sebagai salah satu organisasi masyarakat yang
lahir di bumi Indonesia. Sebenarnya mekanisme penyaluran asprasi dari
anggota ke pengurus pusat telah diatur, baik dari anggota ke pengurus
Organisasi Satuan (ORSAT), Orsat ke pengurus Organisasi Wiayah
(ORWIL), maupun Orwil ke pengurus Pusat, melalui musyawarah Satuan,
Musyawarah Wilayah, musyawarah Pusat dan bisa juga melalui rakornas.

23
Jalur-jalur diatas memang telah diatur di dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga ICMI, tetapi pelaksanaan dilapangan kadang
berbeda dengan harapan yang diinginkan. Silaturahmi Kerja Nasional dan
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas), hanya pelengkap saja. Banyak
masukan yang diberikan dari berbagai daerah, tetapi tindak lanjutnya setelah
itu tidak ada, karena pengnurus pusat sibuk semuanya.
Kesibukan pengurus pusat perlu dipertanyakan, apakah sibuk dengan
urusa-urusan masung-masung, sehingga tidak menindaklanjuti aspirasi dari
bahah atau sibuk dengan kegiatan-kegiatan atau program ICMI pusat,
karena selama ini, program ICMI di pusat masih tetap berjalan. Penyaluran
asspirasi dari bawah keatas terabaikan, karena forum-forum seperti
Rakornas dan Silaknas ICMI hanya merupakan forum pengurus, bukan
anggota. Dengan demikian masalah demokrasi di ICMI juga tidak muncul,
namun hal ini tidak hanya menjadi ICMI, karena organisasi-organisasi lain
juga begitu.
Selain itu, penyaluran aspirasi tidak hanya dilakukan dari bawah
keatas (anggota kepada pengurus pusat), melainkan juga dilakukan ICMI
kepada pihak pemerintah departemen-departemen pemerintah yang terkait
dan hasil kajian masalah-masalah sosial politik yang sering dilakukan
sebagai salah sastu badan pengkajian ICMI. Ini merupakan salah satu
komitmen ICMI untuk membangun bangsa Indonesia.
Mekanisme penyaluran aspirasi bisa berjalan dengan cara seperti
hubungan pribadi (personal connection), perwakilan langsung atau
perwakilan elit. (elit representation), saluran formal dan institusional lain
(formal and institutional), dan demonstrasi serta kekerasan (protest
demonstration). Diantara keempat jenis wadah penyaluran tersebut, ICMI
lebih sering menggunakan saluran perwakilan langsung/perwakilan elit dan
biasanya ICMI lebih cenderung melalui Habibie sebagai Ketua Umum.
Karena ketua umum memiliki akses dalam pengambilan keputusan politik.
Selain itu, anggota-anggota pengurus ICMI yang duduk sebagai
pejabat dalam departemen-departemen pemerintah, mencoba untuk
memberikan aspirasi (mewarnai sistem politik) melalui jabatan-jabatan yang

24
diembannya. Seiring dengan berdirinya ICMI, ICMI juga membantu
Yayasan Abdi Bangsa yang kemudian menerbitkan harian Republlika yang
kini berkompetisi dengan harian Kompas yang telah lebih awal terbit. Dari
harian republika ini diharapkan dapat membawa aspirasi ICMI ataupun
menasionalisasikan ICMI ke tengah masyarakat. Faktor penting yang sangat
mendukung aspirsi ICMI kepada pemerintah atau pelaksanaan program-
programnya yang langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat
adalah sumber daya yang dimiliki ICMI. Sumber daya yang dimiliki ICMI
dapat dipilah-pilahkan menjadi beberapa factor antara lain Habibie,
birokrasi, profesionalisme, dan yang terakhir keimanan.
Pemilihan Habibie sebagai ketua umum ICMI oleh para pendirinya
dikarenakan penguasannya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
bermanfaat dimasa depan, khususnya kedirgantaraan (Air Craft Building)
dan perkapalan, mengingat Negara Indonesia adalah Negara kepulauan.
Dalam surat dukungan kepada Habibie, terutama antara lain karena
prestasinya yang diakui secara nasional dan internasional dan keikhlasan
Habibie, serta komitmen habibie terhadap agama Islam tdak diragukan.
Selain itu karena Habibie adalah seorang birokrat yang memiliki akses
dalam pengambilan keputusan politik di tingkat atas.
Ada tiga konsep umum mengaoa presiden Soeharto memberi
kepercayaan kepada Habibie. Pertama, penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknolog dalam proses pembangunan, dan pentingnya kesadaran akan
pentingnya penggunaan teknologi canggih, baik dalam proses industrialisasi
maupun modernisasi perekonomian nasional. Kedua, pentingnya masalah
sumber daya manusia Indonesia dalam kaitannya dengan pemakaian
teknologi canggih dalam proses pembangunan; ketiga, perlu lebih
terlibatnya manusia Indonesia saat proses industrialisasi dalam rangka
mengubah struktur ekonomi dari yang mengandalkan barang-barang primer
menjadi lebih ke dalam barang-barang industri.
Meskipun Habibie seorang teknolog, tetapi bukan berarti buta
politik, karena ia belajar politik pada Soeharto, Soeharto adalah gurunya dan
pemikir yang jenius bagi Habibie. Dalam penyusunan menteri kabinet

25
pembangunan VI, Habibie dipercaya dan diminta saran untuk hal itu, dan
akhirnya terdapat 14 teknolog masuk sebagai anggota kabinet. dewan
Pembina Jabatan wakil ketua dewan Pembina yang diemban Habibie di
tubuh Golkar (Golongan Karya), memberikan akses bagi perjalanan karier
Habibie. Hal ini tampak pada MUNAS V Golkar, Habibie mewakilli dewan
Pembina dan sebagai ketua formatur ikut membantu membentuk DPP
Golkar yang sempat dikritik oleh mantan ketua Golkar Wabono, karena
kurang dianggap kurang tepat secara organisatoris dan tidak lumrah, tetapi
DPP Golkar tetap terbentuk. Di sini, peran Habibie tampaknya dikaitkan
dengan isu-isu suksesi pasca Soeharto dengan kemungkinan tampilnya
Habibie sebagai figur pemimpin nasional dari pihak sipil.
Kiprah Habibie sering dikaitkan dengan ICMI, sehingga Habibie dan
ICMI haruslah dilihat sebagai alternatif kekuatan sipil, apabila menengok
kembali pencalonan Habibie sebagai kandidat wakil presiden pada saat
pemilu tahun 1992, maka dapat dikatakan Habibie dan ICMI tampil sebagai
kekuatan sipil, tanpa mengikutsertakan militer dan Golkar, karena saat itu
tampaknya kekuatan militer masih sangat kuat.
Komitmen ICMI terhadap umat Islam adalah secara umum artinya
ICMI tidak memiliki kecenderungan kearah kelompok tertentu, apalagi yang
dimaksudkan Golkar, karena di dalam ICMI sendiri ada pula anggota PPP.
Jadi ICMI tidak berorientasi kepada organisasi politik tertentu, tetapi yang
jelas ICMI berpihak kepada kelompok Islam. Berbicara masaah perubahan
sosial politik, erat kaitannya dengan kelas menengah. Mengapa, karena
kelas ,menengahlah yang biasanya diharapkan dn memiliki kemampuan
untuk membawa kearah perubahan yang diinginkan kelas adalah suatu
terminologi di masa yang terpenting bukan pemilikan alat-alat produksi,
akan tetapi akses seseorang kepada sumber-sumber kekuasaan, seperti
kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi, dan sebagainya.
Sedangkan kelompok-kelomok strategis di Indonesia, seperti ICMI diartikan
sebagai kelompok strategis.
Sejarah kelahiran ICMI telah menyita perhatian pengamat politik
baik dari dalam maupun luar negeri. Berbagai tanggapan, komentar dan

26
kritik merebak mewarnai perjalanan Organisasi tersebut.
Bahkan sejak pencetusannya hingga kini seakan-akan ICMI menjadi
“faktor baru” yang diperhitungkan sebagai kekuatan strategis dalam peta
perpolitikkan Indonesia pada umumnya dan Islam pada khususnya Ikatan
Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) lahir adalah buah dari proses
politik. Dimana pada waktu itu, mulai membaiknya hubungan Islam dengan
Birokrasi (Pemerintah). Hubungan itu bersifat reprokal atau timbal balik.
Sehingga menumbuhkan konvergensi diantara dua belah pihak (Makmur,
1996: 90).
Ketika pengumuman susunan pengurus ICMI tanggal 13 Februari
1991, BJ Habibie mengatakan bahwa “ICMI bukanlah organisasi politik, dan
bukan pula organisasi massa yang bernaung dibawah organisasi politik.
Tujuan pembentukan ICMI adalah untuk meningkatkan kualitas hidup,
kualitas kerja, kualitas karya, serta kualitas berfikir seluruh bangsa indonesia,
khususnya umat Islam” ujarnya. Penegasan ini selalu diulanginya dalam
berbagai kesempatan. Ia sepertinya mengesankan bahwa ICMI tidak akan
berpolitik.
Salah satu dari fungsi utama kaum cendekiawan, menurut Edward Shil
adalah “Memainkan peran politik “sebab dengan memainkan peran politik,
seorang cendekiawan terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakatnya.
Sehingga tokoh semacam Bung Hatta pun tidak ragu untuk mengatakan bahwa
politik adalah salah satu bentuk keterlibatan kaum cendekiawan. Dari
pernyataan Habibie diatas seolah-olah ruang untuk berpolitik bagi ICMI telah
tertutup.
Bagi Dr Afan Gaffar pakar politik dan pengamat politik dari UGM
Yogyakarta, “ICMI tidak akan a-politik, tidak ada Ormas di Indonesia ini
yang tidak berpolitik ICMI pun menurut hemat saya juga berpolitik hanya
artikulasinya saja yang berbeda dengan Ormas lain” tandasnya. Sebagai
agregat cendekiawan muslim, ICMI merupakan lahan yang efektif untuk
menggalang potensi mengkomunikasikan dan medesiminasikan ide-ide,
menggalang lobi dan sebagainya (Makmur, 1996: 95).

27
Menurut Affan, peran politik ICMI yang paling signifikan adalah
mengkondisikan hubungan yang tidak konfrontatif antar Islam dengan
Birokrasi Orde Baru. Senada dengan pendapat Affan, Dr. Arbisanit
mengatakan “sepak terjang ICMI jelas menunjukkan keterlibatannya dalam
politik praktis”. Hal ini tampak dalam “penghijauan” MPR 1993-1998,
kabinet pembangunan IV, dan pengurus Golkar. Amin Rais dari kalangan
dalam juga mengakuinya, “walaupun ICMI bukan Organisasi politik dan tidak
berpolitik praktis, saya yakin ICMI mempunyai politik leverge yang besar.
Sejalan dengan pendapat Adi Sasono, ICMI tidak boleh buta politik. Diantara
artikulasi politik ICMI yang tidak konfrontatif dengan birokrasi Orde Baru
menjadikan pengaruh nyata bagi kelompok-kelompok kelas menengah yang
soleh dan tekun menjalankan perintah agama, dan membuat birokrat yang
semula takut berjamah jum’at menjadi bangga melakukannya. Dan
menguatnya kepatuhan pada Islam dikalangan kelas menengah dan pejabat
pemerintah, menurut Nurcholis Majid adalah sebuah pencapaian yang sangat
berharga.
BJ Habibie sebagai ketua umum ICMI, dan politisi yang ada dalam
pemerintahan dan dekat dengan lingkaran kekuasaan pada waktu itu
menjadikan langkah-langkah politiknya yang sebenarnya tidak berkaitan
langsung dengan ICMI oleh banyak kalangan telah dilihat sebagai realisasi
manufer politik ICMI, sebagai suatu bentuk dari dinamisasi program dan
kegiatan ICMI. Disamping Habibie, banyak anggota ICMI yang masuk dalam
dunia politik, sehingga hal itu telah memberikan pengaruh politik yang dalam
perkembangan politik Islam di Indonesia. Partisipasi anggota ICMI tampak
pada anggota legislatif 1993-1998, sebagaimana yang dikemukakan Arbisanit,
“DPR dan MPR telah menjadi hijau karena ICMI, demikian dengan kabinet
dan Golkar. Peran ICMI makin kelihatan sangat besar, terutama sekali karena
posisi ketua umumnya waktu itu Habibie Menristek kemudian menjadi Wakil
Presiden dan Presiden RI yang ketiga.
Demikian fenomena keterlibatan ICMI dalam dinamika politik Islam
di Indonesia sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa keberadaan ICMI
telah memberikan fenomena baru bagi umat Islam khususnya dan bagi bangsa

28
Indonesia pada umumnya. Namun sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
ICMI diperlukan suatu kajian untuk mengkaji dan mengkritiknya tanpa
mengurangi rasa hormat atas semua yang disumbangkan kepada umat Islam
(Hafner, 1995: 64).

4.3 Gerakan ICMI Pasca Orde Baru (1998-2003)


Mundurnya Presiden Soeharto (Mei 1998) dari pucuk pimpinan
pemerintahan, telah membawa banyak perubahan dalam berbagai bidang.
Pembaharuan besar juga terjadi pada ICMI, dimana BJ Habibie pada waktu itu
menjabat sebagai Ketua Umum ICMI naik menjadi Presiden RI yang ketiga
menggantikan Soeharto. Pembaharuan prinsip perjuangan ICMI terjadi pada
Muhtamar III Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia tahun 2000, yang
mana ICMI sebagai organisasi kebudayaan yang bergerak dalam bidang
keagamaan yang pada awalnya berasaskan Pancasila, merubah dirinya
menjadi berasaskan Islam, sebagai dasar dan perjuangan. ICMI adalah
organisasi yang menampng para cendikiawan muslim se-Indonesia yang
bertujuan mewujudkan tata kehidupan masyarakat madani yang damai adil
sejahtera lahir dan batin, yang diridoi Allah SWT dengan meningkatkan
kualitas manusia, kualitas iman, kualitas fikir, kualitas kerja, kualitas karya
dan kualitas hidup (Syafi’i, 1995: 296).
Untuk mencapai tujuan tersebut, ICMI mengadakan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan komunikasi dan kerjasama dalam berbagai kalangan,
baik perorangan, lembaga, perhimpunan, pemerintah maupun swasta.
2. Berperan aktif dalam kegiatan pengembangan pendidikan dan kualitas
sumber daya manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat
dan bangsa, khususnya umat Islam Indonesia.
3. Meningkatkan mutu para anggota serta mengembangkan kegiatan kepakaran
melalui koordinasi sistem jaringan informasi dan komunikasi didalam
maupun diluar negeri.

29
4. Menyelenggarakan berbagai pemikiran, penelitian dan pengkajian yang
inofatif, strategis dan antisipatif serta berupaya merumuskan dan
memecahkan berbagai masalah lokal, regional nasional dan global.
5. Menyelenggarakan berbagai kegiatan dibidang sosial, budaya, ekonomi,
politik dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan martabat rakyat kecil
dan kaum yang lemah, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

30
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Kelahiran ICMI bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Tetapi erat
kaitannya dengan perkembangan global regional didalam dan luar negeri.
Menjelang akhir 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan
berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi, keruntuhan komunisme
sebagai salah satu idiologi yang kuat didunia mengakibatkan terjadinya
perpecahan dan disintregasi di negaranegara yang diperintah oleh rezim
komunis, khususnya di Eropa Timur.
Keterlibatan ICMI dalam dinamika politik Islam di Indonesia
sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa keberadaan ICMI telah
memberikan fenomena baru bagi umat Islam khususnya dan bagi bangsa
Indonesia pada umumnya. Namun sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas ICMI diperlukan suatu kajian untuk mengkaji dan mengkritiknya
tanpa mengurangi rasa hormat atas semua yang disumbangkan kepada umat
Islam.
ICMI adalah organisasi yang menampng para cendikiawan muslim se-
Indonesia yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan masyarakat madani
yang damai adil sejahtera lahir dan batin, yang diridoi Allah SWT dengan
meningkatkan kualitas manusia, kualitas iman, kualitas fikir, kualitas kerja,
kualitas karya dan kualitas hidup.

5.2 Saran
Sejarah telah menunjukkan bahwa ICMI sebagai faktor pemersatu
bangsa. Disini pentingnya revitalisasi peran ICMI dalam memperkuat
komitmen kebangsaan melalui penguatan Islam washatiyyah, Islam yang
memberikan keteduhan, di tengah gejala meningkatnya pemikiran dan
gerakan Islam transnasional yang terkadang melahirkan gerakan Islam
sempalan, ICMI bersama ormas-ormas Islam lainnya harus menjadi kekuatan
baru sekaligus darah segar kebangkitan umat di saat bangsa ini mengalami

31
sejumlah permasalahan dengan terus memperkuat Islam washaton. Islam
yang rahmatan lil ‘alamien.

32
DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, 1999. Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan,


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
A. Makmur Makka, 1996. Dhurorudin Mashad, ICMI: Dinamika Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Pustaka Cesindo.
M. Dawan Raharjo, 1995. ICMI; Antara Status Quo dan Demokratisasi, Bandung:
Mizan, cet. Ke-1.
M. Syafi’i Anwar, 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian
Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina.
W. Hafner Robert, 1995. ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah
Indonesia, Alih bahasa: Endi Haryono, Jakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

33
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Susunan Majelis Pengurus Pusat Dan Majelis Khusus


Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia
Periode 2015-2020


Ketua Umum Jimly Asshiddiqie, Prof. Dr. SH.
 
Wakil Ketua Umum : 
  Muhammad Nuh, Prof. Dr. DEA.
Ilham Akbar Habibie, Dr. Ing. MBA
Priyo Budi Santoso, Drs. MAP
 
Herry Suhardiyanto, Prof. Dr. Ir.
Sugiharto, Dr. SE. MBA.
Sri Astuti Buchari, Dr. M.Si.
Sekretaris Jenderal :Mohamad Jafar Hafsah, Dr. Ir.
Wakil Sekretaris Jenderal : 
Madeyul Sola, Ir. MM. MBA
Ali Mundakir, Ir.
Abrory A. Djabbar, SH.
Ahmad Lubis, Dr. Ir. M.Sc.
   
M. Akhsan Alala, Ir.
Wahyudi Pramono, Drs. M.Si.
Vasco Ruseimy, Ir.
Tb. Ace Hasan Sazili, Dr. M.Si
Bendahara Umum :Firdaus Djaelani, Dr. MA
Wakil Bendahara Umum : 
Saraswati Chazanah, Dra. MM
Sarwono Sudarto, MBA
Andi Surya Wijaya, SH
M. Darmizal, Dr. SH. MM
   
Syamsurachman, ST. MSM
Sardjana, Prof. Dr.
Muhammad Haris Indra, SIP
Sukirman
Ketua Koordinasi : 
Pendidikan dan Pengembangan SDM : Arma'i Arief, Prof. Dr.
Pengembangan Etika dan Budaya : Kacung Marijan, Prof. Dr.
Pengembangan Ristek, Inovasi dan Kewirausahaan : Akhmaloka, Prof. Dr.
Pengembangan Kominfo dan Media : Ahmad Muchlish Yusuf, Dr. Ir.
Politik Dalam Negeri : Muhammada Qodari, Dr. S.Psi. MA
Hubungan Luar Negeri dan Hankam : Yasril A. Baharuddin, Drs.
Hukum, Advokasi dan HAM : Ifdhal Kasim, SH. MH
Organisasi dan Pembinaan Keanggotaan : Didin Muhafidin, Dr. SIP. M.Si.
Hubungan Antar Lembaga dan Otonom : Muhammada Taufiq, Dr. Ir.
Kaderisasi dan Pembinaan Keumatan : Hermawan K. Dipojono, Prof. Dr.
Pengembangan Ekonomi Nasional : Didik J. Rachbini, Prof. Dr.
Pengembangan UMKM dan Pembangunan Pedesaan : Aries Muftie, Dr. SH. SE
Kesejahteraan dan Kesehatan : Fachmi Idris, Prof. Dr. dr. M.Kes.
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak : Andi Yuliani Paris, Dr. Ir. M.Sc
Pengembangan Profesionalitas Tenaga Kerja : Fahira Fahmi Idris, SE. MH

34
    
Bidang-Bidang   
Bidang PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah   
Ketua : Alizum Mashar, Prof. Dr. Ir.
Wakil Ketua : Hanif Saha Gafur, Dr.
Sekretaris         : Ingrid Kansil, S.Sos
Ketua Dep. Pengembangan Kebijakan PAUD, Pendidikan
: Susanto, Dr.
Dasar dan Menengah
Ketua Dep. Jaringan Pendidikan Berkualitas : Izuddin Joko Prasojo, Drs.
Ketua Dep. Pengembangan Kualitas Guru : Harun Djanisman, Ir.
Ketua Dep. Pengembangan Beasiswa Guru dan Siswa : Juliana Wahid, SE. M.Pd
Bidang Pendidikan Tinggi   
Ketua : Musliar Kasim, Prof. Dr
Wakil Ketua : Andi Faisal Bakti, Prof. Dr. Ph.D.
Sekretaris : Bahlil Lahadila 
Ketua Dep. Pengembangan Kebijakan Pendidikan Tinggi    : Muhammad Bisri, Prof. Dr.
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Pendidikan Tinggi
: M. Taufik Hanafi, Dr. Ir.
Berkualitas
Ketua Dep. Pengembangan Kualitas Dosen : Muchlas Samani, Prof. Dr.
Ketua Dep. Pengembangan Beasiswa Dosen dan Mahasiswa : A. Kahar, Dr.
Bidang Pendayagunaan Potensi Sumberdaya Insani Senior    
Ketua : Ahmad Mangga Barani, Ir. MBA
Wakil Ketua : Ony Jafar, SE
Sekretaris         : Wahidin Ismail, Drs.
Ketua Dep. Pengembangan Potensi SDI Senior : Mulyono Makmur, Ir. MS 
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan SDI Senior Produktif : Yusyus Kuswanda, SH. MH
Ketua Dep. Pengembangan Guru dan Dosen Relawan : Albar Made Ali, Dr
Ketua Dep. Pengembangan Mediator Konflik : Gunawan Suswantoro, SH. M.Si
Bidang Pengembangan Etika Berbangsa dan Bernegara   
Ketua : Nurhayati Djamas, Prof. Dr. MA.  
Wakil Ketua : MA. Anshori A. Djabbar
Sekretaris : Syaiful Bahri, Drs.
Ketua Dep. Pengembangan Sistem Etika Profesi dan Organisasi : Deddy Supriady Bratakusumah
Ketua Dep. Pengembangan Apresiasi Etika Berbangsa dan
: Endang Sulastri
Bernegara
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Etika Profesi dan
: Didik Eko Budi Santoso, Dr. Ir. MT.
Organisasi
Bidang Pengembangan Kesenian, Sastra dan Budaya   
Ketua : Endang Caturwati, Prof.
Wakil Ketua : Anwar Fuady, Dr. SH.
Sekretaris : Ferry Kurtis
Ketua Dep. Pengembangan Infra-Struktur Seni dan Budaya
: Suhendi Afrianto, Dr
Daerah
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Seni Pertunjukan : Jenny Rachman
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Kesenian Tradisional : Sri Richana, Prof. Dr.
Ketua Dep. Jaringan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
  Machsun, Prof. Dr.  
Daerah
Bidang Riset dan Teknologi   
Ketua : Jumain Appe, Ir. M.Si  
Wakil Ketua : Lukman Malanuang, Dr. MS.
Sekretaris : Joko Widodo, S.Si
Ketua Dep. Teknologi untuk Air, Pangan, Energi dan : Hindarwati, Ir. M.Sc

35
Lingkungan
Ketua Dep. Teknologi untuk Pendidikan dan Kesehatan : Limanseto, Ir. M. Eng.
Ketua Dep. Teknologi Tepat Guna untuk Pengembangan
: M. Heru D. Wardana, Ir. M.Hort. Sc
Unggulan Lokal
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Pemasyarakatan Iptek : Yusuf Khyber Hasnoputro,Dr.
Bidang Inovasi dan Kewirausahaan   
Ketua : Mohammad Andy Zaky, Ir.
Wakil Ketua : M. Kris Suyanto, Drs.
Sekretaris : Tri Ismawaty, SE
Ketua Dep. Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan
: Faranugraha Makkuraga, ST. MA
Kewirausahaan
Ketua Dep. Pembinaan Usaha Pemula dan Jaringan Kemitraan
: N. Fitriani Gayo, M.Si.
Usaha Inti-Plasma
Ketua Dep. Pengembangan Infra-struktur Kewirausahaan : Nurhadi Antono, Ir.
Ketua Dep. Advokasi Kebijakan Pro-Usaha Kecil dan
: Anwar Sanusi, Dr. SH, SP, MM
Menengah
Bidang Pengembangan Kominfo dan Media   
Ketua : Silih Agung Wasesa
Wakil Ketua : Yan Harlan
Sekretaris : Chamad Qhozin
Ketua Dep. Pengembangan Teknologi Komunikasi dan
: Tirta N. Mursitama  
Informasi
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Komunikasi dan Media
: Andi Irman
Massa
Ketua Dep. Pengembangan Penerbitan, Media Cetak, dan
: Gunawan Alif, Dr.
Perbukuan
Ketua Dep. Jaringan Kerjasama Media Cetak, Elektronik dan
: Mahya Ramadhani
Media Sosial
Bidang Pengembangan Karya Ilmiah, Seni dan Teknologi    
Ketua : Santhi H. Serad, Ir.
Wakil Ketua : Asnan Furinto, Dr.
Sekretaris : Achmad Firdaus, Dr.
Ketua Dep. Kajian Perbukuan & Sistem Penghargaan Karya
: Elang Ilik Martawijaya, Dr.
Ilmiah
Ketua Dep. Penerbitan Buku dan Jurnal Ilmiah Berstandar
: Ezni Balqiah, Dr.
Internasional
Ketua Dep. Jaringan Database Paten dan Karya Ilmiah Anggota
: Munawar Ghozali, MA
ICMI
Ketua Dep. Penghargaan Tahunan Karya Ilmiah, Seni, dan
: Oscar Riandi, M.Sc
Paten
Bidang Pengembangan Sistem Politik dan Pemerintahan   
Ketua : Burhanuddin Muhtadi, Dr.
Wakil Ketua : Margarito Khamis, Dr. SH.
Sekretaris : Hilmi Rahman Ibrahim
Ketua Dep. Pengembangan Sistem Demokrasi dan Kepartaian : Ivan Rovian, dr. M.Kp.
Ketua Dep. Penguatan Sistem Pemerintahan Negara : Panduwinata FN. Arifin, ST. MT
Ketua Dep. Pengembangan Profesionalisme dan Netralitas
: Riza Fadli, Ir.
Birokrasi
Ketua Dep. Penataan dan Penguatan Sistem Pemerintahan
  Abu Kasim Sangaji, Ir.
Daerah
Bidang Pengembangan Kepemimpinan dan Wawasan   

36
Kebangsaaan
Ketua : Andi Budi Sulistiyanto, SH. MH.
Wakil Ketua : Andi Timo Pangeran, Ir.
Sekretaris : Firdaus Alamsjah
Ketua Dep. Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Nasional : Andi Rahmat
Ketua Dep. Pengembangan Organisasi Kemasyarakatan : Hasanuddin Tubagus Alvin
Ketua Dep. Jaringan Pembinaan Integrasi Sosial dan
: Asro Kamal Rokan
Kerakyatan
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Partai Politik : Ahmad Hanafi Rais
Bidang Pertahanan Keamanan   
Ketua : Sudrajad, Mayjen TNI (Purn)
Wakil Ketua : Poempida Hidayatullah, Dr. BEng. P.hD, DI
Sekretaris : Muhammad Oheo Sinapoy, SE. MBA
Ketua Dep. Pengembangan Sistem Pertahanan dan Keamanan : Bambang Sudarsono
Ketua Dep. Cybercrime dan Intelegent : Wahyu Dirgantoro
Ketua Dep. Idiologi dan Bela Negera : Stevi Andriyani
Ketua Dep. Bio Strategi dan Perbatasan : Abdul Aziz. Ir.
Ketua Dep. Jaringan Informasi Strategis   Bobby Rizaldi, SE. Ak. MBA
Bidang Hubungan Luar Negeri   
Ketua : Muhammad Najib, Ir. M.Sc
Wakil Ketua : Fauzan Mulia Fananie, Dr.
Sekretaris : Rachel Mariyam Sayidina
Ketua Dep. Hubungan dan Kerjasama Organisasi Internasional : Lula Kamal, dr. M.Sc
Ketua Dep. Pengkajian Masalah-Masalah Internasional : Teuku Rezasyah, Dr.
Ketua Dep. Jaringan Kerjasama Islam, Eropa dan Afrika : Dadi Darmadi, Dr.
Ketua Dep. Jaringan Kerjasama Islam, Asia dan Pacifik : Yanyan M. Yani, Prof. Dr. Ph.D.
Bidang Cendekiawan Muslim Serantau   
Ketua : Rohmad Hadiwijoyo
Wakil Ketua : Hasanuddin Thoyeb
Sekreataris : Thariq Basalamah
Ketua Dep. Pengkajian Masalah-Masalah Peradaban Islam
: Syophiansyah Jaya Putra, Dr. MSi.S
Serantau
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Cendekiawan Muslim
: Yadi Karyadi, Ir.
Serantau (Asia Tenggara)
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Pengusaha Muslim
: Mokhamad Mahdum, Dr. SE. Ak.
Serantau
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Organisasi dan Kerjasama
: Jusuf Sutakaria, Dr. Ir.
Serantau
Bidang Hukum, Advokasi dan HAM   
Ketua : M. Rifqinizamy Karsayuda, Dr. SH, MH  
Wakil Ketua : Kemas Ilham Akbar   
Sekretaris : Roby Ferliansyah, SH.M.Si.
Ketua Dep. Pembangunan Hukum dan HAM : Irman Putrasidin, Dr. SH.  
Ketua Dep. Penegakan dan Advokasi Hukum : Hendra Nurcahyo, Dr. SH.  
Ketua Dep. Pendidikan dan Penyuluhan Hukum : Iwan Janirin
Ketua Dep. Mediasi dan Resolusi Konflik : Mulfahri Harahap, SH. MH.
Ketua Dep. Advokasi Perlindungan Saksi : Abdul Haris Semendawai, SH. LLM
Bidang Lingkungan Hidup   
Ketua : Khalid Muhammad
Wakil Ketua : Sarjan Taher, SE
Sekretaris : Manimbang Kahariady, Drs.
Ketua Dep. Pengkajian Kebijakan Lingkungan Hidup dan : Munawar Fuad

37
Pembangunan Berkelanjutan
Ketua Dep. Pembinaan dan Penguatan Masyarakat Hukum Adat: Antony Hilman, SH. MH. MBA
Ketua Dep. Perlindungan Hutan Lestari dan Aliran Sungai : Ali Rahman, Ir.
Ketua Dep. Advokasi dan Penyadaran Masyarakat : Andi Asrun, Dr. SH. MA
Bidang Organisasi   
Ketua : Sunarpi, Prof. Ir. Ph.D
Wakil Ketua : Meika Syabana Rusli, Dr. Ir.
Sekretaris : Aminuddin
Ketua Dep. Pembinaan dan Pengembangan Orwil dan Orda : Apendi Arsyad, Dr. Ir.
Ketua Dep. Pembinaan dan Pengembangan Orsat : Gunawan Undang, Drs. M.Si.
Ketua Dep. Pembinaan dan Pengembangan Orwil dan Orsat
: Iskandar Ishaq
Luar Negeri
Ketua Dep. Penataan Status Hukum Kelembagaan ICMI : Andy Fefta Wijaya, Ph.D.
Bidang Pembinaan dan Keanggotaan   
Ketua : Ambo Ala, Prof. Dr.
Wakil Ketua : Ridwan Nurazy, Prof. Dr.
Sekretaris : Muhammad Bascharul Asana, Ir. MBA
Ketua Dep. Pengembangan Administrasi dan Basis Data
: Devi Avianto Setiawan
Keanggotaan
Ketua Dep. Pendidikan dan Pelatihan Anggota : Samad Melleng Dr. Ir. 
Ketua Dep. Pembinaan Partisipasi Anggota : Rida Ismail, Ir. 
Bidang Hubungan Antar Lembaga   
Ketua : Usman Rianse, Prof. Dr. Ir.
Wakil Ketua : Amirsyah Tambunan, Dr.
Sekretaris : Rudi Wahyono 
Ketua Dep. Pengembangan Kerjasama Antar Lembaga : Azra Ridha, SH
Ketua Dep. Pembinaan Jaringan Organisasi Cendekiawan : Fadlan Cemara Cibro, Drs.
Ketua Dep. Sinergi Kelembagaan Organisasi Islam : Said Salahuddin, MH
Bidang Pembinaan Badan Otonom   
Ketua : Iskandar Andi Nuhung, Dr. Ir. MS
Wakil Ketua : Siti Jamalia Lubis, SH. MH
Sekretaris : Ahmad Zaky, MBA
Ketua Dep. Penataan Status Hukum Badan Otonom : Ria Hoiriah Irsyadi, SH. MH.
Ketua Dep. Pengembangan Jaringan Kegiatan Badan Otonom : Achmad Sehu Ibrahim
Ketua Dep. Kajian Pengembangan Badan Otonom : Fitra Arsil, Dr. SH.
Bidang Kaderisasi Cendekiawan   
Ketua : Ferry Kurnia Rizkiyansyah  
Wakil Ketua : Muhammad Ilyas  
Sekretaris : Ria Dewi Eryani, Dra. Psi. MPd

38

Anda mungkin juga menyukai